You are on page 1of 15

MAKNA, ASAS, DAN SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

I. Makna Dan Pengertian Hukum Internasional

Kerja sama dalam bentuk hubungan internasional sangat memerlukan aturan-aturan hukum yang bersifat

internasional. Hukum internasional bertujuan untuk mengatur masalah-masalah bersama yang penting dalam

antarsubjek internasional.

Menurut Prof. Dr. mochtar kusumaatmaja S.H.,LMM, Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah

dan asas-asas yang mengatur hubungan/persoalan yang melintasi batas-batas antara :

 Negara dan Negara

 Negara dengan subjek hukum lain bukan Negara / subjek hukum bukan Negara satu sama lain.

Beberapa pendapat tentang Hukum Internasional menurut beberapa sarjana antara lain :

1. Hugo de groot (Grotius) mengemukakan bahwa hukum dan hubungan internasional didasarkan pada

hukum bebas dan persetujuan beberapa/semua Negara.

2. Sam suhaedi bahwa Hukum Internasional merupakan himpunan aturan-aturan, norma-norma,dan asas

yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat internasional.

3. J.G. Strake menyebut bahwa hukum intrnasional adalah sekumpulan hukum(body of law) yang

sebagian besar terdiri atas asas-asas dank arena itu, biasanya ditaati dalam hubungan antar Negara.

4. Wirjono prodjikoro berpendapat bahwa Hukum Internasional adalah hukum yang mengatur

perhubungan hukum antara berbagai bangsa di berbagai Negara.

5. Mochtar kusumaatmaja menyatakan bahwa Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas

yang mengatur hubungan yang melintasi batas-batas Negara antar Negara, Negara dalam Hukum

Internasional lainnya yang bukan Negara, atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.

Hukum internasional yang sering dibicarakan masyarakat oleh setiap orang sesungguhnya yang dimaksud

adalah hukum politik internasional. Pada zaman Romawi, telah dikenal lus civile dan lus gentium. Lus civile

adalah hukum nasional yang hanya berlaku untuk warga Romawi dimanapun berada. Lus gentium adalah

hukum yang merupakan bagian hukum Romawi dan diterapkan bagi orang asing (bukan orang Romawi).

Pengertian volkerncht adalah perkembangan dari lus inter gentium, namun sebenarnya tidak sama, karena dalam

hukum Romawi istilah lus gentium yang kemudian menjadi lus inter gentium mempinyai pengertian :
a. Hukum yang mengatur hubungan antara 2 orang warga kota roma dan warga asing (bukan warga kota

roma).

b. Hukum yang diturunkan dari tata tertib alam yang mengatur masyarakat segala bangsa yaitu hukum

alam (naturecth). Hukum alam menjadi dasar Hukum Internasional di eropa pada abad ke-15 – abad

ke-19.

II. Asas – asas Hukum Internasional

Berlakunya Hukum Internasional dalam rangka menjalin huungan antarbangsa, harus memperhatikan

asas-asas berikut:

a. Asas territorial

Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Menurut asas ini negara melaksanakan

hukum bagi semua orang dan semua barang atau orang yang ada diluar wilayah tersebut, berlaku

hukum asing (internasional) sepenuhnya.

b. Asas kebangsaan

Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negara. Menurut asas ini warga negara

dimanapun ia berada, tetap mendapan perlakuan hukum dari negaranya. Asas ini mempunyai kekuatan

extraterritorian, artinya hukum dari negara tersebut masih berlaku juga bagi warga negaranya,

walaupun ada dinegara asing.

c. Asas kepentingan umum

Asas ini didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan mengatur dalam kehidupan

masyarakat. Dalam hal ini negara dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan peristiwa yang

bersangkut paut dengan kepentingan umum. Jadi, hukum tidak terikat pada batas-batas wilayah sutu

negara.

III. Sumber Hukum Internasional

a. Sumber hukum dalam arti material

Hukum internasional tidak dapat dipaksakan sebagaimana hukum nasional, karena masyarakat

internasional bukanlah suatu negara yang memiliki [emerintahan ataupun kekuasaan. Dapat aijelaskan

bahwa masyarakat internasional adalah masyarakat dari negara-negara atau bangsa-bangsa yang
keanggotaannya didasarkan pada kemauan dan kesadaran, namun mereka berdaulat diwilayah

negaranya masing-masing.

Masyarakat bangsa-bangsa itu tunduk kepada kaidah-kaidah Hukum Internasional dan mengikat.

Kekuatan mengikat Hukum Internasional didasarkan pda kekuatan hukum alam (yang berasal dari

hukum tuhan), sehingga kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan hukum nasional. Pendapat hugo

de groot ini berbeda dengan hanskalsen, bahwa berlakunya Hukum Internasional didasarkan pada

persetujuan bersama bengsa-bangsa ditambah asas pacta sun servada, yangmerupakan kaidah dasar

pasal 26 konvensi wina tentang hukum perjanjian 1926.

b. Sumber Hukum Internasional dalam arti fomal

Sumber Hukum Internasional dalam arti fomal adalah sumber-sumber yang digunakan mahkamah

internasional dalam memutus sengketa-sengketa akibat dari hubungan internasional. Sumber Hukum

Internasional dalam arti fomal merupakan,Sumber Hukum Internasional yang memiliki otoritas tinggi

dan otentik dimiliki oleh mahkamah internasional untuk memutus sengketa nasional,yaitu pasal 7

konvensi XII den hag tanggal 18 oktober 1907 dan pasal 38 piagam mahkamah internasional permanen

tanggal 16 desember 1920.

Sumber-sumber Hukum Internasional yang tercantum dalam piagam mahkamah internasional pasal 38 adalah:

1. Perjanjian internasional baik yang besifat umum maupun kusus. Mengandung ketentuan hukum yang

diakui secara tegas oleh Negara-negara yang bersengketa. Masyarakat internasional telah menyediakan

pengaturan tentang perjanjian dalam:

a. Vienna convention on law of treaties, 1969 (konvensi wina tentang hukum perjanjian

internasional, 1969).

b. Vienna convention on succession of states in respect of treaties, 1978 ( konvensi wina tentang

pergantian Negara mengenai perjanjian internasional, 1978 ).

c. Vienna convention on law of treaties between states of internasional, 1986 (konvensi wina tentang

hukum perjanjian internasional antara Negara dan organisasi internasional, 1986).

2. Kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima

sebagai hukum.

3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradap.


4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai Negara sebagai

sumber tambahan dalam menetapkan kaidah-kaidah hukum. Sri setia ningsih dengan mochtar

kusumaatmaja, hanya menambahkan sumbar hukum yang ke-5.

SENGKETA INTERNASIONAL

Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah

satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya

ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan

antara 2 bangsa yang berbeda. Dalam Case Concerning East Timor (Portugal vs. Australia), Mahkamah

Internasional (ICJ) menetapkan 4 kriteria sengketa yaitu:

1. Didasarkan pada kriteria-kriteria objektif. Maksudnya adalah dengan melihat fakta-fakta yang ada. Contoh:

Kasus penyerbuan Amerika Serikat dan Inggris ke Irak

2. Tidak didasarkan pada argumentasi salah satu pihak. Contoh: USA vs. Iran 1979 (Iran case). Dalam kasus ini

Mahkamah Internasional dalam mengambil putusan tidak hanya berdasarkan argumentasi dari Amerika Serikat,

tetapi juga Iran.

3. Penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak tentang adanya sengketa tidak

dengan sendirinya membuktikan bahwa tidak ada sengketa. Contoh: Case Concerning the Nothern Cameroons

1967 (Cameroons vs. United Kingdom). Dalam kasus ini Inggris menyatakan bahwa tidak ada sengketa antara

Inggris dan Kamerun, bahkan Inggris mengatakan bahwa sengketa tersebut terjadi antara Kamerun dan PBB.

Dari kasus antara Inggris dan Kamerun ini dapat disimpulkan bahwa bukan para pihak yang bersengketa yang

memutuskan ada tidaknya sengketa, tetapi harus diselesaikan/diputuskan oleh pihak ketiga.

4. Adanya sikap yang saling bertentangan/berlawanan dari kedua belah pihak yang bersengketa.Contoh: Case

Concerning the Applicability of the Obligation to Arbitrate under section 21 of the United Nations Headquarters

agreement of 26 June 1947.

Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian

sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor

utama dalam hukum internasional klasik. Cara-cara kekerasan yang digunakan tersebut akhirnya

direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague Peace Conference pada tahun 1899

dan 1907, yang kemudian menghasilkan Convention on the Pacific Settlement of International Disputes 1907.

Namun karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak mengikat, konvensi tersebut tidak mempunyai kekuatan
memaksa untuk melarang negara-negara melakukan kekerasan sebagai metode penyelesaian sengketa.

• Perkembangan hukum internasional untuk menyelesaikan sengketa secara damai secara formal lahir dari

diselenggarakannya Konferensi Perdamaian Den Haag (The Hague Peace Conference) tahun 1899 dan tahun

1907. Konferensi perdamaian ini menghasilkan:

“The Convention on the Pacific Settlement of International Disputes (1907)”

Karakteristik dari Sengketa Internasional adalah:

1. Sengketa internasional yang melibatkan subjek hukum internasional (a Direct International Disputes),

Contoh: Toonen vs. Australia. Toonen menggugat Australia ke Komisi Tinggi HAM PBB karena telah

mengeluarkan peraturan yang sangat diskriminasi terhadap kaum Gay dan Lesbian. Dan menurut Toonen

pemerintah Australia telah melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 26 ICCPR. Dalam kasus ini Komisi

Tinggi HAM menetapkan bahwa pemerintah Australia telah melanggar Pasal 17 ICCPR dan untuk itu

pemerintah Australia dalam waktu 90 hari diminta mengambil tindakan untuk segera mencabut peraturan

tersebut.

2. Sengketa yang pada awalnya bukan sengketa internasional, tapi karena sifat dari kasus itu menjadikan

sengketa itu sengketa internasional (an Indirect International Disputes). Suatu perisitiwa atau keadaan yang bisa

menyebabkan suatu sengketa bisa menjadi sengketa internasional adalahaadanya kerugian yang diderita secara

langsung oleh WNA yang dilakukan pemerintah setempat. Contoh: kasus penembakan WN Amerika Serikat di

Freeport.

IV. Proses Ratifikasi Hukum Internasional Menjadi Hukum Nasional

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-11, hal 821, ratifikasi adalah pengesahan suatu dokumen

Negara oleh parlemen, khususnya pengesahan undang – undang, perjanjian antar Negara, dan persetujuan

internasional.

Dalam proses ratifikasi, kita dapat melihat hubungan antara Hukum Internasional dengan hukum nasional.

Hubungan antara Hukum Internasional dengan hukum nasional dapat dilihat sebagai berikut :

a. Negara – Negara yang membentuk Hukum Internasional pada saat yang sama memiliki hukum

nasional yang berlaku di Negara masing – masing.

b. Penerapan (implementasi) perjanjian internasional sering memerlukan perundangan nasional.


c. Kekebalan diplomatic yang disediakan Hukum Internasional, tidak ada artinya jika tidak diakui

dan tidak dilindungi oleh hukum nasional.

d. Hukum nasional tidak mempunyai pengaruh pada kewajiban Negara di tingkat internasional,

tetapai Hukum Internasional tidak sama sekali mengabaikan Hukum Internasional.

System ratifikasi dalam praktik kenegaraan, secara garis besar dapat dibedakan menjadi ;

a. Sistem ratifikasi yang cukup dilakukan oleh badan eksekutif tanpa keterlibatan badan legislative

(DPR). Hal ini lazim dilakukan pada masa – masa kekuasaan absolut. Umpamanya pada zaman

NAZI di jerman (1933 – 1945)

b. System ratifikasi yang cukup eksekutif (pemerintah). Hal ini lazim dilakukan oleh Negara –

Negara yang mengunggulkan wakil – wakil rakyat (DPR), seperti turki.

c. System ratifikasi campuran yaitu lembaga legislative dan lembaga eksekutif secara bersama –

sama terlibat di dalam proses ratifikasi perjanjian internasional. Dalam praktik system campuran

inilah yang paling banyak digunakan dengan dua variasi, yaitu:

1. Legislative lebih domain dari pada eksekutif. Terdapat di Negara – negara yang

melaksanakan system pemerintahan parlementer, misalnya prancis.

2. Eksekutif lebih domain daripada legislative, terdapat di Negara – Negara yang

melaksanakan pemerintahan presidensial seperti Ameriaka Serikat.

Dalam praktik di Indonesia, system ratifikasi lazim nya menggunakan system campuran, yaitu perjanjian

internasional yang terpenting saja yang di ratifikasi oleh kepala Negara / presiden setelah mendapat persetujuan

dari DPR, sementara perjanjian – perjanjian internasional lainnya cukup di ratifikasi dengan keputusan presiden,

sedang DPR cukup di beri temburan. DPR hanya diberi wewenang untuk menyatakan setuju atau tidak setuju,

tidak memiliki wewenang untuk mengubah rancangan tersebut.

Menurut ketentuan pasal 102 ayat (1) piagam PBB dikatakan bahwa, setiap perjanjian dan persetujuan

internasional yang dimasuki oleh suatu anggota PBB sesudah piagam ini berlaku harus secepatnya didaftarkan

dan diumumkan oleh sekertariat. Khusus dalam perjanjian multirateral, jika suatu Negara peserta tidak

menyetujui hal – hal tertentu(yang telah disetujui dalam perjanjian tersebut), negara tersebut harus mengajukan

persyaratan dengan maksud, dalam hal-hal tertentu Negara tersebut tidak terikat. Persyaratan tersebut dapat

diajukan :
a. Pada waktu menyatakan turut serta dalam perjanjian.

b. Pada waktu perjanjian ditandatangani.

c. Pada waktu perjanjian diratifikasi.

V. Subjek Hukum Internasional

a. Negara

Negara adalah subjek Hukum Internasional. Hal ini sejalan dengan lahirnya Hukum Internasional

itu sendiri sesuai dengan istilah lain Hukum Internasional.

b. Tahta Suci

Tahta suci (vatikan) merupakan suatu contoh dari subjek Hukum Internasional selain Negara.

Tahta suci memiliki perwakilan diplomatic di banyak ibukota Negara.

c. Palang Merah Internasional

PMI berkedudukan di Geneva. PMI merupakan salah satu subjek Hukum Internasional. Saat ini

PMI dikenal dengan organisasi internasional.

d. Organisasi internasional

Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek Hukum Internasional tidak diragukan lagi,

walaupun pada mulanya masih belum adanya kepastian mengenai hal ini. Organisasi internasional

seperti PBB, ILO, WHO, dan FAO memiliki hak dan kewajiban seperti telah ditetapkan dalam

konvensi – konvensi internasional sebagai anggaran dasarnya.

e. Orang perseorangan (individu)

Dalam arti yang terbatas individu dapat dianggap sebagai subjek Hukum Internasional. Pejanjian

perdamaian versailler tahun 1919 telah menetapkan pasal – pasal yang memungkinkan individu

mengajukan perkara di hadapan mahkamah Arbitrase Internasional.

f. Pemberontakan dan pihak dalam sengketa

Pada pemberontakan dianggap sebagai salah satu subjek Hukum Internasional yang memililki

beberapa alasan, misalnya merekapun memiliki hal yang sama untuk menentukan nasibnya sendiri,

hak secara bebas memilih system ekonomi, politik, social sendiri, dan hak menguasai sumber

kekayaan alam di wilayah yang didudukinya.

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL


Langkah – langkah lebih lanjut tentang yang harus dilakukan oleh negara –negara anggota PBB guna

penyelesain sengketa secara damai diuraikan dalam Bab IV (Pacific Settlement of Disputes)

Terkait hal –hal tersebut PBB mempunyai berbagai cara yang terlembaga dan termuat didalam Piagam PBB. Di

samping itu PBB mempunyai cara informal yang lahir dan berkembang dalam pelaksanaan tugas PBB sehari –

hari. Cara –cara ini kemudian digunakan dan diterapkan dalam menyelesaikan sengketa yang timbul diantara

negara anggotanya.

Dalam upayanya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki empat kelompok

tindakan, yang saling berkaitan satu sama lain dan dalam pelaksanaanya memerlukan dukungan dari semua

anggota PBB agar dapat terwujud. Keempat kelompok tindakan itu adalah sebagai berikut.2

1. Preventive Diplomacy

Preventive Diplomacy adalah suatu tindakan untuk mencegah timbulnya suatu sengkta di antara para pihak,

mencegah meluasnya suatu sengketa, atau membatasi perluasan suatu sengketa. Cara ini dapat dilakukan oleh

Sekjen PBB, Dewan Keamanan, Majelis Umum, atau oleh organisasi –organisasi regional berkerjasama dengan

PBB. Misalnya upaya yang dilakukan oleh Sekjen PBB sebelumnya Kofi Annan dalam mencegah konflik

Amerika Serikat – Irak menjadi sengketa terbuka mengenai keenganan Irak mengizinkan UNSCOM memeriksa

dugaan adanya senjata pemusnah massal di wilayah Irak, walaupun upaya tersebut akhirnya menemui jalan

buntu.

2. Peace Making

Peace Making adalah tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa untuk saling sepakat, khususnya

melalui cara –cara damai seperti yang terdapat dalam Bab VI Piagam PBB. Tujuan PBB dalam hal ini berada

diantara tugas mencegah konflik dan menjaga perdamaian. Di antara dua tugas ini terdapat kewajiban untuk

mencoba membawa para pihak yang bersengketa menuju kesepakatan dengan cara –cara damai.

Dalam perananya disini, Dewan Keamanan hanya memberikan rekomendasi atau usulan mengenai cara atau

metode penyelesaian yang tepat setelah mempertimbangkan sifat sengketanya.

3. Peace Keeping
Peace Keeping adalah tindakan untuk mengerahkan kehadiran PBB dalam pemeliharaan perdamaian dengan

kesepakatan para pihak yang berkepentingan. Biasanya PBB mengirimkan personel militer, polisi PBB dan juga

personel sipil. Meskipun sifatnya militer, namun mereka bukan angkatan perang.

Cara ini adalah suatu teknik yang ditempuh untuk mencegah konflik maupun untuk menciptakan

perdamaian. Peace Keeping merupakan “penemuan” PBB sejak pertama kali dibentuk, Peace Keeping telah

menciptakan stabilitas yang berarti diwilayah konflik. Sejak 1945 hingga 1992, PBB telah membentuk 26 kali

operasi Peace Keeping. Sampai Januari 1992 tersebut, PBB telah menggelar 528.000 personel militer, polisi dan

sipil. Mereka telah mengabdikan hidupnya dibawah bendera PBB. Sekitar 800 dari jumlah tersebut yang berasal

dari 43 negara telah gugur dalam melaksanakan tugasnya.

4. Peace Building

Peace Building adalah tindakan untuk mengidentifikasi dan mendukung struktur –struktur yang dan guna

memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu konflik yang telah didamaikan berubah kembali menjadi

konflik. Peace Building lahir setelah berlangsungnya konflik. Cara ini bisa berupa proyek kerjasama konkret

yang menghubungkan dua atau lebih negara yang menguntungkan diantara mereka. Hal demikian tidak hanya

memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi dan sosial, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan yang

merupakan syarat fundamental bagi perdamaian.

5. Peace Enforcement

Disamping keempat hal tersebut, sarjana Amerika Latin, Eduardo Jimenez De Arechaga, memperkenalkan

istilah lain yaitu Peace Enfocement (Penegakan Perdamaian). Yang dimaksud dengan istilah ini adalah

wewenang Dewan Keamanan berdasarkan Piagam untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan

ancaman terhadap perdamaian atau adanya tindakan agresi. Dalam menghadapi situasi ini, berdasarkan Pasal 41

(Bab VII), Dewan berwenang memutuskan penerapan sanksi ekonomi, politik atau militer. Bab VII yang

membawahi Pasal 41 Piagam ini dikenal juga sebagai “gigi”-nya PBB (the “teeth” of the United Nations)4

Contoh dar penerapan sanksi ini, yaitu Putusan Dewan Keamanan tanggal 4 November 1977. putusan tersebut

mengenakan embargo senjata terhadap Afrika Selatan berdasarkan Bab VII Piagam sehubungan dengan

kebijakan Negara tersebut menduduki Namibia (UNSC Res.418[1971]).


Termuat dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam yang menyatakan bahwa para pihak yang bersengketa “shall, first of

all, seek a resolution by negotiation…,” tersirat bahwa penyelesaian sengketa kepada organ atau badan PBB

hanyalah “cadangan”, bukan cara utama dalam menyelesaikan suatu sengketa.

Namun demikian, ketentuan tersebut tidak ditafsirkan manakala sengketa lahir. Para pihak tidak boleh

menyerahkan secara langsung sengketanya kepada PBB sebelum semua cara penyelesaian sengketa yang ada

sudah dijalankan. Pada kenyataanya bahwa organ utama PBB dapat secara langsung menangani suatu sengketa

apabila PBB memandang bahwa suatu sengketa sudah mengancam perdamaian dan keamanan internasional.

Organ – organ utama PBB bedasarkan Bab III (Pasal 7 ayat (1)) Piagam PBB terdiri dari Majelis Umum ,

Dewan Keamanan, ECOSOC, Dewan Peralihan, Mahkamah Internasional dan Sekertariat. Organ-organ ini

berperan penting dalam melaksanakan tugas dan fungsi PBB. Terutama dalam memelihara perdamaian dan

keamanan internasional, sesuai dengan kaedah keadilan dan prinsip hukum internasional.

MENGHARGAI KEPUTUSAN MAHKAMA INTERNASIONAL

Seluruh anggota PBB secara otomatis menjadi anggota Mahkamah Internasional oleh karena itu jika terjadi

sengketa maka sudah menjadi ketentuan bagi negara-negara anggota untuk menggunakan haknya bila merasa

dirugikan oleh negara lain. Akan tetapi sebaliknya jika suatu keputusan Mahkamah internasional telah

diputuskan segala konsekuensi yang ada harus diterima. Hal itu mengingat bahwa apa yang menjadi putusan

Mahkamah internasional merupakan keputusan terakhir walaupun dapat dimintakan Banding.

Gambar Indonesia dan Malaysia pernah berurusan dengan Mahkamah Internasional (MI) untuk menyelesaikan

sengketa pemilikan pulau Sipadan (lihat gambar). Dalam proses persidangan di MI, pihak Malaysia dinyatakan

pemilik syah pulau itu.


DAFTRA ISI

ASAS MAKNA DAN SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ………………………..

SENGKETA INTERNASIONAL …………………………………………………………

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL …………………………………

MENGAHRGAI KEPUTUSAN MAHMAKA INTERNASIONAL …………………..


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat

dan rahmatnyalah yang begitu besar sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kiranya makalah ini dapat dijadikan sebagai proses belajar selanjutnya. Dan saya

slaku penulis menyadari bahwa dalam makalah ini banyak kekurangan dan jauh dari

kesempurnaan.

Saya mengucapkan banyak terimah kasih terhadap semua pihak yang telah

membantu saya dalam proses penyelesaian makalah ini.

Penulis

ELIASAN

SUMBER
BUKU GRAVINDO

OLEH :
AMIR PAIMBUNG

OLEH :
ELIASAN

You might also like