You are on page 1of 10

PELUANG DAN KENDALA PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI SAGU

DI KABUPATEN JAYAPURA

Herlina Tarigan dan Ening Ariningsih

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani 70, Bogor

Abstract
Beside as staple food, sago can be utilized as raw materials for agroindustry that
plays roles in increasing community’s income through employment and value added
generation. This research aims to analyze the opportunities and constraints of sago
agroindustry development in Jayapura District, Papua Province. Data analyzed are both
primary and secondary data. The result of the research shows that sago agroindustry has a
relatively big opportunity to develop in Jayapura, considered from the geographic site of
Jayapura, raw material availability, technology, and government policy. On the other
hand, it is faced to some main constraints, such as farming culture of sago farmers, and
land ownership system which is controlled by local people while industrial activities are
controlled by presentiments. Furthermore, there’s no service office which officially in
charge in the development of sago farmers. Some policies needed to be implemented are:
(1) to decide and deliver sago development to one related technical service office, and (2)
processing system should be considered as a part of demand side strategy, so that
technology engineering and partnership development are urgent to realized.

Key word: agroindustry, sago, Jayapura

Abstrak
Selain sebagai bahan pangan pokok, sagu bisa digunakan sebagai bahan baku
agroindustri yang berperan dalam peningkatan pendapatan masyarakat melalui penciptaan
kesempatan kerja sekaligus penciptaan nilai tambah. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis peluang dan kendala pengembangan agroindustri sagu di Kabupaten
Jayapura, Provinsi Papua. Data yang dianalisis meliputi data primer dan sekunder. Hasil
analisis menunjukkan bahwa agroindustri sagu mempunyai peluang yang cukup besar
untuk dikembangkan, dilihat dari segi geografis, ketersediaan bahan baku, teknologi,
maupun kebijakan pemerintah, namun kendala terbesar terletak pada budaya bertani petani
sagu dan sistem pemilikan lahan yang dikuasai penduduk lokal sementara kegiatan
industri dikuasai pendatang. Di sisi lain, belum ada dinas yang secara resmi menjadi
penanggungjawab pengembangan maupun pembinaan petani sagu. Beberapa kebijakan
yang perlu diimplementasikan adalah memutuskan dan menyerahkan pengembangan dan
pembinaan komoditas sagu pada salah satu dinas teknis, sistem pengolahan dipandang
sebagai bagian dari subsistem agribisnis yang bisa berperan sebagai bagian dari
pendekatan permintaan (demand side strategy) sehingga rekayasa teknologi dan
membangun kemitraan mendesak untuk direalisasikan.

Kata kunci: agroindustri, sagu, Jayapura


I. PENDAHULUAN

Kegiatan agroindustri merupakan bagian integral dari sektor pertanian, yang


mempunyai kontribusi penting dalam proses industrialisasi, terutama di wilayah pedesaan
((Suryana, 2004). Pengembangan agroindustri tidak saja ditujukan dalam rangka
peningkatan jumlah pangan dan jenis produk pangan yang tersedia di pasar, tetapi bisa
meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat melalui peningkatan produksi bahan baku
dan nilai tambah, sekaligus meningkatkan ekonomi daerah. Pengembangan agroindustri
turut menciptakan lapangan pekerjaan dan pengembangan pasar.
Agar pengembangan agroindustri meningkatkan pendapatan penduduk pedesaan
biasanya dilaksanakan dengan tiga pola yaitu: (1) agroindustri berintegrasi langsung
dengan usahatani keluarga, (2) agroindustri berintegrasi langsung dengan perusahaan
pertanian, dan (3) agroindustri tidak berlokasi di pedesaan. Agroindustri pangan
diharapkan menghasilkan produk-produk yang memiliki nilai tambah tinggi terutama
produk siap saji, praktis dan memperhatikan masalah mutu (Lukminto, 2004). Faktor lain
yang perlu diperhatikan adalah harga produk yang lebih terjangkau, lokasi dekat dengan
konsumen, tempat berbelanja yang nyaman dan penyajiannya yang baik (Ibrahim, 1997).
Kabupaten Jayapura merupakan salah satu wilayah di Provinsi Papua yang
memiliki potensi sebagai sentra produksi sekaligus sentra konsumsi sagu, namun sampai
saat ini agroindustri pengolahan sagu kurang berkembang. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis peluang dan kendala pengembangan agroindustri sagu di
Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

II. METODA PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Pemilihan lokasi


dilakukan secara purposive dengan pertimbangan memiliki potensi sebagai sentra produksi
sekaligus konsumsi sagu, industrinya sudah mulai dikembangkan dan posisinya dekat
dengan Kota Jayapura sebagai ibukota provinsi sekaligus pintu gerbang perdagangan.
Data yang dianalisis meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani sagu (21 responden), pedagang sagu
di pasar (2 responden), pelaku industri sagu (2 responden), pedagang pemasaran hasil
industri (2 responden), dan instansi-instansi terkait seperti Disperta, Disbun dan
Disperindagkop Kabupaten Jayapura. Data dan informasi yang digali meliputi aspek
pertanian sebagai pengahsil bahan baku untuk agroindustri sagu, agroindustri sagu, serta

2
aspek penunjang yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
pengemabngan agroindustri sagu. Sementara itu, data sekunder berupa data luas areal,
produksi tanaman sagu, dan harga bulanan sagu diperoleh BPS Provinsi Papua. Data
dianalisis secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Sekilas Kondisi Umum Produksi dan Konsumsi Sagu


Sagu merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat Papua terutama
masyarakat yang berada di dataran rendah (pesisir pantai Utara) seperti di Kabupaten
Jayapura. Menurut sejarahnya, pilihan mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok
merupakan reaksi terhadap ketersediaan tumbuhan tersebut di sekitar tempat tinggal
mereka. Tanaman sagu tumbuh subur di dataran rendah berawa dengan beragam varietas.
BPTP Papua sudah berhasil mengoleksi sekitar 64 jenis varietas sagu yang tumbuh di
dataran rendah Papua.
Sampai tahun 2006, luas tanaman sagu di seluruh Provinsi Papua adalah sekitar
513,000 ha dengan produksi 139 ton dan melibatkan 1,663 petani (BPS Provinsi Papua,
2007). Di Kabupaten Jayapura terdata seluas 25,488 ha atau 4,97 persen dari luas tanaman
sagu di Provinsi Papua. Sebagian besar tanaman sagu masih merupakan tanaman liar yang
tumbuh dengan sendirinya. Sedikit sekali yang sudah melakukan penanaman dengan
budidaya yang sangat sederhana, tanpa jarak janam, tanpa pemupukan atau pemeliharaan
intensif.
Sekalipun merupakan sumber makanan pokok, belum ada dinas yang secara resmi
menjadi penanggungjawab pengembangan maupun pembinaan petani sagu. Oleh karena
itu, seluruh data menyangkut komoditas ini mengarah pada perkiraan. Penguasaan
terhadap tanaman sagu umumnya berpijak pada keberadaan tanah adat. Pemeliharaan dan
pemanenan dilakukan secara bergotong royong dengan sesama anggota suku. Teknologi
pemanenan yang digunakan pun masih sangat sederhana, berupa pemotongan dengan
kampak lalu dibelah dengan kayu. Sejak tahun 80-an petani berubah menggunakan alat
belah berupa linggis. Selanjutnya, sagu dikerok dengan pangkur, yang belakangan sudah
menggunakan mesin yang sekaligus berfungsi untuk memarut.
Sebagian besar hasil panen sagu diproses menjadi bahan konsumsi pokok keluarga
yang diolah dalam bentuk papeda dan kapurung. Sagu juga dikonsumsi sebagai makanan

3
selingan seperti sagu lempeng, sinoli, bagea, dan buburnee. Jika ada sagu yang dijual,
umumnya terbatas dalam bentuk pati sagu basah, belum diolah menjadi tepung sagu.

3.2. Agroindustri Sagu dan Produk Olahannya


Agroindustri merupakan kegiatan dengan ciri: (a) meningkatkan nilai tambah, (b)
menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau digunakan atau dimakan, (c)
meningkatkan daya simpan, dan (d) menambah pendapatan dan keuntungan produsen
(Hicks, 1995). Sifat kegiatannya mampu menciptakan lapangan pekerjaan, memperbaiki
pemerataan pendapatan dan mempunyai kapasitas yang cukup besar untuk menarik
pembangunan sektor pertanian.
Berdasarkan produk yang dihasilkan, kegiatan agroindustri termasuk pada kegiatan
yang melakukan perubahan bentuk. Sagu yang diolah dapat digunakan sebagai bahan baku
berbagai macam industri seperti industri pangan, industri perekat, kosmetika, pakan
ternak, tekstil, farmasi, pestisida, industri kimia, bahan energi dan bahkan hasil
sampingnya dapat diolah menjadi bahan bakar, medium jamur, pembuatan hardboard atau
bahan bangunan (Kindangen dan Malia, 2003), dan juga biodegradable plastic
(Pranamuda et al., 1996),
Hingga tahun 2007, pengolahan sagu di Papua masih sebatas dalam industri
pangan dengan pemanfaatan native starch (pati asli). Pengolahan produk pangan sagu
bisa dibagi ke dalam tiga bentuk yaitu pertama, pengolahan sagu tradisional yang
dikonsumsi langsung, baik oleh produsen maupun dijual ke konsumen; kedua,
pengolahan sagu menjadi tepung sagu; dan ketiga, pengolahan tepung sagu menjadi aneka
kue sagu. Ketiganya dapat dikategorikan pada proses pengolahan yang masih sangat
sederhana.

1. Pengolahan Sagu Tradisional


Pengolahan sagu secara tradisional merupakan bagian yang terbanyak dilakukan
terutama oleh masyarakat lokal. Bagian tanaman sagu yang digunakan untuk bahan
pangan adalah pati sagu berupa hasil ekstraksi dari empulur batang sagu. Proses ekstraksi
pati sagu masih menggunakan cara konvensional dengan alat manual. Setelah diparut,
sagu diremas-remas dengan dicampur air kemudian disaring dan air hasil ekstraksinya
diendapkan untuk diambil patinya.
Pada tahun 2000, LIPI memperkenalkan alat pemarut batang aren dan sagu yang
dibuat oleh Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna. Alat ini merupakan silinder

4
bermata pemarut yang berputar pada porosnya. Pemarut ditujukan untuk agroindustri skala
kecil pengolahan tepung aren dan sagu. Namun lokasi hutan sagu yang relatif jauh dari
pemukiman dan sulit dijangkau alat transportasi merupakan hambatan untuk mengadopsi
alat pemarut ini. Masyarakat mengharapkan bentuk alat yang fleksibel untuk dibawa
sampai ke lokasi tanaman.
Produktivitas dan mutu pati sagu basah yang dihasilkan juga masih relatif rendah.
Di tingkat petani, pati atau aci sagu basah dikemas dalam dua jenis kemasan berupa
anyaman daun sagu (tumang) dan kantong (sak) tepung terigu. Berat rata-rata tiap
kemasan sekitar 50-60 kg. Pati sagu basah dijual dalam bentuk irisan-irisan tanpa
dikemas. Setiap tumang diiris menjadi 30 irisan dengan harga jual Rp 10.000 per iris.
Pedagang membeli dengan harga Rp 200.000 per tumang, sehingga penjualan eceran dapat
memberi keuntungan lebih kurang Rp 100.000 per tumang. Pati basah diolah menjadi
papeda, sagu bakar dan sagu forno.

2. Pengolahan Tepung Sagu


Pengolahan sagu skala industri sudah lama berkembang di Papua dengan produk
utama adalah tepung sagu yang merupakan produk setengah jadi (intermediate product).
Bahan baku pembuatan tepung sagu berupa pati sagu yang masih basah. Satu tumang
(sak) pati sagu atau sekitar 50-60 kg diaduk dengan air bersih dan disaring untuk
mengeluarkan kotoran. Selanjutnya pati sagu diendapkan selama 3 hari untuk
mengeluarkan getah lendir dan sisa ampas sagu, lalu direndam dengan air selama 1 jam.
Air yang dipakai merendam dibuang dan pati sagu dijemur selama 6 jam. Pati yang sudah
kering digiling dengan mesin penggiling lalu diayak. Tepung sagu yang dihasilkan bisa
mencapai 25 kg, yang kemudian dikemas dengan plastik ukuran 1 kg. Tepung sagu yang
sudah dikemas bisa disimpan hingga satu tahun. Selama satu minggu pengrajin mampu
mengolah pati sebanyak 6 tumang pada musim kemarau dan 4 tumang pada musim
penghujan. Tepung sagu dipasarkan melalui supermarket di Jayapura, Timika, Sorong, dan
Wamena bahkan pernah menjual ke Papua Nugini melalui jalur ekspor tidak resmi.
Dalam rangka pengembangan industri ini, pemerintah setempat pernah
memberikan bantuan mesin pengering tepung sagu berkapasitas 1 ton per hari, namun alat
belum pernah digunakan karena keperluan bahan bakarnya terlalu banyak, sehingga
biaya operasionalnya tinggi dan kapasitasnya terlalu besar, sehingga memerlukan bahan
baku yang banyak.

5
3. Pengolahan Aneka Makanan Berbahan Baku Tepung Sagu
Pada tingkat nasional, pati sagu sudah dapat digunakan dalam industri pangan
sebagaimana tepung beras, jagung, kentang, gandum dan tapioka, baik sebagai bahan baku
maupun sebagai bahan substitusi. Pati sagu sudah lama dikenal dan digunakan dalam
industri kecil dan skala rumah tangga, misalnya untuk membuat makanan kecil (kue)
berupa ongol-ongol, kerupuk, bakso, empek-empek, soun, dan mi, bahkan tepung sagu
juga dapat digunakan sebagai substitusi tepung gandum dalam memproduksi roti tawar
dan biskuit. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa substitusi tepung terigu dengan
pati sagu sampai 30 persen tidak mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan (Pangloli
dan Royaningsih, 1992).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian juga mencoba membuat beras tiruan dengan
bahan baku tepung sagu dan ubikayu (Samad, 2003). Beras tiruan tersebut memiliki
komposisi bahan kimia yang mirip dengan beras, yaitu kandungan karbohidrat sebesar
81,3-83,9 persen, protein 13 - 2,4 persen, dan lemak 0,21 - 0,45 persen. Kandungan
karbohidrat, protein, dan lemak pada beras adalah 77,9, 6,9, dan 0,7 persen. Kandungan
karbohidrat beras tiruan jauh lebih tinggi. Hal ini yang menyebabkan masyarakat
setempat mengaku lebih kenyang mengkonsumsi sagu daripada makanan pokok lain
seperti beras. Beras tiruan juga mempunyai daya simpan dalam kondisi sudah dimasak
mencapai 18 jam (lebih tahan lama dibanding beras). Namun, dalam penyimpanan dalam
bentuk mentah beras tiruan ini lebih cepat rusak.
Pengolahan makanan yang berasal dari pati sagu belum berkembang dengan baik
di Provinsi Papua. Baru dua industri skala kecil yang mengolah pati sagu basah menjadi
tepung sagu dan aneka kue kering dengan bahan baku tepung sagu. Salah satu diantaranya
sudah mampu membuat kue kering hingga 15 macam dengan essence rasa yang beragam
mulai dari keju, jahe, coklat, dll. Agar kemasannya lebih menarik, Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Kabupaten Jayapura sudah merancang dan mencetak kemasan berupa
kotak yang didesain sedemikian rupa hingga kue sagu layak menjadi ciri khas makanan
Papua untuk dibawa keluar Papua baik sebagai oleh-oleh atau diperdagangkan lagi.
Namun, hingga kini perdagangan kue sagu masih sebatas pasar, toko atau swalayan di
dalam Papua.

3.3. Kendala Pengembangan Agroindustri Sagu di Jayapura


Kendala yang dihadapi dalam pengembangan agroindustri sagu di Jayapura
dimulai dari ketersediaan bahan baku tumbuhan sagu yang belum terbiasa dibudidayakan

6
sehingga sangat tergantung kepada alam. Upaya pengembangannya sering terbentur pada
budaya bertani sagu yang masih bersifat berburu-meramu atau tebang jual. Penguasaan
tanah berupa hak ulayat menjadi faktor yang menyulitkan upaya pengembangan.
Pengolahan sagu untuk pembuatan masakan yang dikonsumsi langsung, tepung
sagu maupun kue aneka sagu, masih menggunakan teknologi yang sangat sederhana.
Inovasi teknologi berupa alat pemarut dan oven bertenaga listrik belum diadopsi oleh
petani atau pengusaha industri dengan alasan lebih boros, rumit dan kapasitasnya yang
terlalu besar dibanding penggunaan kompor minyak tanah. Pengeringan tepung sagu lebih
memilih menggunakan sinar matahari.
Permasalahan pengolahan sagu secara tradisional terletak pada kapasitas olah,
rendemen dan mutu hasil yang rendah serta tingkat kehilangan hasil cukup tinggi. Sejak
1997, Balai Penelitain Kelapa (Balitka) sudah membuat alat yang berfungsi majemuk. Alat
pengolah sagu yang terdiri atas tiga buah unit operasi yaitu pemarut, ekstraksi, dan
pengendapan. Kapasitas olah alat mencapai 190 kilogram per jam atau setara dengan
1.600 kg per hari. Rendemen basah cukup tinggi, yaitu 24,5 - 30 persen dan tingkat
kehilangan hasil 2,4-32 persen. Air yang digunakan lebih hemat 4 sampai 5 liler per
kilogram empulur. Namun harga alat tersebut masih relatif mahal bagi petani maupun
pengusaha agroindustri sagu skala kecil, yaitu Rp 25.000.000 per unit. Alat ini lebih
cocok untuk agroindustri yang terintegrasi dari hulu (panen sagu) hingga pembuatan
tepung. Disamping itu, kapasitas produksi pati sagu harus relatif besar (lk. 10 batang
sagu per hari). Penyediaan bahan mentah sedemikian banyak secara kontinyu belum
memungkinkan.

3.4. Peluang dan Tantangan Pengembangan Agroindustri


Berbagai faktor yang menjadi peluang dan tantangan dalam pengembangan
agroindustri sagu di Kabupaten Jayapura adalah:

(1) Daya dukung lahan untuk tanaman sagu di Kabupaten Jayapura cukup luas.
Demikian pula kondisi iklim di Kabupaten Jayapura dinilai sangat sesuai untuk
pertumbuhan sagu. Umumnya tanaman sagu tumbuh sendiri tanpa dibudidayakan.
Tanaman sagu cukup dominan di habitatnya sehingga tidak pernah
ditumpangsarikan, tetapi bisa berkompetisi secara campuran (mix cropping) di hutan.
Upaya untuk membudidayakan sagu dengan lebih intensif, produksi dan
produktivitas sagu bisa ditingkatkan, sehingga dapat menjamin ketersediaan bahan
baku bagi agroindustri sagu. Hal ini merupakan peluang yang bisa dimanfaatkan

7
untuk tetap menggerakkan kegiatan agroindustri. Potensi yang patut dilestarikan
dari kekayaan alam Papua adalah banyaknya plasma nutfah sagu, termasuk sagu
yang memiliki produktivitas dan kualitas yang tinggi.

(2) Sumber daya manusia/pelaku agribisnis sagu yang umumnya pendatang mempunyai
manajemen pengelolaan yang cukup baik, motivasi kuat, tingkat pendidikan cukup
(rata-rata tamat SMU), keterampilan cukup, berdimensi gender (pria dan wanita
masing-masing mempunyai tugas). Hal ini dapat menjadi modal bagi pengembangan
agroindustri sagu di Kabupaten Jayapura.

(3) Kelembagaan struktur mekanisme kerja dinilai masih lemah dan perlu pembinaan.
Skala usaha rumah tangga dalam operasionalnya hanya ada pimpinan dan
karyawan/pekerja yang memiliki hubungan saudara menyulitkan peningkatan
kualitas kerja terspesialisasi dan profesional. Dalam hal ini perbaikan manajemen
perusahaan ke arah yang lebih profesional akan membuka peluang peningkatan
pengembangan agroindustri sagu.

(4) Harga bahan baku berupa pati sagu basah sangat fluktuatif. Biasanya harga sagu
relatif tinggi pada awal bulan dan turun pada akhir bulan. Pada awal tahun ajaran
dan menjelang libur hari Natal dan Tahun Baru harga sagu biasanya turun karena
banyak petani yang menjual produksinya. Harga bahan baku yang berfluktuasi
antarwaktu merupakan tantangan bagi pengelola agroindustri dalam manajemen stok
bahan baku.

(5) Pengembangan teknologi untuk industri pengolahan sagu sudah banyak dilakukan.
Penerapannya banyak terkendala oleh mahalnya biaya perolehan teknologi dan biaya
operasionalnya. Sementara keterampilan operasionalnya relatif cepat dikuasai oleh
pelaku industri. Hal ini merupakan peluang untuk pengembangan agroindustri sagu
di Kabupaten Jayapura.

(6) Kebutuhan konsumen yang cenderung meningkat, dukungan infrastruktur dan akses
keuangan mikro yang dirintis oleh pemerintah, merupakan peluang besar bagi
pengembangan agroindustri sagu di Kabupaten Jayapura.

(7) Produk hasil olahan sudah mendapatkan merk dagang dan memberikan cukup
keuntungan karena secara lokal maupun nasional belum banyak industri yang
berbasis sagu. Dalam hal ini, pengemasan yang menarik bisa membuka peluang
untuk memperluas sasaran pasar.

8
(8) Investasi terbuka untuk melakukan kemitraan dengan perusahaan pemasaran yang
sudah ada di tingkat provinsi maupun nasional.

(9) Pemerintah daerah mempunyai niat yang kuat untuk membudayakan konsumsi
makanan berbahan baku sagu melalui kegiatan resmi di lingkungan instansi
pemerintah.

(10) Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura melalui Peraturan Daerah


Kabupaten Jayapura No. 3/2000 tentang perlindungan hutan sagu sangat bermanfaat
bagi kelestarian sumberdaya sagu. Disamping itu, agroindustri yang menggunakan
bahan baku sagu perlu diberi porsi pembinaan yang memadai.

(11) Selain peluang di atas, ada beberapa tantangan yang jika tidak ditangani dengan baik
bisa mengancam perkembangan industri sagu, antara lain budaya panen tanpa
budidaya, transportasi antar daerah/sentra yang mahal, daya serap produk olahan di
pasar lokal yang terbatas dan perubahan selera konsumen dari sagu ke beras yang
diperkuat adanya raskin

IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Pengembangan agroindustri sagu di Kabupaten Jayapura mempunyai peluang yang


cukup besar untuk dikembangkan, dilihat dari segi geografis, ketersediaan bahan baku,
teknologi, maupun kebijakan pemerintah. Namun kendala terbesar terletak pada budaya
bertani petani sagu dan sistem pemilikan lahan yang dikuasai penduduk lokal sementara
kegiatan industri dikuasai oleh pendatang.
Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam rangka mengembangkan
agroindustri sagu adalah memutuskan dan menyerahkan pengembangan dan pembinaan
komoditas sagu pada salah satu dinas teknis. Ini akan menuntun pemerintah melalui dinas
terkait untuk lebih serius melakukan langkah operasional dalam pengembangan baik dari
sisi peningkatan produksi agar bahan baku industri tersedia secara kontinu
(Disperta/Perkebunan), pengolahan dan pemasaran (Disperindag), teknologi (BPTP dan
Mektan), maupun kelembagaan (KIPP).
Pengembangan agroindustri sagu sebaiknya diprioritaskan untuk mendorong
pengembangan agroindustri kecil dan menengah di pedesaan. Karena sub sistem
pengolahan merupakan kelanjutan dari sub sistem produksi maka bisa berperan sebagai
bagian dari pendekatan permintaan (demand side strategy).

9
Teknologi yang kurang diadopsi memerlukan rekayasa ulang untuk menciptakan
teknologi yang prosedur kerjanya lebih mudah dan murah. Kapasitas olah perlu
disesuaikan dengan kemampuan ketersediaan bahan baku namun tetap dengan
pertimbangan ekonomis.
Agar kegiatan agroindustri sagu bisa memberi peningkatan nilai tambah yang
berkontribusi langsung pada peningkatan pendapatan petani maka perlu membangun pola
kemitraan yang adil antara petani produsen sagu, pelaku industri berbahan baku sagu dan
pelaku pasar yang dapat memenuhi permintaan pasar lokal maupun ekspor. Pada tahap
awal, pembentukan kerjasama ini perlu difasilitasi oleh pemerintah terutama dalam
pembangunan infrastruktur, akses terhadap permodalan, pembinaan kewirausahaan dan
promosi pasar.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Provinsi Papua, 2007. Papua Dalam Angka 2006. BPS Provinsi Papua. Jayapura.

Hicks, P. A. 1995. An Overview of Issues and Strategies in The Development of Food


Processing Industries in Asia and The Pacific, APO Symposium, 28 September-5
Oktober. Tokyo.

Ibrahim, D. 1997. Strategi Pemasaran Industri Pangan Dalam Globalisasi. Majalah


Pangan. No. 33, Vol IX. Jakarta.

Kindangen, J. G. Dan I. E. Malia. 2003. Pengembangan Potensi dan Pemberdayaan


Petani Sagu di Sulawasi Utara. Dalam Prosiding Seminar Sagu Nasional Sagu
untuk Ketahanan Pangan. Manado, 6 Oktober. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Bogor.

Lukminto, H. 1997. Strategi Industri Pangan Menghadapi Pasar Global. Majalah Pangan
No. 33, Vol. IX.

Pangloli. P. dan Royaningsih. 2993. Pengaruh Substitusi Terigu Dengan Pati Sagu dalam
Pembuatan Biscuits Marie dan Cracker. Dalam Prosiding Simposium Sagu
Nasional. Ambon, 12-13 Oktober 1992.

Pranamuda, M. Y. Tokiwa dan H. Tanaka. 1996. Pemanfaatan Pati Sagu Sebagai Bahan
Baku Biodegradable Plastik. Makalah Simposium Nasional Sagu III. Pekanbaru,
27-28 Februari 1996.

Samad, M. Y. 2003. Pembuatan Beras Tiruan (Artificial Rice) dengan Bahan Baku
Ubikayu dan Sagu. Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri 2003. Vol. II. Hal
36-40/Humas-BPPT/ANY, BPPT. Jakarta.

Suryana, A. 2004. Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 2005-2009.


Bagan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

10

You might also like