You are on page 1of 18

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Intensi

2.1.1. Pengertian Intensi

Intensi merupakan kemauan atau niat untuk melakukan sesuatu perilaku,

sehingga kekuatan intense dilihat dari besarnya kemauan individu untuk

melakukan perilaku tersebut (Fishbein dan Ajzen, 1975 : 289).

2.1.2. Faktor Intensi

Berdasarkan teori Fishbein dan Ajzen ( dalam Baron & Byrne, 2004 :

135 ) intensi ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu :

a. sikap terhadap tingkah laku

Evaluasi positif atau negative dari tingkah laku yang ditampilkan.

b. norma subjektif

Persepsi orang lain akan menyetujui atau menolak tingkah laku tersebut.

c. control tingkah laku yang dipersepsikan

Penilaian terhadap kemampuan sikap untuk menampilkan tingkah laku.


Jika digambarkan maka proses terbentuknya intensi ialah sebagai berikut (Baron

& Byrne, 2004 : 136) :

Sikap terhadap
tingkah laku
tertentu

Norma – norma Intense


subyektif Tingkah laku
tingkah
yang tampak
laku

Control tingkah
laku yang
dipersepsikan

2.1.3. Kekhususan Intensi

Menurut Fishbein dan Ajzen (1975: 292) ada empat elemen berbeda yang

mengkhususkan intensi, yaitu:

a. Perilaku

yaitu perilaku khusus yang nantinya akan diwujudkan secara nyata.

b. Objek sasaran

yaitu perilaku mana yang akan dituju. Objek sasaran dapat dikhususkan atas

particular object (seperti nama); A class of object (seperti jabatan atau

kedudukan); dan any object (seperti orang pada orang pada umumnya)

c. Situasi

yaitu situasi yang bagaimana perilaku itu diwujudkan. Situasi disini dapat

dimaksud lokasi atau situasi suasana.

d. Waktu
yaitu kapan perilaku akan diwujudkan. Waktu ini dikhususkan sebagai waktu

periode (seperti Agustus) dan periode tak terbatas (seperti suatu waktu yang

akan datang).

2.2. Social Loafing

2.2.1. Pengertian Social Loafing

Social loafing merupakan usaha individual ketika mereka bekerja dalam

kelompok dibandingkan ketika mereka beerja sendiri (Wayne, 2000: 493).

Menurut Karau & Williams (dalam Baron & Donn Byrne, 2005: 185) social

loafing ialah pengurangan motivasi dan usaha yang terjadi ketika individu bekerja

secara kolektif dalam kelompok dibandingkan ketika mereka bekerja secara

individual sebagai rekan yang independent. Begitu juga dengan ketika sumbangan

individu untuk aktif bersama tidak dievaluasi, seringkali individu bekerja kurang

keras daripada mereka sendiri hal itu disebut social loafing (Taylor, Peplau &

Sears, 2000: 291).

Jadi social loafing adalah pengurangan upaya dan motivasi individu saat

bekerja secara bersama-sama dalam kelompok dibandingkan secara sendirian.

2.2.2. Teori Social Loafing

Terdapat banyak penjelasan berbeda mengenai bagaimana terjadinya

social loafing, tetapi menurut Baron dan Byrne (2005: 186) penjelasan yang

paling komprehensif adalah model usaha kolektif (collective effort model / CEM)

milik Karau dan Williams (1993). Social loafing dapat dipahami dengan cara

memperluas teori dasar atas motivasi individual (Expectance-Valence Theory)


pada situasi yang melibatkan kinerja kelompok. Expectance-Valence Theory

menyebutkan bahwa individu akan bekerja keras pada tugas yang diberikan hanya

ketika kondisi-kondisi berikut terpenuhi :

a. Mereka percaya bahwa bekerja keras akan menghasilkan kinerja yang lebih

baik (Expectance/pengharapan).

b. Mereka percaya bahwa kinerja yang lebih baik akan diakui dan dihargai

(Instrumentality/instrumentalitas).

c. Penghargaan yang diperoleh adalah sesuatu yang mereka anggap berharga

dan diinginkan (Valence/valensi).

Menurut Karau & Williams (dalam Baron dan Byrne ,2005: 186),

hubungan tersebut seringkali terlihat lebih lemah ketika individu bekerjasama

dalam kelompok daripada ketika mereka bekerja sendirian. Faktor yang

mempengaruhi ialah

a. Faktor pengharapan

Kepercayaan bahwa usaha yang meningkatkan akan menghasilkan kinerja

yang lebih baik. Kepercayaan ini mungkin tinggi ketika individu bekerja sendiri

tetapi akan rendah ketika bekerja bersama dalam kelompok, karena orang – orang

menyadari bahwa ada faktor – faktor lain disamping usaha mereka sendiri yang

akan menentukan kinerja kelompok.

b. Faktor instrumentalitas

kepercayaan bahwa kinerja yang baik akan diakui dan dihargai, tetapi

dapat juga menjadi lemah ketika individu bekerja sama dalam kelompok. Mereka

menyadari bahwa hasil baik yang didapatkan akan dibagi ke semua anggota
kelompok, dan sebagai konsekuensinya mereka mungkin saja tidak akan

mendapatkan pembagian yang adil sesuai dengan tingkat usaha mereka.

Teori Collective Effort Model mengungkapkan bahwa karena terdapat

lebih banyak ketidakpastian antara seberapa keras orang bekerja dan hasil yang

mereka terima, mereka terlibat dalam social loafing.

2.2.3. Karakteristik Social Loafing

Social loafing dapat dilihat dari karakteristik yang dimunculkan oleh

individu, yaitu : Kecenderungan untuk mengurangi atau meniadakan usaha ketika

tergabung dalam sebuah kelompok, seorang individu memiliki kecenderungan

untuk melakukan pengurangan usaha individual. Hal ini disebabkan karena

individu mengetahui bahwa dalam sebuah tugas kelompok dibutuhkan kontribusi

dari setiap anggota kelompoknya agar dapat memperoleh hasil yang maksimal,

sehingga terkadang muncul sikap pasif. Hal tersebut didukung dengan adanya

penelitian yang dilakukan oleh Latané, Williams, dan Harkins (dalam Baron dan

Byrne, 2005: 185) dimana mereka meminta sekelompok pelajar pria untuk

bertepuk tangan atau bersorak sekeras mungkin pada waktu – waktu tertentu,

sehingga peneliti dapat menentukan seberapa banyak suara yang dibuat orang –

orang dalam setting sosial. Mereka melakukan tugas - tugas ini dalam kelompk

yang terdiri dari dua, empat atau enam orang. Hasil memperlihatkan bahwa

meskipun jumlah keributan meningkat seiring meningkatnya ukuran kelompok,

jumlah suara yang dihasilkan oleh masing – masing partisipan menurun. Dengan

kata lain, setiap orang mengeluarkan usaha yang semakin dan semakin kecil selagi

ukuran kelompok meningkat. Dampak seperti ini tidak terbatas pada situasi yang
sederhana dan terlihat tidak berarti seperti ini; sebaliknya, hal ini cukup umum

terjadi dalam berbagai tugas, baik yang bersifat kognitif maupun yang melibatkan

usaha fisik.

2.2.4. Faktor Social Loafing

Berdasarkan hasil analisis Karau & Williams (dalam Schultz & Schultz,

1998: 299) social loafing biasanya diikuti oleh beberapa kondisi seperti :

a. ketika output individu tidak dievaluasi.

b. ketika individu mengerjakan tugas tidak memiliki arti bagi dirinya atau

personally involving.

c. ketika bekerja dengan orang-orang yang tidak dikenal.

d. ketika individu mengira teman sekelompok mereka bekerja menyelesaikan

tugas dengan lebih baik.

Menurut Sarwono (2001: 104) ada berbagai faktor lain yang juga dapat

mempengaruhi social loafing itu diungkap dari berbagai penelitian sebagai berikut

a. faktor-faktor rasional, normative, dan afektif menyebabkan social loafing dan

menumpang kesuksesan orang lain tanpa berbuat apa-apa (Kidwell & Bannet,

1993).

b. orang tidak akan mau rajin kalau yang lain malas. Jika seperti ini, tetap akan

terjadi social loafing walaupun tugasnya menarik (Robbin, 1995).

c. pengambilan peran : jika peran seseorang (misalnya pemimpin) sudah diambil

alih oleh orang lain, orang tersebut akan malas menjalakan perannya (Kerr &

Stanfel, 1993).
d. tidak adanya pembagian tanggung jawab dalam bekerja (Wagner, 1995).

e. ketika seseorang individualis berada dalam kelompok maka akan terjadi social

loafing, sedangkan jika orang itu kolektiv tidak akan terjadi social loafing (Early,

1989).

2.3. Pengertian Intensi Social Loafing

Pengertian intensi social loafing ialah keinginan atau niat untuk

melakukan pengurangan upaya dan motivasi individu saat bekerja secara

bersama-sama dalam kelompok dibandingkan secara sendirian.

Intensi malakukan kemalasan social dilihat dari:

a. Perilaku

Yaitu melakukan perilaku social loafing saat mengerjakan tugas secara

berkelompok.

b. objek sasaran

yaitu timbulnya perilaku yang memanfaatkan teman sekelompok yang

dianggap dapat menyelesaikan tugas dengan baik.

c. Situasi

Yaitu timbulnya keinginan untuk memunculkan perilaku social loafing pada

lokasi atau situasi suasana tertentu.

d. Waktu

Yaitu keinginan uantuk berperilaku social loafing pada yang ditentukan atau

pada waktu yang akan datang.


2.3. Self Efficacy

2.3.1. Pengertian Self Efficacy

Menurut Bandura, self efficacy adalah keyakinan seseorang bahwa ia bisa

menguasai situasi dan memproduksi hal positif ( Santrock, 2004: 523).

Pervin ( 1984), dalam Smet (1994 : 189) menyatakan kemampuan yang

dirasakan untuk membentuk perilaku yang relevan pada tugas atau situasi khusus.

Jadi self efficacy adalah keyakinan akan kemampuan seseorang untuk

membentuk perilaku yang relevan pada tugas dan situasi tertentu sehingga dapat

memproduksi hal positif.

2.3.2. Faktor self efficacy

Bandura (dalam Hjelle dan Ziegler, 1992 : 353 - 354) menyatakan bahwa

self efficacy dapat diperoleh melalui salah satu atau kombinasi dari empat sumber

yaitu :

a. Performance accomplishments

Bandura menguraikan dengan sederhana, pengalaman penguasaan personal

cenderung menciptakan harapan yang tinggi, sedangkan pengalaman kegagalan

sebelumnya cenderung menghasilkan harapan yang rendah. Mencapai

keberhasilan akan membrikan dampak efficacy yang berbeda – beda, tergantung

pencapaiannya (Alwisol, 2004 : 361):

- semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan membuat efficacy

semakin tinggi.
- Kerja sendiri, lebih meningkatkan efficacy dibandingkan kerja

kelompok, dibantu orang lain.

- Kegagalan menurunkan efficacy, kalau orang merasa sudah

sebaik mungkin.

- Kegagalan dalam suasana emosional atau stress, dampaknya

tidak seburuk kalau kondisinya optimal.

- Kegagalan sesudah orang memiliki keyakinan efficacy yang

kuat, dampaknya tidak seburuk kalau kegagalan itu terjadi pada

orang yang keyakinan efficacy-nya belum kuat.

- Orang yang biasa berhasil, sesekali gagal tidak mempengaruhi

efficacy.

b. Vicarious experiences

Melihat keberhasilan orang lain dapat membangkitkan persepsi kuat dari self

efficacy pada individu yang mengamati.

c. Verbal persuasion

Argument yang meyakinkan bahwa individu memiliki kemampuan diperlukan

untuk menyelesaikan tujuan mereka.

d. Emotional arousal

Individu akan jauh lebih berhasil ketika mereka tidaklah tegang dan secara

penimbulan emosional.

2.3.3. Aspek self efficacy


Terdapat tiga aspek self efficacy yang menjadi prediktor penting (dalam

Robert A. Baron & Donn Byrne, 2004: 183 ) pada tingkah laku self efficacy

akademik, yaitu :

a. keyakinan siswa akan kemampuannya melakukan tugas-tugas

b. mengatur kegiatan mereka sendiri

c. hidup dengan harapan akademis mereka sendiri dan orang lain.

2.4. Hubungan Antara Intensi Social Loafing dengan Self Efficacy Akademik

pada Mahasiswa Akuntansi

Intensi social loafing merupakan niat yang mendukung individu

melakukan pengurangan upaya dan motivasi individu saat bekerja secara

bersama-sama dalam kelompok dibandingkan secara sendirian. Terdapat beberapa

faktor yang mempengaruhi individu dalam social loafing, salah satunya adalah

individu berpikir bahwa teman sekelompoknya lebih dapat menyelesaikan tugas

dengan baik. Pikiran tersebut akan mempengaruhi self efficacy yang dimiliki

individu.

Self efficacy ialah keyakinan akan kemampuan seseorang untuk

membentuk perilaku yang relevan pada tugas dan situasi tertentu sehingga dapat

memproduksi hal positif. Semakin tinggi keyakinan mereka terhadap kemampuan

yang mereka miliki akan semakin tinggi juga keberhasilan mereka menyelesaikan

tugasnya, sebaliknya semakin rendah keyakinan mereka terhadap kemampuan

yang mereka miliki maka semakin rendah juga keberhasilan mereka dalam

menyelesaikan tugas.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ketika individu memiliki Self efficacy yang

rendah dalam menyelesaikan tugas kelompok maka individu tersebut akan tinggi

kemungkinannya melakukan social loafing ketika menyelesaikan tugas kelompok.

2.5. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang yang ada maka hipotesis penelitian ini adalah “

ada hubungan antara intensi social loafing dengan self efficacy pada mahasiswa

akuntansi”.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Identifikasi Variabel Penelitian

Variable tergantung (Y) : intensi social loafing

Variable bebas (X) : self efficacy

3.2. Definisi Operasional

Definisi operasional dari penelitian ini adalah

1. Intensi social loafing merupakan niat yang mendukung individu melakukan

pengurangan upaya dan motivasi individu saat bekerja secara bersama-sama

dalam kelompok dibandingkan secara sendirian. Intensi social loafing akan

diukur menggunakan skala yang memiliki aspek – aspek sebagai berikut

perilaku, objek sasaran, situasi dan waktu. Tinggi rendahnya intensi social

loafing akan ditunjukkan melalui skor yang diperoleh dari skala. Semakin

tinggi skor yang diperoleh berarti semakin tinggi intensi social loafing,
sebaliknya makin rendah skor yang didapatkan, berarti semakin rendah intensi

social loafing.

2. self efficacy adalah keyakinan akan kemampuan seseorang untuk membentuk

perilaku yang relevan pada tugas dan situasi tertentu sehingga dapat

memproduksi hal positif.

3.3. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa

Fakultas Ekonomi Akuntansi Universitas Katolik Widya Mandala yang

mengambil mata kuliah yang mengharuskan pengerjaan tugas secara

berkelompok. Dari adanya tugas yang pengerjaannya secara berkelompok maka

intensi social loafing dan self efficacy dari mahasiswa dapat diketahui.

Sampel ialah bagian dari populasi yang memiliki sifat – sifat karakteristik

yang sama dengan populasinya, karena itu pemilihan sampel harus diusahakan

agar dapat memberikan gambaran seluruh populasi. Penelitian ini menggunakan

teknik snow ball sampling karena penambahan jumlah sampel dilakukan atas

dasar informasi yang diberikan oleh subjek sebelumnya.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan

skala karena skala dapat mengungkap perbedaan derajat dalam kuatitas dan

kualitas. Data yang diperoleh dalam penelitian ini ialah merupakan pendapat dari

subjek penelitian. Hasil data tersebut akan dikuantifikasikan melaluai pemberian


skor pada masing – masing pilihan yang tersedia, sehingga diperoleh data interval

yang akan diolah secara statistic.

Aitem pernyataan yang digunakan disusun berdasarkan metode rating

yang dijumlahkan atau skala likert.

Setiap aitem yang akan digunakan disertai dengan empat respon, yaitu

STS : sangat tidak setuju

TS : tidak setuju

S : setuju

SS : sangat setuju

Table 3.1.

Nilai skor untuk setiap aitem

Alternatif jawaban Skor aitem


favorable unfavorable
STS (sangat tidak 1 4
setuju)

TS (tidak setuju) 2 3

S (setuju) 3 2

SS (sangat setuju) 4 1

Ada dua skala yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

a. Skala intensi social loafing

skala ini mengungkapkan tentang aspek – aspek dari intensi social loafing. Jumlah

pertanyaan yang digunakan dalam skala ini adalah sebanyak 16 aitem, kemudian
dikelompokkan menjadi 4 aspek yang diukur. Blue print skala intensi melakukan

social loafing adalah sebagai berikut :

Tabel 3.2.

Blue print skala intensi social loafing

No Aspek prsentase Favorable Unfavorable Jumlah


1. perilaku 25 % 2 2 4
2. Objek sasaran 25 % 2 2 4
3. situasi 25 % 2 2 4
4. waktu 25 % 2 2 4
total 100 % 8 8 16

b. Skala self efficacy

skala ini mengungkap tentang aspek – aspek dari self efficacy. Jumlah pertanyaan

dalam skala ini adalah sebanyak 12 aitem,kemudian dikelompokkan menjadi 4

aspek yang diukur. Blue print skala self efficacy adalah sebagai berikut :

Tabel 3.3.

Blue print skala self efficacy

No Aspek prsentase Favorable Unfavorable Jumlah


1. yakin akan 33,33 % 2 2 4
kemampuannya
melakukan tugas-
tugas
2. mengatur 33,33 % 2 2 4
kegiatan mereka
sendiri
3. Memiliki harapan 33,33 % 2 2 4
akademis
total 100 % 6 6 12
3.5. Validitas Dan Reliabilitas

3.5.1. Validitas

Validitas adalah sejauhmana tes mampu menggukur apa yang seharusnya

diukur (Azwar, 2008: 51). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah

validitas isi, dimana menunjukkan sejauhmana kawasan isi yang hendak diukur

oleh tes itu (Azwar, 2008 : 45 ).

Penelitian ini menggunakan uji validitas butir, yaitu pengujian terhadap

aitem – aitem skala. Untuk seleksi aitem, dilakukan uji validitas aitem dengan

cara mengkoreksikan setiap skor totalnya dengan koreksi ganda. Kriteria koefisien

validitas yang digunakan adalah 0,50 dan minimal 0,30 (r kritis = 0,3), bila

koefisien validitas memenuhi standar tersebut maka aitem dianggap valid (Azwar,

2007: 103).

3.5.2. Reliabilitas

Reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya.

Hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan

pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif

sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah

(Azwar, 2008 : 4).

Penelitian ini menggunakan pengujian reliabilitas dengan metode

konsistensi internal yaitu pengujian reliabilitas yang dilakukan dengan

menggunakan satu bentuk tes yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok

subjek (single-trial administration). Pendekatan ini bertujuan melihat konsistensi

antar aitem atau antar bagian dalam tes itu sendiri (Azwar, 2008 : 41 – 42).
Pendekatan konsistensi internal yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan rumus Cronbach Alpha, dengan standar estimasi nilai α aitem harus

mencapai > 0,6. Bila nilai aitem tidak mencapai standar tersebut maka akan

dilakukan eliminasi aitem (Azwar, 2007 : 96). Uji reliabilitas akan dihitung

menggunakan computer dengan program sistem statistical program for social

science (SPSS).

3.6. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik korelasi pearson

product moment yaitu mengukur kekuatan hubungan antara satu variabel bebas

dengan satu variabel tergantung yang berskala interval atau rasio. Hal ini

dilakukan dengan syarat adanya korelasi antara nilai x dan y, serta sifat korelasi

linier.

Sebagai syarat penggunaan statistik parametik, maka terdapat data yang

diasumsikan terlebih dahulu yaitu:

a. uji normalitas

yaitu suatu pengujian untuk mengetahui apakah distribusi data variabel yang

diteliti mengikuti distribusi kurva normal.

b. uji linieritas

yaitu suatu pengujian untuk mengetahui apakah sifat hubungan antara kedua

variabel tersebut linier.

Seluruh perhitungan akan dibantu menggunakan komputer dengan sistem

statistical program for social science (SPSS). Pengujian statistik dilakukan pada

taraf 5%.
DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. (2004). Psikologi Kepribadian edisi revisi. Malang : Universitas

Muhammadiyah Malang.

Azwar, Saifuddin. (2007). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Azwar, Saifuddin. (2008). Dasar – Dasar Psikometri. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Azwar, Saifuddin. (2008). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar.

Baron, Robert A. & Donn Byrne. (2004). Psikologi Sosial jilid 1 (edisi

kesepuluh). Jakarta : Erlangga.

Baron, Robert A. & Donn Byrne. (2005). Psikologi Sosial jilid 2 (edisi

kesepuluh). Jakarta : Erlangga.

Dayakisni, Tri & Hudaniah. (2003). Psikologi Sosial. Malang : Universitas

Muhammadiyah Malang.

Fishbein, Martin & Icek Ajzen. (1975). Belief, Attitude, Intention and

Behavior : An Introduction to Theory And Research. London : Addison – Wesley

Publishing Company.

Hjelle, Larry A. & Daniel J. Ziegler. (1992). Personality Theories Third

Edition. US : McGraw Hill International Editions.

Schultz, Duane & Sydney Ellen Schultz. (1998). Psychology and Work

Today: An Introduction to Industrial and Organizational Psychology. New Jersey:

Prentice-Hall.
Sarwono, Sarlito Wirawan. (2001). Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok

dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.

Taylor, Shelley E., Letitia Anne Peplau, & David O. Sears. (2000). Social

Psychology(tenth edition). New Jersey : Prentice Hall Inernational, INC.

Weiten, Wayne. (2000). Pschology Themes And Variations Briefer

Version (fourth edition). The United States of America : Wardsworth Publishing

Company.

You might also like