You are on page 1of 2

Pada dasarnya, setiap orangtua menginginkan anaknya dapat tumbuh normal

sebagaimana anak-anak pada umumnya, baik dari segi fisik, intelektual, ataupun emosional.

Namun, seringkali harapan orangtua tesebut tidak sesuai dengan kenyataan. Beberapa anak

terlahir dalam keadaan tidak sempurna, secara fisik, psikologis ataupun sosial memiliki

hambatan dalam mencapai tujuan atau kebutuhan dan potensial secara maksimal (Suran & Rizzo,

dalam Mangunsong dkk, 1998). Memiliki anak berkebutuhan khusus menjadi beban tersendiri

bagi orang tua. Orang tua akan mengalami kekecewan ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa

anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak sempurna atau mengalami hambatan

perkembangan. Kehadiran seorang anak dengan hambatan-hambatan tertentu dapat

menimbulkan reaksi yang berbeda-beda. Reaksi-reaksi yang mungkin ditimbulkan oleh orang tua

ialah rasa sedih, kecewa, rasa bersalah, menolak atau marah, hingga akhirnya dapat menerima

keadaan anak tersebut (Mangunsong, 1998).

Orang tua dari anak berkebutuhan khusus memiliki tanggung jawab lebih dibandingkan

dengan orang tua anak normal. Tanggung jawab terebut antara lain dalam mengajarkan dan

menasehati anak, mengatur dan mengobservasi tingkah laku anak, menghadapi anak lain dan

orang lain di lingkungannya, menjaga hubungan antara orang tua, berhubungan dengan sekolah

dan komunitas, berpartisipasi dalam rencana pendidikan, dan membantu menetapkan tujuan yang

realistis (Heward, 1996).

Heiman (2002) menambahkan bahwa meskipun sebagian besar dari orangtua dari anak

berkebutuhan khusus menunjukan tingkat stress dan rasa ketidakpuasan yang besar namun

mereka tetap menjaga kelangsungan hidup sehari-hari. Sebagian besar orang tua menunjukan

kebutuhan akan kepercayaan yang besar pada masa depan anak, serta pandangan yang lebih

realistis dan penerimaan akan ketidakmampuan anak.


Pada penyandang tuna grahita kesiapan mereka untuk dapat hidup mandiri bergantung

pada keterlibatan orangtua dalam menididik dan mempersiapkan mereka untuk hidup mandiri.

Semakin besar keterlibatan orangtua, maka akan semakin baik pula kemandirian dari anak tuna

grahita (Priyanti, 2005). Keterlibatan orangtua dinilai penting dalam pendidikan bagi

perkembangan anak mereka sendiri. Hoover-Dempsey & Sandler (1997) berpendapat bahwa

besarnya keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak dan remaja memberikan kemajuan yang

baik pada proses belajar anak, yang dapat dilihat dari tingkat keberhasilan anak tersebut di

sekolah. Hoover-Dempsey & Sandler (1995) mengemukakan lima tahapan untuk

menggambarkan proses keterlibatan orangtua. Lima tahapan itu terdiri dari: keputusan untuk

terlibat dalam pendidikan anak, keputusan untuk memilih jenis keterlibatan tertentu, mekanisme

yang digunakan orangtua untuk memberikan pengaruh pada hasil pendidikan dan perkembangan

anak mereka serta hasil dari proses belajar anak.

You might also like