You are on page 1of 5

Ketika Kayangan Tak Lagi Dewa

Oleh: Derichard H. Putra*

Catatan dari Ekspedisi Kebudayaan Sungai Siak

“Dulu, ikan Kayangan adalah dewa bagi kami. Tapi kini…” Sepenggal
kata-kata pak Ujang melecut miris hati kami. Lelaki bertubuh kurus yang
tinggal di sebuah rakit (rumah kecil terapung di atas air) ini begitu berapi-api
saat bercerita tentang ikan Arwana, yang dalam sebutan lokal dikenal dengan
Ikan Kayangan. Bagi Pak Ujang, dan juga hampir separuh masyarakat yang
berada di sepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, yang pekerjaan pokoknya
adalah nelayan, Ikan Kayangan adalah Dewa Penyelamat yang mampu
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga jika ikan tangkapan susah atau tidak
seberapa didapat.
“Ketika turun (mencari ikan-pen), walaupun kami hanya dapat sedikit,
tapi kalau bisa membawa pulang satu ekor anak Kayangan, itu sudah cukup
untuk biaya hidup kami sebulan,” lanjut Pak Ujang dengan mata
menerawang.
Harga Ikan Arwana memang sangat berbeda dengan ikan lainya.
Dipasaran, seekor ikan Arwana ukuran sebesar 2 cm, bisa seharga
Rp500,000,- s.d. Rp1.000.000,-. Harga yang sangat spesial ini membuat
masyarakat selalu berharap dapat menangkap ikan Arwana, apalagi dimusim
kemarau, ketika tangkapan ikan hanya sedikit.
“Kami juga punya aturan dalam menangkap Ikan Kayangan, tidak
sembarangan, kami sangat menjaga kelestariannya, kami punya pantang
larang dalam menangkap ikan tersebut, demi kemaslahatan kami bersama,
jika tidak mungkin ikan itu sudah punah sejak lama”, jelas Pak Ujang lagi.
Bagi masyarakat sepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, sejak belasan
tahun lalu, ikan Arwana adalah ikan larangan yang tidak boleh ditangkap atau
diambil sembarangan, ada pantang larang dan kode etik tertentu yang tidak
boleh dilanggar. Jika dilanggar, maka hukum adat akan mengadili sang
pelaku.
Salah satu pantang larang yang tidak boleh dilanggar adalah tidak
diperbolehkan menangkap induk Arwana, jika tertangkap harus dilepaskan
lagi. Pantang larang lainnya tidak boleh menuba (menangkap ikan dengan
racun) sungai. Selain itu, ikan Arwana yang ditanggap hanya boleh yang
sebesar dua jari orang dewasa. Dan masyarakat selama ini selelau menjaga
dan mematuhi larangan tersebut, dan buktinya ikan arwana tidak pernah
punah di Sepanjang Sungai Tapung Kanan, dan di anak-anak sungai yang
mengalir ke Sungai Tapung Kanan.
“Kalau menangkap induknya sangat gampang sekali, kalau sedang
melepas anak, ia akan timbul dan sangat jinak, tapi kami tidak akan
menangkapnya”, tutur Pak Ujang yakin.
Tapi kini, Arwana tidak lagi Dewa Penyelamat, ikan itu benar-benar telah
menjadi dewa yang tinggal di kayangan yang tak lagi bisa ditemui. Doa-doa
khusus yang selalu dilafalkan ketika hendak mencari ikan tersebut pun kini
tak pernah lagi di dengar sang ikan. Sang Dewa tak lagi mendengar, ia sudah
punah.
Punah ranahnya Arwana menurut masyarakat disepanjang aliran Sungai
Tapung Kanan, bermula ketika tercemarnya sungai oleh limbah industri
pengolahan sawit PT MUL yang beroperasi di hulu Sungai Tapung Kanan
pada tahun 2003. Perusahaan tersebut membuang limbah industri ke sungai
tanpa melalui proses penetrasi zat kimia terlebih dahulu. Akibatnya puluah ton
ikan mati, termasuk ikan arwana. “Sungai Tapung Kanan saat itu seperti
lautan ikan mati, 9 induk Kayangan yang ditemukan mati kami bawa ke
perusahaan, sebagai bukti ulah mereka”, tutur Pak Ujang geram.
“Pertama kali dalam hidup saya melihat ikan tapa sebesar perahu, mati
terapung didekat rakit saya”, timpal seorang teman Pak Ujang sambil
menunjuk sebuah perahu yang berjejer tak jauh dari kami.
Pak Ujang bersama masyarakat tak bisa menerima perbuatan tak
bermoral perusahaan, mereka lalu bermusyawarah dan sepakat untuk
menemui managemen perusahaan minta pertanggungjawaban. Seperti sudah
diperkirakan, perusahaan tidak mau bertanggung jawab dan tidak mengakui
matinya ribuan ikan akibat dari limbah yang tercemar dari pabrik mereka.
Pak Ujang dan masyarakat nelayan lainnya tidak bisa menerima
ketidakpedulian pihak perusahaan, mereka lalu berdemontrasi yang berujung
bentrok dengan tenaga keamanan perusahaan dan polisi. Dalam demontrasi
tersebut, masyarakat “sukses” membakar sebagian dari aset-aset
perusahaan. Setelahnya apa yang terjadi? 10 dari masyarakat nelayan
merasakan dinginnya tidur dibalik jeruji besi.
“Padahal kami hanya minta mereka mengganti induk arwana kami dan
melepaskannya ke sungai, agar kami bisa menangkap anak-anaknya untuk
menghidupi anak-anak kami” tutur Pak Ujang parau.

Kuala Tapung merupakan hulu Sungai Siak


Sungai Siak berhulu di Kuala Tapung yang merupakan pertemuan
Sungai Tapung Kanan dan Sungai Tapung Kiri. Perbedaan karakteristik
antara Tapung Kanan dan Tapung Kiri menjadikan Sungai Siak lebih
kompleks jika dibandingkan dengan kedua sungai tersebut.
Perbedaan mencolok antara kedua sungai itu terletak di kondisi fisiknya,
Sungai Tapung Kanan yang berawa-rawa yang menyebabkan airnya lebih
keruh, sedangkan Sungai Tapung kiri airnya jauh lebih jernih yang memang
sungainya berpasir.
“Ikan Kayangan hanya dijumpai di Sungai Tapung Kanan, sedangkan di
Sungai Tapung Kiri tidak ada”, ujar Bapak Hendri Hanafi Ketua RW Dusun IV
Plambayan Desa Kota Garo Kecamatan Tapung Hilir Kebupaten Kampar
yang ‘menghadiahi’ kami seekor ikan juaro yang didapat dari pancingannya
untuk sambal makan malam.
Selain ikan Arwana, Sungai Tapung Kiri juga lebih kecil dan dangkal,
menurut kapten kapal yang membawa kami, tidak memungkinkan untuk
menyusuri Sungai Tapung Kiri, sehingga akhirnya kami hanya masuk di
Sungai Tapung Kanan.
“Masyarakat di sini pada umumnya nelayan, sedangkan penduduk
pendatang kebanyakan menjadi buruh diperkebunan sawit”, jelas Pak Hendri
ketika kami menanyakan penduduk di kampung Plambayan.
Bapak Hendri Hanafi merupakan putra asli Kampung Bencah Kelubi
yang terletak di Sungai Tapung Kiri, ‘merantau’ ke kampung sebelahnya di
Dusun Plambaian yang terletak aliran Sungai Tapung Kanan sejak puluhan
tahun lalu. Ia merupakan seorang mantan pekerja balak yang menjual kayu-
kayunya keperusahaan.
“Dulu di sini banyak cerit-cerita mistik dan kejadian-kejadian aneh. Tapi
sekarang tidak lagi, sejak hutan sudah tidak adalagi”, jelasnya sambil
menceritakan kejadian-kejadian mistik yang pernah dialami olehnya dan
warganya.
Di sepanjang Sungai Tapung Kanan, akan dijumpai berderet-deret
rumah rakit tempat masyarkat mencari ikan. Ikan-ikan yang didapat lalu dijual
kepada pengumpul, tapi ketika harga ikan turun, mereka menyimpanan di
tempat penyimpanan sementara seperti keramba dan akan dijual ketika harga
ikan sudah tinggi.

Dari BCB yang terlantar hingga Hutan yang Tak Lagi Hijau
Disepanjang aliran Sungai Siak, hutan-hutan tidak lagi hijau dan
digantikan tungul-tunggul mati yang tak ‘berpenghuni’. Jikapun ada ‘hutan’
hanyalah ribuan kebun sawit milik perusahaan yang membentang angkuh
seperti menyelimuti bumi. Flora dan fauna khas Sungai Siak pun hilang
seiring hancurnya hutan. Tidak akan dijumpai lagi rimbo gano atau hutan
belantara dengan kicauan burung dan pekikan binatang liar lainnya.
Di Rantau Pasir Sakti, terdapat Benda Cagar Budaya (BCB) berupa
makam Keramat Datuk Baasir yang panjangnya 3 meter. Makam ini berada
sekitar 7 meter dipinggir Sungai Siak yang dipagari rumah kecil beratap seng
yang hampir roboh. Beberapa kain putih yang merupakan nazar penduduk
setempat menutup nisan makam. Menurut kepercayaan, makam ini tidak
pernah digenangi air walaupun Sungai Siak sedang banjir.
Penyelusuran Sungai Tapung Kanan merupakan awal dalam perjalan
kami menyusuri Sungai Siak, setelah sebelumnya seharian ke hulu Sungai
Siak dari Pelabuhan Sungai Duku di Pekanbaru tempat kami menyewa
pompong.
Kami, tim Ekspedisi Kebudayaan Siak yang terdiri dari Elmustian
Rahman (Penasehat), Heri Budiman (Koordinator/Kameramen), Derichard H.
Putra, Gusmar Hadi (Peneliti), dan Arza Aibonotika dan Amriyadi (fotografer),
dan 2 orang ‘awak’ pompong akan kembali melajutkan perjalanan menuju hilir
sungai ini.
Pak Ujang bersama teman-temannya yang telah menemani kami
bercerita menatap kami dengan tatapan senyum renyah. Sebelas sampan
kecil berbaris di dekat rakitnya menunggu pemancing penyewa perahunya
seharga Rp20.000,- s.d Rp30.000,- sehari tergantung besar kecil perahu
yang disewa. Ia kini telah beralih profesi menjadi ‘juragan’ perahu. Tak lagi
pencari Arwana, sejak ‘Dewa’ itu tidak lagi mendengar lafal-lafal doanya.
[14/6/2010]*** www.derichardhputra.blogspot.com

*Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Antropologi Universitas Gadja Mada

You might also like