You are on page 1of 5

KEBAKARAN HUTAN INDONESIA DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

Oleh Kelompok 9:
Ai Nurhayati (GMK-A 561030031)
Esi Emilia (GMK-A 561030071)
Herman (PSL-P 062030161)
Joko Sutrisno (PSL-P 062020071)
Kudrat Sunandar (TEP-F 161030081)
Laode Rijai (PSL-P 062020111)
Nonon Saribanon (PSL-P 062024081)
Rahmat Mulyana (PSL-P 062030031)
Rina Marina (PSL-P 062020051)
Sulistijorini (PSL-P 062030011)
Totok Prasetyo (TEP-F 161030031)

I. Pendahuluan
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung
keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur
tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan
ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan
perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41
tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan
Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus
berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.

Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak
negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya
keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro
maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik
darat, sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini
telah melintasi batas negara.

Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk
mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum
memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1982/83 di Kalimantan
Timur, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa
kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu
perlu pengkajian yang mendalam untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.

Tulisan ini merupakan sintesa dari berbagai pengetahuan tentang hutan, kebakaran hutan dan
penanggulangannya yang dikumpulkan dari berbagai sumber dengan harapan dapat dijadikan sebagai
bahan masukan bagi para peneliti, pengambil kebijakan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi para
pencinta lingkungan dan kehutanan.

II. Kebakaran Hutan dan Faktor Penyebabnya


Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah lingkungan hidup
dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000-700.000 tahun
lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi
perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan
pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan
sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).
Analisis terhadap arang dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan telah terbakar secara
berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi secara
alamiah selama periode iklim yang lebih kering dari iklim saat itu. Namun, manusia juga telah membakar
hutan lebih dari 10 ribu tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka lahan pertanian.
Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari masyarakat yang tinggal di hutan membenarkan
bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang baru bagi hutan Indonesia (Schweithelm, J. dan D. Glover,
1999).
Menurut Danny (2001), penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan Timur adalah
karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Proses
kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsuran
batu, singkapan batu bara, dan tumpukan srasahan. Namun menurut Saharjo dan Husaeni (1998),
kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari 1 %.
Kebakaran hutan besar terpicu pula oleh munculnya fenomena iklim El-Nino seperti kebakaran
yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP,
1998). Perkembangan kebakaran tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan penyebaran lokasi
kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi hampir di seluruh propinsi, serta tidak hanya
terjadi di kawasan hutan tetapi juga di lahan non hutan.
Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami
atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan
sebagai berikut:
1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.
2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu
maupun perkebunan kelapa sawit.
3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata
pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.

Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana


pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun
pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah
mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan
hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH.
Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan
tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan
dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah,
mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang
disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan
produksi dan lahan lainnya.
Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal
industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional
(adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui
hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran
demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak
adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk
memadamkannya.
III. Kerugian dan Dampak Kebakaran Hutan
3.1. Areal hutan yang terbakar
Beberapa tahun terakhir kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim
kering. Kebakaran yang cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/83 dan tahun
1997/98. Pada tahun 1982/83 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta hektar di Kalimantan
Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran hutan di Brazil yang
mencapai 2 juta hektar pada tahun 1963 (Soeriaatmadja, 1997).
Kemudian rekor tersebut dipecahkan lagi oleh kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98
yang telah menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total
lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07
juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar (Tacconi, 2003).
Selanjutnya kebakaran hutan Indonesia terus berlangsung setiap tahun meskipun luas areal yang
terbakar dan kerugian yang ditimbulkannya relatif kecil dan umumnya tidak terdokumentasi dengan baik.
Data dari Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran
hutan yang terjadi tiap tahun sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 tercatat berkisar antara 3 ribu hektar
sampai 515 ribu hektar (Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam, 2003).
3.2. Kerugian yang ditimbulkannya
Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan
ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98 yang
menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan
dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut
sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan tersebut kemungkinan jauh lebih
besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya
yang terkait dengan emisi karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).
Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa
kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar sampai US $ 4,86 milyar
yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian
tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun,
bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti
kesehatan, pariwisata dan transportasi.
3.3. Dampak Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan yang cukup besar seperti yang terjadi pada tahun 1997/98 menimbulkan
dampak yang sangat luas disamping kerugian material kayu, non kayu dan hewan. Dampak negatif yang
sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah melintasi batas negara. Sisa
pembakaran selain menimbulkan kabut juga mencemari udara dan meningkatkan gas rumah kaca.
Asap tebal dari kebakaran hutan berdampak negatif karena dapat mengganggu kesehatan
masyarakat terutama gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi
khususnya tranportasi udara disamping transportasi darat, sungai, danau, dan laut. Pada saat kebakaran
hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sementara pada
transportasi darat, sungai, danau dan laut terjadi beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan yang
menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda.
Kerugian karena terganggunya kesehatan masyarakat, penundaan atau pembatalan
penerbangan, dan kecelakaan transportasi di darat, dan di air memang tidak bisa diperhitungkan secara
tepat, tetapi dapat dipastikan cukup besar membebani masyarakat dan pelaku bisnis. Dampak kebakaran
hutan Indonesia berupa asap tersebut telah melintasi batas negara terutama Singapura, Brunai
Darussalam, Malaysia dan Thailand.
Dampak lainnya adalah kerusakan hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya margasatwa.
Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan.
Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi
menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di
berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.
Analisis dampak kebakaran hutan masih dalam tahap pengembangan awal, pengetahuan
tentang ekosistem yang rumit belum berkembang dengan baik dan informasi berupa ambang kritis
perubahan ekologis berkaitan dengan kebakaran sangat terbatas, sehingga dampak kebakaran hutan sulit
diperhitungkan secara tepat. Meskipun demikian, berdasarkan perhitungan kasar yang telah diuraikan
diatas dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan menimbulkan dampak yang cukup besar bagi
masyarakat sekitarnya, bahkan dampak tersebut sampai ke negara tetangga.
IV. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan
Sejak kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi pada tahun 1982/83 yang kemudian diikuti
rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya, sebenarnya telah dilaksanakan beberapa langkah,
baik bersifat antisipatif (pencegahan) maupun penanggulangannya.
4.1. Upaya Pencegahan
Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain (Soemarsono, 1997):
(a) Memantapkan kelembagaan dengan membentuk dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran
Hutan dan Lembaga non struktural berupa Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda dan Satlak serta
Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI;
(b) Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan;
(c) Melengkapi perangkat keras berupa peralatan pencegah dan pemadam kebakaran hutan;
(d) Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN dan
perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan;
(e) Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian kebakaran hutan;
(f) Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan Transmigrasi), Kanwil
Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup;
(g) Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, selalu
disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.
4.2. Upaya Penanggulangan
Disamping melakukan pencegahan, pemerintah juga nelakukan penanggulangan melalui berbagai
kegiatan antara lain (Soemarsono, 1997):
(a) Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat, serta melakukan pembinaan
mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I dan II.
(b) Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua tingkatan, baik di jajaran
Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya, maupun perusahaan-perusahaan.
(c) Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui PUSDALKARHUTNAS
dan di tingkat daerah melalui PUSDALKARHUTDA Tk I dan SATLAK kebakaran hutan dan lahan.
(d) Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran antara lain: pasukan BOMBA dari
Malaysia untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumsel dan Kalbar; Bantuan pesawat AT 130 dari
Australia dan Herkulis dari USA untuk kebakaran di Lampung; Bantuan masker, obat-obatan dan
sebagainya dari negara-negara Asean, Korea Selatan, Cina dan lain-lain.
4.3. Peningkatan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan selama ini ternyata belum
memberikan hasil yang optimal dan kebakaran hutan masih terus terjadi pada setiap musim kemarau.
Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:
(a) Kemiskinan dan ketidak adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.
(b) Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih rendah.
(c) Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan penyuluhan untuk
kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman kebakaran semak belukar dan hutan
masih rendah.
(d) Upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk penanggulangan kebakaran hutan belum
memadai.
Hasil identifikasi dari serentetan kebakaran hutan menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan
adalah faktor manusia dan faktor yang memicu meluasnya areal kebakaran adalah kegiatan perladangan,
pembukaan HTI dan perkebunan serta konflik hukum adat dengan hukum negara, maka untuk
meningkatkan efektivitas dan optimasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan perlu
upaya penyelesaian masalah yang terkait dengan faktor-faktor tersebut.
Di sisi lain belum efektifnya penanggulangan kebakaran disebabkan oleh faktor kemiskinan dan ketidak
adilan, rendahnya kesadaran masyarakat, terbatasnya kemampuan aparat, dan minimnya fasilitas untuk
penanggulangan kebakaran, maka untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanggulangan
kebakaran hutan di masa depan antara lain:
a. Melakukan pembinaan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pinggiran
atau dalam kawasan hutan, sekaligus berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
bahaya kebakaran hutan dan semak belukar.
b. Memberikan penghargaan terhadap hukum adat sama seperti hukum negara, atau merevisi hukum
negara dengan mengadopsi hukum adat.
c. Peningkatan kemampuan sumberdaya aparat pemerintah melalui pelatihan maupun pendidikan
formal. Pembukaan program studi penanggulangan kebakaran hutan merupakan alternatif yang bisa
ditawarkan.
d. Melengkapi fasilitas untuk menanggulagi kebakaran hutan, baik perangkat lunak maupun perangkat
kerasnya.
e. Penerapan sangsi hukum pada pelaku pelanggaran dibidang lingkungan khususnya yang memicu
atau penyebab langsung terjadinya kebakaran.
V. Penutup
Sebagai penutup tulisan ini dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena didalamnya terkandung
keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu,
pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, dan sebagainya. Karena itu
pemanfaatan dan perlindungannya diatur oleh Undang-undang dan peraturan pemerintah.
2. Kebakaran merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya hutan dan akhir-akhir ini
makin sering terjadi. Kebakaran hutan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan dampaknya
sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di sisi lain upaya pencegahan dan pengendalian yang
dilakukan selama ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu perlu perbaikan
secara menyeluruh, terutama yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam
kawasan hutan.
3. Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang penyuluhan kepada masyarakat
khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kebakaran hutan, peningkatan kemampuan
aparatur pemerintah terutama dari Departemen Kehutanan, peningkatan fasilitas untuk mencegah dan
menanggulagi kebakaran hutan, pembenahan bidang hukum dan penerapan sangsi secara tegas.

Daftar Pustaka
Danny, W., 2001. Interaksi Ekologi dan Sosial Ekonomi Dengan Kebakaran di Hutan Propinsi
Kalimantan Timur, Indonesia. Paper Presentasi pada Pusdiklat Kehutanan. Bogor. 33 hal.
Direktotar Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003. Kebakaran Hutan Menurut Fungsi
Hutan, Lima Tahun Terakhir. Direktotar Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam, Jakarta.
Dove, M.R., 1988. Sistem Perladangan di Indonesia. Suatu studi-kasus dari Kalimantan Barat.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 510 hal.
Soemarsono, 1997. Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia (Penyebab, Upaya
dan Perspektif Upaya di Masa Depan). Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan
Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal:1-
14.
Soeriaatmadja, R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Sumberdaya Alam Terhadapnya. Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap
Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal: 36-39.
Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999. Penyebab dan Dampak Kebakaran. dalam Mahalnya Harga Sebuah
Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia. Editor: D. Glover & T.
Jessup
Saharjo dan Husaeni, 1998. East Kalimantan Burns. Wildfire 7(7):19-21.
Tacconi, T., 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia, Penyebab, biaya dan implikasi kebijakan. Center for
International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. 22 hal.
http://www.cifor.cgiar.org/Publiction/occasional paper no 38 (i)/html

Sumber : http://tumoutou.net/702_07134/71034_9.htm

You might also like