Professional Documents
Culture Documents
Heni Susiati
Pusat Pengembangan Energi Nuklir, BATAN
ABSTRAK
DAMPAK RADIOAKTIF PENGGUNAAN ENERGI FOSIL BATUBARA DAN ENERGI NUKLIR
DI PUSAT PEMBANGKIT LISTRIK. Studi ini mengkaji hasil-hasil studi dampak radioaktif dalam
pembangkitan listrik yang pernah dilakukan, terutama terhadap jenis pembangkit berbahan-
bakar batubara dan pembangkit nuklir. Batubara mempunyai peran penting dalam pemenuhan
kebutuhan energi di dunia demikian juga di Indonesia. Pembakaran batubara untuk
menghasilkan listrik merupakan satu sumber paparan radiasi primordial yang disebut material
radioaktif alam (NORM = Naturally Occurring Radioactive Material) yang akan terjadi
peningkatan paparannya terhadap manusia. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
memberikan informasi yang jelas dan menunjukkan bahwa energi nuklir merupakan teknologi
yang mantap dan memberikan keuntungan dalam memproteksi lingkungan. Studi perbandingan
dampak radioaktif oleh PLTU batubara dan PLTN telah banyak diteliti dan beberapa studi telah
dipublikasikan. Pada prinsipnya PLTU batubara akan mengemisikan radionuklida seperti radon,
uranium, thorium dan juga kalium, dan PLTN akan melepaskan gas mulia, tritium, dan halogen.
Hasil studi menunjukkan bahwa dampak operasional pembangkit listrik batubara (PLTU) lebih
radioaktif daripada pengoperasian PLTN.
Kata kunci : radioaktif, batu bara, nuklir
ABSTRACT
RADIOACTIVE IMPACT OF THE COAL AND NUCLEAR ENERGY IN THE ELECTRICAL
POWER PLANT. The study discusses the of radiological impact of emission associated with
different mode of power generations, especially fossil fueled coal power plant and nuclear
power plant. Coal plays an increasingly important role in meeting the energy needs in the world
and also in Indonesia. The burning of coal in the electrical power plant is one source of
primordial radioanuclides radiation which exposure to Naturally Occurring Radioactive Material
(NORM) and it will be technologically enhanced exposure to man. The main objective of this
paper is to provide clear information and to demonstrate that nuclear power is a mature
technology that has protection environmental advantages. Comparative studies of coal fired
power plant and nuclear power plant have been reported by many scientists and several
published reports. Principally, the radionuclides emitted by coal fired power plant such as radon,
uranium, and thorium, and also kalium. While nuclear power plants emit the noble gases,
tritium, and halogens. The study result indicate that the impact of operational power station of
coal more radioactive than the nuclear power plant.
Key words : radioactive, coal, nuclear
PENDAHULUAN
Ujung Lemahabang (ULA) Semenanjung Muria merupakan lokasi terpilih untuk tapak
PLTN yang letaknya berdekatan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara
Tanjung Jati. Dalam kegiatannya, PLTU tersebut menggunakan batubara sebagai bahan bakar
yang berasal dari alam dan mengandung material radioaktif (NORM = Naturally Occuring
Radioactive Material), sehingga dapat menimbulkan terjadinya pemekatan radionuklida alam
yang dinamakan TENORM (Technologically Enhanced Naturally Occuring Radioactive Materia).
TENORM yang terbentuk dapat terikut dalam produk akhir atau sebagai sisa proses yang
selanjutnya di daur-ulang ataupun dibuang ke lingkungan. TENORM yang didaur-ulang dan
mengemisikan zat radioaktif. Tulisan ini kiranya dapat memberikan informasi yang bermanfaat
tentang dampak pencemaran radioaktif pembangkit listrik baik dari industri nuklir maupun non
nuklir, dalam hal ini pembakaran batubara sebagai bahan bakar pada PLTU. Hasil studi ini juga
dapat memberikan masukan dalam menentukan langkah kebijakan dalam pengelolaan
lingkungan di lokasi kegiatan pengembangan fasilitas pembangkit listrik di Semenanjung Muria,
Jepara. Khususnya dalam rangka menekan dampak negatif dan meningkatkan dampak positif
kegiatan operasional fasilitas pembangkit listrik di daerah tersebut.
Batubara merupakan salah satu bahan bakar fosil yang banyak digunakan untuk
pembangkit listrik. Listrik dibangkitkan dengan cara batubara dibakar untuk memanaskan air
dalam bejana guna menghasilkan uap. Uap yang dihasilkan akan memutar turbin dan
menghasilkan listrik. Dampak lingkungan terbesar dari penggunaan bahan bakar batubara
adalah pelepasan polutan seperti CO2, NOx, CO, SO2, hidrokarbon dan abu serta abu layang
(bottom dan fly ash) dalam jumlah yang relatif besar. Akibat pelepasan gas pencemar tersebut
dapat menimbulkan dua masalah utama yaitu efek gas rumah kaca dan hujan asam.
Batubara 72 72 62 72 62
Bottom ash 156 120 84 70 96
Fly ash 144 192 144 440 80
Limbah pembakaran batubara Amerika
Fly ash 96 96 67 111 96 200 207 5 63 1003
Bottom ash dan 26 26 19 26 22 52 52 1 15 255
slag
Sumber: IAEA, 2003
Selain itu, batubara umumnya mengandung radionuklida alam atau NORM maka
pembakaran batubara akan menyebabkan terjadinya pemekatan radionuklida alam atau
TENORM. Abu batubara dapat meningkatkan paparan radiasi terhadap lingkungan. Paparan
radiasi yang dihasilkan dari PLTU batubara secara umum lebih besar daripada paparan radiasi
dari PLTN.
Tabel 2. Konsentrasi Aktifitas (Bq/kg) dalam Residu PLTU[4]
Hal ini tentu berlawanan dengan anggapan umum bahwa hanya PLTN yang
menghasilkan radioaktivitas yang berbahaya bagi lingkungan. Pada kenyataannya, PLTU
batubara cenderung memberikan paparan radiasi yang lebih besar per individu kecuali untuk
organ seperti kelenjar gondok karena adanya lepasan gas mulia (I-131) yang dilepaskan pada
operasi normal PLTN. Lepasan radionuklida utama tahunan untuk PLTU batubara adalah
berupa radium-226 (0,0172 Ci) dan radium-228 (0,0108 Ci)[3].
Beberapa contoh konsentrasi NORM dalam pembakaran batubara di beberapa negara
disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Besarnya konsentrasi sangat bervariasi tergantung kadar,
jenis, lokasi penambangan, dan negara asal batubara tersebut[4]. Dari tabel tersebut terlihat
bahwa besarnya konsentrasi NORM dari pembakaran batubara asal negara Kroasia adalah
relatif paling tinggi di antara batubara asal negara lainnya.
PLTN memanfaatkan panas yang dihasilkan dari pembelahan inti atom uranium berbasis
pada reaksi fisi nuklir pada suatu reaktor nuklir. Panas digunakan untuk menghasilkan uap air
yang berfungsi untuk menggerakkan turbin, yang akan menghasilkan listrik. Uranium
merupakan bahan bakar nuklir. Uranium terdapat di alam dan ditambang dengan teknik
penambangan konvensional, kemudian diproses untuk digunakan sebagai bahan bakar dalam
reaktor nuklir. Uranium mengandung 2 (dua) isotop utama yaitu U-238 dan U-235, dimana atom
U-235 merupakan atom fisil dengan kadar hanya sekitar 0,7 % di alam. Beberapa reaktor nuklir
menggunakan uranium alam untuk bahan bakar, tetapi saat ini sebagian besar telah
menggunakan uranium yang diperkaya. Jenis reaktor thermal yang banyak digunakan untuk
pembangkit listrik di dunia saat ini adalah reaktor berpendingin ringan (LWR)[1].
Limbah dari PLTN berawal sejak dari ujung muka sampai ujung paling akhir daur bahan
bakar nuklir yaitu dimulai dari penambangan uranium sampai penyimpanan limbah lestari, dan
juga tidak kalah pentingnya adalah limbah yang dihasilkan selama beroperasinya PLTN.
Dampak terhadap lingkungan dari proses penambangan adalah limbah radioaktif berupa air
hasil tambang yang bersifat asam dan mengandung ion logam yang terlarut seperti uranium,
thorium, radium dan timah. Hilangnya lahan pertanian dan hutan akibat penambangan dapat
menimbulkan erosi dan berakibat banjir. Pada proses konversi dan pengkayaan uranium,
limbah yang dihasilkan berupa limbah padat terutama dalam bentuk abu, limbah gas dari
proses ini mengandung uranium halus. Selain itu dihasilkan pula uranium deplesi dalam jumlah
sangat besar. Pada tahap fabrikasi bahan bakar, limbah yang dihasilkan berupa padatan dan
cairan yang telah terkontaminasi dengan uranium dan atau plutonium. Sejumlah kecil limbah
gas dibangkitkan selama operasi reaktor dan juga limbah padat dalam bentuk komponen yang
terkontaminasi. Kandungan radioaktif dari limbah olah ulang, berupa produk hasil belah
terkungkung dalam bahan bakar bekas yang diumpankan dalam pabrik olah ulang (pada sistem
daur tertutup) atau disimpan (daur terbuka). Limbah dekomisioning berupa limbah padat
aktifitas rendah, aktifitas menengah dan limbah aktifitas tinggi atau limbah transuranium. Emisi
radioaktif rata-rata dari 1.000 MW (e) reaktor nuklir dapat dilihat pada Tabel 3.
Bukti yang ada mengindikasikan bahwa dampak dari siklus bahan bakar nuklir terhadap
lingkungan (udara, air, tumbuhan, dan manusia) lebih kecil daripada dampak yang ditimbulkan
oleh PLTU batubara seperti terlihat pada Tabel 4.
Pada Tabel 4, keluaran dari pembangkit PLTU batubara dan PLTN, di mana pelepasan
polutan yang paling besar adalah dari PLTU batubara, sedangkan sejumlah kecil radiasi
dihasilkan dari PLTN adalah dalam bentuk gas mulia (kripton dan xenon). Beberapa radiasi dari
PLTU batubara terdiri dari logam berat, yang jauh lebih berbahaya daripada dalam bentuk gas
mulia[1] yang dihasilkan oleh PLTN. Zat radioaktif yang dilepaskan ke lingkungan dari
pengoperasian PLTN adalah gas mulia yang bersifat “inert”, yaitu sukar bereaksi/ bersenyawa
dengan unsur lain, sehingga dampaknya berupa dosis eksternal.
Kajian terhadap hasil pembakaran PLTU batubara sebagai sumber listrik perlu
dilakukan, terutama dari aspek radioekologi. Sampai sekarang informasi dari produk
pembakaran batubara khususnya hasil-hasil polutan radioaktif (NORM/ TENORM) di Indonesia,
khususnya di calon tapak PLTN Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria masih belum
dilakukan penelitian secara maksimal. Pembangkit listrik yang menggunakan batubara
menghasilkan volume abu sekitar 10 % dari volume batubara dan permasalahannya di dalam
abu tersebut mengandung uranium dan thorium serta anak peluruhannya, sehingga mempunyai
potensi memberikan paparan radiasi. Lebih dari 90% abu yang dihasilkan terdiri dari 20%
bottom ash dan slag, sedang sisanya adalah 75% berupa abu terbang (fly ash). Abu biasanya
juga mengandung silikon, alumunium, besi dan kalsium. Sekitar 70% - 80% abu batubara yang
dihasilkan dibuang ke landfill atau kolam. Sebagian abu terbang, bottom ash, dan boiler slag
seringkali digunakan sebagai pengganti semen dan beton, atau sebagai pengisi konstruksi
bangunan. Disini perlu diperhatikan adanya potensi dampak negatif jangka panjang akibat
terakumulasinya NORM/ TENORM tersebut.
Pada prinsipnya jalan masuk paparan material radioaktif dari PLTU dan PLTN adalah
lewat jalur ”ingesti” yaitu melalui bahan-bahan makanan yang telah terkontaminasi ataupun
melalui pernafasan. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa
penelitian dampak material radioaktif dari hasil pembakaran PLTU batubara masih sangat
terbatas. Lain halnya dengan dampak pelepasan efluen dari PLTN yang telah banyak
didokumentasikan.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa paparan radiasi
dari pembakaran batubara pada PLTU secara umum akan mengeluarkan dosis radiasi lebih
banyak daripada PLTN dengan kapasitas yang sama, seperti terlihat pada Tabel 5.
40
35
Dosis Individu Maksimum
30
25
(mrem/th)
20
15
10
0
badan tulang paru-paru kelenjar ginjal hati sumsum
gondok
PLTU batubara PLTN BWR PLTN PWR
Organ
Gambar 1 menunjukkan data-data hasil perhitungan yang dilakukan oleh Mc Bride dan
kawan-kawan, yaitu hasil perhitungan dosis individu maksimum dan dosis populasi dari
pelepasan material radioaktif PLTU dan PLTN 1.000 MW(e). Dari tabel tersebut menunjukkan
bahwa dosis individu maksimum PLTU lebih besar jika dibandingkan dengan PWR (kecuali
dosis pada kelenjar gondok), tetapi lebih kecil bila dibandingkan dengan BWR kecuali dosis
pada tulang.
Sedangkan untuk dosis populasi PLTU batubara rata-rata mempunyai nilai lebih tinggi
baik dibandingkan dengan PLTN jenis PWR maupun BWR, kecuali dosis pada kelenjar gondok
pada BWR, Tabel 5. Pelepasan polutan pada PLTU batubara dengan ketinggian cerobong 50
meter akan memberikan dosisi populasi yang lebih besar jika dibandingkan ketinggian
cerobong pada 100, 200 meter maupun pada ketinggian 300 meter. Sedangkan dosis populasi
dari PLTN mempunyai nilai lebih kecil dibandingkan dosis populasi dari PLTU batubara[5],[6].
Tabel 5. Paparan Radiasi terhadap Manusia dari PLTU batubara dan PLTN 1.000 MW(e)
PLTU batubara menghasilkan produk yang lebih radioaktif dibandingkan dengan PLTN
karena tingginya jumlah radon, uranium dan thorium yang dihasilkan. EPA melaporkan
konsentrasi thorium dan uranium dari pembakaran batubara pada PLTU dalam satu tahun akan
melepaskan 5,2 dan 12,8 ton thorium di udara. Disamping itu juga akan dilepaskan unsur-unsur
hasil peluruhan yang juga merupakan unsur-unsur berbahaya seperti radium, radon, polonium,
bismuth, dan Pb. Sehingga secara akumulasi pemakaian batubara di Amerika sampai saat ini
akan menghasilkan 477,027,320 millicurie[7].
Sebagai perbandingan, menurut laporan Badan Nasional Amerika untuk Proteksi dan
Pengukuran Radiasi (NCRP) menghitung bahwa radioaktivitas batubara rata-rata sebesar 4,27
mikrocurie/ton. Menurut laporan NCRP No. 92 dan 95, paparan radiasi terhadap populasi dari
operasional 1.000 MW(e) PLTN dan PLTU batubara adalah 490 orang-rem/tahun untuk PLTU
batubara dan 4.8 orang-rem/tahun untuk PLTN. Selanjutnya, dosis radiasi efektif ekuivalen
populasi di sekitar PLTU batubara adalah 100 kali jika dibandingkan dengan PLTN. Jika
dihitung dosis radiasi per orang yang berada di sekitar PLTU batubara akan menerima dosisnya
tiga kali lebih besar daripada dosis radiasi yang dikeluarkan PLTN[7][8].
80
70
badan
60 tulang
paru-paru
50
kelenjar gondok
Organ
40 ginjal
hati
30 sumsum
20
10
0
226Ra 228Ra 228Th 230Th 232Th 210Po 210Pb 227Ac
Radionuklida
Gambar 2. Prosentase Kontribusi Radionuklida terhadap Dosis Populasi PLTU batubara 1.000
M.W(e) (Sumber: Mc Bride dkk., 1997)
Tabel 6. Prosentase Kontribusi Radionuklida terhadap Dosis Populasi PLTN 1.000 M.W(e)[1]
ton thorium pertahun. Jika PLTN dengan kapasitas 1.000 MW(e) membutuhkan 30 ton uranium
selama satu tahun, maka PLTU batubara membakar atau menghamburkan uranium tiga kali
jumlah yang dibutuhkan PLTN selama satu tahun[7][8].
Meskipun di dalam PLTN terdapat banyak sekali unsur radioaktif yang dihasilkan, tetapi
sistem keselamatan PLTN membuat jumlah lepasan radiasi ke lingkungan relatif kecil. Dalam
kondisi normal, seseorang yang tinggal di radius 1 – 6 km dari pusat reaktor akan menerima
dosis radiasi tambahan tidak lebih daripada 0,005 miliSievert pertahun. Nilai ini jauh lebih kecil
daripada yang diterima dari alam (kira-kira 2 miliSievert per tahun) atau 1/400 nilai radiasi
alam[11].
Penelitian di Jepang oleh K. Okamoto[12] juga melaporkan bahwa diantara banyak
210 210
radionuklida yang dilepaskan dari pembakaran batubara maka radionuklida Pb dan Po
merupakan radionuklida yang penting untuk dikaji dampaknya terhadap lingkungan karena sifat
radionuklida tersebut yang sangat volatil dan dilepaskan dengan laju yang lebih tinggi
dibandingkan dengan jenis radionuklida yang lain. Penelitian di Jepang juga membandingkan
dosis kolektif dari PLTU batubara dan PLTN yaitu dengan data sebagai berikut[12]:
Sumber: K. Okamoto
Dari tabel 7 tersebut juga terlihat bahwa dosis kolektif yang dihasilkan oleh PLTU
batubara mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan dosis kolektif dari PLTN, kecuali
bila terjadi kecelakaan seperti kasus kecelakaan PLTN Harrisburg.
Sehubungan dengan rencana pembangunan PLTN di Ujung Lemahabang yang lokasi
tapaknya tidak jauh dari operasional PLTU Tanjungjati yang mempunyai potensi meningkatkan
paparan radioaktivitas alam di daerah tersebut maka studi ini dapat digunakan sebagai
masukan dalam menentukan langkah kebijaksanaan dalam pengelolaan lingkungan di lokasi
kegiatan pengembangan fasilitas pembangkit listrik di Semenanjung Muria, Jepara. Khususnya
dalam rangka menekan dampak negatif dan meningkatkan dampak positif kegiatan operasional
fasilitas pembangkit listrik di daerah tersebut. Disamping juga diperlukan suatu penelitian yang
lebih lengkap mengenai rona awal radioaktivitas guna mendukung perolehan data tingkat
KESIMPULAN
Berdasarkan dari studi dampak radioaktif penggunaan PLTU batubara dan PLTN yang
telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Kajian terhadap emisi radioaktif alam yang dihasilkan melalui pembakaran PLTU
batubara sebagai pembangkit listrik perlu dilakukan guna menghindari kesalahpahaman
akibat adanya potensi peningkatan radiasi terhadap lingkungan di sekitar fasilitas PLTU
dan PLTN, khususnya di daerah Ujung Lemahabang, Jepara.
2. Dosis radiasi individu maksimum dari PLTU mempunyai nilai lebih besar dari nilai dosis
radiasi individu dari PWR kecuali untuk dosis kelenjar tiroid, tetapi lebih rendah nilainya
dibandingkan dengan nilai dosis individu dari PLTN BWR, kecuali pada tulang.
3. Operasi PLTU batubara akan menghasilkan emisi polutan zat radioaktif yang lebih
besar bila dibandingkan dengan operasi PLTN.
4. Emisi polutan radioaktif dari operasi PLTN masih jauh lebih kecil daripada dosisi yang
diterima dari radiasi alam.
5. Perlu ditetapkan suatu peraturan yang ketat dari emisi radioaktif yang dihasilkan oleh
PLTU batubara.
DAFTAR PUSTAKA
1. MCBRIDE J.P, MOORE R.E., WITHERSPOON J.P., dan BLANCO R.E., Radiological
Impact of Airborne Effluents of Coal–Fired and Nuclear Power Plants, Oak Ridge
National Laboratory, Tennessee, 1977.
2. DJAROT S.W., Studi NORM dan TENORM dari Kegiatan Industri Non Nuklir, Jurnal
Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Pusat
Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif ISSN 1410-9565, Volume 6 Nomor 2
Desember 2003.
3. L. Mljač1 M. Križman, Radiological impact of Coal-Fired Thermal Power Plant – a
Decade of Systematic Environmental Monitoring, ERICo Velenje, Koroška 58, SI-3320
Velenje, Slovenia.
4. IAEA, Extent of Environmental Contamination by Naturally Occuring Radioactive
Material (NORM) and Technological Options for Mitigation, TRS no. 419, Vienna, 2003.
5. ROBERT G. COCHRAN, The Nuclear Fuel Cycle: Analysis and Management, American
Nuclear Sociaty, LA. Grange Park, USA, 1992.
6. SUNARKO, Kajian Komparatif Terhadap Pembangkitan Listrik Batubara dan Nuklir,
Jurnal Pengembangan Energi Nuklir, Volume 6, Nomor 3 & 4 September – Desember
2004.
DISKUSI