You are on page 1of 22

Dalam penelitian ilmiah dikenal dua jenis penelitian yaitu penelitian

dengan pendekatan kuantitatif atau penelitian kuantitatif dan penelitian dengan


pendekatan kualitatif atau penelitian kualitatif. Sebelum dijelaskan paradigma dari
setiap jenis penelitian tersebut dan bagaimana implementasinya, akan diuraikan
terlebih dahulu perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif.
Perbedaan-perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif
baik yang dikemukakan oleh Suparlan maupun oleh Creswell, Denzin & Lincoln,
Guba & Lincoln, Moustyan yang akan diuraikan di bawah ini merupakan prinsip-
prinsip implementasi dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.

Perbedaan Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif


Suparlan (1997) menjelaskan perbedaan penelitian kuantitatif dengan
penelitian kualitatif sebagai berikut:

a) Penelitian Kuantitatif
Landasan berpikir pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme
yang pertama kali diperkenalkan oleh Emile Durkhim (1964). Pandangan
filsafat positivisme adalah bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud
dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta
sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan
memandangnya sebagai “benda,” seperti benda dalam ilmu pengetahuan
alam. Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati fakta sosial
untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan
fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan
suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif
diperlukan dalam analisis yang dapat dipertanggungjawabkan
kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan
model hubungan variabel bebas dan variabel tergantung (Suparlan,
1997:95).
Pada buku yang lain Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif
memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik
tertentu dalam kehidupan manusia, yang dinamakan variabel. Hakikat
hubungan antara variabel-variabel dianalisa dengan menggunakan teori yang
objektif. Karena sasaran kajian dari penelitian kuantitatif adalah gejala-gejala,

1
sedangkan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu tidak terbatas
banyaknya dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan variasi dan
hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik. Statistik dalam
penelitian kuantitatif berguna untuk menggolong-golongkan dan
menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan ketepatan yang dapat
diukur, termasuk juga dalam penganalisaan dari data yang telah dikumpulkan
(Suparlan, 1994:6-7).

b) Penelitian Kualitatif
Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max
Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan
gejala-gejala sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-
tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial
tersebut. Oleh karena itu metoda yang utama dalam sosiologi dari Max Weber
adalah verstehen atau pemahaman (jadi bukan erklaren atau penjelasan). Agar
dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang
peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat
memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat
pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam
gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan, 1997:95).
Pada buku yang lain, Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kualitatif
memusatkan perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan
satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola.
Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan
dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai
pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi
dengan menggunakan teori yang objektif. Penelitian kualitatif sasaran
kajiannya adalah pola-pola yang berlaku yang merupakan prinsip-prinsip yang
secara umum dan mendasar berlaku dan menyolok berdasarkan atas kehidupan
manusia, maka juga analisis terhadap gejala-gejala tersebut tidak dapat tidak
harus menggunakan kebudayaan yang bersangkutan sebagai kerangka
acuannya. Karena kalau menggunakan kebudayaan lain atau kerangka acuan

2
lainnya maka maknanya adalah menurut kebudayaan lain; tidak objektif,
sehingga pendekatan kualitatif tidak relevan (Suparlan, 1994:6-7).
Dari uraian Suparlan tersebut sudah jelas perbedaan yang fundamental
antara penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Agar terdapat
gambaran yang lebih rinci perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian
kualitatif akan dik
emukakan pandangan Cresswell (1994), Denzin & Lincoln (1994), Guba
& Lincoln (1994), dan Moustyan (1995) (dalam Neuman, 1997:14) sebagai
berikut.

Quantitative Style (Model Kuantitatif)


a. Measure objective facts (mengukur fakta yang objektif)
b. Focus on variables (terfokus pada variabel-variabel)
c. Reliability is key (reliabilitas merupakan kunci)
d. Value free (bersifat bebas nilai)
e. Independent of context (tidak tergantung pada konteks)
f. Many cases subjects (terdiri atas kasus atau subjek yang banyak)
g. Statistical analysis (menggunakan analisis statistik)
h. Researcher is detached (peneliti tidak terlibat)

Qualitative Style (Model Kualitatif)


a. Construct social reality, cultural meaning (mengonstruksi realitas sosial,
makna budaya)
b. Focus on interactive processes, events (berfokus pada proses interpretasi dan
peristiwa-peristiwa)
c. Authenticity is key (keaslian merupakan kunci)
d. Values are present and explicit (nilai hadir dan nyata / tidak bebas nilai)
e. Situationally constrained (terikat pada situasi / terikat pada konteks)
f. Few cases subjects (terdiri atas beberapa kasus atau subjek)
g. Thematic analysis (bersifat analisis tematik)
h. Researcher is involved (peneliti terlibat)

3
Penjelasan dan contoh Model Kuantitatif
a. Mengukur fakta yang objektif
Setiap fakta atau fenomena yang dalam penelitian kuantitatif dijadikan
variabel (hal-hal yang pokok dalam suatu masalah) untuk mendapatkan
objektivitas, variabel tersebut harus diukur. Misalnya untuk mengetahui
kualitas atau kadar atau tinggi rendahnya motivasi kerja karyawan suatu
perusahaan dilakukan tes atau dengan kuesioner yang disusun berdasarkan
komponen-komponen/unsur-unsur/indikator-indikator dari variabel penelitian
yang dalam hal ini motivasi kerja karyawan.

b. Terfokus pada variabel-variabel


Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu ditentukan variabel-variabel
atau hal-hal pokok yang terdapat dalam suatu masalah/gejala/fenomena.
Penentuan variabel-variabel tersebut berdasarkan hukum sebab-akibat, suatu
gejala yang terjadi merupakan akibat dari gejala yang lain atau karena adanya
hubungan atau pengaruh gejala lain. Di sini terjadi cara berpikir nomotetik.
Misalnya dalam suatu perusahaan terjadi gejala penurunan produktivitas kerja
karyawan. Selanjutnya dilakukan pengkajian secara teoritis faktor-faktor apa
yang menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas kerja tersebut.
Misalnya secara teori ditemukan bahwa produktivitas kerja dipengaruhi oleh
faktor-faktor motivasi kerja dan kepemimpinan manajer. Kemudian pengaruh
atau hubungan dari data hasil pengukuran masing-masing variabel diuji secara
statistik apakah benar variabel motivasi kerja dan kepemimpinan manajer
mempunyai pengaruh atau mempunyai hubungan dengan variabel
produktivitas kerja. Dan apakah pengaruh atau hubungan tersebut signifikan
atau dapat dipercaya (mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi). Apabila
hasil analisis statistik menyatakan variabel-variabel tersebut mempunyai
pengaruh atau hubungan secara signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa
produktivitas kerja karyawan dipengaruhi oleh variabel motivasi kerja dan
kepemimpinan manajer atau mempunyai hubungan dengan motivasi kerja dan
kepemimpinan manajer.
Catatan: Analisis statistik yang dipergunakan untuk mengukur pengaruh suatu
variabel pada variabel lain berbeda dengan analisis statistik yang dipergunakan
untuk mengukur hubungan suatu variabel dengan suatu variabel yang lain atau

4
beberapa variabel. Analisis statistik untuk mengukur pengaruh suatu variabel
pada variabel yang lain di antaranya menggunakan analisis statistik multiple
regression (regresi ganda), sedangkan untuk mengukur hubungan suatu
variabel dengan variabel lain di antaranya menggunakan analisis statistik
correlation (korelasi) misalnya correlation product-moment (korelasi product-
moment) dari Carl Pearson atau Spearman-Brown.

c. Reliabilitas merupakan kunci


Reliabilitas atau keajegan suatu tes atau kuesioner mempunyai arti
bahwa tes atau kuesioner tersebut menghasilkan skor yang relatif sama
walaupun dilakukan pada waktu yang berbeda. Suatu alat ukur atau instrumen
penelitian (misalnya tes atau kuesioner) apabila memiliki reliabilitas yang
tinggi akan menyebabkan hasil penelitian itu akurat. Oleh karena itu,
reliabilitas merupakan kunci dalam penelitian kuantitatif, karena apabila alat
ukur atau instrumen penelitian reliabel (terpercaya), maka akan berdampak
hasil penelitian akurat. Di samping alat ukur harus reliabel dipersyaratkan pula
harus valid (sahih) atau memiliki validitas (kesahihan). Suatu instrumen
penelitian dikatakan valid atau memiliki validitas apabila dapat mengukur apa
yang seharusnya diukur.
Catatan: Uji statistik untuk mengukur reliabilitas diantaranya adalah Analisis
Alpha Cronbach dan KR-20 (Kuder-Richardson 20). Sedangkan uji statistik
untuk mengukur validitas dilakukan di antaranya dengan mengorelasikan skor
setiap item dengan skor total (jumlah seluruh skor item dikurangi skor item
yang dikorelasikan).

d. Bebas nilai
Dalam penelitian kuantitatif pengujian terhadap gejala/fenomena tidak
dikaitkan dengan budaya atau nilai-nilai budaya masyarakat yang
melatarbelakangi fenomena tersebut. Pengaruh nilai-nilai budaya terhadap
fenomena tidak diperhitungkan atau tidak diperhatikan. Sebagai contoh salah
satu komponen dari konsep diri adalah kelebihan dan kelemahan pada diri
individu. Dalam budaya Barat seorang individu untuk menyatakan kelebihan
dan kelemahan diri sendiri tidak menjadi masalah. Seorang individu untuk
dapat dikatakan memiliki konsep diri yang positif, individu tersebut dapat

5
menyatakan kelemahan dan kelebihannya di samping memiliki kriteria-
kriteria konsep diri yang lain. Sedangkan pada budaya Timur perilaku yang
demikian dapat dikategorikan perilaku sombong. Dalam penelitian kuantitatif
pengaruh nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan, karena menurut paradigma
yang dipergunakan sebagai landasan berpijak pada penelitian kuantitatif,
kriteria-kriteria konsep diri bersifat universal atau berlaku umum.

e. Tidak tergantung pada konteks


Suatu fenomena terkait dengan konteks artinya terkait dengan situasi
atau lingkungan yang menyertai fenomena tersebut. Fenomena yang sama,
konteksnya dapat berbeda. Misalnya fenomena aktualisasi diri atau kebutuhan
untuk mewujudkan kemampuan dirinya (Teori Motivasi Abraham Maslow)
bagi orang-orang perkotaan akan berbeda dengan orang-orang pedesaan.
Aktualisasi diri orang Jakarta akan berbeda dengan orang pedesaan yang
tinggal di lereng gunung Merapi, di lereng Merbabu, di pedalaman
Kalimantan, atau di pedalaman Irian Barat (Papua). Aktualisasi diri orang
Jakarta dimanifestasikan dalam kemampuan teknologi, teknologi informasi,
bahasa asing, manajemen, dan lain-lain, sedangkan orang-orang pedesaan di
lereng gunung Merapi dan Merbabu atau di pedalaman Kalimantan atau di
pedalaman Papua dimanifestasikan dalam kemampuan bertani atau bercocok
tanam, memelihara binatang, atau memburu binatang buas atau menguasai
seni lokal atau seni daerah setempat. Penelitian kuantitatif tidak tergantung
konteks dari fenomena yang diteliti.
f. Terdiri dari kasus-kasus atau subjek-subjek yang banyak
Dalam penelitian kuantitatif diperlukan adanya kasus-kasus atau subjek-subjek
yang banyak. Hal ini bertujuan agar dapat digeneralisasikan atau dapat
diberlakukan secara umum. Untuk itu terdapat terminologi populasi, sampel,
dan technique sampling (teknik menentukan sampel). Populasi adalah seluruh
atau jumlah individu dari suatu wilayah atau organisasi atau instansi atau
perusahaan yang memiliki karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari selanjutnya untuk ditarik kesimpulan. Sedang sampel adalah
sebagian dari populasi yang mewakili populasi, oleh karena itu sampel harus
representatif (harus dapat mewakili) artinya sampel harus dapat

6
menggambarkan keadaan populasi. Terdapat beberapa teknik sampling (cara
pengambilan sampel), di antaranya: total sampling, yaitu apabila seluruh
individu atau seluruh anggota populasi dijadikan sampel; stratified random
sampling, yaitu apabila setiap strata/tingkat/bagian ada wakil yang dijadikan
sampel dan dilakukan secara acak (random); purposive sampling, yaitu apabila
individu yang dijadikan sampel memiliki persyaratan tertentu sesuai tujuan
penelitian; accidental sampling, yaitu individu yang dijadikan sampel adalah
individu yang dapat ditemui; dan lain-lain. Dengan adanya sampel yang
representatif terhadap populasinya, maka penelitian cukup dilakukan terhadap
sampel, dan hasil penelitian terhadap sampel tersebut dapat digeneralisir
artinya dapat menggambarkan populasi, walaupun penelitian hanya ditujukan
pada sampel, tetapi sudah dapat untuk menggambarkan keadaan populasi.

g. Menggunakan analisis statistik


Dalam penelitian kuantitatif digunakan analisis statistik bertujuan agar dapat
mendeskripsikan secara akurat suatu fenomena (erklaren). Sedangkan dalam
penelitian kualitatif tidak menggunakan analisis statistik karena tujuannya
tidak akan mendeskripsikan suatu fenomena tetapi mencari makna guna
mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen). Terdapat beberapa
macam teknik analisis statistik, misalnya sebagaimana telah diuraikan di
depan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel yang satu
dengan variabel yang lain digunakan teknik analisis statistik korelasi product-
moment dari Carl Pearson atau dari Spearman-Brown. Untuk mengetahui ada
tidaknya pengaruh antara variabel yang satu pada variabel yang lain digunakan
analisis statistik multiple regression. Untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain digunakan
rumus t-test. Dalam penelitian kuantitatif digunakan istilah-istilah yang
spesifik dan tidak digunakan dalam penelitian kualitatif, misalnya variabel,
validitas, reliabilitas, hipotesis, signifikan, dan lain-lain. Signifikan digunakan
untuk menggambarkan apabila hubungan, perbedaan, pengaruh antara suatu
variabel dengan variabel yang lain mempunyai makna, untuk itu kemungkinan
salah perhitungannya dibatasi maksimal 5%, atau dengan simbol statistik p <
0.05. Suatu hubungan atau perbedaan atau pengaruh antara variabel yang satu

7
dengan variabel yang lain apabila p < 0.05 (tingkat kesalahan sama atau lebih
kecil dari 5%) dinyatakan signifikan atau bermakna.

h. Peneliti tidak memihak


Dalam penelitian kuantitatif peneliti tidak memihak, artinya peneliti
menghindari subjektivitas dari subjek yang diteliti. Dalam penelitian
kualitatif peneliti justru berusaha mengetahui persepsi subjektif dari subjek
yang diteliti. Hasil penelitian kualitatif merupakan hasil analisis persepsi
subjektif dari subjek yang diteliti terhadap suatu fenomena. Sedangkan
dalam penelitian kuantitatif peneliti sejauh mungkin mengeleminir
subjektivitas dari subjek yang diteliti. Oleh karena itu dalam penelitian
kuantitatif dikatakan peneliti tidak memihak.

Penjelasan dan contoh Model Kualitatif


a. Mengonstruksi realitas sosial, makna budaya
Apabila penelitian kuantitatif berusaha mengukur fakta yang objektif atau
dengan kata lain mendeskripsikan suatu fenomena atau realitas, maka
penelitian kualitatif ingin mendapatkan pemahaman yang mendalam. Untuk
itu harus mencari nomenon atau makna di balik fenomena. Atau dapat
dikatakan penelitian kuantitatif berusaha mendeskripsikan fenomena secara
akurat (erklaren), sedangkan penelitian kualitatif ingin mendapatkan makna di
balik fenomena, untuk itu perlu mendapatkan pemahaman yang mendalam
dari suatu fenomena (verstehen).
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen), tidak cukup
apabila hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga
mengapa dan bagaimana dari suatu fenomena. Mengapa suatu fenomena ada
atau terjadi, bagaimana suatu fenomena terjadi atau bagaimana proses
terjadinya suatu fenomena. Dan hal ini, yaitu pengetahuan tentang apa,
mengapa, dan bagaimana, dapat dikuasai manusia, karena manusia
mempunyai metakognisi yang mampu menghasilkan pengetahuan deklaratif
(pengetahuan tentang apa), pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang
bagaimana), dan pengetahuan kondisional (pengetahuan tentang mengapa dan
kapan) (Micchenbaum, dkk, 1985 dalam Woolfolk, 1998:267). Untuk
mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen) tidak cukup hanya

8
mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga mengapa dan
bagaimana suatu fenomena terjadi. Pendapat penulis ini mengacu pendapat
Suparlan (1997: 99) sebagai berikut: “Dalam pendekatan kualitatif,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan-pertanyaan
penelitian bukan hanya mencakup: apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana,
tetapi yang terpenting yang harus tercakup dalam pertanyaan-pertanyaan
penelitian tersebut adalah mengapa. Pertanyaan mengapa menuntut jawaban
mengenai hakikat yang ada dalam hubungan diantara gejala-gejala atau
konsep-konsep, sedangkan pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, dimana, dan
kapan menuntut jawaban mengenai identitas, dan pertanyaan bagaimana
menuntut jawaban mengenai proses-prosesnya.
Poerwandari (1998:17) menyatakan penelitian kualitatif dilakukan untuk
mengembangkan pemahaman. Penelitian kualitatif membantu mengerti dan
menginterpretasi apa yang ada di balik peristiwa: latar belakang pemikiran
manusia yang terlibat di dalamnya, serta bagaimana manusia meletakkan
makna pada peristiwa yang terjadi. Pengembangan hukum umum tidak
menjadi tujuan penelitian, upaya-upaya mengendalikan atau meramalkan juga
tidak menjadi aspek penting. Aspek subjektif manusia menjadi hal penting.
Penelitian kualitatif dinyatakan mengonstruksi realitas sosial, karena
penelitian kualitatif berlandaskan paradigma Konstruktivisme yang
berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan pengalaman
terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi rasio subjek yang
diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan
bukan pada objek, ini berarti ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman
semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh rasio.

b. Berfokus pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa


Penelitian kuantitatif berfokus pada variabel-variabel, bahkan sebelum
penelitian dilakukan telah ditentukan terlebih dahulu variabel-variabel yang
akan diteliti. Sedangkan dalam penelitian kualitatif, fokus perhatiannya pada
proses interaksi dan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadiannya itu sendiri,
bukan pada variabel-variabel. Bahkan fokus penelitian dapat berubah pada
waktu di lapangan setelah melihat kenyataan yang ada di lapangan. Dalam

9
penelitian kualitatif di antara teknik pengumpulan data yang dipergunakan
adalah observasi. Observasi tidak cukup apabila hanya diarahkan pada setting
saja, tetapi justru yang pokok adalah proses terjadinya peristiwa-peristiwa atau
kejadian-kejadian itu sendiri. Demikian pula observasi tidak cukup dilakukan
bersamaan dengan wawancara, tetapi observasi sebaiknya dilakukan tidak
bersamaan dengan wawancara. Apabila observasi dilakukan bersamaan
dengan wawancara, maka tidak dapat terfokus pada hal-hal yang akan
diobservasi. Walaupun memang ada perilaku yang dapat diobservasi pada
waktu diadakan wawancara, namun mengenai perilaku tersebut belum dapat
ditarik kesimpulan. Agar dapat ditarik kesimpulan maka hasil wawancara
harus dilengkapi dan dicek dengan hasil observasi yang dilakukan secara
khusus. Dengan observasi akan dapat diketahui tentang proses interaksi atau
kejadian-kejadiannya sendiri. Atau dengan kata lain, dengan observasi
terutama observasi langsung tidak hanya akan dapat menjawab pertanyaan
tentang apa, tetapi juga bagaimana dan mengapa. Dengan diketahuinya tentang
apa, bagaimana, dan mengapa, maka masalah akan dapat dipahami secara
mendalam (verstehen).

c. Keaslian merupakan kunci


Dalam penelitian kuantitatif, reliabilitas merupakan kunci, jadi analisis
statistik mempunyai fungsi yang sangat strategis. Dalam penelitian kualitatif
keaslian merupakan kunci, sehingga penelitian kualitatif ini juga dikatakan
sebagai penelitian alamiah (naturalist inquiry). Dalam penelitian kualitatif
tidak ada usaha untuk memanipulasi situasi maupun setting. Sebaliknya
penelitian kuantitatif justru sering melakukan manipulasi situasi maupun
setting penelitian. Misalnya dalam metoda eksperimen, situasi dapat
dimanipulasi dengan subjek diatur sehingga homogen dengan dipilih sesuai
kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu, dengan ditiadakannya pengaruh
dari variabel kontrol, adanya treatment (perlakuan khusus) misalnya diberikan
terapi khusus atau diberikan pelatihan khusus, dan lain-lain. Sebaliknya
penelitian kualitatif melakukan studi terhadap fenomena dalam situasi dan
setting sebagaimana adanya. Guba seperti yang dikutip Patton (1990 dalam
Poerwandari, 1998:30) mendefinisikan studi dalam situasi alamiah sebagai

10
studi yang berorientasi pada penemuan (discovery-oriented). Penelitian
demikian secara sengaja membiarkan kondisi yang diteliti berada dalam
keadaan sesungguhnya, dan menunggu apa yang akan muncul atau ditemukan.

d. Nilai hadir dan nyata (tidak bebas nilai)


Dalam penelitian kuantitatif, peneliti berusaha untuk tidak memperhatikan
atau tidak memperhitungkan nilai (bebas nilai), sebaliknya dalam penelitian
kualitatif nilai sangat diperhatikan atau diperhitungkan. Penelitian kuantitatif
memegang teguh prinsip menghindari pernyataan-pernyataan yang berkaitan
dengan nilai-nilai dalam laporan penelitian (juga dalam skripsi, tesis, disertasi)
dengan jalan menggunakan bahasa yang impersonal (misalnya tidak
menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua), membuat laporan penelitian,
mengajukan argumentasi berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam
penelitian. Sedang penelitian kualitatif menggunakan bahasa yang personal
(dapat menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua). Menurut Neuman
(1997 dalam Salim, 2001:36) dalam penelitian kualitatif para peneliti
mengetahui adanya sifat value-laden (sarat nilai-nilai subjektif si peneliti)
dalam penelitian, dan si peneliti pun secara aktif melaporkan nilai-nilai dan
bias-biasnya, serta nilai-nilai dari informasi yang dikumpulkan di lapangan.

e. Terikat pada situasi (terikat pada konteks)


Telah dijelaskan bahwa suatu fenomena terikat pada situasi yang
mengelilinginya, atau dengan kata lain selalu terikat pada konteks. Telah
dijelaskan pula di depan bahwa dalam penelitian kuantitatif karena ingin
menghasilkan data yang berlaku umum (universal), maka peneliti harus
menjaga jarak dan bebas dari pengaruh yang diteliti. Peneliti selalu berusaha
mengontrol bias, memilih percontohan yang sistematis dan berusaha objektif
dalam meneliti suatu fenomena. Sebaliknya penelitian kualitatif tidak menjaga
jarak dan tidak bebas dari yang diteliti karena ingin mengetahui persepsinya,
atau dengan kata lain ingin mengetahui persepsi subjektif dari yang diteliti.
Persepsi subjektif dari yang diteliti selalu terikat pada situasi atau terikat pada
konteks. Individu yang sedang mengalami kesedihan dapat berubah menjadi
senang atau gembira pada saat memasuki pesta ulang tahun anaknya atau
teman karibnya. Dengan adanya data yang bersifat subjektif, apa ini berarti

11
penelitian kualitatif tetap bersifat ilmiah? Walaupun datanya bersifat subjektif,
penelitian kualitatif tetap ilmiah, karena apabila data tersebut dimiliki
beberapa atau banyak individu atau dengan kata lain beberapa atau banyak
individu memiliki data yang sama dengan subjek yang diteliti, maka hasil
penelitian seperti ini disebut bersifat intersubjektif. Dalam penelitian
kualitatif, pengertian intersubjektif sama dengan objektif.

f. Terdiri dari beberapa kasus atau subjek


Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil
penelitiannya, maka penelitian kualitatif tidak perlu meneliti banyak kasus
atau subjek. Dalam studi kasus subjek yang diteliti dapat satu tetapi dapat juga
banyak, bahkan mungkin penduduk suatu negara. Karena dalam studi kasus
yang sangat penting adalah sifatnya yang sangat spesifik. Contoh penelitian
tentang “Perkembangan Demokrasi pada Negara-negara Sosialis.” Negara-
negara yang menganut paham Sosialis menentang paham Demokrasi. Jadi
penelitian perkembangan demokrasi di negara-negara sosialis bersifat spesifik.
Sebagai contoh tidak seperti dalam penelitian kuantitatif yang mematok
jumlah subjek minimal sebanyak 30 (tiga puluh) individu agar dapat dianalisis
dengan statistik parametrik, maka dalam penelitian kualitatif tidak mematok
jumlah subjek yang diteliti.

g. Bersifat analisis tematik


Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil
penelitiannya, maka yang diteliti adalah hal-hal yang bersifat khusus atau
spesifik, dan analisisnya bersifat tematik. Misalnya tindak kekerasan terhadap
perempuan, masalah-masalah jender: perjuangan perempuan mendapatkan
perlakuan yang adil dalam lapangan pekerjaan, kasus-kasus perilaku
menyimpang, masalah kesulitan belajar bagi anak-anak yang tidak normal
(learning-disabilities), dan lain-lain.

h. Peneliti terlibat
Berbeda dengan penelitian kuantitatif di mana peneliti mengambil jarak
dengan yang diteliti agar dapat menjaga objektivitas atau menghindari
subjektivitas dari yang diteliti, maka sebaliknya penelitian kualitatif peneliti

12
tidak mengambil jarak, agar peneliti benar-benar memahami persepsi subjek
yang diteliti terhadap suatu fenomena. Untuk itu peneliti dapat melakukan
misalnya observasi terlibat (participant observation). Dengan observasi
terlibat pemahaman terhadap subjek dapat mendalam.

3. PARADIGMA DALAM PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF


a. Paradigma dalam penelitian kuantitatif
Paradigma dalam penelitian kuantitatif adalah Positivisme, yaitu suatu
keyakinan dasar yang berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan
bahwa realitas itu ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan
hukum alam (natural laws). Dengan demikian penelitian berusaha untuk
mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut
senyatanya berjalan (Salim, 2001:39).
Menurut Sarantakos (1993 dalam Poerwandari, 1998:17), Positivisme
melihat penelitian sosial sebagai langkah instrumental, penelitian dianggap
sebagai alat untuk mempelajari peristiwa dan hukum-hukum sosial pada
akhirnya akan memungkinkan manusia meramalkan kemungkinan kejadian
serta mengendalikan peristiwa.
Sedangkan Guba (1990:19) menjelaskan: “The basic belief system of
positivism is rooted in a realist ontology, that is, the belief that there exists a
reality out there, driven by immutable the natural laws.” Intinya sistem
keyakinan dasar dari Positivisme berakar pada ontologi realis yaitu percaya
akan keberadaan realitas di luar individu, yang dikendalikan oleh hukum-
hukum alam yang tetap.
Secara singkat, Positivisme adalah sistem keyakinan dasar yang
menyatakan kebenaran itu berada pada realitas yang terikat pada hukum-
hukum alam yaitu hukum kasualitas atau hukum sebab-akibat. Selanjutnya
menurut Guba (1990:20) sistem keyakinan dasar para peneliti positivis dapat
diringkas sebagai berikut:
“Ontology: Realist-reality exists “out there” and is driven by immutable
natural laws and mechanism. Knowledge of this entities, laws and
mechanisms is conventionally summarized in the form of time and context-

13
free generalizations. Some of these latter generalizations take the form of
cause-effect laws.”
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi ontologi: bersifat nyata, artinya
realita itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam
dan mekanisme yang bersifat tetap. Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri
manusia (entities), hukum, dan mekanisme-mekanisme ini secara
konvensional diringkas dalam bentuk generalisasi yang bersifat tidak terikat
waktu dan tidak terikat konteks. Sebagian dari generalisasi ini berbentuk
hukum sebab-akibat.
“Epistomology : Dualist/objectivist – it is both possible and essential for the
enquirer to adopt a distant, noninteractive posture. Value and other biasing and
confounding factors are thereby automatically excluded from influencing the
outcomes.”
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi epistomologi:
dualis/objektif, adalah mungkin dan esensial bagi peneliti untuk
mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan interaksi dengan objek
yang diteliti. Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi lainnya
secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.
“Methodology : Experimental/manipulate – questions and/or hypotheses are
studied in advance in propositional term and subjected to empirical tests
(falsification) under carefully controlled conditions.”
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi metodologi: bersifat
eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan dan/atau hipotesis-
hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan
dan diuji secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang terkontrol secara
cermat.
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh Sosiolog Aguste
Comte. Comte menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip positivisme
yang hingga kini masih banyak digunakan. John Stuart Hill dari Inggris (1843)
memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte. Sedang Emile
Durkheim (Sosiolog Perancis) mengembangkan suatu versi positivisme dalam
Rules of the Sosiological Methods (1895), yang kemudian menjadi acuan bagi
para peneliti ilmu sosial yang beraliran positivisme. Menurut Emile Durkheim

14
(1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial tersebut
meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan dan lain-lain.
Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam
penelitian positivisme informasi kebenaran itu ditanyakan oleh peneliti kepada
individu yang dijadikan responden penelitian.

b. Paradigma dalam penelitian kualitatif


Paradigma dalam penelitian kualitatif adalah Konstruktivisme, Post
Positivisme, dan Teori Kritis
a) Konstruktivisme
Guba (1990:25) menyatakan: “But philosophers of science now uniformly
believe that facts are facts only within some theoretical framework (Hesse,
1980). Thus the basis for discovering “how things really are” and “really
work” is lost. “Reality” exist only in the context of mental framework
(construct) for thinking about it.”
Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan
percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori (Hesse,
1980). Basis untuk menemukan “Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-
benar bekerja” adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam konteks suatu
kerangka kerja mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut.
Ini berarti realitas itu ada sebagai hasil konstruksi dari kemampuan
berpikir seseorang. Selanjutnya Guba (1990:25) menyatakan
“Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot
be value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it
can equally be seen only through a value window. Many constructions are
possible.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum Konstruktivis setuju dengan
pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya
dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui
jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut
Guba penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya
dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan
nilai. Beberapa hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba

15
tetapi penjelasan Guba yang terakhir tetapi penting adalah sebagai berikut:
“Finally, it depicts knwledge as the outcome or consequence of human
activity; knowledge is a human construction, never certifiable as
ultimately true but problematic and ever changing” (Guba, 1990:26).
Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat digambarkan sebagai
hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan
konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai
kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah.”
Penjelasan Guba yang terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas
manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak
merupakan kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus.
Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan
bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu
terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil
konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.
Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan
Rene Descartes (1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito
Ergo Sum,” yang artinya “Aku berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito
Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan
khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil
pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan
hasil/kerja dari indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/lidah), oleh
karena itu hasilnya kabur. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut
Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui
sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dimulai
dengan meragukan kemudian menimbulkan kesadaran, dan kesadaran ini
berada di samping materi. Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di satu
pihak berfikir, ini ada pada kesadaran, dan di pihak lain berpijak pada
materi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808).
Menurut Kant ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata merupakan
pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi oleh
rasio.

16
Selanjutnya menurut Guba (1990:27) sistem keayakinan dasar pada
peneliti Konstruktivitas dapat diringkas sebagai berikut:
“Ontology: Relativist – Realities exist in the form of multiple mental
constructions, socially and experientially based local and
specific, dependent for their form and content on the persons
who hold them.”
Asumsi ontologi: “realitivis – realitas-realitas ada dalam bentuk konstruksi
mental yang bersifat ganda, didasarkan secara sosial dan
pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya, tergantung
pada mereka yang mengemukakannya.”
“Epistomogy: Subjectivist – inquirer and inquired into are fused a single
(monistic) entity. Findings are literally the creation of the
process of interaction between the two.”
Asumsi epistimologi: “subjektif – peneliti dan yang diteliti disatukan ke
dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic).
Temuan-temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses
interaksi antara peneliti dan yang diteliti.”
“Methodology: Hermeneutic – dialectic – individual constructions are
elicited and refined hermeneutically, with the aim of
generating one (or a few) constructions on which there is
substantisl consensus.”
Asumsi metodologi: “Hermeneutik – dialektik – konstruksi-konstruksi
individual dinyatakan dan diperhalus secara hermeneutik
dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi
yang secara substansial disepakati”
b) Postpositivisme
Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut:
“Postpositivism is best characterized as modified version of positivism.
Having assessed the damage that positivism has occured, postpositivists
strunggle to limited that damage as well as to adjust to it. Prediction and
control continue to be the aim.”
Kutipan tersebut mempunyai arti Postpositivisme mempunyai ciri
utama sebagai suatu modifikasi dari Positivisme. Melihat banyaknya

17
kekurangan pada Positivisme menyebabkan para pendukung
Postpositivisme berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan
menyesuaikannya. Prediksi dan kontrol tetap menjadi tujuan dari
Postpositivisme tersebut.”
Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut:
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-
kelemahan Positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan
pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran
ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada
dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang
mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia
(peneliti). Oleh karena itu secara metodologi pendekatan eksperimental
melalui metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode,
sumber data, peneliti dan teori.
Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis hubungan antara
pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa
dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini
menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat
kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat
dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat
dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat
harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat
dikurangi secara minimal (Salim, 2001:40).
Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan
Guba, Denzin dan Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme
adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu
sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu
memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain
Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan
kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau
tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti
dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan

18
prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber
data, data, dan lain-lain.
Selanjutnya menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan dasar pada
peneliti Postpositisme adalah sebagai berikut:
“Ontology: Critical realist – reality exist but can never be fully
apprehended. It is driven by natural laws that can be only
incompletely understood.”
Asumsi ontologi: realis kritis – artinya realitas itu memang ada, tetapi
tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya. Realitas diatur
oleh hukum-hukum alam yang tidak dipahami secara sempurna.
“Epistomology: Modified objectivist – objectivity remains a regulatory
ideal, but it can only be approximated with special emphasis
placed on external guardians such as the critical tradition and
critical community.”
Asumsi epistomologi: objektivis modifikasi - artinya objektivitas tetap
merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun
objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan
khusus pada penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas
yang kritis.
“Methodology: Modified experimental/manipulative – emphasize critical
multiplism. Redress imbalances by doing inquiry in more
natural settings, using more qualitative methods, depending
more on grounded theory, and reintroducing discovery into the
inqury process.”
Asumsi metodologi: eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi,
maksudnya menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki
ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar
yang alamiah, yang tidak banyak menggunakan metode-metode
kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded (grounded-
theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan
dalam proses penelitian.

c) Teori Kritis (Critical Theory)

19
Guba (1990:23) menjelaskan Teori Kritis sebagai berikut: “The label
critical theory is no doubt inadequate to encompass all the alternatives
that can be swept into this category of paradigm. A more appropriate
label would be “ideologically oriented inquiry”, including neo-Marxism,
materialism, ferminism, Freireism, participatory inquiry, and other
similar movements as well as critical theory itself. These perspectives are
properly placed together, however because they converge in rejecting the
claim of value freedom made by positivists (and largely continuing to be
made by postpositivists).”
Kutipan tersebut mempunyai arti: “Nama teori kritis tidak diragukan
lagi bahwa tidak dapat mencakup semua alternatif yang dapat dimasukkan
dalam kategori paradigma. Lebih tepat diberi nama penelitian yang
berorientasi pada ideologi, meliputi neo-Marxisme, materialisme,
feminisme, Freireisme, penelitian terlibat, dan perspektif yang lain
termasuk teori kritis itu sendiri. Perspektif-perspektif ini pantas
ditempatkan bersama karena sama-sama menolak klaim bebas nilai yang
dibuat oleh kaum Positivis (dan yang umumnya terus dibuat kaum
Postpositivis).”
Sedang Salim (2001:41) dengan mengacu pada pandangan Guba,
Denzin dan Lincoln menjelaskan bahwa aliran ini (Critical Theory)
sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih
tepat disebut “ideologically oriented inquiry,” yaitu suatu wacana atau
cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis
terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo Marxisme,
Materialisme, Feminisme, Freireisme, Participatory inquiry, dan paham-
paham yang setara.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dilihat dari segi ontologis, paham Teori
Kritis ini sama dengan Postpositivisme yang menilai objek atau realitas
secara kritis (Critical Realism), yang tidak dapat dilihat secara benar oleh
pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi masalah ini, secara
metodologis paham ini mengajukan metode dialog dengan transformasi
untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara epistomologis,
hubungan antara pengamat dengan realitas merupakan suatu hal yang tidak

20
bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan konsep
subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai
yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan
kebenaraan tentang suatu hal (Salim, 2001:41).
Dari pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa Teori
Kritis (Critical theory) tidak dapat dikatakan sebagai paradigma, tetapi
lebih tepat dikatakan sebagai suatu cara pandang yang berorientasi pada
ideologi seperti Neo-Marxisme, Matrealisme, Feminisme, Freireisme, dan
lain-lain. Yang penting Teori Kritis ini menolak pandangan kaum Positivis
dan postpositivis yang menyatakan realitas itu bebas nilai. Karena Teori
Kritis ini berpandangan bahwa realitas itu tidak dapat dipisahkan dengan
subjek, nilai-nilai yang dianut oleh subjek ikut mempengaruhi kebenaran
dari realitas tersebut.
Selanjutnya menurut Guba (1990:25) sistem keyakinan dasar para
peneliti Critical Theory dapat diringkas sebagai berikut:
“Ontology : critical realist, as in the case of postpositivism.”Artinya
ontologi: “bersifat realis – kritis, seperti Post-Positivisme.”
“Epistomology : subjectivist, in the sense that values mediate
inquiry.”Artinya epistomologi: “subjektivis, dalam arti nilai-
nilai menjadi mediasi penelitian.”
“Methodology: dialogic, transformastive; eliminate false consciousness
and energize and facilitate transformation.” Artinya
metodologi: “dialogis, transformatif; mengeliminasi
kesadaran palsu dan membangkitkan dan memfasilitasi
transformasi.”
Selanjutnya akan digambarkan perbedaan asumsi-asumsi dari
paradigma Kuantitatif dengan Kualitatif lengkap dengan pertanyaan-
pertanyaan penelitian yang digunakan masing-masing paradigma serta
implementasi dalam penelitian berdasarkan asumsi-asumsi dan
pertanyaan-pertanyaan penelitian dari masing-masing paradigma, sebagai
berikut:

21
Tabel 1: Asumsi-asumsi Paradigma Kuantitatif dan Kualitatif

Asumsi Pertanyaan Kuantitatif Kualitatif


1. Asumsi Ontologi Apakah realitas itu Realitas itu objektif, dan Realitas itu subjektif dan
secara alamiah? tunggal, terpisah dari ganda, seperti yang
peneliti dilihat oleh peneliti dalam
studinya
2. Asumsi Apa hubungan Peneliti tidak tergantung Peneliti berinteraksi
Epistomologi peneliti dengan yang dari yang diteliti dengan apa yang diteliti
diteliti?
3. Asumsi Nilai Apa peran nilai? Bebas nilai dan tidak bias Tidak bebas nilai dan bias
4. Asumsi Bahasa Apa bahasa  Formal  Informal
penelitian?  Berdasarkan pada  Terkandung dalam
seperangkat definisi definisi
 Bahasa yang tidak  Bahasa personal
personal (impersonal)  Menggunakan kata-
 Menggunakan kata- kata yang diterima
kata yang diterima oleh kualitatif
secara kuantitatif
5. Asumsi Apa proses dari  Proses deduktif  Proses induktif
Metodologi penelitian?  Sebab dan akibat  Faktor-faktor
 Disain yang statis, dibentuk secara
kategori-kategori bersama
terisolasi sebelum  Disain berkembang,
studi dilakukan kategori-kategori
 Bebas konteks diidentifikasi selama
 Generalisasi proses penelitian
digunakan untuk  Terikat pada konteks
memprediksi,  Pola (kerangka),
menjelaskan dan teori-teori
memahami dikembangkan untuk
 Keakuratan dan memahami
keajegan melalui  Keakuratan dan
validitas dan keajegan melalui
reliabilitas verifikasi
Sumber: Firestone (1987), Guba & Lincoln (1988), McCracken (1985 dalam Creswell, 1994:5

22

You might also like