You are on page 1of 9

c cccc

Istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi adalah hiperplasia kelenjar periuretra yang
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi kapsul bedah. (Anonim FK UI 1995).
Prostat adalah jaringan fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat persis di inferior dari
kandung kencing. Prostat normal beratnya + 20 gr, didalamnya berjalan uretra posterior + 2,5 cm.
Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum dan sebelah inferior oleh diafragma
urogenitale. Pada prostat bagian posterior bermuara duktus ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada
verumontanum pada dasar uretra prostatika tepat proksimal dari spingter uretra eksterna
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga
terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-
buli dan daerah prostat meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau
divertikel. Fase penebalan destrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka destrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. Oleh karena
itu penting bagi perawat untuk mempelajari patofisiologi, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan asuhan
keperawatan yang komprehensif pada klien Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) beserta keluarganya.
 

c
1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat secara nyata dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien
dengan BPH secara komprehensif di ruang Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
2. Tujuan khusus
a. Mampu melaksanakan pengkajian secara menyeluruh pada klien BPH
b. Mampu menganalisa dan menentukan masalah keperawatan pada klien BPH
c. Mampu melakukan intervensi dan implementasi untuk mengatasi masalah keperawatan yang timbul pada
klien BPH
d. Mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan pada klien BPH
  c c
 c cc c
A.  c
a. Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau
hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara
histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994)
b. Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin, 2000)
c. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005)
d. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria > 50 tahun)
yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius. (Doenges, 1999)
e. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung
kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)
Kesimpulan BPH (á 
   

) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan cara menutupi   
. 
   merupakan tindakan
pembedahan bagian prostate (sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki
aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.
B.   
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa pendapat dan fakta yang
menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan
testosteron dengan bantuan enzim °  reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat.
Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan
meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk
DHT-Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis
protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan
hormon androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen berkurang
sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam
(bagian tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinism, bagian inilah yang mengalami
hiperplasia
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasi prostat adalah :
a) Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut;
b) Peranan dari  
 (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat;
c) Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati;
d) Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel
stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia,
gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan
cepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.
Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti
perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari
jaringan sekitarnya.
Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan bertanbahnya umur
menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya konversi testoteron menjadi setrogen. (
Kahardjo, 1995).
C. c    
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan
membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20
gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam
beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron
menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar
ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius
juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya
disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan
kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher
vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi
resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi
keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke
dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut 

 (buli-buli balok).
Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat
. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan 


sedangkan yang besar disebut    . Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding
kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi
dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua
tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada
akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang
tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi
walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat,
nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung urin,
sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia
paradox       . Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan
ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk
batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
D. Vc c 
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala
obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan:
pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama  
 
harus mengejan  
 kencing terputus-putus    , dan waktu miksi memanjang yang akhirnya
menjadi retensio urin dan inkontinen karena  .
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang
kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas
otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam
hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer,
2000)
'   
  
   

:
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih
tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flow
inkontinen).
     
   
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-
anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak
lancar, áá (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
- Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
- Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
- Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
- Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
- Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
b. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu kemudian dipasang
kateter.
- Normal : Tidak ada sisa
- Grade I : sisa 0-50 cc
- Grade II : sisa 50-150 cc
- Grade III : sisa > 150 cc
- Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
E.  Vc 
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapat
terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus
mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia
dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi
dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,
yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
F. ccc cccV
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium
dari gambaran klinis
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif,
misalnya menghambat
   

seperti

 dan 
 Keuntungan obat ini adalah
efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun
kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi
endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup
besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan
memasang kateter atau   . Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi
diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan
pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan
konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan:
a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol,
tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b. Medikamentosa
1. Penghambat alfa (  )
Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-Į1, dan prostat memperlihatkan
respon mengecil terhadap agonis. Komponen yang berperan dalam mengecilnya prostat dan leher buli-
buli secara primer diperantarai oleh reseptor Į1a. Penghambatan terhadap alfa telah memperlihatkan
hasil berupa perbaikan subjektif dan objektif terhadap gejala dan tanda (
  ) BPH pada
beberapa pasien. Penghambat alfa dapat diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu
paruhnya
2. Penghambat 5Į-Reduktase (!"#    )
Finasteride adalah penghambat 5Į-Reduktase yang menghambat perubahan testosteron menjadi
dihydratestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen epitel prostat, yang menghasilkan pengurangan
ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna melihat
efek maksimal terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan gejala-gejala
3. Terapi Kombinasi
Terapi kombinasi antara penghambat alfa dan penghambat 5Į-Reduktase memperlihatkan bahwa
penurunan     dan peningkatan aliran urin hanya ditemukan pada pasien yang
mendapatkan hanya Terazosin. Penelitian terapi kombinasi tambahan sedang berlangsung
4. Fitoterapi
Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuh-tumbuhan untuk tujuan medis.
Penggunaan fitoterapi pada BPH telah popular di Eropa selama beberapa tahun. Mekanisme kerja
fitoterapi tidak diketahui, efektifitas dan keamanan fitoterapi belum banyak diuji
c. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran
kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
1) TURP 
 
  
 
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau
resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
2) Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.
3) Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa
prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
4) Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan
rektum.
5) Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang
berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke
leher kandung kemih pada kanker prostat.
d. Terapi Invasif Minimal
1) 
 

   
 (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat
melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
2) 
 
 
  !
 " 
 (TULIP)
3) 
 
#
$

 (TUBD)
G. V cc
 c
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :
a. Laboratorium
1). Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
2). Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman
terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
b. Pencitraan
1). Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan
bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
2). IVP (" 
% 
 
)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis,
memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
3). Ultrasonografi ( 

á
 dan 
 
)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan
patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
4). Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat
penonjolan prostat ke dalam rektum.
  c cc
cccc
cc c
A.  c c
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan. Menurut Doenges
(1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
a. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi dapat dijumpai
adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan
tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena
kekurangan volume cairan.
b. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena memikirkan
bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau
mental, perubahan perilaku.
c. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien dengan preoperasi,
perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung
kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi
BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi
drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi
warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan,
peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin,
juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi
prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan
makanan.
d. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada abomen
(pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia,
mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan
pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
e. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama. Karena
menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien postoperasi biasanya
ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
f. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput dari pengkajian
perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian
paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan
seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan
juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.
g. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah tentang efek
kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim,
penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
h. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi BPH. Pada
preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat
serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan
hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.

Diposkan oleh Y.D. Hartanto S.Kep., Ns di 12.24




You might also like