You are on page 1of 2

http://www.gizi.

net /Makalah-artikel 1

Kontroversi seputar gizi buruk :


Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?
Oleh : Dr. dr. Nurpudji A. Taslim, MPH, SpGK

K asus gizi buruk pada anak balita yang meningkat akhir-akhir ini telah membangunkan pemegang kebijakan
untuk melihat lebih jelas bahwa anak balita sebagai sumber daya untuk masa depan ternyata mempunyai
masalah yang sangat besar. Berdasarkan angka human development index (HDI), Indonesia menduduki
peringkat ke 112 di dunia. Tidak tertutup kemungkinan peringkat ini akan bergeser ke posisi lebih rendah
(memburuk) apabila kondisi ini tidak ditangani secara cepat dan tepat.

Gizi Buruk Tidak Terjadi Tiba -tiba. 30% sisanya ditujukan untuk pelaksanaan kegiatan
operasional. Diantara agenda kegiatan dalam RAN
Kasus gizi buruk yang meningkat dan sangat ramai tersebut adalah pemberian makanan tambahan
dibicarakan sejak ditemukan di NTB, telah berbasis makanan lokal, dan pelatihan kader.
membuka mata kita tentang masalah gizi anak
balita. Kenyataan di lapangan, setelah NTB, hampir Peran Posyandu
seluruh daerah di Indonesia segera melaporkan
adanya kasus gizi buruk di wilayahnya. Fenomena Lalu, bagaimana peran posyandu sesungguhnya? Jika
ini kemungkinan berkaitan dengan pengalokasian kita tanyakan kepada masyarakat tentang siapa yang
dana yang digulirkan oleh pemerintah (Pusat) untuk bertanggung jawab dalam pelaksanaan posyandu,
penanggulangan kasus gizi buruk. Ironis memang. maka jawaban yang akan kita peroleh adalah Tenaga
Kesehatan.
Gizi buruk merupakan kejadian kronis dan bukan
kejadian yang tiba-tiba. Pertanyaan yang timbul Sejak awal, posyandu berperan sebagai pos terdepan
adalah di mana laporan hasil pemantauan status gizi perpanjangan tangan Depkes dalam pemberikan
berada dan ke mana laporan tersebut dikirimkan pelayanan kesehatan. Posyandu tidak membutuhkan
selama ini? Secara teknis, mestinya laporan tersebut fasilitas dan biaya yang besar, bahkan dapat
berada di Dinas Kesehatan (untuk Daerah) dan dilakukan di rumah penduduk maupun tempat-tempat
Departemen Kesehatan (untuk Pusat). Secara teknis pertemuan desa. Ini merupakan suatu modal dasar
pula, lembaga-lembaga tersebut bertanggungjawab yang sangat baik, yang sebaiknya disosialisasikan
atas kajian data hasil pemantauan yang dilakukan kepada khalayak dan digunakan untuk mengubah
secara berkala mulai dari tingkat Puskesmas, persepsi bahwa posyandu itu bukan milik kesehatan
dengan Posyandu sebagai ujung tombak sumber melainkan milik masyarakat.
informasi. Demikian pula institusi rumah sakit,
merupakan unit pelayanan yang juga turut Kader adalah anggota masyarakat yang diberi
berkontribusi atas tersedianya informasi kasus ketrampilan untuk menjalankan posyandu. Untuk
tersebut karena berkaitan dengan fungsinya sebagai mencapai hasil yang optimal, pengetahuan kader
pusat r ujukan kasus. selalu harus diperbaharui dengan melakukan
penyegaran (refreshing), agar tercipta rasa percaya
Departemen Kesehatan telah menyelenggarakan diri dalam memberikan pelayanan. Dalam hal ini
suatu pertemuan sosialisasi pencegahan dan peran masyarakat sangat penting, dengan melibatkan
penanggulangan gizi buruk bagi pemegang organisasi yang ada termasuk Karang Taruna,
kebijakan di Batam 6-8 Oktober 2005 (Regional I) LKMD, dan PKK, dengan pertimbangan mempunyai
dan di Yogyakarta 11-13 Oktober 2005 (Regional jaringan luas, untuk keberhasilan posyandu.
II). Pada pertemuan yang dihadiri oleh para Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktur Rumah Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Gizi
Sakit Propinsi se-Indonesia tersebut telah dibahas Pangan dan Kesehatan Universitas Hasanuddin,
Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Makassar, yang berkaitan dengan posyandu
Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009, yang menemukan kegiatan posyandu umumnya hanya
menginformasikan 70% dari anggaran yang tersedia dilakukan oleh 2-3 orang kader. Kader tersebut pada
akan di fokuskan pada promosi kesehatan (dalam umumnya adalah ibu rumah tangga dan tidak bekerja.
hal ini upaya promotif dan preventif), sementara Tentu saja, pada situasi ekonomi seperti saat ini,
http://www.gizi.net /Makalah-artikel 2

angan-angan agar mereka datang secara sukarela bulanan untuk mendeteksi kemungkinan adanya
sangat sulit untuk dipertahankan. Dengan status gangguan pertumbuhan yang akan menjadi tanda
otonomi daerah, sudah saatnya pemda setempat awal terjadinya masalah gizi. Bila hal ini dapat
mulai memberikan perhatian pada bidang kesehatan dilasanakan dengan baik, maka gangguan
dengan menyediakan anggaran khusus agar pertumbuhan dapat diatasi lebih dini dan masalah gizi
posyandu dapat berjalan baik. buruk tidak akan muncul. Harus disadari bahwa anak
balita merupakan calon generasi penerus bangsa,
Data lain berkaitan dengan posyandu pada yang akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa di
penelitian tersebut adalah : masa depan.
Ø Penyuluhan yang diberikan sekitar 22%,
Ø Balita yang mempunyai Kartu Menuju Sehat Bila kita kaji dari hasil temuan kas us lalu dikaitkan
(KMS) 56%, dengan sebab-akibat timbulnya masalah gizi buruk,
Ø Ibu balita yang mengerti pembacaan KMS kejadian masalah gizi buruk bukan semata-mata
13%. tanggung jawab Departemen Kesehatan atau Dinas
Kesehatan di daerah. Masalah ini jelas disebabkan
Hasil studi tersebut juga menunjukkan sebuah ironi, oleh berbagai faktor yang pada akhirnya mengerucut
yaitu masyarakat datang ke posyandu bila ada sehingga si anak tidak mendapat asupan gizi yang
PMT, sesudah itu menganggap tidak perlu datang cukup selama kurun waktu yang lama. Mungkin
menimbang balitanya untuk melihat karena ketiadaan pangan di rumah tangga, yang
pertumbuhannya. Sementara itu, kebanyakan para apabila dikaji penyebabnya akan sangat banyak dan
pemegang kebijakan selalu mengatakan anak yang tidak berkaitan dengan sektor kesehatan. Atau
baik pertumbuhannya adalah anak yang naik berat mungkin karena kelalaian orangtua dalam
badannya. Nah, bagaimana bisa diketahui kenaikan pengasuhan bayi dan anak balita, sehingga asupan
berat badan anak bila mereka tidak datang ke gizi untuk anak tidak terawasi dengan baik, sehingga
posyandu, apalagi tidak mengerti arti KMS? timbul masalah gizi buruk.

Siapa yang Bertanggungjawab? Oleh karenanya, penanggulangan masalah gizi pada


umumnya dan masalah gizi buruk khususnya,
Penanganan balita gizi buruk di rumah sakit bukan merupakan tanggung jawab bersama yang melibatkan
merupakan satu-satunya jalan keluar dalam banyak sektor yang terkait dengan segi pelayanan
mencegah dan menangani kejadian gizi buruk ini. kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya,
Apakah ada jaminan anak yang sudah keluar dari maupun pertanian yang menyangkut ketersediaan
perawatan rumah sakit, tidak akan jatuh ke kondisi pangan di tingkat rumah tangga. Sudah tentu
gizi buruk lagi? Tentu saja tidak ada jaminan, pemerintah (Pusat maupun Daerah) bertanggung
kecuali ketersediaan pangan di rumah tangga jawab secara keseluruhan dalam upaya menyiapkan
cukup, dan pengetahuan orang tua tentang masalah seluruh sumberdaya yang ada, baik berupa
gizi memadai. Untuk adanya jaminan tersebut sumberdaya alam, manusia, maupun biaya yang
sudah jelas ada sektor non-kesehatan yang dapat menanggulangi masalah tersebut lebih dini.
bertanggungjawab. Pengerahan sumberdaya sektor kesehatan saja, hanya
akan menjadikan upaya penanggulangan masalah
Sekarang sudah saatnya masalah gizi anak balita ini seperti pemadam kebakaran, bukan mempersiapkan
ditangani dengan lebih terintegrasi, melibatkan agar tidak terjadi kebakaran. (emanz/gizi.net)
unsur masyarakat dan organisasi setempat, dengan –— –— –— –— –— –—
meningkatkan kesadaran pentingnya penimbangan

Dr. dr. Nurpudji A. Taslim, MPH, SpGK adalah


Ketua Pusat Pangan, Gizi dan Kesehatan – Universitas Hasanuddin, Makassar.
Alamat korespondensi : taslim@indosat.net.id

You might also like