You are on page 1of 15

1

Pemakaian Dialek Banyumasan dan Perkembangannya

I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Bahasa di dunia tidaklah sama. Dalam suatu negara, beragam bahasa yang
dipergunakan, bahkan pada suatu daerah tertentu beragam bahasa yang dapat kita
dengar dipergunakan orang. Di Indonesia kita mengenal adanya bahasa nasional
(=bahasa persatuan, bahasa resmi, bahasa negara, bahasa pengantar, bahasa
kebudayaan) dan bahasa daerah. Keragaman bahasa tersebut merupakan subsistem-
subsistem bahasa yang berbeda, yang banyak mengandung permasalahan yang
kompleks dan menghasilkan suatu variasi ragam yang berbeda ( Saefi, 2007).
Sampai saat ini, usaha untuk memaparkan dengan jelas dan tegas batas-batas
yang membedakan bahasa dan dialek masih juga belum berhasil memperoleh rumusan
yang memuaskan (Ayatrohaedi,1983 : 1). Oleh karena itu, penutur diharapkan dapat
membedakan dialek dengan variasi bahasa yang lain agar tidak terjadi salah
pengertian. Disamping itu, penutur juga diharapkan dapat membedakan ragam dialek
dengan ragam bahasa yang lain.
Bahasa daerah merupakan kekayaan bangsa yang juga harus dibina dan
dikembangkan. Kebijakan yang tidak serius melakukan pembinaan bahasa daerah
sehingga lambat laun akan membawa kepunahan bahasa daerah. Hal ini secara tidak
langsung merupakan tindak perampasan hak hidup masyarakat pendukung bahasa-
bahasa lokal (Ummi:1999). Penutur diharapkan dapat menjaga kelestarian bahasa
daerahnya sehingga tidak menuju ke arah perkembangan yang memburuk.
Namun kenyataannya, banyak penutur yang masih belum mengetahui batas-
batas dan peran dialek dalam kehidupannya sehari-hari. Banyak penutur yang masih
mencampuradukan pengertian dialek sama dengan variasi bahasa lain seperti aksen
dan logat. Penutur juga kurang menyadari bahwa telah terjadi percampuran bahasa
antara bahasa pertama (=bahasa asli) dengan bahasa kedua (=bahasa asing). Selain itu
penutur juga sulit membedakan antara pengertian dialek jika dibandingkan dengan
variasi bahasa yang lain.
Hal ini menimbulkan gejala bahwa bahasa daerah hampir punah karena telah
tergantikan dengan pemakaian bahasa kedua. Selain itu, gejala di atas diakibatkan
pula karena adanya kelompok yang berpendidikan yang disebut dengan
2

dwibahasawan yang membawa variasi bahasa lain ke tengah-tengah bahasa daerah


tersebut (Ayatrohaedi,1983:2).
Berdasarkan uraian tersebut, ada tiga masalah utama yang menjadi penyebab
adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang terjadi. Pertama, penutur
kurang memahami dialek itu sendiri. Hal itu membuat penutur menyalahartikan
pengertian dialek dengan variasi bahasa yang mereka anggap sama. Kedua,
munculnya kelompok yang berpendidikan yang disebut sebagai dwibahasawan yang
membawa variasi bahasa lain. Dan yang ketiga, tentang perkembangan dialek yang
makin memburuk yang mengakibatkan punahnya bahasa daerah (dialek).

I.2. Rumusan Masalah


Makalah ini bermaksud untuk memecahkan tiga masalah tersebut. Oleh karena
itu, penulis akan menguraikan beberapa hal yang berhubungan dengan pemakaian dan
perkembangan dialek oleh penuturnya. Hal-hal tersebut adalah (1) apa pengertian
dialek ? (2) apa faktor yang menyebabkan dialek berbeda dengan variasi bahasa yang
lain? (3) bagaimana perkembangan dialek? (4) mengapa peran bahasa Indonesia
mempengaruhi bahasa daerah? (5) contoh implementasi dialek Banyumasan dalam
kehidupan sekarang ini.

II. KAJIAN PUSTAKA


II.1 Pengertian Dialek
Istilah dialek yang berasal dari kata Yunani dialektos pada mulanya
dipergunakan di sana dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya. Di Yunani
terdapat perbedaan-perbedaan kecil di dalam bahasa yang dipergunakan oleh
pendukungnya masing-masing, tetapi sedemikian jauh hal tersebut tidak sampai
menyebabkan mereka merasa mempunyai bahasa yang berbeda (Meillet, 1976:69 dan
Ayatrohaedi,1983:1). Meillet menambahkan pula ada dua ciri lain yang dimiliki
dialek, yaitu (1) dialek ialah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda,
yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya
dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak
harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa.
Chaurand dalam Ayatrohaedi yang mengutip kata-kata Claude Fauchet, dialek
pada mulanya ialah mots de leur terroir ‘kata-kata di atas tanahnya’ (1972:149), yang
di dalam perkembangannya kemudian menunjuk kepada suatu bahasa daerah yang
3

layak dipergunakan di dalam karya sastra, atau masih dipergunakan di dalam rujukan
kepada bahasa abad pertengahan (1972:151).
Berbeda dengan pendapat di atas Kunjana Rahardi dalam bukunya yang
berjudul Dimensi-dimensi Kebahasaan (2006:17), menjelaskan bahwa dialek
menunjuk pada variasi bahasa yang digunakan kelompok sosial tertentu dalam
konteks situasi pemakaian yang berbeda-beda. Hal ini menjadikan dialek dipelajari
secara khusus dan lebih mendalam. Dialek (dari bahasa Yunani διάλεκτος, dialektos),
adalah varian-varian sebuah bahasa yang sama. Varian-varian ini berbeda satu sama
lain, tetapi masih banyak menunjukkan kemiripan satu sama lain sehingga belum
pantas disebut bahasa-bahasa yang berbeda (id.wikipediaindondesia.org).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian dialek adalah variasi
bahasa yang digunakan kelompok sosial tertentu yang dipergunakan oleh suatu
masyarakat untuk membedakan dari masyarakat lain yang bertetangga. Selain itu,
dialek merupakan padanan kata logat, lebih umum digunakan ilmu bahasa. Biasanya
pemerian dialek adalah berdasarkan geografi, namun bisa berdasarkan faktor lain,
misalkan faktor sosial.

II.2 Faktor yang Menyebabkan Dialek Berbeda dengan Variasi Bahasa yang
Lain.
Setiap ragam bahasa dipergunakan di suatu daerah tertentu, dan lambat laun
terbentuklah anasir kebahasaan yang berbeda-beda pula, seperti dalam lafal, tata
bahasa, dan tata arti, dan setiap ragam mempergunakan salah satu bentuk khusus
(Guiraud, 1970:11-12 dalam Ayatrohaedi,1983:3).
Pada tingkat dialek, perbedaan tersebut pada garis besarnya dapat dibagi
menjadi lima macam. Kelima macam perbedaan itu adalah (Ayatrohaedi,1983:3) :
1). Perbedaan fonetik (Guiraud,1970:12), polimorfisme (Seguy,1973:6), atau alofonik
(Dubois dkk,1973:21). Perbedaan ini berada di bidang fonologi, dan biasanya si
pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan
tersebut.
2). Perbedaan semantik, yaitu dengan terciptanya kata-kata baru, berdasarkan
perubahan fonologi dan geseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya juga
terjadi geseran makna kata itu. Geseran tersebut bertalian dengan corak, yaitu:
4

a. Pemberian nama yang berbeda untuk yang diberi lambang yang sama di
beberapa tempat yang berbeda, seperti turi dan turuy ’turi’ (Sesbania
grandilflora Pers., Agati grandiflora Desv.).
b. Pemberian nama yang sama untuk hal yang berbeda di beberapa tempat yang
berbeda. Misalnya calingcing untuk ’calingcing’ (Oxalis corrniculata Linn.,
O. Javanica BI.).
3). Perbedaan onomasiologis yang menunjukkan nama yang berbeda berdasarkan
satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda (Guiraud,
1970:16).
4). Perbedaan semasiologis yang merupakan kebalikan dari perbedaan
onomasiologis, yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang
berbeda (Guiraud, 1970:17-18).
5). Perbedaan morfologis, yang dibatasi oleh adanya sistem tata bahasa yang
bersangkutan, oleh frekuensi morfem-morfem yang berbeda, oleh
kegunaannya yang berkerabat, oleh wujud fonetisnya, oleh daya rasanya, dan
oleh sejumlah faktor lainnya lagi (Guiraud,1970).
Semua hal tersebut menunjang pemahaman lahirnya suatu inovasi. Oleh
karena itu, di dalam inovasi bahasa, haruslah dibedakan adanya dua tahap, yaitu
penciptaan yang sifatnya perorangan, dan penerimaan oleh masyarakat bahasa yang
merupakan suatu kenyataan sosial (Jaberg, 1936:79 dalam Ayatrohaedi, 1983:5).
Dalam bukunya Ayatrohaedi yang mengutip dari Guiraud, baik faktor
kebahasaan maupun faktor luar bahasa sangat menentukan pertumbuhan dan
perkembangan dialek. Keadaan alam, misalnya, mempengaruhi tuang gerak penduduk
setempat, baik dalam mempermudah penduduk berkomunikasi dengan dunia luar
maupun mengurangi adanya kemungkinan itu (Guiraud, 1970:23).
Sejalan dengan adanya batasan alam itu, dapat dilihat pula adanya batas-batas
politik yang menjadi salah satu sarana terjadinya pertukaran bahasa. Demikian pula
halnya dengan ekonomi, cara hidup dan sebagainya, tercermin pula di dalam dialek
yang bersangkutan (Guiraud,1970). Di samping itu, terjadinya ragam-ragam dialek itu
terutama disebabkan oleh adanya hubungan dan keunggulan bhasa-bahasa yang
terbawa ketika terjadi perpindahan penduduk, penyerbuan, atau penjajahan (Guiraud,
1970:24).
Kunjana Rahardi (2006 : 17) menambahkan sosok variasi bahasa itu
dibedakan berdasarkan pemakaian atau penggunaannya. Faktor tempat atau lokasi,
5

misalnya saja, akan dapat melahirkan dialek tempat, lokasi, atau regional
(geograpichal dialect). Faktor perpindahan penduduk dan perubahan lokasi
pemukiman juga dapat menjadi penyebab hadirnya dialek tempat atau regional ini.
Perbedaan dalam waktu pemakaian terhadap variasi bahasa tertentu akan melahirkan
dialek waktu atau temporal. Perbedaan dalam hal status atau kelas sosial akan dapat
melahirkan dialek kelas sosial atau dialek sosial. Perbedaan dalam pekerjaan atau
profesi dapat juga melahirkan sosok dialek bahasa yang berbeda, tergantung dari
kekhasan prosesi yang dimilkinya. Kekhasan dalam cara berbahasa yang sesuai
dengan profesi seseorang itulah yang kemudian melahirkan dialek profesi.
Berkaitan dengan ini, dialek profesi negatifnya seorang pencuri, pencopet,
perampok, dan penjahat akan berbeda dengan dialek profesi positifnya seorang
manajer institusi dan seorang sekretaris di perusahaan-perusahaan. Dialek profesi
dalam pengertian yang negatif seperti dicontohkan di depan dalam linguistik disebut
dengan istilah argot. Selain berkonotasi negatif, sosok argot itu juga menunjuk pada
variasi bahasa rahasia dan kasar. Dengan kekhasan ciri yang demikian, hanya warga
kelompok yang memiliki profesi sama sajalah dapat menerima dan memahaminya.
Variasi bahasa dalam pengertian positif, karena didasarkan pada perhatian,
minat, keprihatinan, keinginan, cara kerja, dan cita-cita sama, biasanya melahirkan
wujud dialek lain yang lazim disebut jargon. Jargon-jargon bahasa dengan sendirinya
menunjuk kepada variasi yang dipakai sekelompok orang tertentu dalam profesi sama,
untuk menyebut konsep, sikap, dan perbuatan yang membedakannya dengan profesi
lain.
Lalu, orang biasanya memang senang berakrab-akrab dan bercanda ria dengan
sesama rekan yang memiliki dialek sama. Orang juga serasa gampang bergurau dan
berkelakar dengan orang yang berdialek sama. Hal ini disebabkan oleh kenyataan
behwa dialek bahasa itu berfungsi sebagai penanda solidaritas atau kesetiakawanan
antarsesama warga masyarakat pemiliknya. Dengan merasa setiakawan dan solider
dengan sesamanya itu, orang merasa memiliki suka duka dan nasib yang sama dengan
rekannya. Mereka juga merasa hidup dan senantiasa terus berkembang, dalam wadah
variasi bahasa yang sama. Oleh karena itulah, orang sering merasa akrab dan berelasi
dekat dengan sesama di dalam kelompoknya.
6

III. PEMBAHASAN
III.1 Bagaimana perkembangan dialek dalam kehidupan sehari-hari ?
Dalam dunia modern ini, banyak sekali orang mempelajari bahasa lain, baik
sebagai bahasa kedua (secara urutan atau secara sosiolinguistik) atau bahasa asing.
Hal ini menghasilkan ragam-ragam bahasa (dialek) yang lain dari dialek penutur asli.
Dialek-dialek sebagai bahasa kedua atau bahasa asing sedikit banyak dipengaruhi dan
siwarnai oleh bahasa pertama (=bahasa asli) dari penutur-penturunya. Dialek
semacam ini kita sebut ”ragam bukan asli” (nonnactive variety). Kalau kita kaji ragam
bahasa demikian, kita akan melihat bahwa selain dari pengaruh unsur-
unsur/struktur/fonologi bahasa pertama penutur, nyata sekali bahwa di antara penutur
ragam bukan asli ini terdapat suatu ketidakseragaman (=fluktuasi) yang jauh lebih
banyak dan lebih besar daripada perbedaan-perbedaan yang lazim antara dialek
penutur-penutur asli (Nababan,1984:20).
Menurut Ayatrohaedi dalam bukunya Dialektologi (1983:7-9), mengatakan
bahwa perkembangan dialek dapat menuju kepada dua arah, yaitu menjadi lebih luas
daerah pakainya dan bahkan mungkin menjadi bahasa baku, atau malah dapat lenyap.
Baik perkembangannya yang membaik maupun yang memburuk, semuanya itu selalu
kembali kepada faktor-faktor penunjangnya, apakah itu faktor kebahasaan ataukan
faktor luar bahasa.
a. Perkembangan Membaik
Jika misalnya Bahasa Sunda (BS) kota Bandung dijadikan dasar untuk
menjadi basa sakola ’bahasa sekolah’ yang kemudian dianggap sebagai
basa Sunda lulugu ’bahasa Sunda baku’ (BSL), hal tersebut didasarkan
kepada baik faktor-faktor obyektif maupun faktor-faktor subyektif. Secara
obyektif memang harus diakui bahwa BS kota Bandung memberikan
kemungkinan lebih besar untuk dijadikan basa sakola dan kemungkinan
sebagai BSL. Tetapi penobatan itu bukannya tidak menimbulkan
persoalan, suatu hal yang tidak dihadapi oleh bahasa Jawa (BJ), misalnya.
Sebagaimana diketahui, pembakuan BJ didasarkan kepada BJ kota
Surakarta, terutama yang dipergunakan di lingkungan keraton. Karena
masyarakat menganggap bahwa di samping sebagai pusat kegiatan politik
dan pemerintahan, keraton juga berperan sebagai pemelihara
perkembangan kebudayaan (termasuk bahasa), maka diterimanya BJ kota
Surakarta menjadi bahasa baku BJ tidak sukar. Jadi dengan demikian
7

ternyata bahwa faktor-faktor luar bahasa itu pun akan sangat menentukan
perkembangan dialek, dalam hal ini peningkatan dan penobatannya
menjadi bahasa baku dari bahasa yang bersangkutan.

b. Perkembangan Memburuk
Pada taraf bahasa daerah, pengertian perkembangan memburuk ini
dapat diterapkan kepada perkembangan yang dialami oleh bahasa-bahasa
daerah, terutama yang jumlah pemakaiannya sedikit dan diancam bahaya
kepunahan. Perkembangan memburuk ini disebabkan oleh berbagai faktor
yang pada umumnya berupa faktor luar bahasa. Faktor-faktor tersebut
adalah sebagai berikut:
Susupan bahasa kebangsaan kepada bahasa daerah, dan susupan bahasa
kebangsaan dan bahasa baku bahasa daerah ke dalam dialek
(Nauton,1963:39 dalam Ayatrohaedi,1983:8). Susupan itu dapat terjadi
melalui berbagai saluran, baik resmi maupun tidak resmi. Saluran-saluran
yang dapat dipergunakan untuk melakukan susupan tersebut ialah sebagai
berikut:
a. Sekolah atau lembaga pendidikan (Nauton,1963). Di kota-kota
besar ada kecenderungan untuk menjadi bahasa Indonesia (BI)
sebagai satu-satunya bahasa pengantar di kelas satu sekolah dasar.
Hal itu mengakibatkan terkacaunya perhatian anak-anak yang
sedang berada pada taraf awal belajar bahasa ibu mereka yang
dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari dan bahasa baru yang
diterimanya di sekolah. Pada tingkat dialek, keadaan tidak
demikian terasa mengacaukan karena dialek mereka dengan bahasa
baku bahasa daerahnya yang diajarkan di sekolah pada dasarnya
merupakan satu bahasa yang sama.

b. Saluran budaya (Nauton, 1963:42). Susupan melalui saluran


budaya ini terjadi antara lain oleh adanya surat kabar, radio,
televisi, buku, majalah, dan film. Pada taraf bahasa daerah, tdak
adanya acara siaran bahasa daerah pada televisi, misalnya,
merupakan salah satu faktor yang secara tidak langsung
mengharuskan mereka mendengar, mecoba mengerti, dan
8

menafsirkan BI itu dengan kemampuan yang mereka miliki.


Demikian pula halnya dengan undang-undang, peraturan
pemerintah, dan peraturan-peraturan lain yang selalu hanya
mempergunakan BI. Walaupun buku, majalah, radio, dan surat
kabar masih ada yang mempergunakan bahasa daerah, dapat dilihat
bahwa bahasa daerah yang dipergunakan sebenarnya telah banyak
sekali terkena pengaruh BI, dan bahkan bahasa asing. Untuk
tingkat dialek itu berarti bahwa pada saat yang sama mereka
terkena dua pengaruh sekaligus, yaitu pengaruh dari bahasa baku
bahasa daerahnya dan pengaruh dari BI dan bahasa asing.

c. Faktor sosial (Nauton, 1963:43). Tidak dapat dipungkiri bahwa


makin baiknya keadaan juga merupakan faktor penunjang
membaiknya taraf sosial masyarakat. Dengan bertambha baiknya
taraf sosial, maka kemungkinan memperoleh pendidikan yang lebih
baik, dan memperoleh kedudukan yang lebih baik pun menjadi
lebih terbuka pula. Dengan terbukanya kesempatan itu, banyak
warga masyarakat yang berusaha dan mencapainya. Pada
umumnya, untuk semua itu, mereka harus meninggalkan kampung
halamannya, pergi ke kota yang lebih besar sesuai dengan taraf
yang hendak mereka capai. Di sana mereka harus hidup dalam
lingkungan berbeda dengan lingkunan di kampungnya masing-
masing. Sebagai hasil akhirnya, kalau pun ada di antara mereka
yang kembali ke kampung, biasanya mereka tetap mempertahankan
cara hidup yang pernah mereka peroleh selama di rantau. Pada tarf
bahasa daerah, mereka memperlihatkan pengaruh bahasa
kebangsaan dan bahasa asing dalam tuturan mereka. Pada tingkat
dialek, mereka akan tetap mempergunakan bahasa baku karena
sekarang mereka sadar bahwa dialeknya tidak sebaik bahasa baku.

Perkembangan dialek ini juga dipengaruhi juga oleh kelompok yang


berpendidikan yang disebut sebagai dwibahasawan. Mereka mempergunakan koine,
yaitu ungkapan-ungkapan ”bahasa baku” sebagai bahasa budaya, dan dialek sebagai
baha praja. Koine mereka pegunakan di antara sesama mereka, dan dialek mereka
9

pergunakan jika berkomunikasi dengan penduduk setempat, petani, dan kelompok


sederhana lainnya. Sementara itu, penduduk sendiri adalah ekabahasawan. Pada tahap
berikutnya, masyarakat berpendidikan itu menjadi ekabahasawan. Mereka
menghindarkan pemakaian dialek yang sementara itu juga sudah kehilangan dasar-
dasar kaidahnya. Sejalan dengan itu, maka penduduk berubah menjadi dwibahasawan,
yang mula-mula tentu belum memenuhi semua persyaratan bahasa baku tersebut,
tergantung kepada taraf pendidikan mereka, dan di samping itu mereka tetap
mempergunakan dialek di antara sesama mereka saja (Guiraud,1970:7-8 dalam
Ayatrohaedi).
Semua hal itu pada garis besarnya memperlihatkan gejala yang sama:
memburuknya bahasa daerah ata dialek, dan kemungkinan lenyap (Nauton, 1963:44).
Pada tingkat bahasa daerah, maka bahasa daerah yang jumlah pemakaiannya sedikit,
yang umumnya terdapat di tempat-tempat yang terpencil, merupakan bahasa-bahasa
daerah yang besar sekali kemungkinannya akan segera lenyap, tetapi pada tingkat
dialek, yang paling besar kemungkinannya untuk pertama kali hilang justru dialek di
kota-kota. Hal ini disebabkan oleh sentuhan dengan bahasa baku dan bahasa
kebangsaan di kota-kota tersebut dan jauh lebih besar dan sering terjadi dibandingkan
dengan dialek di tempat-tempat terpencil. Pada saat yang bersamaan itu, dialek-dialek
di daerah pedesaan mengalami perkembangan yang suram (Nauton, 1963:46).

III.2 Mengapa peran bahasa Indonesia sangat mempengaruhi bahasa daerah?


Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa sedemikian jauh pengaruh yang
berasal dari BI sebagai bahasa kebangsaan ke dalam bahasa daerah di Indonesia pada
umumnya jauh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh sebaliknya. Hal itu
tentulah antara lain disebabkan oleh kedudukan BI itu sendiri, baik sebagai bahasa
bahasa kebangsaan maupun sebagai bahasa negara. Kedua kedudukan itu, tidak
dimiliki oleh bahasa daerah mana pun yang terdapat di Indonesia sehingga dengan
demikian jelas bahwa BI mempunyai kelebihan dibandingkan dengan bahasa daerah
(Ayatrohaedi, 1983:10). Di dalam kedudukannya, bahasa Indonesia adalah bahasa
resmi pemerintahan, bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, alat perhubungan
pada tingkat nasional, serta alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan
teknologi (Halim, 1980, 17 dalam Ummi, 1999).
Kelebihan-kelebihan tersebut tentu saja menyebabkan hampir semua orang
berusaha menguasai BI dengan lancar, bahkan kadang-kadang tidak jarang sementara
10

itu sambli mengorbankan bahasa daerahnya sendiri. Kenyataan lain adalah bahwa BI
maupun bahasa daerah yang ada di Indonesia yang pada dasarnya termasuk ke dalam
satu rumpun bahasa yang sama – kecuali bahasa-bahasa di Irian Jaya – menyebabkan
proses pemengaruhan itu akan lebih cepat terjadi. Kesamaan sistem dan juga struktur
di antara bahasa-bahasa tersebut menyebabkan pemengaruhan itu seringkali tidak
terasa sebagai seseuatu yang dipaksakan. Artinya, kemungkinan diterima jauh lebih
besar dibandingkan dengan jika bahasa-bahasa yang saling bersentuhan itu tidak
memiliki sistem dan struktur yang sama. Kalau bahasa Belanda di Belgia sampai
sekarang dapat dikatakan masih cukup utuh dan tangguh bertahan, maka hal itu justru
disebabkan terutama oleh adanya perbedaan sistem dan struktur antara bahasa
Nelanda di sana dan bahasa Perancis yang dianggap memiliki kedudukan sosial yang
lebih tinggi. Jadi, bagaimana nasib dialek di masa depan, jawabannya tergantung
kepada sifat perkembangannya selama ini.

III.3 Bagaimana implementasi dialek Banyumasan di masa sekarang?


Bahasa Banyumasan yang sering disebut dengan istilah ”ngapak-ngapak”
merupakan aset budaya Jawa yang memiliki peluang besar untuk dilestarikan baik
melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal. Namun, fenomena yang kita lihat
pada era kini adalah menurunnya minat masyarakat dalam penggunaan bahasa
Banyumasan. Dialek Banyumasan dianggap sebagai bahasa kuno yang tidak populer.
Padahal tiap personal masyarakat Banyumas sendirilah yang memiliki tanggung
jawab dalam pelestarian dialek lokal tersebut.
Dialek Banyumas memiliki kekhususan-kekhususan linguistik yang tidak
dimiliki oleh bahasa Jawa standar. Keunggulan itu misalnya dialek dapat menutup
kata-katanya dengan bunyi bersuara dan tidak bersuara. Misalnya sendok, endog,
angop, abab, dsb. Di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas selain berkembang
bahasa Jawa baku—sering disebut dengan istilah bahasa bandhek—juga berkembang
bahasa Jawa dialek Banyumas atau bahasa Banyumasan. Bagi masyarakat di daerah
ini, bahasa Banyumasan merupakan bahasa ibu yang hadir sebagai sarana komunikasi
sehari-hari. Bahasa Banyumasan diyakini sebagai peninggalan dari bahasa Jawa lama
(bahasa Jawa Kuno dan Tengahan) yang masih bisa dijumpai hingga sekarang
(Ahmad Tohari,1999). Dengan demikian bahasa Banyumasan dapat digunakan untuk
mengintip pertumbuhan bahasa Jawa lama yang berkembang sebelum lahirnya bahasa
Jawa baru.
11

Bahasa Banyumasan memiliki spesifikasi dan/atau ciri-ciri khusus yang dapat


dibedakan dengan bahasa Jawa baru (standar). Beberapa ciri khusus tersebut antara
lain:
(1). berkembang secara lokal hanya di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas
(2). memiliki karakter lugu dan terbuka
(3). tidak terdapat banyak gradasi unggah-ungguh
(4). digunakan sebagai bahasa ibu oleh sebagian besar masyarakat Banyumas
(5). mendapat pengaruh bahasa Jawa kuno, Jawa tengahan, dan bahasa Sunda
(6).pengucapan konsonan di akhir kata dibaca dengan jelas (selanjutnya sering disebut
ngapak-ngapak)
(7).pengucapan vokal a, i, u, e, o dibaca dengan jelas (Yusmanto, 2004-a dalam
Ummi, 1999).

Jawa dialek Banyumas terbagi setidaknya menjadi sub dialek, yaitu sub dialek
wetan kali (sisi timur sungai) dan sub dialek kulon kali (sisi barat sungai). Sungai
yang dimaksud disini adalah sungai Serayu. Sub dialek wetan kali merupakan dialek
Banyumasan yang cenderung dekat dengan bahasa Jawa standar yang dikembangkan
di wilayah Negarigung. Sedangkan dialek kulon kali cenderung dekat dengan bahasa
Sunda. Fakta yang paling mudah ditemukan adalah nama-nama desa. Di sisi barat
sungai Serayu terdapat begitu banyak desa atau tempat-tempat yang didahului kata
“ci” yang dalam bahasa Sunda berarti sungai, seperti Cilongok, Cingebul, Cilacap,
Cionje dan lain-lain. Ini berbeda dengan desa-desa atau tempat-tempat di sebelah
timur sungai Serayu yang lebih njawani, seperti Karangsalam, Karangrau, Purwareja,
Wirasaba, Somagede dan lain-lain. Kenyataan demikian tidak dapat disangkal
meskipun nama-nama njawani berkembang lebih meluas hingga sisi barat sungai
Serayu. Semua itu terjadi karena sungai Serayu telah menjadi batas terakhir
perkembangan kebudayaan Sunda, sementara persebaran kebudayaan Jawa merambah
hingga perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Lebih dari itu pada tingkat kelompok-kelompok kecil ternyata juga terdapat
perbedaan-perbedaan sub dialek yang tercermin pada pilihan kosa kata, intonasi, dan
gaya bahasa. Di wilayah kulon kali, terdapat banyak sub dialek seperti yang terdapat
di wilayah Kalibagor hingga Purwokerto yang berbeda dengan Karanglewas dan
Cilongok. Hal ini berbeda dengan yang terdapat di Ajibarang hingga Lumbir.
Semakin ke arah barat, semakin kental pula warna Sundanya. Namun justru ada
12

kekhususan, di daerah Wanareja dan sekitarnya justru banyak digunakan bahasa Jawa
bandhek (standar) untuk komunikasi sehari-hari. Hal tersebut terjadi karena di
wilayah Wanareja dihuni oleh orang-orang dari Wetan (wilayah Blora, Pati, Klaten
dan lainnya) bekas narapidana Nusakambangan pada masa penjajahan Belanda yang
tidak pulang ke daerahnya. Artinya, sejak lama di wilayah Wanareja justru telah
dihuni oleh masyarakat multietnis yang memungkinkan terciptanya sub kebudayaan
tersendiri di dalam konteks kebudayaan Banyumas secara keseluruhan.
Dari fakta-fakta di atas kita dapat menyimpulkan bahwa kebudayaan
Banyumas dibentuk dari kebudayaan yang heterogen. Identitas kebudayaan
Banyumas justru dibangun dari berbagai komunitas masyarakat yang terdiri dari
kelompok-kelompok kecil di wilayah Banyumas. Hal ini sangat bisa dipahami karena
pada dasarnya identitas budaya dibangun oleh individu-individu sejauh dia
dipengaruhi oleh tanggung jawabnya terhadap sebuah kelompok atau kebudayaan
(Wikipedia,2006). Karakter individu memiliki peranan yang cukup besar di sini.
Karakteristik individu berakar pada identitas dasar yang dibawa semenjak lahir dan
merupakan suatu anugerah yang tidak bisa dihindari. Identitas dasar itulah yang
kemudian membentuk “keakuan” dan membedakannya dengan yang lain (Ubid
Abdillah S., 2002:12 dalam Ummi, 1999). Karakteristik individu pada orang per
orang yang mendiami wilayah Banyumas kemudian disatukan oleh perasaan
kebersamaan.
Perasaan kebersamaan diwujudkan melalui berbagai cara dan ekspresi seperti
yang tampak pada bahasa dan kesenian-kesenian tertentu yang berkembang meluas di
seantero Banyumas. Bahwa bahasa dialek Banyumasan dengan sub-sub dialeknya
merupakan ekspresi perasaan kebersamaan kaum panginyongan (Ahmad Tohari,
2006) di tengah hegemoni kebudayaan kraton Jawa. Adanya perasaan kebersamaan
ini kemudian terbentuk suatu sistem kebudayaan; kebudayaan Banyumas.
Menurunnya pelestarian dialek banyumasan dengan kata lain dapat
diindikasikan terjadi adanya degradasi perasaan kebersamaan yang telah menjadi
sebuah tali pengikat. Menurut kajian teori dan analisis sosiolinguistik, ada berbagai
sebab atau alasan mengapa suatu bahasa punah atau tidak digunakan lagi oleh
penutur-penuturnya. Satu diantaranya adalah adanya dominasi bahasa atau dialek
yang lebih besar baik secara demografis, ekonomis, sosial, atau politis. Dalam
konteks kasus bahasa banyumasan, selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional,
tekanan dari bahasa Jawa juga merupakan salah satu faktornya. Banyumasan
13

merupakan subbahasa yang kemudian mendapatkan pengaruh dari berbagai dialek


disekitarnya seperti telah diuraikan diatas mengenai adanya sub-sub dialek
Banyumasan.
Pemertahanan bahasa Banyumas dapat dilakukan melalui kebijakan
pembinaan bahasa Jawa yang memberi peluang sebesar-besarnya bagi para
penuturnya untuk menggunakan dialek Banyumasan sehingga dialek ini bisa menjadi
alat komunikasi yang utama di lingkunan keluarga dan masyarakat dalam
mengembangkan budaya lokalnya. Hal yang tidak kalah penting dalam sebuah
pemeliharaan sebuah bahasa adalah pembentukan linguistic pride (kebanggaan
berbahasa) yaitu penumbuhan rasa bangga dalam diri penutur-penutur dialek
Banyumasan untuk menggunakan bahasanya.
Kadar kebanggaan berdialek Banyumas apabila diukur di era kini,dapat
dikatakan mengalami kecenderungan menurun. Banyak yang berpendapat bahwa
pengajaran bahasa Banyumas justru akan mengganggu usaha anak dalam menguasai
bahasa Indonesia. Sebagai akibatnya generasi muda tidak lagi mahir menggunakan
bahasa ibunya, atau karena prestise beralih ke bahasa jawa standar, dialek Solo-
Yogya. Pandangan ini sangat keliru.
Sampai sejauh ini belum ada bukti yang manguatkan bahwa pembelajaran dua
bahasa atau lebih dapat menimbulkan gangguan. Pada dasarnya setiap orang juga
memiliki kemampuan menguasai bahasa pertama dan bahasa lain setelah bahas
pertama. Orang-orang bilingual - yang menguasai lebih dari satu bahasa - justru
memiliki banyak keuntungan. Mereka dapat melihat sesuatu dengan sudut pandang
yang berbeda, bahkan bertentangan sehingga dapat lebih toleran menghadapi
perbedaan-perbedaan yang muncul.
Jadi dalam pembelajaran bahasa, kita tak bisa menerapkan sikap yang “hitam-
putih” bahwa munculnya satu bahasa akan mendominasi bahasa lain. Hal yang perlu
ditekankan adalah positioning dari penggunaan bahasa tersebut. Belajar bahasa
Banyumas bukan berarti kemudian kita lupa terhadap bahasa Indonesia dan dalam
kesehariannya full Banyumasan. Namun sebagai kebanggaan serta komunikasi antar
penduduk lokal, penggunaan dialek Banyumasan merupakan taste tersendiri dalam
sebuah interaksi.
14

III. PENUTUP
Iktisar
Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan kelompok sosial tertentu dalam
konteks situasi pemakaian yang berbeda-beda. Faktor yang menyebabkan dialek
berbeda dengan variasi bahasa yang lain antara lain disebabkan oleh: perbedaan
fonologi, morfologi, fonetik, semantik, semasiologis,onomasiologis. Selain itu, faktor
tempat atau lokasi, faktor perpindahan penduduk dan perubahan lokasi pemukiman,
perbedaan dalam hal status, perbedaan dalam pekerjaan juga termasuk penyebab
perbedaan dialek dengan variasi bahasa yang lain.
Perkembangan dialek dalam kehidupan sehari-hari pada masa kini mencapai
dua perkembangan, yaitu perkembangan membaik dan memburuk. Perkembangan
dialek yang membaik dilatarbelakangi dengan memakai dialek sebagai bahasa yang
diakui di daerahnya. Sedangkan perkembangan memburuk dilatarbelakangi oleh
sekolah atau lembaga pendidikan, saluran budaya, dan faktor sosial.
Bahasa kedua, khususnya bahasa Indonesia sangat berperan dan berpengaruh
terhadap perkembangan dialek. Sebagai bahasa nasional, kedudukan bahasa Indonesia
menjadi ancaman tersendiri bagi bahasa daerah yang mulai memudar dan bahkan
musnah. Salah satu contoh implementasinya adalah dialek Banyumasan yang kini
dirasa semakin memburuk perkembangannya.
Faktor menurunnya dialek Banyumasan ini diasebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya (1) karena dominasi bahasa/dialek yang lebih besar baik secara
demografi, ekonomis, sosial atau politis, (2) selain bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional, tekanan dari bahasa Jawa juga merupakan salah satu faktornya, (3)
pengajaran bahsa Banyumas justru akan mengganggu usaha anak dalam menguasai
bahasa Indonesia. Dialek Banyumas merupakan aset budaya yang harus kita
pertahankan dan lestarikan. Pemertahanan bahasa melalui penumbuhan linguistic
pride merupakan cara yang ampuh dalam pemertahanan bahasa. Dengan tetap
menghormati bahasa nasional serta bahasa jawa standar, maka akan tumbuh
masyarakat bilingual di Banyumas yang mampu memiliki sikap toleransi yang lebih
dibanding masyarakat monolingual. Sikap ini sangat diperlukan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara yang didasarkan atas kemajemukan dan juga dalam interaksi
dengan bangsa-bangsa lain dalam era globalisasi
15

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Depdikbud.


Kridalaksono, Harimurti. 1981. Pengembangan Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bangsa.
Ende-Flores: Nusa Indah.
Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Rahardi, Kunjana.2006. Dimensi-dimensi Kebahasaan. Jakarta:Erlangga.
Saefi, Mahmud. 2007. Dialektologi - Langkah Kerja Dan Aplikasinya.
Mahmudsaefi.org diakses 30 April 2008.
Ummi, Shinta Ardhiyani.1999. Pembentukan Karakter Masyarakat Bilingual Melalui
Penumbuhan Linguistic Pride Banyumasan. shinta ardhiyani
ummi.blogger.com. di akses 7 mei 2008.

You might also like