You are on page 1of 19

PENGETAHUAN LNGKUNGAN

”PENGELOLAAN LIMBAH PADAT B3”

TOPAN SANDI
E3 C1 09 047

PROGRAM STUDI D-3 TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan berbahaya dan beracun, yang lebih akrab dengan

singkatan B3, keberadaannya di Indonesia semakin hari semakin

mengkhawatirkan. Lebih dari 75% bahan berbahaya dan beracun (B3)

merupakan sumbangan dari sector industri melalui limbahnya,

sedangkan sisanya berasal dari sektor lain termasuk rumah tangga yang

menyumbang 5-10% dari total limbah B3 yang ada. Peningkatan jumlah

limbah bahan berbahaya dan beracun di Indonesia antara kurun waktu

1990 – 1998 saja mencapai 100 % ( tahun 1990 sekitar 4.322.862 ton

dan pada tahun 1998 mencapai 8.722.696 ton ). Jumlah ini akan naik

drastis seiring dengan perkembangan industrialisasi yang cukup pesat di

negara berkembang seperti Indonesia.

Pengelolaan Limbah B3 terutama di Indonesia secara spesifik

sebenarnya telah diatur dalam PP 19/1994 dan disempurnakan dengan

PP 12/1995. Kemudian diganti dengan PP 18/1999 yang selanjutnya

disempurnakan dengan PP 85/1999. Menurut PP 18/99 jo PP 85/99,

pengertian limbah B3 adalah setiap limbah yang mengandung bahan

berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya

dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat

merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat

membahayakan kesehatan manusia.


Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya

pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Pertama, adalah penerapan

“produksi bersih dan minimisasi limbah” bagi industri. Teknologi end

pipe treatment yang dipakai di Indonesia sendiri sebenarnya merupakan

teknologi kuno (sunset technology) yang telah lama ditinggalkan oleh

negara-negara maju. Namun para industriawan biasanya malas untuk

mengganti teknologi pengelolaan limbah mereka dari end pipe treatment

menjadi clean technology, karena adanya internalisasi biaya eksternal

atas kerusakan lingkungan akibat limbah yang dihasilkan. Hal tersebut

akan menambah cost tersendiri bagi mereka, apalagi dengan kondisi

perekonomian sulit seperti sekarang ini. Inilah repotnya jika industriawan

kita hanya mengejar short-term benefits nya saja. Padahal konsep clean

technology melalui minimisasi limbah industri dengan model reduce;

recycle; reused; recovery dan recuperation, bila diterapkan dengan

benar dapat mengurangi cost production dari industri tersebut meskipun

pada awalnya dibutuhkan investasi yang cukup besar. Selain produksi

bersih, penanganan limbah yang memang tidak dapat tereduksi dalam

proses minimisasi limbah harus ditangani sesuai prosedur dan tidak

seadanya saja.

Kedua, adalah pembenahan sistem hukum dan peraturan yang

telah ada, baik itu untuk limbah yang dihasilkan di dalam negeri maupun

untuk lintas batas limbah B3. Peraturan yang ada seperti AMDAL masih

jauh dari mencukupi untuk melakukan pengelolaan terhadap limbah,


khususnya limbah B3. Apalagi dengan lembaga dan sumber daya

manusia yang belum memadai. Sedangkan untuk lintas batas limbah

B3, Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Konvensi Basel melalui

Kepres RI no. 61/1993 tentang Pengesahan Convension on The Control

of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal.

Namun pada kenyataannya, pada saat Panangian Siregar menjabat

Menteri Lingkungan Hidup kabinet Habibie, turun rekomendasi untuk

mengimpor lumpur dan sisa bahan galian dari Singapura yang

dituangkan dalam surat no. B-495/MENLH/4/1999. Limbah dengan

kapasitas 10.000 ton tersebut sudah dikirimkan sebanyak 6000 ton

tanpa melalui proses Amdal terlebih dahulu, padahal PUSARPEDAL

dan LIPI menyatakan limbah tersebut mengandung logam berat (Arsen,

Kadmium, Krom, Nikel, Tembaga dan Timbal) dalam jumlah yang cukup

membahayakan. Yang lebih aneh lagi, alamat PT. Bangka Dwiukir

Lestari selaku kontraktor di Jl. Jendral Sudirman 8B adalah fiktif dan

merupakan alamat kantor Harian Bangka Post. Lemahnya supremasi

hukum di Indonesia inilah yang menjadikan seringnya kecolongan baik

industri lokal maupun dari luar negeri.

Yang ketiga adalah sesegera mungkin membereskan

kelembagaan lingkungan hidup di Indonesia yang memang mempunyai

posisi yang lemah. Kedudukan Bapedal misalnya, yang hanya berfungsi

secara koordinatif, sehingga seringkali ketika muncul persoalan dalam


hal pencemaran lingkungan hidup, hanya fungsi administratif saja yang

dijalankan oleh Bapedal, apalagi Bapedal yang ada di daerah.

Keempat yaitu melakukan evaluasi, inventarisasi dan

pengembangan terhadap sumber daya yang kita miliki. Tidak dapat

dipungkiri bahwa sumber daya kita masih sangat lemah dan minim

dalam memahami persoalan lingkungan hidup. Sedangkan yang kelima

adalah adanya transparansi informasi kepada masyarakat luas,

sehingga ada partisipasi aktif dari masyarakat untuk ikut serta dalam

usaha pelestarian lingkungan hidup. Salah satunya adalah sosialisasi

informasi mengenai limbah B3. Dengan begitu ada keterlibatan seluruh

stakeholders secara seimbang dan aktif untuk memecahkan setiap

persoalan lingkungan hidup yang akan muncul puluhan bahkan ratusan

masalah seiring dengan berkembangnya industrialisasi di negari kita.

Sebab bukanlah rahasia bahwa kita pun tidak ingin Indonesia disebut

sebagai negara penghasil limbah. Dalam makalah ini dijelaskan

mengenai pengelolaan limbah B3 secara spesifik yang diperhatikan

dalam berbagai aspek.


BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian limbah B3 dan Pengelolaan Limbah B3

Limbah dalam artian umum adalah sisa suatu usaha dan atau

kegiatan sedangkan pengertian limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan

atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun.

Sifat, konsentrasi, dan jumlahnya dapat: Mencemarkan/merusak

lingkungan hidup Membahayakan kesehatan dan kelangsungan hidup

manusia serta mahluk hidup lainnya.

Di Indonesia sendiri, peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan

limbah B3, telah dituangkan dalam UU 23/1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup yang diundangkan sebagai pengganti UU No. 4/1992.

Dalam Bab V, Pasal 17, UU No. 23 /1997, pengelolaan berarti

berhubungan dengan proses: menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,

menyimpan, mengolah, menggunakan dan menimbun/membuang.

Selanjutnya ditambahkan dalam Pasal 20 bahwa setiap orang dilarang

melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup tanpa

keputusan/ijin, hal ini perlu dilakukan pada lokasi pembuangan yang

ditetapkan menteri.

Secara spesifik hal ini ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah,

PP 18/1999 yang kemudian disempurnakan dalam PP 85/1999

diantaranya adalah:1. Kewajiban bagi setiap penghasil limbah B3 (atau


badan usaha yang mendapat ijin Menteri Lingkungan Hidup) untuk

mengolah limbahnya.2. Kewajiban bagi badan usaha pengelola limbah B3

yang melakukan pengumpulan, pengolahan, penimbunan, pemanfaatan

dan usaha pengangkutan limbah B33. Ketentuan mengenai pengawas

dan pelaksanaan pengawasan pengelolaan limbah B3.4. Ketentuan teknis

administratif dalam kegiatan pengelolaan limbah B3, termasuk sanksi-

sanksi pelanggarannya.

Semua ketentuan yang berhubungan dengan para pelaku

pengelolaan limbah B3, baik itu penghasil, pengumpul, pengangkut,

maupun pengolah/penimbun telah diperinci secara jelas, dan hal-hal

teknisnya juga telah dibahas yang mencakup seluruh aspek yang

berhubungan dengan pengelolaan limbah dari mulai sumber sampai

pembuangan akhir (from cradle to grave). Untuk pelaksanaan, diatur pula

terutama yang menyangkut program kendali dan pengawasan di daerah.

2.2. Pengelolaan Limbah B3

Pengelolaan Limbah B3 sendiri memakai rangkaian yang

mencakup: reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan,

pengolahan, dan penimbunan Limbah B3. Sedangkan pelaku

pengelolaan limbah B3 terdiri dari Penghasil,

pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah, penimbun. Mata

rantai siklus perjalanan limbah B3 harus dapat diawasi. Perjalanan

pengelolaan limbah B3 itu sendiri dikendalikan dengan sistem manifest


berupa dokumen limbah B3. Selama ini Pengelolaan limbah B3

mengenal konsep Cradle to Grave.

2.2.1. Kewajiban Dalam Pengelolaan Limbah B3

Dalam sistem pengelolaan limbah B3 dikenal beberapa

kewajiban yang harus dilakukan berdasarkan tata laksana yang

telah diatur yakni:

a) Kewajiban Pelaku Pengelolaan Limbah B3 (Penghasil)

Penghasil wajib:

• Mereduksi limbah B3, bila masih menghasilkan limbah B3

maka residunya harus diolah kembali dengan

memanfaatkan sendiri atau memberikannya kepada pihak

pemanfaat.

• Mengolah limbah B3, dapat mengolah sendiri atau

memberikannya kepada pihak pengolah (dalam atau luar

negeri).

• Menimbun limbah B3, apabila limbah yang dihasilkan ,50

kg/hari, dapat menyimpan lebih dari 90 hari sebelum

diserahkan ke pihak pengumpul/ pemanfaat/ penimbun.

• Wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai jenis,

karateristik dan jumlah Limbah B3 yg dihasilkan serta

nama pengangkut dan pihak pengumpul / pemanfaat /

pengolah / penimbun.
• Wajib menyampaikan catatan di atas sekurang-kurangnya

6 bulan sekali kepada instansi yang terkait dan

Bupati/walikota.

b) Kewajiban Pelaku Pengelolaan Limbah B3 (Pengumpul)

• Wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai Jenis,

karateristik dan jumlah Limbah B3 yg dihasilkan serta

nama pengangkut dan pihak pengumpul / pemanfaat /

pengolah / penimbun.

• Wajib menyampaikan catatan di atas sekurang- kurangnya

6 bulan sekali kepada instansi yang terkait dan

Bupati/walikota.

• Menyimpan paling lama 90 hari.

c) Kewajiban Pelaku Pengelolaan Limbah B3 (Pengangkut)

• Pengangkutan dapat dilakukan oleh penghasil atau pihak

lain yang telah memiliki izin.

• Wajib disertai dokumen limbah B3.

2.2.2. Pemanfaatan Pengelolaan Limbah B3

Dalam sistem pengelolaan limbah B3 juga dikenal sistem

pemanfaat. Pemanfaat limbah B3 adalah suatu kegiatan :

a) Perolehan kembali (Recovery).

b) Penggunaan kembali (Reuse).

c) Daur ulang (Recycle).


Yang bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi suatu

produk yang dapat digunakan dan harus juga aman bagi

lingkungan dan kesehatan manusia.

2.2.3. Kegiatan Pengelolaan

Ada beberapa kegiatan dalam pengelolaan limbah B3 yakni:

a) Reduksi Limbah

Suatu kegiatan pada penghasil untuk mengurangi

jumlah dan mengurangi sifat bahaya dan beracun limbah B3,

sebelum dihasilkan dari suatu kegiatan.

b) Pengemasan

• Kemasan = Tempat / wadah untuk menyimpan,

mengangkut, dan mengumpulkan limbah B3.

• Setiap kemasan wajib diberi simbol dan label yang

menunjukan karakteristik dan jenis limbah.

c) Pengumpulan

Kegiatan pengumpulan limbah B3 wajib memenuhi

ketentuan sbb:

• Memperhatikan karakteristik limbah B3.

• Mempunyai laboratoriun mendeteksi karakteristik limbah

B3 kecuali uji toksikologi.

• Memiliki perlengkapan penanggulangan terjadinya

kecelakaan.
• Memiliki konstruksi bangunan kedap air dan bahan

bangunan disesuaikan dengan karakteristik limbah.

• Memiliki lokasi pengumpulan yang bebas banjir.

d) Pengangkutan

• Penyerahan limbah B3 oleh penghasil/ pengumpul/

pemanfaat/pengolah kepada pengangkut wajib disertai

dokuman limbah B3.

• Pengangkatan dilakukan dengan alat khusus.

e) Pemanfaatan : meliputi 3R

f) Pengolahan

Lokasi pengolahan harus bebas dari banjir, tidak rawan

bencana, bukan kawasan lindung, serta telah diperuntukan

sebagai kawasan industri berdasarkan rencana tata ruang

wilayah setempat. Terdapat banyak metode pengolahan

limbah B3 di industri, tiga metode yang paling populer di

antaranya ialah chemical conditioning, solidification /

Stabilization, dan incineration.

1) Chemical Conditioning

Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah

chemical conditioning. Tujuan utama dari chemical

conditioning ialah:
• Menstabilkan senyawa-senyawa organik yang

terkandung di dalam lumpur.

• Mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air

dalam lumpur.

• Mendestruksi organisme patogen.

• Memanfaatkan hasil samping proses chemical

conditioning yang masih memiliki nilai ekonomi seperti

gas methane yang dihasilkan pada proses digestion.

• Mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan

dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan.

Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan

sebagai berikut :

a) Concentration thickening

Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume

lumpur yang akan diolah dengan cara meningkatkan

kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan

pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl

centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan

tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya

pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak

sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa


unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation

pada tahapan awal ini.

b) Treatment, stabilization, and conditioning

Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan

senyawa organic dan menghancurkan patogen. Proses

stabilisasi dapat dilakukan melalui proses

pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi.

Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan

adanya proses pembentukan ikatan bahan-bahan kimia

dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika

berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan

kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi.

Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan

adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan

reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada

tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion,

aerobic digestion, heat treatment, polyelectrolite

flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.

c) De-watering and drying

De-watering and drying bertujuan untuk

menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan

sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang

terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan


dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying

bed,filter press, centrifuge, vacuum filter, dan belt

press.

d) Disposal

Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah

B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum limbah B3

dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan

composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3

umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau

injection well.

2) Solidification/Stabilization

Di samping chemical conditiong, teknologi

solidification/stabilization juga dapat diterapkan untuk

mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat

didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan

bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju

migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk

mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan

solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu

bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua

proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap

mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi


berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6

golongan, yaitu:

a) Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan

berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks

struktur yang besar

b) Microencapsulation, yaitu proses yang mirip

macroencapsulation tetapi bahan pencemar terbungkus

secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat

mikroskopik

c) Precipitation

d) Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat

secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui

mekanisme adsorpsi.

e) Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar

dengan menyerapkannya ke bahan padat

f) Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa

beracun menjadi senyawa lain yang tingkat

toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama

sekali Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya

menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan

termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah

metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant

mixing. Peraturan mengenai solidifikasi / stabilitasi


diatur oleh BAPEDAL berdasarkan Kep-

03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.

3) Incineration

Teknologi pembakaran (incineration ) adalah

alternatif yang menarik dalam teknologi pengolahan

limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah

hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi

ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan

limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan

limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas

yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan

energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki

beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari

komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah

berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan

lahan yang relatif kecil. Aspek penting dalam sistem

insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value)

limbah. Selain menentukan kemampuan dalam

mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran,

heating value juga menentukan banyaknya energi yang

dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator

yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah

padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed,


open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous

waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis

insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan

karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair,

dan gas secara simultan.

g) Penimbunan

• Lokasi pengolahan harus bebas dari banjir, tidak rawan

bencana, bukan kawasan lindung, serta telah diperuntukan

sebagai kawasan industri berdasarkan rencana tata ruang

wilayah setempat.

• Permeabilitas tanah maksimum 10-7 cm/det untuk jenis

limbah B3 dengan LD50 >50 mg/kg Berat Badan,

permeabilitas maks 10-5 cm/det.

• Tidak merupakan daerah resapan air tanah, khususnya yg

untuk digunakan untuk air minum.

2.3. Limbah Padat Medis

Penggolongan kategori limbah medis dapat diklasifikasikan

berdasarkan potensi bahaya yang tergantung didalamnya, serta volume

dan sifat persistensinya yang menimbulkan masalah:

a) Limbah benda tajam seperti jarum, perlengkapan intravena, pipet

Pasteur, pecahan gelas, dll.


b) Limbah infeksius, memiliki pengertian sebagai Limbah yang

berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular

(perawatan intensif) dan Limbah laboratorium.

c) Limbah patologi (jaringan tubuh) adalah jaringan tubuh yang

terbuang dari proses bedah atau autopsy.

d) Limbah Citotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin

terkontaminasi dengan bat citotoksik selama peracikan,

pengangkutan atau tindakan terapi citotoksik.

e) Limbah farmasi berasal dari obatobat yang kadaluarsa, yang sudah

tidak diperlukan.

f) Limbah kimia dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan

medis, veterinary, labratorium, proses sterilisasi dan riset.

g) Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio

isotop yang berasal dari pengguanan medis atau riset radionuklida

Masalah utama dalam mengatasi limbah infeksius adalah resiko

penularan oleh agen infeksius yang berasal dari limbah ini. Resiko

penularan akan muncul saat pembuangan dari sumbernya, proses

pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan hingga penanganan

baik onsite maupun offsite, hal ini merupakan faktor yang

dipertimbangkan dalam menentukan wadah atau kontainer untuk

limbah infeksius. Pertimbangan penggunaan wadah juga dibedakan

sesuai tipe limbah infeksius, dimana dapat digolongkan menjadi tiga

tipe, yaitu : limbah benda tajam, limbah padat dan cair. Ketiganya
memiliki perbedaan besar secara fisik , kimia, dan resiko yang dapat

ditimbulkan sehingga persyaratan dalam pewadahan dan

penanganannyapun berbeda. Pada prinsipnya limbah medis harus

sesegera mungkin ditreatmen setelah dihasilkan dan penyimpanan

merupakan prioritas akhir bila limbah benar-benar tidak dapat

langsung diolah. Faktor penting dalam penyimpanan yaitu

melengkapi tempat penyimpanan dengan cover atau penutup,

menjaga agar areal penyimpanan limbah medis tidak tercampur

dengan limbah non-medis, membatasi akses sehingga hanya orang

tertentu yang dapat memasuki area serta, lebeling dan pemilihan

tempat penyimpanan yang tepat Dalam strategi pengolahan dan

pembuangan limbah rumah sakit terdapat beberapa sistem, antara

lain :

• Autoclaving

• Desinfeksi dengan bahan kimia

• Insinerator (Paramita, 2007).

You might also like