You are on page 1of 4

Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional yang dapat berkembang sesuai

dengan perkembangan zaman. Ragam bahasanya juga sangat beragam, ada


ragam bahasa resmi/baku, ragam bahasa gaul, ragam bahasa jurnalististik, dan
lain-lain.

Dalam hal ini, yang akan di sorot adalah ragam bahasa jurnalistik dan ragam
bahasa baku. Ragam bahasa jurnalistik adalah ragam bahasa yang digunakan
dalam bahasa media massa, sedangkan ragam bahasa baku adalah ragam
bahasa yang digunakan dalam situasi-situasi resmi, misal pidato, bahasa
pengantar pendidikan, bahasa surat dinas atau niaga, dan lain-lain.

Apabila mengamati sepintas mengenai bahasa yang digunakan dalam bidang


jurnalistik, apakah bahasa yang digunakan bahasa baku atau bahasa jurnalistk.
Apabila menggunakan bahasa jurnalistik, tentu itu menyalahi EYD. Misal, dalam
koran terbitan nasional menggunakan bahasa jurnalistik yang identik dengan
kata-kata yang tidak baku dan tidak sesuai dengan EYD, ataupun tata aturan
bahsa baku rasanya tidak etis, mengingat itu adalah koran nasional. Namun,
apabila setiap media massa menggunakan bahasa baku, bukankah akan terasa
sama anehnya?

Bagaimana mungkin, misal sebuah koran atau majalah menarik para pelanggan
dengan bahasa yang tidak luwes seperti itu. Apakah mungkin dalam sebuah
majalah yang membahas masalah fashion menggunakan bahasa resmi? Atau
sebuah koran yang memuat masalah kasus politik, misal Bibit-Candra,
menggunakan bahasa yang baku, tentu isinya tidak akan menarik dan tidak
seru.

Lalu bagaimana sebaiknya?

Menurut saya, antara penggunaan bahasa resmi/baku dan bahsa jurnalistik


disesuaikan dengan porsinya. Misal, bahasa resmi digunakan dalam situasi
resmi saja (rapat, seminar, diklat, pembelajaran,dll.). Namun, bahasa baku masih
dapat digunakan dalam media massa (koran, majalah, televisi, radio, dll.),
hanya saja pemakaiannya dibatasi. Dalam media massa memang digunakan
bahasa perpaduan antara bahasa yang resmi dan bahasa jurnalistik yang lebih
lugas.

Demi menjaga keharmonisan paduan antara bahasa baku dan bahasa jurnalistik
dapat di tempuh langkah-langkah sebagai berikut ;

1. Menggunakan bahasa jurnalistik yang sudah menjadi kesepakatan


bersama, misal menghilangkan imbuhan dalam kata kerja, contoh: dalam
judul, “ Djarum dukung Liga Super Rp 37,5M)

Atau dapat juga menggunakan ungkapan-ungkapan yang sudah lazim,


misal : cicak dan buaya, buaya darat, tikus berdasi, dll.
2. Bahasa baku digunakan untuk berita-berita yang bertopik resmi, misal
masalah pemerintahan, pendidikan, perekonomian, dsb.

Misal :

“....Kekalahan tidak lantas membuat Kalla kehilangan keseimbangan. Dia


tetap menjalankan fungsi sebagai wakil presiden dengan senang, cekatan,
dan enteng-enteng saja....”(Media Indoneia, 21 Oktober 2009,hal.1)

Seharusnya kata “enteng-enteng saja” diganti dengan “ringan hati”.

3. Menggunakan bahasa yang luwes dalam membahas , masalah olahraga,


fashion, kuliner, komedi, film, dll.

Misal :

“Manchester United (MU) balik ke trek kemenangan seusai kekalahan


kontra Liverpool dengan menyingkirkan tuan rumah Barnsley 2-0 di babak
ke empat piala Carling. Rabu (28/10) dini hari WIB...”

4. Meminimalkan kesalahan-kesalahan dalam penulisan ejaan, misal seperti


penulisan huruf, tanda baca,dll.

Beberapa hal di atas setidaknya dapat bermanfaat selain untuk perbaikan


mutu juga sebagai pembelajaran. Di bawah ini adalah contoh artikel, yang
akan disajikan bersama kritik bahasanya.
1. Pada awal paragraf kedua, kata “Nyatanya” termasuk kata tidak baku,
akan lebih baik kalau diganti dengan “Pada kenyataannya”.

2. Pada paragraf ketiga, kalimat ketiga, kata “Pukulan telak” pada awal
kalimat bisa diganti dengan kata yang baku, misal : ancaman, atau
kekalahan besar.

3. Pada awal paragraf keenam kata “Tak kurang”, termasuk kata tidak baku,
lebih baik diganti dengan “Tidak kurang”

4. Pada paragraf ketujuh, kalimat pertama, kata “bikin” temasuk kata tibak
baku, bisa diganti dengan kata “membuat”
5. Pada paragraf ketujuh, kalimat kedua, kata “tak bijak” dan “menyuporteri”
bisa diganti dengan kata “tidak bijak” dan “menyemangati”

6. Pada paragraf ketujuh, kalimat ketiga berupa pertanyaan “Betapa tidak?”


tidak memiliki relevansi terhadap kalimat sebelumnya?

Pertanyaan tersebut dapat diganti dengan “Mengapa tidak?”

7. Pada paragraf terakhir kalimat pertama, terdapat kata tidak sesuai yaitu
“sangkaan”, seharusnya diganti dengan “prasangka”

You might also like