You are on page 1of 78

ABSTRACT

Sebagai salah satu pemain utama dalam industri layanan hotel, Hotel
Shangri-La Surabaya, telah memberikan upaya dalam meningkatkan
motivasi kerja dalam karyawan. Persepsi untuk kompensasi dan sikap
proaktif dari karyawan dianggap berpengaruh kuat pada seorang
karyawan yang memiliki motivasi kuat dalam bekerja. Mengenai masalah
ini, penelitian ini didorong untuk menganalisa hubungan antara persepsi
untuk kompensasi dan sikap proaktif dengan motivasi kerja karyawan di
Hotel Shangri-la Surabaya.
Data penelitian ini didasarkan atas data primer yang dikumpulkan
dari karyawan mengisi kuesioner dari masing-masing departemen untuk
menganalisis data, peneliti memutuskan untuk beberapa metode analisis
regresi. Selain itu, peneliti juga menggunakan data sekunder yang berasal
dari Man Power Department yang ada pada Hotel Shangri-La Surabaya.
Kata kunci: persepsi, kompensasi dan sikap proaktif.

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP


KOMPENSASI DAN SIKAP PROAKTIF DENGAN MOTIVASI
KERJA KARYAWAN DI HOTEL SHANGRI-LA SURABAYA

CHAPTER I

INTRODUCTION

1.1. Background of the Study

1|Page
Dalam situasi perekonomian yang sulit seperti saat ini, ditambah

lagi dengan situasi politik dan keamanan yang kurang menguntungkan

mengharuskan pihak manajemen atau pimpinan perusahaan untuk

selalu waspada dan tanggap terhadap perubahan yang terus menerus

dan selalu mengadakan penyesuaian. Keberhasilan pencapaian tujuan

suatu perusahaan sangat ditentukan oleh faktor tenaga kerja atau

karyawan yang mempunyai prestasi kerja yang memadai, apalagi

berada dalam kondisi persaingan bisnis yang sangat ketat. Oleh karena

itu pihak manajemen harus dapat memenuhi kebutuhan karyawan

seperti kebutuhan fisik maupun kebutuhan sosial agar karyawan dapat

termotivasi bekerja demi kemajuan perusahaan.

Pada perusahaan yang bergerak di bidang jasa perhotelan seperti

Shangri-La Hotel Surabaya ini, di mana terjalinnya kontak antara

karyawan dengan tamu relatif intensif, motivasi kerja karyawan akan

menjadi salah satu faktor kunci penentu keberhasilan perusahaan.

Kinerja yang tidak baik akibat karyawan tidak puas akan secara

langsung dapat dirasakan oleh tamu yang selanjutnya dapat

berdampak pada kekecewaan pada diri tamu. Kekecewaan tamu bagi

perusahaan merupakan ancaman bagi Shangri-La Hotel Surabaya,

karena tamu tersebut tentunya akan berpindah kepada pesaing.

Untuk itu motivasi kerja karyawan harus senantiasa dipelihara agar

keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuannya dapat dicapai.

Dalam kenyataannya di lapangan, karyawan-karyawan yang

dikatakan mempunyai motivasi kerja yang baik adalah mereka yang

2|Page
memiliki semangat dan berkeinginan untuk menyelesaikan tugas-

tugasnya dengan baik, mempunyai kehendak untuk berhasil dalam

tugas yang berdasarkan pada keinginan untuk maju dan berkembang.

Sebaliknya, karyawan-karyawan yang tidak termotivasi adalah mereka

yang bermalas-malasan, menyelesaikan pekerjaan sekehendak

hatinya, tidak mempunyai ambisi untuk maju dan berkembang serta

selalu menyalahkan kondisi dan lingkungan tempat dimana mereka

bekerja.

Menurut Kertonegoro (1997), motivasi adalah kemauan untuk

melakukan tingkat upaya yang tinggi kearah tujuan organisasi, yang

dipengaruhi oleh kemampuan untuk melakukan dan memenuhi

kebutuhan individual. Unsur upaya baik intensitasnya (orang

berusaha keras) maupun mutunya (upaya yang diarahkan pada

dan/atau konsistensi dengan tujuan organisasi).

Motivasi kerja adalah sebuah aspek pada masing-masing orang

atau karyawan yang akan selalu dipertahankan dan ditingkatkan.

Selain motivasi dari karyawan itu sendiri, perhatian pihak manajemen

perusahaanpun harus ditujukan pada kondisi yang bisa menjaga,

menumbuhkan, dan mengarahkan motivasi kerja tersebut demi

tercapainya tujuan perusahaan.

Menurut Gibson (1997), kompensasi merupakan salah satu

variabel yang dapat mempengaruhi motivasi kerja karyawan, sehingga

perusahaan harus menerapkan suatu sistem kompensasi dengan

mempertimbangkan kepentingan organisasi dan para karyawannya.

3|Page
Istilah kompensasi sendiri dapat diartikan sebagai segala bentuk

returning financial, jasa-jasa berwujud, dan tunjangan-tunjangan

yang diperoleh karyawan sebagai bagian dari hubungan kepegawaian

dengan organisasi. Dalam hal ini kompensasi merupakan salah satu

bentuk reward yang berkaitan dengan imbalan moneter (extrinsic

reward), seperti gaji, status, promosi, pembagian keuntungan, dan

bonus. Bentuk reward yang lain adalah pengakuan, pekerjaan yang

menarik, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan kesempatan

kerja yang lebih menantang (intrinsic reward).

Ketika tamu-tamu hotel baik wisatawan nusantara maupun

wisatawan mancanegara tidak sebanyak dulu lagi, maka tentunya

kalangan industri jasa perhotelan dituntut untuk melakukan langkah-

langkah strategis dan taktis sebagai upaya agar tetap bertahan

(survive). Hal itu berarti kalau selama ini hotel hanya mengandalkan

bisnisnya menjaring tamu dari kontrak dan hubungan via telepon, kini

harus bersikap proaktif yakni dengan mendatangi langsung relasi dan

calon tamu tersebut. Tentunya bukan hanya pihak manajemen atau

pimpinan perusahaan saja yang bersikap proaktif tetapi sikap proaktif

itu juga dapat dikembangkan dari para karyawannya. Sikap proaktif

ini diduga kuat juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

seorang karyawan agar termotivasi dalam bekerja. Sejauh mana

karyawan tersebut merasa dirinya mempunyai kebebasan untuk

melakukan tugas-tugas yang diembannya dan tanggungjawab atas

tugas tersebut.

4|Page
Menggerakkan aktivitas dan efektifitas manusia dalam suatu

organisasi sangat erat hubungannya dengan masalah motivasi kerja

dimana konteks motivasi kerja berkaitan dengan persepsi karyawan

terhadap kompensasi dan sikap proaktifnya. Dengan memahami

motivasi kerja maka dapat diketahui bahwa, karyawan dapat berpikir

adanya tanggung jawab terhadap respon yang dipilihnya dengan tidak

menyalahkan keadaan, kondisi dan pengkondisian untuk bertingkah

laku sehingga dapat menumbuhkan semangat kerja yang tinggi.

Dengan adanya hal-hal tersebut di atas serta didorong oleh adanya

minat yang besar untuk mengetahui lebih jauh tentang hubungan

antara persepsi karyawan terhadap kompensasi dan sikap proaktif

dengan motivasi kerja dalam suatu perusahaan yang bergerak di

bidang jasa perhotelan maka proposal penelitian untuk tesis ini

disusun dengan memilih judul “Hubungan Antara Persepsi Terhadap

Kompensasi dan Sikap Proaktif dengan Motivasi Kerja Karyawan di

Shangri-La Hotel Surabaya”.

1.2. Statement of the Problem

Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka masalah yang

timbul dan akan dikaji dalam proposal penelitian untuk tesis ini

dirumuskan sebagai berikut: "Apakah terdapat hubungan antara

persepsi terhadap kompensasi dan sikap proaktif dengan motivasi

kerja karyawan".

1.3. Objectives of the Study

5|Page
Tujuan yang ingin dicapai dengan dilakukannya penelitian ini

adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap

kompensasi dan sikap proaktif dengan motivasi kerja karyawan.

1.4. Hypotheses of the Study

Berdasarkan kajian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai

berikut: Terdapat hubungan yang positif (hubungan yang signifikan)

antara persepsi terhadap kompensasi dan sikap proaktif dengan

motivasi kerja karyawan. Semakin tinggi persepsi terhadap

kompensasi dan sikap proaktif maka semakin tinggi motivasi kerja

karyawan.

1.5. Significance of the Study

1.5.1. Manfaat Praktis

1. Memberikan sumbangan bagi dunia usaha jasa perhotelan

pada umumnya dan Shangri-La Hotel Surabaya pada

khususnya untuk dapat lebih memperhatikan masalah

motivasi kerja karyawan.

2. Penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi bahan dalam

mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam suatu

organisasi atau perusahaan terutama yang berkaitan

dengan masalah persepsi terhadap kompensasi, sikap

proaktif, dan motivasi kerja karyawan sehingga dapat

meningkatkan produktifitas perusahaan tersebut.

1.5.2. Manfaat Teoretis

Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang

6|Page
pengelolaan sumber daya manusia (manajemen sumber daya

manusia), khususnya mengenai objek penelitian ini, yaitu

persepsi terhadap kompensasi, sikap proaktif, dan motivasi

kerja karyawan dalam suatu perusahaan.

1.6. Scope and Limitation of Study

Konsep digunakan untuk memperjelas suatu variabel penelitian

yang akan diteliti (Effendi, 1989). Untuk membatasi ruang lingkup

permasalahan, berikut ini dikemukakan batasan penelitian yang

terdiri dari pengidentifikasian variabel-variabel penelitian yang terdiri

dari variabel terikat (dependent variable) dan variabel bebas

(independent variable) dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Persepsi terhadap kompensasi, adalah bagaimana karyawan

mempersepsikan keseluruhan pemberian balas jasa yang

diberikan perusahaan terhadap hasil kerjanya baik yang

langsung berupa uang maupun yang tidak langsung berupa

uang.

2. Sikap proaktif, adalah suatu pemahaman dan penerimaan

diri pada saat merespon stimulus dengan cara menyadari

adanya tanggungjawab pribadi, merespon berdasarkan

perinsip yang diyakini kebenarannya, dan memiliki

inisiatif-kreatif agar sesuatu dapat terjadi.

3. Motivasi kerja, adalah keinginan dan dorongan-dorongan

yang timbul pada atau dalam diri seorang karyawan dan

7|Page
dapat menggerakkan, mengarahkan karyawan tersebut

untuk melakukan kegiatan demi tercapainya tujuan yang

telah ditetapkan.

1.7. Definition of Terms

Definisi operasional merupakan penerjemahan satu konsep

teoretik ke dalam bentuk yang bisa diukur, yang bertujuan untuk

membantu pengukuran konsep tersebut ke dalam pengumpulan

data penelitian (Effendi, 1989).

Adapun definisi operasional variabel-variabel ini adalah sebagai

berikut :

1. Persepsi terhadap kompensasi dapat diukur dari:

a. penilaian terhadap gaji pokok yang diberikan

perusahaan

b. penilaian terhadap tunjangan yang diberikan

perusahaan

c. penilaian terhadap jaminan yang diberikan

perusahaan

d. penilaian terhadap promosi yang diberikan

perusahaan

e. penilaian terhadap fasilitas yang diberikan

perusahaan

2. Sikap proaktif dapat diukur dari:

a. dedikasi dan tanggung jawab pribadi (personal)

b. inisiatif-kreatif

8|Page
c. memiliki prinsip kualitas pekerjaan

d. pengetahuan akan tugas yang diemban.

3. Motivasi kerja dapat diukur dari:

a. keamanan dan keselamatan kerja

b. kepemimpinan yang baik

c. rekan kerja yang sesuai

d. kondisi kerja

e. upah yang layak

f. penghargaan atas prestasi

g. pekerjaan yang berarti

h. kesempatan untuk maju

CHAPTER II

REVIEW OF RELATED LITERATURE

Suatu penelitian mengenai hubungan antara persepsi untuk

kompensasi dan sikap proaktif dengan motivasi kerja karyawan di Hotel

Shangri-la Surabaya ini tentu saja tidak terlepas dari penelitian terdahulu.

Dalam bab ini akan dipaparkan beberapa hal mengenai variabel-variabel

yang berhubungan dengan penelitian ini, terutama mengenai variabel

kompensasi kerja.

9|Page
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Devit Armain Taren, MB-IPB

(2007) dengan judul “Analisis Pengaruh Kompensasi Terhadap Motivasi

Kerja dan Kaitannya Dengan Kepuasan Kerja Serta Kinerja Karyawan PT

Sigma Bestari Citra” menunjukkan bahwa berdasarkan uji - t atau uji

signifikansi, variabel laten eksogen (variabel bebas) finansial sebagai salah

satu variabel pembentuk kompensasi tidak berpengaruh signifikan

terhadap variabel laten endogen (variabel terikat) motivasi kerja,

sedangkan variabel laten eksogen non-finansial sebagai variabel

pembentuk kompensasi berdasarkan uji - t berpengaruh signifikan

terhadap variabel endogen motivasi karena memiliki nilai gamma (γ) di

atas 1,96 yang merupakan ketentuan minimum pada tingkat kepercayaan

5%. Kontribusi variabel laten eksogen finansial terhadap variabel laten

endogen motivasi berdasarkan faktor muatan (loading factor) sebesar

0,17, sedangkan untuk variabel laten eksogen nonfinansial kontribusinya

terhadap variabel endogen motivasi sebesar 0,63. Ini mengindikasikan

karyawan PT. Sigma Bestari Citra lebih mengutamakan kompensasi

nonfinansial ketimbang kompensasi finansial, kompensasi finansial hanya

dianggap sebagai faktor kepuasan saja (hygiene factor) bukan sebagai

motivator dalam bekerja.

Variabel laten endogen motivasi berdasarkan uji - t memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap variabel endogen kepuasan kerja dan variabel

endogen kinerja karyawan dengan nilai beta (β) masing-masing sebesar

7,65 dan 3,58. nilai tesebut telah memenuhi ketentuan minimum yakni di

atas 1,96 pada tingkat kepercayaan 5%, kontribusi variabel laten endogen

10 | P a g e
motivasi terhadap variabel laten endogen kepuasan kerja sebesar 0,61,

sedangkan kontribusi variabel endogen motivasi terhadap variabel laten

endogen kinerja sebesar 0,26. Variabel laten endogen kepuasan kerja

berdasarkan nilai beta yang tertera pada uji - t adalah sebesar 6,97, nilai

ini menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja

terhadap kinerja karyawan karena nilainya di atas 1,96, dengan kontribusi

sebesar 0,59. Untuk meningkatkan produktivitas, perusahaan harus

memperhatikan variabel - variabel pembentuk eksogen dan endogen yang

memiliki pengaruh signifikan, kemudian dilakukan peningkatan terhadap

masing-masing variabel indikator berdasarkan atas prioritasnya, yakni

semakin tinggi kontribusinya maka prioritasnya lebih utama.

Berdasarkan analisis SEM variabel indikator pembentuk kompensasi

non-finansial yang memberikan kontribusi dari yang terbesar berturut-

turut adalah: tanggung jawab, tantangan kerja, kebijakan perusahaan,

status kerja dan tugas yang menarik. Untuk motivasi kerja variabel

indikator yang memberikan kontribusi dari yang terbesar secara berturut -

turut adalah: prestasi kerja, kestabilan kerja, pekerjaan itu sendiri,

kemajuan, dan tanggung jawab. Sedangkan variabel indikator pembentuk

kepuasan kerja yang memberikan kontribusi dari yang terbesar secara

berturut-turut adalah: kepuasan konsumen, turnover dan produktivitas

kerja, serta kualitas kerja. Variabel laten yang terakhir adalah kinerja

karyawan dengan indikator pembentuk dari yang terbesar hingga terkecil

11 | P a g e
secara berturut-turut adalah: kerja sama, kejujuran, loyalitas dan

tanggung jawab, kepemimpinan, disiplin, serta prestasi kerja.

Penelitian lain dikemukakan oleh Yatik Sriningsih (2005) yang

berjudul “Pengaruh Desain Kompensasi-Insentif Terhadap Kinerja Tenaga

Produksi Dengan Motivasi Kerja Sebagai Variabel Intervening”, yang

sebenarnya merupakan replikasi penelitian yang dilakukan oleh Brownell

dan McInnes dengan merubah variabel independennya menjadi desain

kompensasi-insentif, menunjukkan hasil-hasil sebagai berikut:

1. Desain kompensasi-insentif berpengaruh secara positif dan

signifikan terhadap motivasi kerja.

2. Motivasi kerja tidak dapat berperan sebagai variabel

intervening pada pengaruh desain kompensasi-insentif

terhadap kinerja tenaga produksi.

3. Team or group incentive plan merupakan faktor dalam desain

kompensasi-insentif yang memiliki pengaruh dominan

terhadap kinerja tenaga produksi.

Penelitian terdahulu lainnya yang menjadi dasar dalam melakukan

penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Novi Mustikawati

(2006), dengan judul “Pengaruh Pemberian Kompensasi dan Motivasi

Kerja Terhadap Efektivitas Kerja Karyawan Bagian Non-Operasional di

PT Batik Keris Sukoharjo”, yang didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Ada pengaruh yang signifikan pemberian kompensasi terhadap

efektivitas kerja karyawan bagian non operasional di PT. Batik

12 | P a g e
Keris Sukoharjo tahun 2006. Hal ini ditunjukkan dengan harga

r hitung > r tabel atau 0,412 > 0,312 pada taraf signifikasi 5%.

2. Ada pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja terhadap

efektivitas kerja karyawan bagian non operasional di PT. Batik

Keris Sukoharjo tahun 2006. Hal ini ditunjukkan dengan harga

r hitung > r tabel atau 0,394 > 0,312 pada taraf signifikasi 5%.

3. Ada pengaruh yang signifikan antara pemberian kompensasi

dan motivasi kerja secara bersama-sama terhadap efektivitas

kerja karyawan bagian non operasional di PT.Batik Keris

Sukoharjo tahun 2006. Hal ini ditunjukkan dengan harga F

hitung > F tabel atau 9,336 > 3,15 pada db 2 versus 37 dan pada

taraf signifikasi sebesar 5%.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa efektivitas kerja karyawan (Y)

diperkirakan akan meningkat atau menurun sebesar 0,458 X1, untuk

peningkatan atau penurunan satu unit pemberian kompensasi (X1) dan

akan meningkat atau menurun sebesar 0,356, untuk peningkatan atau

penurunan satu unit motivasi kerja (X2). Besarnya sumbangan relatif

variabel pemberian kompensasi (X1) terhadap efektivitas kerja karyawan

(Y) sebesar 52,09% dan sumbangan relatif variabel motivasi kerja (X2)

terhadap efektivitas kerja karyawan (Y) sebesar 47,91%. Sumbangan

efektif variabel pemberian kompensasi (X1) terhadap efektivitas kerja

karyawan (Y) sebesar 17,47% dan sumbangan efektif variabel motivasi

kerja (X2) terhadap efektivitas kerja karyawan (Y) sebesar 16,07%.

13 | P a g e
CHAPTER III

THEORETICAL FRAMEWORK

3.1. Persepsi Terhadap Kompensasi

3.1.1. Definisi Persepsi

14 | P a g e
Persepsi merupakan proses kognitif yang mempunyai arti

penting dalam memberikan arti pada lingkungan dan perilaku

seseorang. Persepsi adalah proses kognitif yang kompleks

melalui pandangan terhadap perbedaan antara kondisi yang

dipandang dengan kondisi nyata. Dalam proses ini individu

memilih, mengatur, menyimpulkan, dan menarik suatu stimulus

dan kondisi ke dalam gambaran yang berarti bagi mereka

(Luthans, 1998).

Sedangkan menurut Gibson (1997) mengatakan bahwa

persepsi adalah proses dari seseorang dalam memahami

lingkungannya yang melibatkan pengorganisasian dan

penafsiran sebagai rangsangan dalam suatu pengalaman

psikologis.

3.1.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Persepsi

Individu dapat melihat hal yang sama, tetapi mempunyai

persepsi yang berbeda. Berbagai faktor membentuk dan

15 | P a g e
mengacaukan persepsi (Kertonegoro, 1997).

a. Perseptor (perceiver).

Persepsi dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadi dari

perseptor, antara lain: sikap (attitudes), motif

(motives), kepentingan (interests), pengalaman-

pengalaman masa lalu (past experiences), dan harapan

(expectations).

b. Target atau Obyek.

Sifat-sifat pada target atau obyek yang diobservasi

dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Orang

yang bersuara keras (vokal) lebih mendapat perhatian

dalam suatu kelompok daripada orang yang diam. Oleh

karena target tidak dapat dilihat dalam isolasi, maka

16 | P a g e
hubungan dari suatu target dengan latar belakangnya

mempengaruhi persepsi, demikian juga tendensi

manusia untuk mengelompokkan hal-hal yang dekat

dengan atau serupa dalam kelompok yang sama.

c. Situasi atau keadaan.

Situasi atau konteks dimana manusia melihat obyek

atau peristiwa mempunyai peranan penting. Unsur-

unsur pada lingkungan sekitarnya mempengaruhi

persepsi.

3.2. Definisi Kompensasi

Masalah kompensasi bukan hanya penting karena merupakan

dorongan utama seseorang menjadi karyawan, tetapi masalah

kompensasi merupakan hal yang penting karena kompensasi yang

17 | P a g e
diberikan ini sangat besar pengaruhnya terhadap semangat dan

kegairahan kerja para karyawannya. Salah satu tujuan utama

seseorang menjadi karyawan adalah karena adanya kompensasi.

Dengan kompensasi yang diterimanya, karyawan berkeinginan agar

dapat memenuhi kebutuhan secara minimal. Kompensasi merupakan

pengeluaran dan biaya bagi perusahaan. Perusahaan mengharapkan

agar kompensasi yang dibayarkan memperoleh imbalan prestasi kerja

yang lebih besar dari karyawannya.

Dengan demikian maka setiap perusahaan dapat menetapkan

kompensasi yang paling tepat sehingga dapat menopang tercapainya

tujuan perusahaan perusahaan secara efektif dan efisien. Untuk lebih

jelasnya, berikut ini akan diajukan beberapa definisi kompensasi dari

para ahli manajemen.

Definisi kompensasi menurut Martoyo (1994), adalah Pengaturan

keseluruhan pemberian balas jasa bagi employer maupun employees

baik yang langsung berupa uang maupun yang tidak langsung berupa

uang. Sedangkan menurut Hasibuan (1990), kompensasi adalah

semua pendapatan yang berbentuk uang/barang atau barang

langsung/tidak langsung yang diterima oleh karyawan sebagai

18 | P a g e
imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan, dan definisi

kompensasi menurut Saydam (1996), kompensasi adalah balas jasa

(reward) perusahaan terhadap pengorbanan waktu, tenaga dan

pikiran yang telah diberikan mereka kepada perusahaan.

Dengan definisi yang telah disampaikan di atas, dapat

disimpulkan sebagai berikut bahwa kompensasi adalah balas jasa yang

diberikan oleh perusahaan kepada seseorang yang telah

menyumbangkan pikiran atau hasil kerja kerja kepada perusahaan,

sedangkan kompensasi itu sendiri dapat berupa balas jasa yang

berbentuk material atau non material yang diberikan langsung

maupun tidak langsung. Suatu kompensasi harus memiliki dasar yang

logis, rasional dan kuat (tidak mudah goyah, karena benar dan adil).

Bertolak dari pendapat-pendapat tersebut di atas, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pengertian

kompensasi meliputi unsur - unsur sebagai berikut :

19 | P a g e
1. Kompensasi merupakan balas jasa yang diberikan karyawan

dan cenderung dibayarkan tetap.

2. Kompensasi merupakan dorongan utama seseorang menjadi

karyawan dan besar pengaruhnya terhadap semangat dan

kegairahan kerja.

3. Kompensasi mempunyai efek yang positif, maka minimal

jumlah yang dibutuhkan haruslah dapat memenuhi

kebutuhan minimal.

4. Kompensasi yang diberikan harus mampu meningkatkan

kegairahan kerja, sehingga efektifitas dan efisiensi dari

karyawan dapat dipertahankan dan ditingkatkan.

5. Untuk dapat menimbulkan semangat kerja, maka dalam

menetapkan jumlah kompensasi harus selalu bersifat

dinamis.

20 | P a g e
3.2.1. Fungsi Kompensasi

Menurut Martoyo (1994) fungsi-fungsi dari kompensasi

adalah sebagai berikut :

1. Pengalokasian sumber daya manusia secara produktif.

Fungsi ini menunjukkan bahwa kompensasi yang cukup baik

pada karyawan yang berprestasi baik, akan mendorong para

karyawan untuk bekerja dengan baik dan ke arah pekerjaan-

pekerjaan yang lebih produktif.

2. Penggunaan sumber daya manusia secara lebih efisien

dan efektif.

Dengan pemberian kompensasi yang tinggi kepada

21 | P a g e
seseorang karyawan mengandung implikasi bahwa

organisasi akan menggunakan tenaga karyawan tersebut

dengan seefisien dan seefektif mungkin, disinilah

produktivitas karyawan sangat menentukan.

3. Mendorong stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.

Sebagai akibat alokasi dan penggunaan sumber daya

manusia dalam organisasi yang bersangkutan secara efisien

dan efektif tersebut, maka dapat diharapkan bahwa sistem

pemberian kompensasi tersebut secara langsung dapat

membantu stabilitas organisasi dan secara tidak langsung

ikut andil mendorong stabilitas dan pertumbuhan ekonomi

secara keseluruhan.

3.2.2. Tujuan Pemberian Kompensasi

22 | P a g e
Martoyo (1994) juga menjelaskan bahwa pemberian

kompensasi dalam suatu organisasi secara jelas mengandung

tujuan tujuan positif. Tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Karyawan menerima kompensasi berupa upah, gaji atau

bentuk lainnya adalah untuk dapat memenuhi

kebutuhan sehari-harinya.

2. Pengkaitan kompensasi dengan produktivitas kerja.

Dalam pemberian kompensasi yang makin baik akan

mendorong karyawan untuk bekerja dengan semakin

produktif. Semakin tinggi produktivitasnya, maka ongkos

karyawan per unit/produksi semakin rendah.

23 | P a g e
3. Pengkaitan kompensasi dengan sukses perusahaan.

Hal ini berarti pemberian kompensasi yang tinggi harus

dihubungkan atau diperbandingkan dengan persyaratan

yang harus dipenuhi oleh karyawan yang bersangkutan

pada jabatan dan kompensasi yang tinggi tersebut.

24 | P a g e
3.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompensasi

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perumusan

penetapan kompensasi tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Kebenaran dan keadilan.

Pemberian kompensasi kepada masing-masing karyawan

harus sesuai dengan kemampuan, kecakapan, pendidikan

dan jasa yang telah ditunjukan kepada organisasi.

2. Dana organisasi.

Kemampuan organisasi untuk dapat melaksanakan

kompensasi baik berupa finansial maupun non finansial

amat tergantung kepada dana yang terhimpun untuk

25 | P a g e
keperluan tersebut.

3. Serikat pekerja.

Hal tersebut dapat mempengaruhi pelaksanaan atau

penetapan kompensasi dalam organisasi dan merupakan

“simbol kekuatan” karyawan dalam menuntut perbaikan

nasib.

4. Produktivitas kerja.

Faktor tersebut mempengaruhi penilaian atas prestasi kerja

karyawan.

5. Biaya hidup.

26 | P a g e
Penyesuaian besarnya kompensasi, terutama yang berupa

gaji/upah, dengan biaya hidup karyawan beserta

keluarganya. Tetapi cukup sulit dalam pelaksanaannya,

karena biaya hidup seseorang relatif sifatnya.

6. Pemerintah.

Pemerintah ikut andil juga dalam menentukan upah

minimum (UMR) ataupun jumlah jam kerja karyawan.

3.3. Sikap Proaktif

3.3.1. Pengertian Sikap Proaktif

Menurut Pedler (1997), bersikap proaktif adalah

kecenderungan menanggapi peristiwa dengan maksud tertentu.

27 | P a g e
Para karyawan yang proaktif memiliki beberapa maksud dan

tujuan yang ingin dicapai, bukan sekadar menanggapi tujuan.

Mereka memang tidak bisa merencanakan segalanya dengan

hati-hati sejak awal, tetapi ketika membuat semacam tanggapan,

karyawan yang proaktif dapat mempertimbangkannya dalam

jangkauan jangka panjang. Karyawan yang sukses mampu

memberikan tanggapan yang segera dikaitkan dengan maksud

atau tujuan keseluruhan dan jangka panjang, sedangkan

karyawan yang kurang sukses memberikan respon terhadap

tekanan yang tiba-tiba dengan cara yang relatif tidak kritis atau

kurang pertimbangan. Kategori kemampuan ini mencakup

kualitas seperti melihat pekerjaan secara lebih mendalam,

berdedikasi dan bertanggungjawab, memiliki “rasa” atas misi,

dan mengambil alih tanggungjawab untuk sesuatu yang terjadi

daripada menghindari dengan melepaskan tanggung jawab

kepada orang lain.

Menurut Covey (1998), proaktif berarti sebagai manusia

individu bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, perilaku

individu adalah fungsi dari keputusan individu sendiri dan

individu tersebut mempunyai tanggung jawab untuk membuat

segala sesuatunya terjadi.

28 | P a g e
Manusia sebagai individu yang proaktif selalu berusaha keras

secara tepat dan arah tujuannya adalah konsepsi yang

mempersatukan kehidupan individu. Syarat utamanya adalah

individu harus memiliki suatu penetapan tujuan yang harus

diperjuangkan. Asumsi dasar proaktif terletak pada sifat dasar

manusia yang bergerak kearah penyatuan kehidupan yang relatif.

Manusia hidup di dunia untuk tujuan masa depan, ambisi

kehidupan, dan usaha keras yang dihasilkan dari dalam dirinya

sendiri.

3.3.2.Model Proaktif

Victor Frankl adalah salah satu dari banyak orang yang

mampu mengembangkan kebebasan pribadi dalam keadaan sulit

untuk mengangkat dan mengilhami orang lain. Dalam

menemukan prinsip dasar sifat manusia, Frankl (dalam Covey,

1998) menggambarkan sebuah peta diri yang akurat dan dari

mana ia mulai mengembangkan kebiasaan pertama yang paling

mendasar dari manusia yang paling efektif pada lingkungan

apapun. Peta tersebut dinamakan model proaktif yang dapat

dilihat pada gambar 3.1. berikut ini:

29 | P a g e
Gambar 3.1. Model Proaktif

Walaupun kata proaktif sekarang sudah lumayan lazim

ditemukan pada literatur manajemen, kata ini lebih daripada

sekedar mengambil inisiatif. Kata ini berarti bahwa sebagai

manusia, seorang karyawan bertanggungjawab atas hidupnya

sendiri. Perilaku seorang karyawan adalah fungsi dari

keputusannya, dan bukan kondisi yang ada. Individu dapat

30 | P a g e
menomerduakan perasaan sesudah nilai serta mempunyai inisiatif

dan tanggung jawab untuk membuat segala sesuatunya terjadi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karyawan yang

proaktif tetap dipengaruhi stimulus dari luar, entah secara fisik,

sosial, atau psikologis. Namun respon mereka terhadap stimulus

tersebut, sadar atau tidak sadar, didasarkan pada pilihan atau

respons yang didasari oleh nilai-nilai tertentu yang dianutnya

seperti berdedikasi dan bertanggungjawab, mempunyai inisiatif –

kreatif, prinsip yang diyakini, tujuan jangka panjang serta kualitas

pekerjaan.

3.4. Motivasi Kerja Karyawan

3.4.1. Pengertian Motivasi Kerja

Menurut Siagian (2000) motivasi bukanlah suatu perkara

yang mudah, baik memahaminya, apalagi dalam menerapkannya.

31 | P a g e
Tidak mudah dikarenakan berbagai alasan dan pertimbangan.

Akan tetapi yang jelas adalah bahwa dengan motivasi yang tepat

maka para pegawai akan terdorong untuk berbuat semaksimal

mungkin dalam melaksanakan tugasnya, karena meyakini bahwa

dengan keberhasilan organisasi dalam mencapai bebagai tujuan

dan sasarannya, maka kepentingan-kepentingan pribadi dari para

anggota organisasi tersebut ikut terjaga dan terpelihara pula.

Lebih lanjut, Siagian (1995) menyatakan pula bahwa yang

menjadi sasaran utama dalam pemberian motivasi oleh para

pimpinan kepada bawahannya adalah peningkatan prestasi kerja

para bawahan yang bersangkutan dalam rangka pencapaian

tujuan dan berbagai sasaran organisasi. Namun, prestasi kerja

tersebut tidak dapat ditingkatkan hanya melalui pemberian

motivasi saja, karena merupakan “perkalian” antara kemampuan

dan motivasi.

Gibson (1997) mengemukakan bahwa motivasi kerja adalah

dorongan - dorongan yang timbul pada atau dalam diri seseorang

yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku. Jadi motivasi

merupakan suatu sikap seseorang terhadap tugas-tugasnya yang

32 | P a g e
mengarah pada kepuasan kerja.

Sedangkan menurut Kertonegoro (1997) dinyatakan bahwa

motivasi adalah kemauan untuk melakukan tingkat upaya yang

tinggi ke arah tujuan organisasi, yang dipengaruhi oleh

kemampuan upaya untuk memenuhi kebutuhan individual. Unsur

upaya meliputi baik intensitasnya (orang berusaha keras) maupun

mutunya (upaya yang diarahkan pada/atau konsisten dengan

tujuan organisasi).

Proses timbulnya motivasi umumnya diawali dengan

munculnya suatu kebutuhan (needs) yang belum terpenuhi

sehingga menyebabkan adanya ketidakseimbangan antara fisik

dan psikologis dalam diri seseorang. Kemudian

ketidakseimbangan tersebut menyebabkan orang berusaha untuk

menguranginya dalam berprilaku tertentu. Usaha inilah yang

disebut dorongan (drives), misalnya kebutuhan makan

diwujudkan dalam bentuk dorongan rasa lapar dan kebutuhan

untuk berteman menjadi dorongan untuk bersosialisasi.

Selanjutnya orang tersebut akan menerima insentif (incentive)

sebagai akibat dari usaha yang ia lakukan (Luthans, 1995).

33 | P a g e
3.4.2. Macam-macam Motivasi

Perilaku seseorang itu pada hakikatnya merupakan

pencerminan keinginannya untuk mencapai beberapa tujuan,

keinginan itulah yang disebut dengan motivasi. Banyak istilah

yang digunakan untuk menyebut motivasi, antara lain kebutuhan

(needs), desakan (urges), keinginan (wishes), dan dorongan

(drives).

Keragaman dan kekuatan motivasi dapat berubah sewaktu-

waktu. Keragaman motivasi disebabkan oleh beranekaragamnya

keinginan yang ingin dicapai seseorang, sedangkan kekuatan

motivasi terjadi karena kepuasan kebutuhan, yakni seseorang

telah mencapai kepuasan atas kebutuhan yang dimiliki.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja

sangat penting artinya bagi para karyawan ataupun para

pimpinan, karena dengan motivasi yang tinggi, maka pekerjaan

(tugas) dapat dilakukan dengan bersemangat dan bergairah

34 | P a g e
sehingga akan dicapai suatu hasil yang optimal (prestasi tinggi),

yang tentunya akan mendukung tercapainya tujuan yang

diinginkan secara efisien dan efektif.

Sehubungan dengan pendapat di atas, secara sederhana dapat

motivasi kerja dapat dibedakan menjadi dua bentuk (Nawawi,

1998) antara lain:

1. Motivasi internal/intrinsik. Motivasi ini merupakan

pendorong kerja seseorang yang bersumber dari dalam

diri pekerja sebagai individu, berupa kesadaran

mengenai pentingnya atau manfaat/makna pekerjaan

yang dilaksanakan. Dengan kata lain, motivasi ini

bersumber dari pekerjaan yang dikerjakan, baik karena

mampu memenuhi kebutuhan atau menyenangkan atau

memungkinkan tercapainya suatu tujuan, maupun

karena memberikan harapan tertentu yang positif di

masa depan (masa yang akan datang). Misalnya,

seorang karyawan yang bekerja secara berdedikasi

tinggi semata-mata hanya karena merasa memperoleh

kesempatan untuk mengaktualisasikan atau

35 | P a g e
mewujudkan realisasi dan aktualisasi dirinya secara

maksimal.

2. Motivasi eksternal/ekstrinsik. Motivasi ini merupakan

pendorong kerjayang bersumber dari luar diri pekerja

sebagai individu, yang berupa suatu kondisi yang

mengharuskannya melaksanakan pekerjaan secara

maksimal. Misalnya, Misalnya, seorang karyawan yang

bekerja secara berdedikasi tinggi semata-mata hanya

karena upah atau gaji yang tinggi, jabatan atau posisi

kerja yang lebih terhormat atau karena pujian, dan lain-

lain.

Lebih lanjut mengenai hal ini, Luthans (1995) pun menjelaskan

bahwa secara garis besar motivasi dapat dapat dibagi tiga, antara

lain:

1. Motivasi Primer

36 | P a g e
Pemakaian istilah primer secara tidak langsung

menunjukkan prioritas dari kedua jenis motivasi

lainnya. Ada dua kriteria agar suatu motivasi dapat

dikategorikan sebagai motivasi primer:

a. Tidak dapat dipelajari (uncleared)

b. Didasarkan atas motivasi fisiologis

Beberapa motif yang dikategorikan sebagai motivasi

primer adalah lapar, haus, tidur, seks, dan lain

sebagainya.

2. Motivasi Sekunder

Motivasi sekunder erat kaitannya dengan

37 | P a g e
pembelajaran, khususnya perinsip penguatan yang

secara konseptual dan praktikal ada hubungannya

dengan motivasi. Ada beberapa motivasi penting yang

termasuk dalam kategori motivasi sekunder, yakni

antara lain:

a. Motivasi kekuasaan, yaitu kebutuhan untuk

memanipulasi orang atau melebihi orang lain.

b. Motivasi prestasi, yaitu keinginan untuk

melaksanakan pekerjaan sesuai dengan

standard of excellence atau mencapai sukses

dalam persaingan.

c. Motivasi afiliasi, merupakan motivasi sosial

dimana seseorang membutuhkan untuk dimiliki

dan diterima kelompok.

38 | P a g e
d. Motivasi keamanan, adalah motivasi yang sangat

kuat di lingkungan yang dinamis, karena

seseorang seringkali merasa tidak aman atau

tidak dapat mengikuti ritme perubahan.

e. Motivasi status, merupakan suatu kedudukan

yang relatif dari seseorang dalam suatu

kelompok, organisasi, dan masyarakat. Penilaian

status akan sangat tergantung pada nilai dan

peranan sosial di masyarakat.

3. Motivasi Umum

Motivasi ini sering dinamakan motivasi pendorong (the

stimulus motivation) dan yang termasuk di dalamnya

adalah keingintahuan (courages), manipulasi, aktivitas,

dan kasih sayang. Motivasi umum ternyata juga lebih

relevan penerapannya daripada motivasi primer dalam

perilaku organisasi.

39 | P a g e
3.4.3. Teori-teori Motivasi Kerja

Pada bagian ini akan disampaikan dua teori tentang motivasi

kerja yaitu Teori Isi (Content Theory) dan Teori Proses (Process

Theory), yang masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Teori Isi (Content Theory)

Teori Isi dari motivasi kerja mencoba menentukan apa

sajakah hal-hal yang memotivasi orang dalam bekerja.

Teori ini menekankan arti pentingnya pemahaman faktor-

faktor yang ada dalam diri individu yang menyebabkan

mereka bertingkah laku. Teori Isi terlihat sangat

sederhana, yang diperlukan manajer adalah bagaimana

menebak kebutuhan para karyawan dengan mengamati

perilaku mereka, kemudian memilih cara apa yang akan

digunakan supaya mereka melaksanakan atau bertindak

sesuai dengan keinginan manajer. Teori Isi kadang-

kadang juga disebut Teori Kebutuhan, teori-teori tersebut

40 | P a g e
diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Teori Hierarkhi Kebutuhan dari Maslow

Teori ini menganggap bahwa dalam diri setiap

manusia terdapat hirarki lima kebutuhan, yaitu

berturut-turut:

1. Kebutuhan fisiologis, berupa: pangan, sandang,

tempat tinggal dan kebutuhan primer lainnya.

2. Kebutuhan atas jaminan keamanan (rasa

aman), yaitu: rasa aman dan terlindung dari

resiko fisik dan mental.

3. Kebutuhan sosial, termasuk: persahabatan,

41 | P a g e
keakraban, penerimaan, keterikatan.

4. Kebutuhan harga diri, seperti: dihormati,

disegani, diakui, kewibawaan.

5. Kebutuhan aktualisasi diri, berupa: prestasi,

perkembangan, tanggung jawab, kepuasan diri.

Gambar 3.2. Piramida Hierarkhi Kebutuhan

Maslow

42 | P a g e
Sumber:http://www.psywww.com/intropsych/ch09_mot

ivation/maslows_hierarchical_theory_of_motivation

Jika suatu kebutuhan telah terpenuhi maka

kebutuhan berikutnya menjadi dominan. Untuk

memotivasi seseorang, perlu diketahui tingkat

hierarkhi kebutuhannya saat ini, dan memusatkan

perhatian pada pemenuhan kebutuhan tersebut dan di

atas tingkat tersebut.

Teori ini mengelompokkan kelima kebutuhan

dalam dua golongan utama, yaitu :

• Kebutuhan urutan-bawah, yaitu kebutuhan

fisiologis dan keamanan yang umumnya dipenuhi

dari luar karyawan, seperti upah, pensiun, asuransi

yang diberikan perusahaan.

43 | P a g e
• Kebutuhan urutan-atas, yaitu kebutuhan sosial,

harga diri, dan aktuliasasi diri yang dipenuhi dari

dalam diri karyawan itu sendiri, seperti rasa puas,

diakui, diterima.

Pada teori ini, Maslow mengasumsikan bahwa

apabila seseorang tersebut berusaha memenuhi

kebutuhan yang lebih mendasar (fisiologi) sebelum

menggerakkan perilaku dalam memuaskan kebutuhan

seseorang yang lain (pegawai) yang sangat kuat, maka

semakin kuat pula motivasi orang tersebut untuk

menggunakan perilaku yang mengarah pada

pemenuhan dan pemuasan atas kebutuhannya.

Maslow pun menegaskan bahwa kebutuhan yang telah

terpenuhi bukanlah merupakan faktor motivator,

melainkan kebutuhan yang belum terpenuhi yang

menjadi faktor motivator.

Lebih lanjut Siagian (2000) mengoreksi teori yang

dikemukakan oleh Maslow. Ditegaskan bahwa istilah

hierarkhi dapat diartikan sebagai tingkatan (anak

tangga). Logikanya adalah bahwa dengan menaiki

anak tangga, berarti harus dimulai dari anak tangga

yang pertama, menuju anak tangga yang kedua, dan

seterusnya. Apabila konsep tersebut diaplikasikan

pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang

44 | P a g e
tersebut tidak akan berusaha dapat memuaskan

kebutuhannya pada tingkat kedua sebelum

memuaskan kebutuhannya pada tingkat pertama

terpenuhi, dan begitu seterusnya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih

tepat apabila berbagai kebutuhan manusian dapat

digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai

susunan hierarkhi, yang artinya sambil memuaskan

kebutuhan fisik, seseorang tersebut maka pada waktu

yang bersamaan, dapat menikmati rasa aman, merasa

dihargai, memerlukan sosialisasi serta ingin tumbuh

dan berkembang.

2. Teori ERG dari Alderfer

Teori ini berusaha meninjau kembali Teori

Hierarkhi Kebutuhan Maslow, agar lebih sesuai

dengan hasil riset empiris. Revisi terhadap hierarkhi

kebutuhan berupa penggolongannya menjadi tiga

kelompok kebutuhan inti, yang disingkat ERG, yaitu:

• Eksistensi (existence), yang menyangkut pemberian

persyaratan keberadaan material dasar manusia,

seperti: sandang, pangan, tempat tinggal,

keamanan.

• Keterikatan (relatedness), yaitu keinginan untuk

45 | P a g e
memelihara hubungan-hubungan antar-pribadi,

termasuk: status, interaksi, sosialisasi.

• Pertumbuhan (growth), berupa keinginan intrinsik

akan pengembangan diri, seperti: keinginan untuk

maju, berprestasi, bertanggungjawab.

Berbeda dengan Teori Hierarkhi Kebutuhan

Maslow, Teori ERG Alderfer menunjukkan bahwa:

• Lebih dari satu kebutuhan bisa timbul bersamaan

(kebutuhan majemuk), misalnya kebutuhan atas

pertumbuhan biasanya muncul bersama-sama

dengan eksistensi dan keterikatan.

• Jika pemenuhan tingkat kebutuhan lebih tinggi

terhambat, keinginan memenuhi tingkat

kebutuhan yang lebih rendah meningkat (dimensi

regresi-frustasi).

Oleh karena itu, Teori ERG dianggap lebih realistis

daripada Teori Hierarkhi Kebutuhan.

2. Teori Proses (Process Theory)

Pendekatan teori ini menentukan pada bagaimana

dan dengan tujuan apa setiap individu dapat

dimotivasi. Dalam pandangan ini kebutuhan

hanyalah salah satu elemen dalam suatu proses

tentang bagaimana para individu bertingkah laku.

46 | P a g e
Dasar teori ini adalah adanya pengharapan

(expectation) yaitu apa saja yang dipercayai oleh para

individu akan mereka peroleh dari tingkah laku

mereka. Faktor tambahan dari teori ini adalah

kekuatan (valensi) dari preferensi individu terhadap

hasil yang diharapkan.

1. Teori Harapan dari Vroom

Manusia merupakan makhlul yang rasional, oleh

karena itu ia dapat menilai berbagai perilaku dan

menentukan pilihan perilaku yang mengarah pada

tujuan sesuai dengan harapannya. Teori Harapan

menyatakan bahwa kecenderungan berperilaku

dengan cara tertentu tergantung pada kekuatan

harapannya bahwa perilaku tersebut akan

memberikan hasil yang menarik bagi individu

tersebut. Teori ini menunjukkan hubungan antara:

upaya dengan prestasi, prestasi dengan imbalan, dan

imbalan dengan kepuasan tercapainya tujuan.

Menurut Robbins (1996), kuatnya kecenderungan

untuk bertindak dalam suatu cara tertentu tergantung

pada kekuatan suatu pengharapan bahwa tindakan itu

akan diikuti oleh suatu bentuk keluaran (output)

tersebut bagi individu itu. Dengan kata lain, seorang

pegawai termotivasi menuju tingkat upaya yang lebih

47 | P a g e
tinggi apabila dia meyakini bahwa upaya itu akan

mengantarkannya ke suatu penilaian kinerja yang

baik. Suatu penilaian yang baik mendorong ganjaran

operasional, seperti: bonus, gaji, naik, promosi dan

ganjaran (kompensasi) yang memuaskan impian

pegawai-pegawai tersebut.

Selanjutnya tingkat motivasi seseorang tergantung

atas persepsi terhadap valensi, instrumentalisasi dan

ekspektasinya di dalam melaksanakan pekerjaan

(tugas). Apabila motivasinya tinggi maka ia akan

dapat melaksanakan pekerjaannya sendiri dengan

efektif, maka kinerja yang dicapai akan dihargai

dengan imbalan (kompensasi) yang sesuai dan akan

dapat memuaskan kebutuhannya.

Valensi merupakan kekuatan dari suatu preferensi

individu atas suatu hasil tertentu, yaitu sebuah

penilaian subyektif yang terkait pada suatu imbalan

(kompensasi). Instrumentalitas merupakan korelasi

antara kinerja dan imbalan, yaitu penilaian subyektif

seseorang yang tidak dapat dilawan oleh orang lain

(dalam hal ini adalah pimpinan) secara langsung, akan

tetapi pimpinan dapat mempengaruhi secara positif

persepsi bawahannya atas instrumentalitas ini dengan

mempertautkan imbalan dan kinerja serta

48 | P a g e
mengkomunikasikan secara efektif kepada

bawahannya. Ekspektasi merupakan harapan dan

keyakinan dari seseorang bahwa upaya yang

dilakukannya pasti membuahkan hasil kinerja, yaitu

perasaan subyektif tentang kemungkinan seseorang

itu dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik.

Hubungan antara valensi, instrumentalitas, dan

ekspektasi dapat dilihat pada gambar 3.3 sebagai

berikut:

Upaya Kinerj Ganja Tujua


Individ a ran n-
ual Indivi Tujua

Gambar 3.3. Hubungan antara Expectacy, Valency dan


Instrumentality
Sumber: Robbins, Stephen P, 1996, Perilaku Organisasi, Jilid 1

Lebih lanjut, Robbins (1996) menegaskan bahwa

Teori Harapan ini difokuskan pada tiga bentuk

hubungan, antara lain:

a. Hubungan upaya-kinerja, merupakan suatu

probabilitas yang dipersepsikan oleh individu

yang mengeluarkan sejumlah upaya tertentu itu

49 | P a g e
akan mendorong kinerjanya. Tingkat upaya

pegawai di dalam melaksanakan tugasnya

memberikan gambaran kemungkinan

terpuaskannya kebutuhan dalam organisasi.

Kepuasan ini sangat berpengaruh terhadap

besar terhadap besar produktivitas yang

dihasilkannya. Tingkat produktifitas yang

tinggi akan memberikan jaminan atas baik

buruknya kinerja atau penampilannya

(performances).

b. Hubungan kinerja-ganjaran, merupakan suatu

derajat sejauhmana individu itu meyakini

bahwa kinerja pada suatu tingkat tertentu akan

mendorong tercapainya suatu bentuk keluaran

(output) yang diinginkan. Dalam hal ini,

seorang pimpinan harus dapat mempengaruhi

persepsi pegawai dan organisasi untuk dapat

menjamin adanya ganjaran yang dapat

diterima (kompensasi) jika dapat berprestasi

atau berkinerja bagus. Pemberian kompensasi

tersebut berdasarkan atas kinerja, bukan

semata-mata atas faktor-faktor nonkinerja,

seperti: senioritas, sikap kooperatif, tingkat

50 | P a g e
upaya kerja, tingkat keterampilan,

sulit/mudahnyanya suatu pekerjaan, inisiatif,

keberanian ataupun kesetiaan (loyalitas).

c. Hubungan ganjaran-tujuan, merupakan derajat

sejauhmana ganjaran-ganjaran organisasional

dapat memenuhi tujuan-tujuan atau kebutuhan

pribadi dan dari seorang individu dan potensial

bagi seorang individu tersebut. Dalam hal

ini,seorang pimpinan perlu secara emosional

mengerti apa yang diharapkan oleh

bawahannya, untuk dapat dipuaskan dengan

ganjaran dari organisasi (kompensasi).

Selanjutnya ganjaran tersebut juga harus

mampu menjadi daya tarik yang

memungkinkan pegawai yang bersangkutan

untuk meningkatkan potensi kinerjanya.

Teori Harapan mengandung empat tahap, yaitu:

• Persepsi individu atas imbalan yang dapat

diberikan oleh pekerjaannya. Imbalan positif

dapat berupa: bayaran, jaminan, kepercayaan,

hubungan baik; sedangkan imbalan negatif

dapat berupa: kecapaian, kebosanan, frustasi,

ancaman.

51 | P a g e
• Daya tarik imbalan bagi individu, yang

tergantung pada nilai-nilai, kepribadian, dan

kebutuhannya.

• Jenis perilaku yang harus dihasilkan individu

untuk memperoleh imbalan. Jenis perilakunya

tergantung kepada pengetahuan karyawan

mengenai kriteria atau penilaian prestasi yang

diterapkan kepadanya.

• Pandangan individu atas kemungkinannya

mendapatkan imbalan. Pandangan tersebut

tergantung pada kemampuannya

mengendalikan faktor-faktor yang

menentukan keberhasilan.

Jadi Teori Harapan menekankan pentingnya

persepsi individu atas hasil atau imbalan (dan bukan

kenyataan), tanpa menghiraukan apakah persepsinya

itu benar atau keliru.

2. Teori Motivasi Orientasi dari Lawler

Teori Motivasi dari Lawler menyatakan bahwa teori

harapan dari motivasi dengan versi orientasi masa

yang akan datang juga menentukan antisipasi

52 | P a g e
tanggapantanggapan atau hasil-hasil.

Model harapan ini menyajikan sejumlah implikasi

bagi manajer tentang bagaiamana seharusnya

memotivasi bawahan dan juga implikasi bagi

organisasi. Implikasi-implikasi model bagi manajer

mencakup:

• Pemberian penghargaan yang sesuai dengan

kebutuhan bawahan.

• Penentuan prestasi yang diinginkan.

• Pembuatan tingkat prestasi yang dapat dicapai.

• Penghubungan penghargaan dan prestasi.

• Penganalisaan faktor-faktor apa yang bersifat

berlawanan dengan efektifitas penghargaan.

• Penentuan penghargaan yang mencukupi dan

memadai.

3. Teori Keadilan dari Adams

Teori keadilan (Equity Theory) menyatakan bahwa

individu membandingkan masukan pekerjaannya

(upaya yang disumbangkan) dengan keluaran

(imbalan yang diterima) antara diri dan

pembandingnya, kemudian melakukan reaksi

53 | P a g e
terhadap ketidakadilan yang dialaminya.

Pembanding (referent) yang dipilih untuk

perbandingan tersebut dapat berupa dirinya sendiri

baik didalam maupun diluar organisasinya sekarang,

atau individu lain baik yang didalam maupun diluar

organisasinya.

Fokus dari Teori Keadilan (Islamy, 1995) ini lebih

diarahkan pada hal-hal sebagai berikut:

1. Keadilan distributif, merupakan keadilan yang

dipersepsikan dari banyaknya dan alokasi

ganjaran di antara individu-individu yang ada.

2. Keadilan prosedural, merupakan keadilan yang

dipersepsikan dari proses yang digunakan untuk

menetapkan distribusi ganjaran.

Keadilan distributif mempunyai pengaruh yang

lebih besar pada kepuasan pegawai daripada keadilan

prosedural, sedangkan keadilan prosedural

berpengaruh lebih besar pada komitmen

organisasional pegawai dan kepercayaan pada atasan.

Oleh karena itu, setiap pegawai termotivasi untuk

diperlakukan secara adil dalam bekerja sehingga

mereka cenderung membandingkan banyaknya

54 | P a g e
imbalan yang diterima dengan yang diterima oleh

orang lain. Pada situasi dan kondisi yang sama, jika

terjadi perbedaan antara jumlah imbalan yang

diterima dibandingkan dengan usaha yang telah

dilakukan, maka mereka cenderung mengadakan

pengurangan terhadap upayanya.

Perbedaan yang dianggap menimbulkan

ketidakadilan ini terjadi apabila rasio antara job

inputs (usaha, kinerja, keahlian, dan pendidikan)

dibandingkan dengan job outputs (promosi, gaji,

penghargaan, prestasi, status) memiliki perbedaan

yang berjenjang antara karyawan satu dengan

karyawan yang lainnya. Sehingga tanpa disadari,

perbedaan yang terjadi itu bahkan secara ekstrim

dapat memicu terjadinya konflik.

Sebagai contoh apabila pegawai A diberi gaji lebih

rendah dari pegawai B, maka terdapat tiga

kemungkinan perilaku yang dilakukan oleh pegawai A,

antara lain:

 Pegawai A akan menuntut gaji yang sama dengan

pegawai B

55 | P a g e
 Pegawai A akan mengurangi job inputsnya;

mereduksi produktifitas kerjanya dengan cara

menambah jam istirahatnya.

 Apabila gaji pegawai A sama dengan gaji pegawai

B, maka ia akan menambah job inputsnya atau

mengurangi job outputsnya.

Kelemahan dari Teori Keadilan ini antara lain:

1. Teori ini terpaku membahas masalah gaji (job

outcomes), sehingga secara metodologis, teori

ini mengabaikan masalah penarikan sampel

dan masalah generalisasi tingkat pekerjaan

yang berbeda-beda dalam organisasi yang

berbeda-beda pula.

2. Teori ini terlalu memfokuskan diri pada aspek

gaji (job outcomes), padahal gaji bukanlah

satu-satunya faktor yang memotivasi

seseorang dalam bekerja.

Sedangkan kekuatan dari teori ini terletak pada

penelitiannya. Penelitian ini umumnya mendukung

prediksi teori keadilan tentang pemberian gaji yang

56 | P a g e
rendah (underpayment) dan sayangnya tidak

memprediksi pemberian gaji yang berlebih

(overpayment).

Maka berdasarkan Teori Keadilan, seseorang

pimpinan harus mempertimbangkan hal-hal sebagai

berikut:

1. Hendaknya sistem pemberian imbalan

kepada pegawai menganut azas keadilan agar

tidak membangkitkan masalah yang berkaitan

dengan menurunnya produktivitas, moralitas

dan semangat kerja.

2. Pengambilan keputusan dengan pemberian

imbalan harusnya didasarkan pada

perbandingan pegawai-pegawai itu dengan

pegawai-pegawai yang lain, baik di dalam

maupun di luar organisasi tersebut, bukan

atas pertimbangan pribadi.

Robbins (1996) memberikan acuan empat variabel

untuk mempertimbangkan keadilan di dalam

memberikan imbalan kepada pegawai, yaitu: jenis

kelamin, masa kerja, tingkatan dalam organisasi dan

jenjang pendidikan atau profesionalisme.

57 | P a g e
4. Teori Penguatan dari Skinner

Teori Penguatan (reinforcement theory)

menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh (atau

merupakan fungsi dari) konsekuensinya. Bila

konsekuensinya menyenangkan, seperti mendapat

pujian, promosi, imbalan, maka suatu perilaku akan

diulang atau diperkuat. Bila konsekuensinya tidak

menyenangkan, seperti mendapat celaan, peringatan,

hukuman, maka suatu perilaku tersebut tidak akan

diulangi.

Teori penguatan menganggap perilaku disebabkan

oleh lingkungan, yaitu apa yang diterima dari luar

sebagai konsekuensi dari perilakunya. Teori ini

mengabaikan keadaan internal individu berupa faktor-

faktor kognitif seperti perasaan, sikap, harapan yang

mempengaruhi perilaku.

Bila manajer ingin memberi motivasi karyawannya,

maka harus memperkuat perilaku yang diinginkan

melalui konsekuensi imbalan, dan memperlemah

perilaku yang tidak diinginkan melalui hukuman.

3.4.3.Fungsi Motivasi

Menurut Hasibuan (1996) ada beberapa fungsi motivasi,

58 | P a g e
antara lain:

1. Mendorong gairah dan semangat kerja

2. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja

3. Meningkatkan produktivitas kerja

4. Mempertahankan loyalitas dan kestabilan kerja

5. Meningkatkan kedisiplinan

6. Mengefektifkan pengadaan karyawan

7. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik

8. Meningkatkan kreativitas dan partisipasi

9. Meningkatkan tingkat kesejahteraan

10. Meningkatkan rasa tanggungjawab terhadap tugas

11. Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan

59 | P a g e
bahan baku, dan lain sebagainya.

3.4.4.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja

Herzberg yang tergabung dalam "Psychological Service

Pittsburgh", memperluas Hierarkhi Kebutuhan dari Maslow dan

mengembangkan suatu Teori Motivasi Kerja secara khusus.

Berdasarkan penelitiannya terhadap lebih dari 200 akuntan dan

ahli mesin, Herzberg mengambil kesimpulan bahwa ada dua

kelompok faktor yang mempengaruhi motivasi kerja seseorang

dalam organisasi, yaitu pemuas kerja (job satisfier) yang

berkaitan dengan isi pekerjaan dan penyebab ketidakpuasan

kerja (job dissatisfier) yang bersangkutan dengan suasana kerja.

Satisfier disebut dengan istilah motivator dan dissatisfier

disebut sebagai faktor-faktor higienis (hygiene factors). Dengan

menggabungkan kedua istilah tersebut, teori yang dikemukakan

Herzberg dikenal sebagai Teori Motivasi Dua Faktor.

Faktor-faktor higienis, seperti istilah medis, adalah bersifat

preventif dan merupakan faktor lingkungan, dan secara kasar

ekuivalen dengan kebutuhan - kebutuhan tingkat dasar Maslow.

Faktor-faktor higienis ini bukan sebagai sumber kepuasan kerja,

tetapi justru sebaliknya sebagai sumber ketidakpuasan kerja.

Faktorfaktor tersebut antara lain:

60 | P a g e
1. Kebijaksanaan dan administrasi perusahaan

(company policy and administration)

2. Supervisi (technical supervisor)

3. Hubungan antarpribadi (interpersonal relation)

4. Kondisi kerja (working condition)

5. Gaji (wages)

Faktor yang lain adalah faktor-faktor yang berperan sebagai

motivator terhadap karyawan, yaitu mampu memuaskan dan

mendorong orang-orang untuk bekerja dengan baik. Faktor-

faktor ini secara kasar ekuivalen dengan kebutuhan tingkat atas

Maslow. Menurut Herzberg, seorang karyawan harus

mempunyai pekerjaan yang lebih menantang, lebih banyak

tuntutan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan agar

dia dapat termotivasi. Faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Keberhasilan pelaksanaan (achievement)

2. Pengakuan (recognition)

61 | P a g e
3. Pekerjaan itu sendiri (the work itself)

4. Pengembangan (development)

3.4.5. Unsur-Unsur Penggerak Motivasi

Motivasi tenaga kerja akan ditentukan oleh motivatornya,

Motivator yang dimaksud adalah merupakan mesin penggerak

motivasi tenaga kerja sehingga menimbulkan pengaruh perilaku

individu tenaga kerja yang bersangkutan. Sagir (1985)

mengemukakan unsur-unsur penggerak motivasi sebagai

berikut:

1. Prestasi (achievement)

Seseorang yang memiliki keinginan berprestasi

sebagai suatu "kebutuhan" atau needs dapat

mendorongnya mencapai sasaran. Mc Clelland

menyatakan bahwa tingkat "Needs of Achievement”

(N-Ach) yang telah menjadi naluri kedua (second

nature), merupakan kunci keberhasilan seseorang. N-

Ach biasanya juga dikaitkan dengan sikap positif,

keberanian mengambil resiko yang diperhitungkan

62 | P a g e
(calculated risk) untuk mencapai suatu sasaran yang

telah ditentukan. Melalui suatu Achievement

Motivation Training (AMT) maka entrepreneurship,

sikap hidup untuk berani mengambil resiko untuk

mencapai sasaran yang lebih tinggi dapat

dikembangkan.

2. Penghargaan (recognition)

Penghargaan pengakuan atau recognition atas suatu

prestasi yang telah dicapai oleh seseorang akan

merupakan motivator yang kuat. Pengakuan atas

suatu prestasi, akan memberikan kepuasan batin yang

lebih tinggi daripada penghargaan dalam bentuk

materi atau hadiah. Penghargaan atas pengakuan

dalam bentuk piagam atau medali, dapat menjadikan

motivator yang lebih kuat dibandingkan dengan

hadiah berupa barang atau bonus dan uang.

3. Tantangan (challenges)

Adanya tantangan yang dihadapi, merupakan

motivator kuat bagi manusia untuk mengatasinya.

Suatu sasaran yang tidak menantang atau dengan

mudah dapat dicapai biasanya tidak mampu menjadi

motivator, bahkan cenderung untuk menjadi kegiatan

rutin. Tantangan demi tantangan biasanya akan

menumbuhkan kegiatan kegairahan untuk

63 | P a g e
mengatasinya.

4. Tanggung Jawab (responsibility)

Adanya rasa ikut serta memiliki (sense of belonging)

akan menimbulkan motivasi untuk ikut merasa

bertanggungjawab. Dalam hal ini Total Quality

Control (TQC), atau dalam istilah bahasa

Indonesianya Peningkatan Mutu Terpadu (PMT) yang

bermula dari negara Jepang (Japanese Management

Style), berhasil memberikan tekanan pada tenaga

kerja, bahkan setiap tenaga kerja dalam tahapan

proses produksi telah turut menyumbang, suatu

proses produksi sebagai mata rantai dalam suatu

sistem akan sangat ditentukan oleh tanggungjawab

subsistem dalam proses produksinya, sebagai hasil

rasa tanggung jawab kelompok (subsistem) maka

produk akhir merupakan hasil dari Total Quality

Control atau Peningkatan Mutu Terpadu. Tanggung

jawab merupakan kelompok dalam mata rantai proses

produksi tersebut, merupakan QCC (Quality Control

Circle = PMT/Kelompok Peningkatan Mutu Terpadu),

merupakan tanggung jawab bersama.

5. Pengembangan (development)

Pengembangan kemampuan seseorang baik dari

pengalaman kerja atau kesempatan untuk maju, dapat

64 | P a g e
merupakan motivator kuat bagi tenaga kerja untuk

bekerja lebih giat atau lebih bergairah. Apalagi jika

pengembangan perusahaan selalu dikaitkan dengan

prestasi atau produktivitas tenaga kerja.

6. Keterlibatan (involvement)

Rasa ikut terlibat (involved) dalam suatu proses

pengambilan keputusan atau bentuknya, dapat pula

"kotak saran" dari tenaga kerja, yang dijadikan

masukan untuk manajemen perusahaan, merupakan

motivator yang cukup kuat untuk tenaga kerja. Tenaga

kerja merasa diikutsertakan dalam proses

pengambilan keputusan atau langkah-langkah

kebijakan yang akan diambil manajemen. Rasa

terlibat akan menumbuhkan rasa ikut bertanggung

jawab, rasa dihargai yang merupakan "tantangan"

yang harus dijawab, melaui peran serta dan prestasi

untuk mengembangkan usaha maupun

pengembangan pribadi. Adanya rasa keterlibatan

(involvement) bukan saja menciptakan rasa memiliki

(sense of belonging) dan rasa turut bertanggung jawab

(sense of responsibility), tetapi juga menimbulkan

rasa untuk mawas diri serta bekerja lebih baik,

menghasilkan produk yang lebih bermutu.

7. Kesempatan (opportunity)

65 | P a g e
Kesempatan untuk maju dalam bentuk jenjang karir

yang terbuka, dari tingkat bawah sampai tingkat atas

(top-level management) akan merupakan motivator

untuk berprestasi atau bekerja produktif.

3.5. Hubungan Persepsi Terhadap Kompensasi Dengan Motivasi

Kerja

Setiap perusahaan akan selalu berusaha agar motivasi kerja dari

para karyawannya dapat ditingkatkan atau selalu tinggi. Pada

umumnya motivasi kerja karyawan dipengaruhi oleh persepsi mereka

terhadap kompensasi yang diberikan perusahaan, persepsi yang tinggi

terhadap kompensasi yang diberikan akan memberikan pengaruh

positif pada motivasi kerja.

Untuk mencapai sasaran berupa motivasi kerja, perusahaan dapat

menawarkan kemungkinan kompensasi yang bermacam-macam

sesuai dengan perilaku yang diharapkan akan ditimbulkan

kompensasi tersebut. Permotivasian dengan uang, demikian juga

faktor lain, baru akan berhasil apabila karyawan menginginkan dan

yakin bahwa uang tersebut akan diperoleh jika mereka berperilaku

dengan cara yang ditentukan. Dengan demikian, akibat nyata dari

pengaruhnya tergantung pada penilaian karyawan atas nilai uang

dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi dan kekuatan

66 | P a g e
pengharapan (expectation) bahwa perilaku yang ditentukan itu akan

benar-benar mengakibatkan diperolehnya imbalan atau ganjaran yang

ditawarkan (Flippo, 1993).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Besser (1995) pada Toyota

Motor Manufacturing di Kentucky USA, menyimpulkan bahwa

pengaruh yang positif pada karyawan dalam pencapaian tujuan

perusahaan dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap kompensasi

yang diberikan perusahaan.

Para karyawan akan menilai secara subyektif kemungkinan bahwa

kompensasi yang diinginkan akan benar-benar diperoleh. Hal

tersebut memerlukan pertimbangan atas dua hal penting yaitu,

kemampuan pribadi untuk melakukan tindakan yang diharuskan dan

persepsi bahwa perilaku semacam itu akan benar-benar diganjar.

Washington mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa

terus menerus memberikan sumbangan bagi kesejahteraan materi,

intelek dan moral di tempat dia hidup, bila ia tak merasakan adanya

ganjaran yang memadai (dalam Bremer, 1995).

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa rasa puas

terhadap kompensasi yang diterima akan berpengaruh terhadap

motivasi kerja. Hal ini berarti bila seorang karyawan yang tidak

merasa puas dengan kompensasi yang didapatnya, maka motivasi

kerjanya akan menurun.

3.6. Hubungan Sikap Proaktif Dengan Motivasi Kerja

67 | P a g e
Menurut Gibson (1995) sikap seorang karyawan dapat menghambat

prestasi kerjanya. Hal tersebut dapat diartikan bahwa karyawan yang

mempunyai sikap proaktif akan mempunyai kemungkinan yang lebih

besar untuk berhasil dalam pekerjaannya, semakin sering ia berhasil

dalam pekerjaannya maka semakin tinggi pula motivasi kerjanya.

Menurut Dharma (1992) motivasi kerja di kalangan karyawan

menjadi sangat penting karena motivasi merupakan modal utama

untuk menumbuhkan sikap proaktif sehingga akan mendorong

seseorang untuk melakukan sesuatu, yang pada akhirnya akan terkait

dengan upaya untuk mencapai tujuan atau sasaran organisasi.

Sebuah kerangka kualitas, keterampilan, dan kompetensi untuk

manajemen pengembangan diri memperhatikan suatu pendekatan

yang proaktif untuk menjadi seorang manajer. Sebuah perusahaan

pembelajaran (learning company) mengharuskan karyawan-

karyawannya memanajemeni dirinya sendiri dan belajar untuk dirinya

sendiri, kolega-koleganya, dan untuk perusahaan secara keseluruhan

(Pedler, 1997).

Penelitian yang dilakukan oleh Dwiatmika (1996) menyimpulkan

bahwa seseorang yang bersikap proaktif dan memiliki tujuan yang

spesifik akan lebih berprestasi dan dengan sendirinya motivasi kerja

akan baik.

Bisnis, kelompok masyarakat, segala bentuk organisasi dapat

menjadi proaktif. Mereka dapat menggabungkan kreativitas dan

sumber daya dari individu-individu yang proaktif untuk menciptakan

68 | P a g e
budaya proaktif dalam organisasi.

Organisasi tidak selalu berada di bawah kekuasaan lingkungan;

organisasi dapat mengambil inisiatif untuk mencapai nilai-nilai dan

tujuan-tujuan bersama dari individu-individu yang terlibat (Covey,

1997).

Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli di atas maka jelas bahwa

individu - individu yang bersikap proaktif -dengan memiliki beberapa

maksud dan tujuan yang ingin dicapai dan bukan hanya sekedar

menanggapi tuntutan yang ada- akan mempunyai motivasi kerja yang

tinggi. Situasi lingkungan kerja yang kondusif terhadap inisiatif dan

kreatifitas dari para karyawannya, serta pemberian tanggung jawab

akan mempengaruhi motivasi kerja karyawan.

69 | P a g e
CHAPTER IV

RESEARCH METHODS

4.1. Research Design

Dalam penelitian ini ada tiga macam data yang dikumpulkan,

antara lain:

1. Data tentang persepsi terhadap kompensasi

2. Data tentang sikap proaktif

3. Data tentang motivasi kerja

Data penelitian ini diperoleh dengan menggunakan data-data

kuantitatif, dengan menggunakan skala Linkert (Linkert’s scale)

dengan menggunakan empat rating jawaban, sebagai berikut:

70 | P a g e
“Sangat Setuju” (SS), “Setuju” (S), “Tidak Setuju” (TS), “Sangat

Tidak Setuju” (STS).

Nilai bergerak dari skala empat sampai satu. Sedangkan untuk

pertanyaan negatif (reverse) skor yang diberikan terbalik, sebagai

berikut:

“Sangat Setuju” (1), “Setuju” (2), “Tidak Setuju” (3), dan “Sangat

Tidak Setuju” (4).

Total skor persepsi terhadap kompensasi, sikap proaktif, dan

motivasi kerja dicari dengan menjumlahkan skor/bobot jawaban

setiap item pertanyaan.

4.2. Sources of Data

Data merupakan bahan paling penting dalam melakukan penelitian.

Bahan penelitian tersebut diambil berdasarkan sumber data penelitian

yang dibutuhkan. Untuk penelitian ini, dibutuhkan sumber-sumber

data yang berasal dari:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan dan diolah sendiri

oleh organisasi atau orang yang menerbitkan atau

menggunakannya (Soeratno dan Arsyad, 1988). Dalam

penelitian ini data primer adalah data yang dikumpulkan dari

responden yang berupa jawaban kuisioner. Data juga diperoleh

71 | P a g e
dengan cara menyebarkan kuisioner kepada karyawan.

Menurut Emory (1991), metode kuisioner adalah suatu metode

pengumpulan data yang berupa pertanyaan atau pernyataan

yang harus dijawab secara tertulis oleh subyek penelitian.

Asumsi yang dipakai melalui penggunaan kuesioner ini adalah:

a. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang keadaan

dirinya.

b. Apa yang dinyatakan oleh subyek kepada peneliti

adalah benar dan dapat dipercaya.

c. Interprestasi subyek tentang pertanyaan atau

pernyataan yang diajukan kepadanya adalah sama

dengan apa yang dimaksud oleh peneliti.

2. Data Sekunder

Selain data primer, penelitian ini juga menggunakan data

sekunder yaitu data yang diterbitkan atau digunakan oleh orang

atau organisasi yang bukan pengolahnya (Soeratno dan Arsyad,

1988). Data sekunder dalam penelitian ini antara lain data

mengenai sejarah berdirinya perusahaan, tujuan perusahaan,

letak geografis, sumber daya manusia, struktur organisasi,

tugas dan wewenang, sistem kompensasi, fasilitas yang tersedia,

dan gambaran strategis perusahaan.

72 | P a g e
4.3. Method of Data Collection

Procedure

Subjek penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah

karyawan-karyawan Shangri-La Hotel Surabaya, dengan karakteristik

sebagai berikut: telah menjadi karyawan tetap dengan masa kerja satu

tahun dan berlatar belakang pendidikan minimal SLTA. Metode yang

digunakan yaitu pengambilan sampel secara acak (random sampling).

Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan 100 kuesioner dengan

pertanyaan tertutup melalui Man Power Departement yang ada pada

Shangri-La Hotel Surabaya. Para responden diambil secara acak dari

seluruh departemen yang ada, antara lain: Front Office,

Housekeeping, Man Power, Food & Beverage, Accounting, dan

Marketing.

4.4. Methods of Data Analysis

Setelah mendapatkan data-data kasar maka langkah selanjutnya

adalah melakukan analisis data, yang bertujuan untuk

menyederhanakan data dalam bentuk yang mudah dibaca dan

diinterprestasikan.

a. Uji Validitas

Validitas merupakan tingkat kemampuan suatu instrumen

untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi sasaran

73 | P a g e
pokok pengukuran dari instrumen tersebut. Suatu

instrumen dinyatakan valid jika instrumen tersebut

mampu mengukur apa yang ingin diukur dan mampu

mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan.

Uji validitas dalam penelitian ini dengan menggunakan

kriteria yang diambil dari alat ukur itu sendiri dengan cara

mengkorelasikan antara skor item dengan skor total

(keseluruhan item), yang disebut validitas item yang

menggunakan kriteria internal. Untuk mengetahui

validitas dari butir-butir yang ditanyakan dalam kuisioner,

digunakan teknik statistik korelasi product moment dari

Pearson dengan rumus:

Keterangan :

r xy = korelasi product momen

N = jumlah sampel / responden

X = skor butir

Y = skor total

74 | P a g e
Dengan menggunakan bantuan program Statistical

Package for Social Science (SPSS) 16.0 For Windows,

validitas suatu instrumen dinyatakan dalam nilai-nilai

hasil analisis skor tiap butir terhadap nilai totalnya.

Apabila skor nilai totalnya menunjukkan tanda positif dan

bertanda ”*” maka berarti butir tersebut berkorelasi yang

valid pada taraf signifikansi 5% (0,05) atau tanda “**”,

berarti berkorelasi yang valid pada taraf signifikansi 1%

(0,01).

b. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas hanya dilakukan pada butir-butir yang

valid, dimana butir-butir yang valid diperoleh melalui uji

validitas. Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui

sejauhmana suatu alat ukur dapat dipercaya atau

diandalkan. Bila suatu alat ukur dipakai dua kali untuk

mengukur gejala yang sama dan hasil pengukurannya

relatif sama maka alat ukur tersebut reliabel. Uji

reliabilitas dilakukan dengan bantuan Seri Program

Statistik (SPS), Program Analisa Butir, Edisi Sutrisno Hadi

dan Yuni Pamardiningsih, UGM, versi IBM/In.

c. Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi berganda digunakan untuk menentukan

signifikansi hubungan antara variabel independen yaitu

75 | P a g e
persepsi terhadap kompensasi dan sikap proaktif dengan

variabel dependen yaitu motivasi kerja karyawan. Dalam

penelitian ini persamaan regresinya adalah sebagai

berikut:

Y = a + b1 X1 + b2 X2

Keterangan :

Y = motivasi kerja karyawan

a = konstanta

X1 = persepsi terhadap kompensasi

X2 = sikap proaktif

b1 dan b2 = koefisien regresi

Sedangkan perhitungan statistiknya dilakukan dengan

komputasi melalui bantuan program Statistical Package

for Social Science (SPSS) 16.0 For Windows.

BIBLIOGRAPHY

Azwar, Saifudin., 2000, Sikap Manusia ; Teori dan Pengukurannya,


edisi ke-2, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

76 | P a g e
Barnes, M.C; A.H. Fogg; C.N. Stephens; dan L.G. Titman, 1988,
Organisasi Perusahaan : Teori dan Praktek, alih bahasa oleh
Bambang Kussriyanto, LPPM, Jakarta.

Besser, Terry L, 1995, Reward and Organizational Goal


Achievement: A Case Study of Toyota Motor Manufacturing in
Kentucky, Journal of Management.

Bremer, S.N., 1993, 366 Esai untuk Memotivasi Diri, alih bahasa oleh
Frans Kowa, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

Covey, Stephen R., 1998, The Seven Habits Of Highly Effective People,
alih bahasa oleh Budijanto, proofreader Lyndon Saputra, Bina
Rupa Aksara, Jakarta.

Dessler, Gary, 1995, Personnel Management 3rd Edition, alih bahasa


oleh Agus Darma, Erlangga, Jakarta.

Dwiatmika, 1996, Faktor Kepercayaan Diri dan Proaktif dalam


Pengaruhnya Terhadap Kinerja Karyawan di PT United
Traktor, Skripsi (tidak diterbitkan), Fakultas Psikologi UGM,
Yogyakarta.

Emory, William C.; and Donald R. Cooper, 1991, Business Research


Methods, fourth edition, Boston Richard D. Irwin, INC.

Flippo, Edwin B., 1993, Personnel Management; Sixth Edition, alih


bahasa Moh. Masud, Erlangga, Jakarta.

Greenberg, Jerald; dan Robert A. Baron, 1997, Behavior in


Organizations: Understanding and Managing The Human
Side of Work, Sixth Edition, Prentice-hall international, INC.
Gibson, James L; John M. Ivancevich; dan James H. Donnelly, Jr.,
1997, Organizations; Behavior, Structure and Processes, Ninth
Edition, Irwin.

Hasibuan, Malayu, 1990, Manajemen Sumber Daya Manusia, Mas

77 | P a g e
Agung, Jakarta.

Kertonegoro, Sentanoe, 1997, Perilaku di Tempat Kerja, YTKI,


Jakarta.

Luthans, Fred, 1998, Organizational Behavior, Eighth Edition,


McGraw-Hill.

Martoyo, Susilo, 1994, Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi ke-


3, BPFE, Yogyakarta.

Pedler, Mike; John Burgoyne; dan Tom Boydell, 1997, Kiat


Mengembangkan Diri: Pedoman Praktis Menuju Sukses, alih
bahasa oleh Faisal Mustafa, LPPM, Jakarta.

Program Studi MMUGM, 1999, Petunjuk Penulisan Usulan Penelitian


dan Tesis, Yogyakarta.

Sagir, Soeharsono, 1985, Motivasi dan Disiplin Kerja Karyawan


Untuk Meningkatkan Produktivitas dan Produksi, Seri
Produktivitas II, LSIUP.

Saydam, Gouzali, 1996, Manajemen Sumber Daya Manusia, Gunung


Agung, Jakarta.

Singarimbun, Masri; dan Sofian Effendi, 1989, Metode Penelitian


Survai, Edisi Revisi, LP3S, Jakarta.

78 | P a g e

You might also like