You are on page 1of 7

PT.

NNT membuang tailing dengan sistem pemipaan


sepanjang 3.000 meter dan kedalaman 112 meter ke lepas pantai di
Teluk Senunu. Dengan kecepatan aliran 2.010 – 6.163 ton per jam,
tailing yang dibuang mencapai 110.000 – 160.000 ton per hari.

Kalau KK PT. NNT mau direvisi fokus aja pada pasal-pasal yang mengatur tentang Comdev, pembagian
royalti, harus jelas mineral utama yang di tambang emas, perak atau tembaga. jika mineral utama
Tembaga pemerintah bisa meminta pada PT. NNT setelah melalui proses pemurnian (smelting), mineral
ikutannnya di serahkan ke pemerintah....gak perlu PT. NNT bayar royalti lagi....karena mineral ikutannya
seperti emas dan peraknya udah melebihi royalti... sebagai contoh....656.000 ton konsetrat tembaga
maka akan menghasilhan Cu=99,9% 200.000 ton/th, Au=1-1,5%, Ag=3,8% 1800 ton/th dan mineral
berharga lainnya...itung aja 1% Emas didalam 656.000 ton berapa ya...kira 6560 kg emas belum perak,
kalau 6560 kg dikali 300 juta perkilo = Rp. 1968 milyar itu angka minimal....hanya dari mineral ikutan
emas, belum yang lain, apalagi produksi konsetral PT. NNT 6 kali lipat angka tersebut ok pak fito, pak
budi, selamt berjuang...gak usah pakai royalti segala...minta mineral ikutannya aja diserahkan ke
pemerintah...kalau tujuan utama PT. NNT tambang tembaga....

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kritik dan kasus terhadap pembuangan limbah tambang (tailing) ke sungai dan badan air lainnya, menyebabkan perusahaan

pertambangan mengalihkan teknik pembuangannya ke laut (dinamakan metode Sub-marine Tailing Disposal/STD). Selain dianggap dapat

menyembunyikan dampak yang terjadi, ternyata metode pembuanganta ilin g ke laut ini jauh lebih murah dari segi biaya. Perusahaan yang

menerapkam metode STD mempromosikan bahwa metode ini adalah metode yang aman dengan asumsi bahwa di laut terdapat lapisan termoklin

yang dapat menahan tailing agar tetap mengendap dan tidak naik ke permukaan dan mengontaminasi ikan.

Limbahta il ing sudah jamak diketahui mengandung berbagai material beracun yang berasal dari reaksi oksidasi batuan dan bahan

kimia yang digunakan dalam proses pemisahan bijih. Pembuangan tailing ke laut akan menyebabkan terjadinya sedimentasi dari endapan tailing

dan penyebaran tailing ke wilayah laut yang lebih luas. Semua dampak ini akan semakin mengancam dan memusnahkan kekayaan keragaman

hayati laut, mengganggu kesehatan (beberapa limbah logam berat terakumulasi dalam rantai makanan), dan semakin memiskinkan masyarakat

pesisir dan pulau-pulau kecil yang sangat tergantung pada laut.

Salah satu contoh masalah yang timbul akibat STD menimpa PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR), salah satu perusahaan

pertambangan yang beroperasi di Indonesia dan menerapkan sistemta il ing. PT NMR terbukti bersalah mencemarkan Teluk Buyat, Minahasa

Selatan, Sulawesi Utara. Tercemarnya Teluk Buyat disebabkan pembuanganta il ing PT NMR yang tidak sesuai Amdal.
PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) yang masih satu induk dengan PT NMR dan merupakan kontraktor bagi Pemerintah

Indonesia di Batu Hijau, NTB, telah menerapkan STD sejak awal beroperasi pada 1999. Amdal untuk proyek Batu Hijau telah disetujui oleh

pemerintah Indonesia melalui (KEP- 41/MENLH/10/1996).

Izin operasionalt a ili ng pertama PT NNT diterbitkan pada tahun 2002 dan berlaku hingga tiga tahun kemudian. Dalam masa izin

tersebut dilakukan pemantauan oleh Pemerintah Indonesia dan lembaga penelitian internasional yang independen terhadap terhadap kinerja

Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut. 2004. Pada 2005 PT NNT mendapatkan perpanjangan izin STD hingga 2007. Pada 2006 terjadi

kebocoran pipata iling sehingga operasinal STD dialihkan melaui pipa cadangan. Berbagai LSM, pemerintah, hingga masyaratakat luas

mengecam kebocoran tersebut dan secara umum menuntut agar izin operasional STD PT NNT dicabut atau tidak diperpanjang.

Makalah ini akan membahas tentang perencanaan dan implementasi tailing di PT NNT setelah diberikan perpanjangan izin oleh

pemerintah Indonesia pada 2007 melalui KepMenLH236/2007 yang berlaku selama empat tahun setelah itu dan disesuaikan dengan studi amdal

sebelum proyek Batu Hijau dilaksanakan serta baku mututa il ing yang ditetapkan oleh pemerintah.

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini dibatasi hanya pada publikasi manajemen STD yang dikeluarkan oleh PT NNT dan hasil riset Lembaga Pengkajian Oceanography
LIPI, CSIRO-Australia, Pusat Pengkajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB, LAPI ITB, dan konsultan Enesar-Australia tentang penempatant
a ilin g di dasar laut oleh PT NNT. 3

1.3 Tujuan

Secara umum tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah amdal yang diberikan oleh

pengajar pada semester VI. Secara khusus tujuan makalah ini sebagai berikut.

a. Untuk mempelajari metode penempatant a iling di dasar laut oleh PT NNT sesuai dengan pengetatan persyaratan dan sistem

pengawasan sesuai syarat perpanjangan izin pada 2007 dan disesuaikan dengan studi amdal sebelum proyek Batu Hijau

dilaksanakan serta baku mututa i ling yang ditetapkan oleh pemerintah.

b. Untuk mengetahui implementasi penempatanta il ing di dasar laut oleh PT NNT sesuai dengan pengetatan persyaratan dan

sistem pengawasan sesuai syarat perpanjangan izin pada 2007 dan disesuaikan dengan studi amdal sebelum proyek Batu

Hijau dilaksanakan serta baku mututa iling yang ditetapkan oleh pemerintah.

c. Untuk mempelajari isu tentang tuntutan dari LSM, pakar, hingga masyarakat umum agar izin operasional STD PT NNT

dicabut atau tidak diperpanjang


d. Untuk memberikan pengetahuan kepada penulis dan mahasiswa tentang
underwater construction.

Sebagai penerapan transparansi dalam pengelolaan lingkungan (communities right to know)

terhadap pengelolaan tailing oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT), dengan ini disampaikan bahwa

izin Penempatan Tailing di Dasar Laut atau Submarine Tailing Placement (STP) oleh PT. NNT yang lama

telah habis masa berlakunya pada tanggal 13 Mei 2005. Setelah mempertimbangan hasil studi yang

dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian (Pusat Pengkajian Oceanography LIPI, CSIRO-Australia, Pusat

Pengkajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB, dan Konsultan Enesar-Australia), pendapat yang

berkembang dari berbagai pihak (LSM, Asosiasi Pertambangan, dan Pakar), serta kajian yang telah

dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sejak awal tahun 2005, dengan ini disampaikan

bahwa izin pembuangan tailing PT. Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa Barat dapat diperpanjang

dengan persyaratan dan sistem pengawasan yang lebih diperketat.

Pengetatan persyaratan dan sistem pengawasan dilakukan dalam rangka penerapan prinsip-prinsip

kehati-hatian (precautionary principles) dalam pengelolaan lingkungan hidup demi perlindungan

terhadap kehidupan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup di daerah pertambangan dan

sekitarnya. Pengetatan persyaratan dan sistem pengawasan ini tercermin dari adanya kewajiban

tambahan yang harus dipenuhi oleh PT. NNT dalam pengelolaan tailing yang dihasilkan. Pengetatan

persyaratan dan sistem pengawasan adalah sebagai berikut:

1. Pengurangan jumlah tailing yang dapat ditempatkan ke hulu Ngarai Laut Senunu melalui sistem

Submarine Tailing Placement (STP) sebesar 8.000.000 metrik ton kering per tahun. Pada izin sebelumnya

PT. NNT diperbolehkan untuk menempatkan tailing ke Dasar Laut sebesar 58.400.000 metrik ton kering

per tahun, di dalam izin yang baru PT. NNT hanya diperbolehkan menempatkan tailing di dasar laut

sebesar 50.400.000 metrik ton kering per tahun.

2. Untuk meminimalkan dampak pembuangan tailing terhadap lingkungan, PT. NNT wajib melakukan
upaya-upaya dan kajian untuk pengelolaan tailing secara keseluruhan, diantaranya mendorong

penerapan 3R (Reduce, Reuse, dan Recycling).

3. Jangka waktu berlaku izin diperketat dari tiga tahun menjadi dua tahun. Perketatan jangka waktu

pemberlakuan izin ini untuk memudahkan kaji-ulang terhadap kinerja pengelolaan tailing dan penaatan

izin yang diberikan kepada PT. NNT secara keseluruhan. Juga untuk melakukan kajian-kajian

sebagaimana tersebut pada butir No. 2 di atas.

4. KLH akan membentuk tim pemantau independen untuk melakukan pemantauan terhadap kegiatan

penempatan tailing di bawah laut PT. NNT. Pembentukan tim pemantau independen dengan melibatkan

berbagai pihak dilakukan guna menjamin kredibilitas dan akuntabilitas hasil pemantauan tersebut. Serta

mendorong penerapan prinsip transparansi dalam pengelolaan lingkungan.

Perpanjangan izin Penempatan Tailing PT. NTT di Dasar Laut ditetapkan melalui Keputusan Menteri

Negara Lingkungan Hidup No. 82 tahun 2005 tertanggal 9 Mei 2005 tentang Perpanjangan izin

penempatan Tailing Di Dasar Laut Kepada Perseroan Terbatas Newmont Nusa Tenggara Proyek Batu

Hijau. Sebagai informasi tambahan, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup dapat dilihat

sebagaimana terlampir.

Untuk meminimalkan dampak lingkungan dari kegiatan PT. NNT, KLH juga secara berkala melakukan

pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan lingkungan PT. NNT secara keseluruhan. Kegiatan

pengawasan yang dilakukan antara lain mencakupi;

• pengendalian pencemaran air,

• pengendalian pencemaran udara, dan

• pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).


Hasil pengawasan KLH ini akan disampaikan ke masyarakat melalui pelaksanaan PROPER (Program

Penilaian Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan hidup).

Pengertian Tailing

Tailing sebenarnya merupakan limbah yang dihasilkan dari proses penggerusan batuan tambang
(ore) yang mengandung bijih mineral untuk diambil mineral berharganya. Tailing umumnya
memiliki komposisi sekitar 50% batuan dan 50% air sehingga sifatnya seperti lumpur (slurry).
Sebagai limbah, tailing dapat dikatakan sebagai sampah dan berpotensi mencemarkan
lingkungan baik dilihat dari volume yang dihasilkan maupun potensi rembesan yang mungkin
terjadi pada tempat pembuangan tailing. Tailing hasil ekstraksi logam seperti emas dan nikel
umumnya masih mengandung beberapa logam dengan kadar tertentu. Logam ini berasal dari
logam yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan mineral berharga itu sendiri.
Mineral yang mengandung emas dan perak biasanya berasosiasi dengan logam perak, besi,
chrom, seng dan tembaga seperti kalkokpirit (CuFeS2) dan berbagai mineral sulfida lain.

Karena di dalam tailing kandungan logam berharga sudah sangat sedikit dan dalam jumlah yang
tidak ekonomis, maka tailing ini biasanya dibuang. Perbandingan logam berharga sepeti emas
dan tailing sangat besar. Untuk penambangan emas dan perak secara bawah tanah di Jawa Barat,
dalam satu ton bijih batuan hanya mengandung rata-rata Au 9 gr/ton dan Ag 96 gr/ton (Antam,
2006). Sedangkan di daerah lain yang menambag emas porfiri dan tembaga hanya dengan kadar
rata-rata hanya Au 0,3 gr/ton dan Ag 1,06 gr/ton.

Perbedaan volume dan kadar yang besar ini menyebabkan jumlah tailing hasil pengolahan dan
penambangan sangat besar. Untuk penambangan dengan sistem open pit, jumlahnya sangat
besar. Sebuah tambang tembaga asing menghasilkan 40 juta ton tailing per tahunnya kemudian
dengan skala lebih besar lagi menghasilkan lebih dai 81 juta ton tailing tiap tahunnya.

Tailing Sebagai Limbah

Pengertian limbah berdasarkan PP No. 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan atau proses produksi. Jika melampaui
nilai ambang batas dapat membahayakan lingkungan di sekitarnya. Tailing berpotensi sebagai
sumber pencemar lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan
pengotoran lingkungan, pencemaran air dan tanah. Pengertian tailing diatas dapat diartikan
sebagai limbah pada sisa aktivitas pengolahan dan penambangan, tidak terpakai, karena
membahayakan lingkungan harus dikelola dari lingkungan. Dengan demikian diperlukan biaya
yang tidak sedikit untuk mengelola tailing ini.

Tailing penambangan emas sebagai limbah adalah sisa setelah terjadi pemisahan konsentrat atau
logam berharga dari bijih batuan di pabrik pengolahan, bentuknya merupakan batuan alami yang
telah digerus. Dalam artian sebagai limbah, tailing ini tidak bernilai karena hanya sebagai produk
sisa atau buangan dari pengambilan emas dan perak.

Tailing Sebagai Limbah B3

Pengertian limbah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas
manusia maupun proses alam (Satriago, 1996). Sebagai hasil sampingan dari proses pengolahan
tailing juga masuk dalam kategori limbah. Selain itu ada pengertian limbah B3 berdasarkan pasal
1 PP No. 19 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 pengertian Limbah B3, adalah “sisa
suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena
sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain”. Berdasar
ketentuan ini, KLH menyatakan tailing sebagai limbah B3. Pengertian ini, tailing tidak bernilai
karena hanya sebagai produk sisa dari pengambilan emas dan perak dan berpotensi sebagai
pencemar lingkungan apabila tidak dikelola.

Tailing Sebagai Sumber Daya

Dilain pihak terdapat pengertian bahwa tailing merupakan potensi sumberdaya yang dapat
dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai tambah sebagai produk yang dapat dimanfaatkan
kembali menjadi produk lain. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan nilai tambah
dari hanya sekedar limbah yang tidak termanfaatkan.

Tailing sebagai sumberdaya telah mulai dimanfaatkan di beberapa perusahaan pertambangan


baik di dalam maupun luar negeri. Komposisi utama tailing hasil penambangan emas umumnya
adalah kuarsa, lempung silikat dan beberapa logam yang terkandung di dalamnya (Prasetyo,
2005). Komposisi tailing seperti ini ditambah lagi dengan ukuran yang halus membuat banyak
tailing dimanfaatan sebagai media tanam untuk reklamasi, pengurukan lahan reklamasi dengan
sistem cutt and fill serta pembuatan bahan bangunan dan agregat. Untuk pembuatan bahan
bangunan dan beton ini, tailing digunakan sebagai bahan utama dan ditambahkan beberapa
bahan aditif lainnya.

Pertimbangan dalam Pemanfaatan Tailing

Tailing yang dihasilkan dari industri pertambangan menjadi perdebatan karena volume yang
dihasilkan sangat besar dan masih mengandung logam dalam konsentrasi tertentu. Volume
tailing ini besar karena di dalam bijih tembaga misalnya, hanya terkandung 0,5%-2% logam
tembaga dan sisanya adalah batuan waste yang akan menjadi tailing. Perbedaan pengotor dan
mineral berharga inil yang membuat tailing pertambangan volumenya sangat besar.

Karena volume yang besar ini pula, maka tailing harus ditempatkan di lokasi khusus dan dengan
maintenance yang cermat pula. Pemilihan sistem penempatan tailing dan pemanfaatan tailing
bukan saja memikirkan faktor biaya tetapi juga dampaknya bagi lingkungan hidup.
Perkembangan industri pertambangan saat ini membuat produksi harus diiringi dengan
pelaksanaan penambangan yang bertanggung jawab.
Volume tailing yang sangat besar ini dapat berpotensi menurunkan fungsi lingkungan karena
sebaran tailing dapat menutupi permukaan sehingga vegetasi yang ada di permukaan menjadi
tidak dapat hidup. Selain itu tailing membutuhkan area khusus yang besar dan steril untuk lokasi
penampungan. Penanganan tailing harus dilakukan dengan good mining practice karena jika
tidak dikelola akan menimbulkan dampak yang besar

Semakin tinggi volume tailing yang akan dibuang, semakin besar luas pula area yang diperlukan
untuk menampung tailing (tailing dam). Semakin luasnya penggunaan tanah ini berarti akan
menambah beban limbah ke lingkungan. Para ahli tambang dan lingkungan merekomendasikan
pemanfaatan kembali tailing ini untuk berbagai keperluan aktivitas penambangan karena praktik
terbaik pengelolaan lingkungan di pertambangan menuntut proses yang terus menerus dan
terpadu, mulai kegiatan eksplorasi awal hingga konstruksi, pengoperasian dan penutupannya
(Arief, 2007).

Pemanfaatan kembali tailing dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti penggunaan agregat
(bahan bangunan), sebagai media tanam, pembuatan jalan, reklamasi lahan pantai maupun
pengisi lubang bukaan tambang (backfilling). Pemanfaatan tailing sejalan dengan prinsip 3 R
(reduce, reuse dan recycle) akan mengurangi volume tailing sehingga beban lingkungan
berkurang.

Karakteristik tambang bawah tanah sangat khas karena disesuaikan dengan jenis dan kondisi
cadangan. Meskipun begitu, baik tambang bawah tanah maupun open pit, keduanya selalu
menghasilkan tailing. Tabel ini menunjukkan produksi dan tailing di tambang terbuka dan
bawah tanah serta pemanfaatannya di tambang Indonesia:

You might also like