You are on page 1of 4

TOKOH JIL : SYAFII MAARIF

http://adianhusaini.blogspot.com/2006/07/ada-apa-dengan-syafii-maarif.html

Ada Apa dengan Syafii Maarif ?


Thursday, July 13, 2006

Dalam rapat pimpinan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Rabu (12/7/2006) lalu,
Ketua Umum DDII Hussein Umar tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya terhadap tulisan
Syafii Maarif di Harian Republika sehari sebelumnya. Tulisan Syafii dalam kolom Resonansi itu
berjudul ‘Demi Keutuhan Bangsa’. Seperti biasa, Syafii Maarif memposisikan sebagai ‘Bapak
Bangsa’ yang sangat peduli dengan keutuhan bangsa Indonesia. Ia menempatkan dirinya sebagai
‘penyelamat bangsa’.

Tentu saja, posisi itu ideal. Tapi, sayangnya, pada saat itulah, Syafii lupa, bahwa pada berbagai
bagian tulisannya, dia justru telah menyinggung banyak kalangan, yang ironisnya adalah sahabat-
sahabat dekatnya sendiri, dari kalangan kaum Muslim. Bahasa yang digunakan Syafii pun bukan
bahasa yang arif, yang menunjukkan kedewasaan seorang Profesor yang usianya sudah mencapai
70 tahun lebih, tetapi justru bahasa yang bernada pelecehan dan kasar. Banyak kalangan belum
lupa, bagaimana Syafii Maarif meluncurkan istilah ‘preman berjubah’ untuk menunjuk kelompok
yang tidak disukainya.

Dalam tulisannya di Republika kali ini, dia pun menggunakan istilah-istilah ‘peyoratif’ yang kasar
yang bernada memperhinakan kalangan-kalangan yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam.
Misalnya, dia gunakan istilah-istilah ‘’otak-otak sederhana’’, ‘’kedunguan’’, ‘’kebahlulan’’, dan
sebagainya. Istilah-istilah seperti itu harusnya dihindari oleh seorang Profesor yang sudah begitu
kenyang makan asam garam dalam dunia pergerakan di Muhammadiyah. Apalagi, logika dan
argumentasi Syafii Maarif dalam tulisannya itu juga banyak yang tidak tepat dan keliru. Marilah
kita simak cara berpikir Syafii Maarif.

Secara umum, tulisan Syafii Maarif itu mencoba membenturkan antara upaya penerapan syariat
Islam secara legal formal dengan keutuhan bangsa Indonesia. Syafii menulis, bahwa “Keinginan
untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam perda, mengapa tidak diintegrasikan saja dalam
perda biasa, tidak dalam format Perda Syariah yang dapat melemahkan pilar-pilar integrasi
masyarakat dan bangsa, dan ini berbahaya sekali.”

Cobalah kita simak baik-baik ungkapan Syafii Maarif tersebut. Betapa keliru dan berbahayanya
logika berpikir semacam itu. Logika ini juga aneh, ahistoris, dan sama dengan logika kaum
misionaris Kristen yang aktif di Partai Damai Sejahtera (PDS) yang menggugat peberlakuan perda-
perda yang bernuansa syariah. Orang seperti Syafii, aktivis PDS, dan sejenisnya telah terjebak ke
dalam logika yang keliru, bahwa syariat Islam adalah hukum-hukum yang sifatnya lokal, temporal,
dan hanya berlaku untuk satu golongan tertentu.

Sebaliknya, mereka berpikir, bahwa hukum-hukum kolonial Belanda dan hukum-hukum Barat lain
adalah berlaku universal untuk seluruh umat manusia. Karena itulah, Syafii Maarif tidak menyoal
pemberlakuan hukum kolonial, dan tidak menyatakannya bertentangan dengan integrasi bangsa
Indonesia. Sebaliknya, perda Syariat Islam dikatakannya dapat melemahkan pilar-pilar integrasi
masyarakat dan bangsa, dan ini sangat berbahaya. Bukanlah logika semacam ini sangat keliru.
Bukankah Rasulullah saw diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

1
Apakah bukan sesuatu yang paradoks, jika seorang yang mengaku Muslim tetapi justru menyatakan
syariat Nabi Muhammad adalah ancaman bagi integrasi bangsa?

Dalam kasus Indonesia, hukum Islam sudah diberlakukan di kepulauan Nusantara, beratus-ratus
tahun sebelum kedatangan penjajah Belanda. Sebagai contoh, pada tahun 1628, Nuruddin ar-Raniri
menulis Kitab Shirathal Mustaqim, yang merupakan kitab hukum pertama yang disebarkan ke
seluruh Nusantara untuk menjadi pegangan umat Islam. Oleh Syekh Arsyad Banjar, kitab itu
diperluas dan diperpanjang uraiannya dalam sebuah Kitab berjudul Sabilul Muhtadin, serta
dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa di daerah Kesultanan Banjar. Di daerah
Kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan pula beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan
pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan masalah hidup dan kehidupan mereka. Hukum
Islam diikuti pula oleh pemeluk Islam di wilayah-wilayah Kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban,
Ngampel, Mataram, dan juga Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup
pada masa itu, seperti Sajinatul Hukum.

Dengan fakta-fakta tersebut, Prof. Muhammad Daud Ali, guru besar hukum Islam di Universitas
Indonesia, menyimpulkan, bahwa “sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia,
hukum Islam mempunyai kedudukan sendiri di dalam masyarakat. Sebagai hukum yang berdiri
sendiri, hukum Islam telah ada dan berlaku di dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang
disamping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami Nusantara ini.” (Lihat, Muhammad Daud
Ali, ‘Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya’, dalam Juhaya S. Praja dkk, Hukum Islam
di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1994), hal. 69-70.

Sebagai orang yang dihormati di berbagai kalangan, Syafii Maarif harusnya menjelaskan fakta-fakta
sejarah tentang hukum Islam itu kepada kalangan non-Muslim dan orang-orang yang ketakutan
terhadap syariah Islam; agar mereka paham dan tidak salah paham terhadap syariah Islam;
bukannya malah menambah-nambah rasa ‘syariah-fobia’ di kalangan non-Muslim. Sebab, syariah
Islam memang bukan untuk menakut-nakuti.

Selain itu, harusnya Syafii Maarif mempertegas pemikirannya, pada bagian mana dari syariat Islam
yang dia tidak setujui. Dia tidak perlu menyatakan, bahwa perda syariat bertentangan denan
integrasi bangsa. Bagaimana mungkin pikiran seperti itu bisa hinggap pada benak seorang Profesor,
sedangkan di Indonesia sudah begitu banyak hukum yang secara tegas merupakan pelaksanaan
syariat Islam, seperti Bank Syariat, Asuransi Syariat, Reksadana Syariat, hukum perkawinan syariat,
dan sebagainya. Jika meninggal dunia pun, tentu Syafii Maarif maunya dimakamkan secara syariat
Islam, bukan secara hukum Amerika. Dan perda yang mengatur cara pemakaman dan perkawinan
secara syariat Islam pasti tidak membahayakan integrasi bangsa, bukan?

Syafii memang ingin, agar perda anti maksiat diperjuangkan di bawah payung Pancasila, khususnya
sila pertama. Syafii boleh saja berpendapat seperti itu. Tetapi, dia harusnya menghormati aspirasi
kaum Muslim yang ingin pelaksanaan perda itu ditegaskan dalam format yang tegas. Jika mengaku
demokrat, Syafii pun harus menghormati aspirasi semacam itu, dan jangan mencemooh dengan
kata-kata ‘dungu’, ‘bahlul’, dan sebagainya. Dia harus berbesar hati menerima realitas bangsa yang
plural dan bermacam-macam aspirasinya. Jika ingin diakui sebagai negarawan besar, harusnya
Syafii mampu membaca realitas itu. Jangan aspirasi kaum PDS Kristen dia telan, sedangkan
aspirasi kaum Muslim dia lecehkan dan dia perhinakan. Sayang, melalui kolomnya di Republika itu,
Syafii Maarif justru memperhinakan dan mengecilkan dirinya sendiri.

Meskipun dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, dan pernah memimpin Muhammadiyah, Syafii
Maarif bukanlah seorang pakar di bidang syariat Islam. Dia belum pernah menulis buku yang serius
tentang itu. Dia memang guru besar sejarah, khususnya sejarah perpolitikan Islam di Indonesia.
Karena itu, pendapat-pendapatnya tentang syariat Islam seringkali tidak sepenuhnya benar. Di

2
dalam tulisannya itu pun Syafii membuat pernyataan yang sangat lemah argumentasinya. Sebagai
contoh, dia tulis, ‘’Secara umum, bukankah isi syariah yang diwarisi sekarang ini sebagian besar
adalah hasil ijtihad abad pertengahan yang pasti terikat dengan ruang dan waktu ?’’

Pernyataan Syafii Maarif ini terlalu gegabah bagi seorang bergelar professor. Hukum-hukum
tentang zina, judi, jilbab, haji, shalat, zakat, puasa, dan sebagainya, sudah diberlakukan sejak zaman
Nabi Muhammad saw. Para ulama berikutnya hanyalah melakukan sistematisasi dan melakukan
ijtihad terhadap masalah-masalah baru yang muncul di tengah masyarakat, dan bukan membuat
syariah baru, yang berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah. Jika yang
dimaksud Syafii adalah kitab-kitab fiqih karya para ulama, maka itu pun sangat keliru. Sebab,
kegemilangan ilmu fiqih telah dicapai di masa imam-imam Mazhab.

Para Imam mazahab itu hidup di awal-awal sejarah Islam. Imam Abu Hanifah lahir tahun 699 M;
Imam Maliki tahun 712 M; Imam Syafii tahun 767 M; dan Imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun 780
M. Jika Newton merumuskan teori gravitasi bukan berarti Newton yang menciptakan hukum
gravitasi. Jika para ulama mazhab menggali dan merumuskan syariah Islam dalam kitabnya, dengan
merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah, bukan berarti ulama-ulama itu yang menciptakan hukum.
Hukum itu tetap hukum Allah, sebagaimana hukum gravitasi.

Para Imam itulah yang kemudian menjadi rujukan umat Islam di berbagai dunia, tidak pandang
waktu dan tempat. Karena sifatnya yang universal untuk manusia, hukum Islam tidak memandang
waktu, tempat, dan budaya.

Khamr adalah haram untuk seluruh manusia, dimana pun dan kapan pun. Zina adalah haram,
apakah untuk orang Yogya atau orang Arab. Zakat diwajibkan untuk seluruh Muslim di tempat
mana pun dan kapan pun. Judi diharamkan untuk semua manusia. Seluruh ulama sepakat bahwa
babi adalah haram, tidak pandang waktu dan tempat; tidak pandang, apakah di tempatnya banyak
ternak babi atau ternak kambing. Riba diharamkan untuk semua manusia dan semua tempat.
Menutup aurat diwajibkan untuk semua wanita Muslimah, tidak peduli, dimana pun dia berada;
apakah di Yogya tempat tinggal Syafii Maarif atau di Amerika tempat tinggal Madonna.

Jadi, sangatlah sembarangan, jika Syafii Maarif menyatakan, bahwa syariah senantiasa terikat
dengan ruang dan waktu. Tentu saja dalam pelaksanaan hukum ada perbedaan model dan gaya. Bisa
saja model jilbab di Arab Saudi berbeda dengan di Bandung. Tetapi, semuanya wajib menutup
seluruh aurat wanita, kecuali muka dan telapak tangan. Bisa saja merk khamr berbeda, antara vodka
di Rusia dengan minuman Arak cap anjing di Indonesia. Tapi, semuanya adalah khamr dan
hukumnya haram. Semuanya adalah syariah Islam, syariah yang satu. Umat Islam tidak pernah
mengenal istilah syariah Arab, syariah Iran, syariah Pakistan, syariah Jawa, syariah Batak, syariah
Padang, syariah India, syariah Papua, dan sebagainya.

Juga, sejarah Islam sebenarnya tidak mengenal istilah “abad pertengahan” sebagaimana dalam
sejarah Barat. Bagi Barat, abad pertengahan adalah identik dengan “zaman kemunduran” dan
“zaman kegelapan” (the dark ages). Jika Syafii Maarif menelaah dengan jeli sejarah Islam dan
membandingkannya dengan sejarah Barat, maka tidak seharusnya dia mengikuti periodisasi sejarah
sebagaimana yang dialami peradaban Barat. Ketika Barat berada dalam zaman kegelapannya, di
abad pertengahan, justru kaum Muslim sedang berada dalam puncak-puncak ketinggian prestasi
peradabannya. Ketika itulah, kaum Muslim memegang kendali dunia. Maka, istilah “abad
pertengahan” dengan konotasi kemunduran seperti yang dialami peradaban Barat, tidak sepatutnya
digunakan untuk sejarah umat Islam. Sebagai professor sejarah, Syafii Maarif harusnya memahami
masalah ini.

Akan tetapi, di tengah berbagai kekeliruan dalam pola pikir Syafii Maarif, kita perlu memberikan
apresiasi terhadap niatnya untuk membela Islam. Syafii tampak berbeda dengan orang seperti
3
Dawam Rahardjo yang sudah tegas-tegas memposisikan dirinya sendiri di mana berada. Syafii
dikenal sebagai orang yang hidup sederhana dan cukup tegas dalam masalah moralitas.

Sayangnya, dia banyak keliru dalam masalah pemikiran Islam. Satu hal yang perlu kita perhatikan
dari kritik positif Syafii Maarif adalah seruannya agar orang-orang yang memperjuangkan syariah
Islam benar-benar serius, bukan semata-mata untuk kepentingan isu politik sesaat. Dalam hal ini,
kita tentu setuju, bahwa para penyeru syariah Islam seyogyanya menerapkannya untuk diri sendiri
dan kelompoknya terlebih dahulu. Selain itu, Syafii juga benar, bahwa penerapan syariah
memanglah sesuatu yang panjang dan komplek. Aspek legalitas syariah dalam bentuk hukum positif
adalah salah satu aspek saja dari suksesnya penegakan syariah. Masih diperlukan unsur-unsur lain
yang mendukungnya, seperti aparat hukum yang baik, sistem peradilan yang baik, dan juga
kesiapan masyarakat dalam menerima hukum Islam. Semua aspek itu harus dikerjakan secara
simultan.

Kita memang heran, mengapa Syafii Maarif begitu sinis terhadap penerapan Syariah? Ada apa
sebenarnya dengan Syafii Maarif? Tapi, kita doakan saja, semoga Professor Doktor Syafii Maarif –
meskipun di usianya yang senja – bersedia ngaji lagi dengan baik kepada orang yang benar-benar
ulama, agar tidak keliru cara berpikirnya dalam memandang Islam. Wallahu a’lam.

You might also like