You are on page 1of 7

Karena itu maka suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman

tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem taat kelakuan manusia yang tingkatnya lebih
kongkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya juga berpedoman
kepada sistem nilai budaya itu (Kuntjaraningrat,1982, h.25).

Sudah amat jelas, dan tak perlu diragukan lagi, bahwa suatu bangsa yang telah memiliki
sistem nilai budaya adalah bangsa yang menghayati nilai-nilai yang sudah diyakini
kebenarannya. Dan pada gilirannya, kita akan menyebut dan menegaskan apa yang tertulis dalam
Buku I Materi Pelengkap P-4, yang berbunyi: Pandangan hidup suatu bangsa adalah suatu
kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan
menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya (Team Pembinaan Penatar, 1981, h-
7).

Jadi, pandangan hidup adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang sudah diyakini
kebenarannya. Dengan perkataan lain, pandangan hidup adalah kristalisasi dari sistem nilai
budaya suatu bangsa. Sehingga urutannya ialah: Pandangan hidup, sistem nilai budaya, norma-
norma, aturan-aturan khusus, perilaku kongkrit ,manusia.

Demikianlah, kalau kita mulai dari nilai-nilai paling dasar, kita jumpai Pancasila
sebagai pandangan hidup, sistem nilai budaya Pancasila, norma-norma Pancasila (norma agama
yang sesuai dengan Pancasila, norma adat sopan santun Pancasila, norma hukum Pancasila),
perilaku manusia Pancasila.

Mengapa nilai-nilai tertentu dijadikan norma? Pernyataan ini dijawab: karena


serangkaian nilai-nilai yang sudah diyakini kebenarannya membentuk satu sistem nilai budaya ;
dan sistem nilai budaya ini menjadi pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

Pancasila adalah kristalisasi dari sistem nilai budaya bangsa Indonesia

4.APAKAH NILAI-NILAI PANCASILA ITU?

Kita, bangsa Indonesia, sudah bertekad untuk melaksanakan Pancasila secara murni
dan konsekuen. Untuk itu kita harus menemukan nilai-nilai Pancasila dengan jalan ilmiah, yaitu
melalui analisa abstraksi, sehingga diperoleh inti-isi mutlak atau hakekat daripada Pancasila.
Seperti dari air, kita berusaha menemukan H2O, yaitu inti-isi mutlak atau hakekat daripada air.

8
Kelebihan dari inti-isi mutlak atau hakekat ini ialah sifatnya yang tetap tidak berubah,
karena merupakan pengertian yang umum abstrak atau umum universal. Dilihat dari segi isinya:
isinya adalah sedikit; tetapi dilihat dari segi luasnya : luas tidak terbatas.

Sebenarnya, waktu kita berbicara mengenai Filsafat Pancasila (Pancasila sebagai


objek) pengertian yang umum-abstrak atau umum universal daridapa sila-sila Pancasila itu
sudah diuraikan. Dengan tetap menyadari bahwa Pancasila itu adalah kesatuan yang bulat dan
utuh dari kesemua silanya, marilah hakekat sila-sila Pancasila atau pengertian yang umum
abstrak atau umum universal itu sajikan di bawah ini.

a. Hakekat sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, ialah : keharusan untuk hormat dan taat
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Hakekat sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, ialah keharusan untuk
menyesuaikan dengan kenyataan bahwa dirinya adalah manusia, maka dari itu harus adil
dan beradab
c. Hakekat sila ketiga,Persatuan Indonesia,ialah keharusan untuk memelihara, menegakkan,
dan selalu mengusahakan keutuhan seluruh bangsa dan Negara Indonesia, tumbuh-
kembangnya kepribadian bangsa Indonesia dengan cirri khasnya yang membedakan
bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain.
d. Hakekat sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, ialah keharusan untuk tidak mencari menangnya sendiri saja,
tetapi dengan kebijaksanaan, mencari mufakat dalam permusyawaratan/perwakilan.
e. Hakekat sila kelima, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, ialah keharusan untuk
memenuhi hak pihak lain yang mempunya hubungan hidup dengan aku/kami/kita.
Bersamaan dengan itu, kita harus selalu ingat dan menerapkan rumus rangkaian
kesatuan sila-sila Pancasila, yang meliputi dua macam rumus yaitu :
a. rumus saling mengkualifikasi, dan
b. rumus hierarahis piramidal.
a. Rumus saling mengkualifikasi

Rangkaian. kesatuan keseluruhan sila-sila Pancasila dapat diwujudkan melalui rumus


saling mengkualifikasi, artinya tiap-tiap sila mengandung emapt sila lainnya, diklualifikasi oleh
empat sila lainnya. Bunyi rumus itu ialah sebagai di bawah :

 Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang
adil adan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh

9
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia.
 Sila kedua : kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang berketuhanan
Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oelh
hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia.
 Sila ketiga Persatuan Indonesia adalah persatuan yang berketuhanan Yang Maha Esa yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratari/ perwakilan, yang berkeadilan social bagi seluruh
rakyat Indonesia.
 Sila keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan adalah kerakyatan yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia.
 Sila kelima Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan social yang
berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratn/perwakilan.

b. Rumus hierarrchis pyramidal


Rumus ini berpangkal pada kenyataan bahwa dari kelima sila Pancasila itu, tiap-tiap
sila yang di belakang sila lainnya (sila pertama adalah sila yang terdepan) merupakan
pengkhususan daripada sila-sila di mukanya, luasnya sebagai pengertian lebih sempit dn isinya
sebagai pengertian lebih banyak. Bunyi rumus itu adalah sebagai di bawah ini :
 Sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah meliputi dan menjiwai sila Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyataan yang dipimpin oelh hikmat
kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan,Keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia.
 Sila kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah diliputi dan dijiwai oleh sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, meliputi dan menjiwai sila-sila Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan,Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
 Sila ketiga : Persatuan Indonesia adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, meliputi dan menjiwai sila-sila Kerakyatan

10
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan/perwakilan, Keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia.
 Sila keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan adalah diliputi dan dijiwai oelh sila-sila Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, meliputi dan menjiwai sila
Keadilan social bagi seluruh Rakyat Indonesia.
 Sila kelima :Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah diliputi dan dijiwai oleh
sila-sila ketuhanan Yang Maha Esa,Kemanusiaan yang adil dan beradb,Persatuan
Indonesia,Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
Rangkuman :
1. Nilai ialah harga barang sesuatu,faedah barang sesuatu, atau prestasi dari suatu
usaha/kegiatan.
2. Ada bermacam-macam nilai sesuai dengan pensifatan tertentu yang dipertambahkan pada
kata nilai, misalnya : nilai ekonomis,nilai edukatif, nilai estetis, dan lain-lainnya.
3. Norma atau khaidah adalah nilai yang sudah bersifat mengatur, jadi sudah langsung
digunakan sebagai patokan atau alat pengukur untuk menentukan mana yang boleh dan
mana yang tidak boleh, mana yang benar dan yang mana salah.
4. Norma atau khaidah itu ada bermacam-macam : ada norma agama, norma hukum, norma
adat sopan santun.
5. Sistem nilai budaya ialah tingkat yang paling abstrak daripada adat istiadat atau kebiasaan,
dan terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga
masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Sistem nilai
budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
6. Pandangan hidup adalah kristalisasi dari sistem nilai budaya suatu bangsa, sehingga
urutannya ialah pandangan hidup, sistem nilai budaya, norma-norma, aturan-aturan
khusus, perilaku kongkrit manusia.
7. Secara lebih jelas untuk Indonesia, urutan itu ialah : Pancasila pandangan hidup bangsa,
sistem nilai budaya Pancasila, norma-norma Pancasila, aturan-aturan khusus berdasarkan
Pancasila, perilaku kongkrit manusia Pancasila.
8. Menemukan nilai-nilai Pancasila dengan jalan ilmiah, ialah melalui analisa-abstraksi, untuk
menemukan hakekat daripada Pancasila. Dengan melalui analisa-abstraksi, untuk
menemukan unsur inti mutlak atau hakekat daripada Pancasila.
9. Rumus rangkaian kesatuan sila-sila Pancasila secara hierarahis piramidal.

11
10. Rumus rangkaian kesatuan sila-sila Pancasila secara salimg mengkualifikasi.

12
BAB III
PAHAM “NASIONALISME BARU “
UNTUK INDONESIA
Memasuki mellenium ke-3 Masehi, khususnya dalam kehidupan berbangsa di negeri-negeri
bekas tanah jelajahan bangsa-bangsa Eropa Barat, kehidupan nasional sudah selayaknya
digagas berdasarkan konfugurasi imajinatif yang baru sebagai kehidupan berbangsa yang
sesungguhnya merupakan hasil integrasi komponen-komponen bangsa tua dengan tradisi
kultural mereka yang majemuk namun berumur tua pula. Kebudayaan tua untuk bangsa baru
terbentuk pada abad 20 ini, berkat ikrar dan semangat perjuangan generasi baru, haruslah
diterima secara definitif sebagai pilar juga, yang tak kalah penting sebagai factor pemersatui
sebagaimana pilar-pilar lain.

Perkembangan kesadaran dan paham kebangsaan,sejelas itu pula riwayat kelahiran


paham politik yang meyakini kebenaran upaya untuk membangun kehidupan bernegara atas
dasar satuan bangsa (sehubungan dengan perubahan sosial-politik di Eropa itu), namun tidak
segera bias dipahami dengan jelas apa sebenarnya yang kini harus didefinisikan sebagai
‘bangsa’ itu. Dalam perkembangan seperti itu, orang mulai mewacanakan, ‘apakah yang
disebut bangsa itu?’.

Bangsa bukanlah Suatu Realitas Objektif Melainkan Suatu Realitas Inter-Subjektif Yang
Eksis di dalam Alam Imajinasi Para Warga Sekolektiv.
Definisi yang klasik mengartikan ‘bangsa’ (yang dalam bahasa asingnya diistilahkan
nation<nation<naitre yang berarti kelahiran) dalam artinya yang harafiah. Didefinisikan secara
klasik begitu, dikatakanalah bahwa satuan manusia yang disebut bangsa itu tak lain adalah
suatu nation; Ialah sejumlah manusia yang sedarah seketurunan, berasal-usul kelahiran dari
satu moyang yang sama. Akan tetapi, definisi seperti ini dalam praktiknya tidaklah pernah dapat
memberikan tolok yang jelas dan tegas guna memungkinkan penentuan secara pasti, atas
dasar kebenaran factual, bahwa suatu satuan manusia dapat dikatakan seasal keturunan dari
yang sama.
Akan ganti kebenaran faktual, yang kemudian dijadikan tolok untuk memastikan
apakah suatu kolektiva itu boleh disebut ‘suatu bangsa’ atau tudak adalah tengara-tengara yang
sifatnya acapkali asumtif saja. Seasal-usul dari moyang yang sama itu bahkan tak jarang Cuma
dibenarkan menurut mitosnya saja, karena untuk membuktikan berdasarkan kebenran factual

13
historiknya acapkali tak dimungkinkan. Salah satu asumsi untuk membenarkan pernyataan
bahwa suatu kolektiva itu adalah sesungguhnya suatu bangsa yang seasal keturunan adalah
kesamaan bahasa dan tradisi yang dianut warga sekolektiva. Akan tetapi, segera saja
kemudian diketahui bahwa tolok untuk mengasumsikan secara imajinatif bahwa suatu satuan
kolektiva adalah sautuan sebangsa hanya karena ‘stetradisi’ atau ‘sebahasa’ itu tidak lagi
secara tepat dapat digunakan untuk mengidentifikasi fakta seketurunan itu.
Dalam pengalaman non-Eropa segera saja diketahui bagaimana suatu bahasa dan
atau tradisi dengan cepat menyebar berseiring dengan perluasan kekuasaan politik suatu
rezim. Bahasa Arab misalnya, telah menjadi bahasa yang tak hanya resmi akan tetapi juga
populer berseiring dengan tersebarnya agama Islam dan ekpansi kekhalifahan Islam dseluruh
kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Bahasa Inggris, sebagai contoh lain juga menjadi
bahasa yang resmi dan juga populer dibanyak negeri yang jelas-jelas tak seasal keturunan.
Maka, tatkala kesatuan bahasa dan tradisi – dan bahkan juga keseragaman warna kulit—tak
lagi tak biasa dipakai menolok ada tidaknya suatu bangsa, definisi klasik mengenai apa yang
disebut bangsa atas dasar kesamaan tradisi dan bahasa itu pun lalu serta merta mulai banyak
dipertanyakan kesahannya untuk mengedintifikasi bangsa-bangsa baru.
Adalah seorang berkebangsaan Perancis, bernama Ernest Renandiasa yang mencoba
mendefinisikan ulang pengertian ‘bangsa’, dan dengan demikian juga pengertian ‘paham
kebangsaan’, guna mengatasi masalah tak lagi tak dapat

14

You might also like