Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Hubungan dua bangsa serumpun Indonesia-Malaysia kini tengah mencapai titik paling kritis. Sejak
Petronas, perusahaan minyak milik Malaysia, memberikan konsesi pengeboran minyak di lepas pantai
Sulawesi yaitu di Blok Ambalat kepada Shell (perusahaan milik Inggris dan Belanda), hubungan kedua
negara tetangga tersebut mengalami ketegangan yang mencemaskan. sudah beberapa kali kapal-kapal
perang RI dan Malaysia berhadap-hadapan, nyaris baku tembak. Untung keduanya masih menahan diri.
Seandainya salah satu pihak menembak, niscaya perang terbuka akan meletus. Jika sudah demikian,
hubungan RI-Malaysia pun akan makin tegang dan menyeret konflik yang lebih luas.Yang menjadi
pertanyaan kita: kenapa Malaysia punya sikap senekat itu tanpa mengindahkan tatakrama hubungan
antarnegara ASEAN? Pertanyaan itu agaknya tak mudah dijawab. Banyak hal yang menyebabkan kenapa
negeri jiran itu tiba-tiba berambisi menduduki Ambalat. Salah satunya, karena di Blok Ambalat
terkandung minyak dan gas bumi yang nilainya amat besar, mencapai miliaran dolar. Tapi ada alasan lain
yang tampaknya menjadi pertimbangan dalam pendudukan Ambalat: Indonesia tengah mengalami krisis
kepercayaan, korupsi, dan pengikisan dari dalam sehingga posisi Indonesia jika berkonflik dengan
Malaysia niscaya kalah! Malaysia secara geografis dan populasi memang kecil, bukan tandingan Indonesia.
Tapi dilihat secara militer khususnya jumlah peralatan militer canggih Malaysia unggul dibanding
Indonesia. Malaysia punya uang, tak punya utang, dan sewaktu-waktu bisa membeli peralatan militer
secara kontan. Jadi meski secara kuantitas dia kecil, tapi secara kualitas dia besar.
Kasus Ambalat secara tiba-tiba menyadarkan kita dari mabuk eforia dan terlena oleh berbagai
permasalahan dalam negeri yang belum menemukan solusinya (inward looking) bahwa selain itu kita juga
perlu menaruh perhatian kita terhadap masalah yang datang dari luar (outward looking). Akibat dari
keterlambatan kita dalam menghadapi sesuatu akan memuat kita gelagapan dan dengan setengah sadar
menghadapinya. Seperti halnya apa yang sedang hangat dewasa ini kita hadapi yaitu munculnya klaim
Malaysia terhadap Blok Ambalat di Laut Sulawesi. Reaksi kita seperti orang yang dibangunkan dari tidur
secara tiba-tiba --gelagapan, kita berobicara seperti setengah sadar dan dengan penuh emosional.
Keluarlah kata-kata, ganyang Malaysia, serang Malaysia, hancurkan Malaysia, dan kata-kata keras
lainnya. Dan secara tidak sadar pula tiba-tiba kita menyatakan bahwa kita membutuhkan TNI yang kuat
agar TNI memberikan pukulan yang mematikan, agar TNI tidak ragu-ragu menghajar Malaysia, dan
sebagainya.Demikian juga sebenarnya dalam menghadapi kasus Ambalat ini. Jelas bahwa kita wajib
mempertahankan kedaulatan dan integritas tanah air kita, tidak sejengkal pun boleh jatuh ke tangan
asing. Namun kebijaksanaan dan tindakan kita tetap harus rasional, proporsional, profesional, dan penuh
kearifan. Sebelum menggunakan jalan kekerasan atau kekuatan militer (forcible means) sebagai jalan
terakhir, sebaiknya tempuh dulu cara-cara damai atau diplomasi (peaceful means).Penyelesaian secara
politis dengan mendahulukan perundingan melalui saluran-saluran diplomatis akan lebih baik. Memang
jalan ini memerlukan kesabaran dan waktu, namun hasilnya akan jauh lebih baik bagi semua pihak
BAB II
PEMBAHASAN
Menyikapi kasus Ambalat, yang perlu kita lakukan dengan segera adalah manuver-manuver politik oleh
para diplomat kita dengan penuh percaya diri, keluwesan, dan keberanian. Apa yang dilakukan oleh TNI
Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara pada saat sekarang sudah tepat dan harus terus ditingkatkan
sebagai back up terhadap usaha-usaha diplomasi. Semua manuver atau "show of force" tersebut kita
lakukan dalam rangka pertahanan negara, menjaga integritas dan kedaulatan negara dan aneksasi oleh
negara asing, bukan untuk melakukan penyerangan karena kita bukan negara agresor. "Show of force"
tersebut penting sekali sebagai tekanan psikologis kepada pihak Malaysia agar dapat menyelesaikan kasus
tersebut melalui jalan perundingan dengan cepat, dan tidak berdasarkan ambisi dan keserakahan karena
Belajar dari kasus Sipadan dan Ligitan, karena kurang sabar melakukan usaha-usaha penyelesaian secara
politis, melalui jalan diplomasi kasus itu berakhir dengan hasil yang sangat mengecewakan. Kalau saja
kita tidak terburu-buru membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional, dan kita lebih intensif
melakukan perundingan-perundingan didukung oleh "show of force" TNI Angkatan Laut dengan patroli
laut secara reguler dan singgah di kedua pulau tersbeut, atau menempatkan petugas administratif kita di
sana, tentu hasilnya akan lain. Apalagi bila disertai dengan alasan-alasan politis lainnya (semangat
ASEAN, keamanan regional, dan sebagainya) maka kedua pulau tersebut belum tentu menjadi milik
Dalam kasus Ambalat pun kita harus hati-hati menyelesaikan masalah ini. Penyelesaiannya harus ditinjau
dari berbagai aspek, khususnya hukum laut internasional sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum
Laut (UN Convention on the Law of the Sea, 1982) dan perjanjian bilateral antara kedua pihak. Bila
menyelesaikan kasus ini langsung dengan jalan kekerasan (perang), dampaknya akan berat bagi
Indonesia baik dari segi politik internasional maupun dari segi beban dalam negeri, khususnya dalam
bidang perekonomian negara. Penyelesaian melalui perundingan yang diakhiri dengan persetujuan secara
tertulis, baik secara langsung atau dengan mediasi, akan memiliki kekuatan hukum secara lebih pasti
Reaksi keras dari pemerintah dan masyarakat bisa dipahami karena belum lagi sembuh luka bangsa
Indonesia dengan terlepasnya dua pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, kini Malaysia mencoba
‘merebut’ wilayah lain yang diyakini sebagai wilayah Indonesia. Meskipun secara historis kedua pulau
tersebut juga bagian dari Kesultanan Bulungan, toh akhirnya International Court of Justice (ICJ)
memenangkan Malaysia. Keputusan ini, salah satunya, karena Pemerintah Indonesia terbukti gagal
memberi perhatian kepada pengelolaan lingkungan kedua pulau tersebut. Akankah si kaya minyak
Ambalat bernasib sama dengan kedua kakaknya, Sipadan dan Ligitan? Nampaknya Pemerintah Indonesia
perlu berjuang ekstra keras dan luar biasa hati-hati dalam menghadapi persoalan ini.
Untuk menyelesaikan persoalan klaim yang tumpang tindih ini, harus dilihat kembali rangkaian proses
negosiasi antara kedua negara berkaitan dengan penyelesaian perbatasan di Pulau Kalimantan yang
sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1974 (menurut Departeman Luar Negeri). Diketahui secara luas
bahwa Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, di mana Ambalat berada, memang belum
terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan
dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnya dimenangkan oleh Malaysia. Jika memang belum pernah dicapai
kesepakatan yang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat maka perlu dirujuk kembali Konvensi Batas
Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah tersebut di
masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja menjadi salah satu acuan utama dalam penentuan perbatasan
antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit
memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Hal ini sama halnya dengan penggunaan Traktat 1904 dalam
Bahwa Malaysia mengklaim Ambalat menggunakan peta (laut) yang diproduksi tahun 1979. Menutur
Prescott (2004), peta tersebut memuat Batas Continental Shelf di mana klaim tersebut secara
kesuluruhan melewati median line. Deviasi maksimum pada dua sekor sekitar 5 mil laut. Nampaknya
dalam membuat klaim dasar laut ini Malaysia telah mengabaikan beberapa titik garis pangkal Indonesia
yang sudah sah. Di luar pandangan tersebut di atas, perlu ditinjau secara detail bagaimana sesungguhnya
sebuat peta laut bisa diakui dan sah untuk dijadikan dasar dalam mengklaim suatu wilayah. Tentang hal
ini, Clive Schofield, mantan direktur International Boundary Research Unit (IBRU) berpendapat bahwa
“peta laut tertentu harus dilaporkan dan diserahkan ke PBB, misalnya peta laut yang memuat jenis garis
pangkal dan batas laut. Namun begitu suatu Negara yang megeluarkan peta laut tentu saja tidak bisa
memaksa Negara lain kecuali memang disetujui.” Intinya, penggunaan peta laut tahun 1979 oleh Malaysia
harus didasarkan pada kaidah ilmiah dan hukum yang bisa diterima. Jika peta laut ini hanya memenuhi
kepentingan dan keyakijan sepihak saja tanpa memperhatikan kedaulatan Negara tetangga, jelas hal ini
B. Konfensi international
Sayang sekali, sebagai salah satu sumber hukum yang bisa diacu, Konvensi 1891, nampaknya tidak akan
membantu banyak dalam penyelesaian kasus ini. Seperti halnya Sipadan dan Ligitan, Konvensi ini
kemungkinan besar tidak akan mengatur secara tegas kepemilikan Ambalat. Hal ini terjadi karena
Konvensi 1891 hanya menyebutkan bahwa Inggris dan Belanda sepakat mengakui garis batas yang
berlokasi di garis lintang 4° 10’ ke arah timur memotong Pulau Sebatik tanpa lebih rinci menyebutkan
kelanjutannya. Tentu saja ini meragukan karena Ambalat, seperti juga Sipadan dan Ligitan berada di
sebelah timur titik akhir garis yang dimaksud. Jika garis tersebut, sederhananya, diperpanjang lurus ke
timur, memang Ambalat, termasuk juga Sipadan dan Ligitan akan berada di pihak Indonesia. Namun
demikian, menarik garis batas dengan cara ini, tanpa dasar hukum, tentu saja tidak bisa diterima begitu
saja.
Melihat kondisi di atas, diplomasi bilateral memang nampaknya jalan yang paling mungkin. Meskipun
mengajukan kasus ini ke badan internasional seperti ICJ, adalah juga alternatif yang baik, langkah ini
tidak dikomendasikan. Mengacu pada gagasan Prescott, ada tiga hal yang melandasi pandangan ini.
Pertama, kasus-kasus semacam ini biasanya berlangsung lama (bisa 4-5 tahun). Artinya, ini akan menyita
biaya yang sangat besar, sementara negosiasi antarnegara mungkin akan lebih produktif.
Kedua, pengadilan kadang-kadang memberikan hasil yang mengejutkan. Keputusan the Gulf of Fonseca
Ketiga, kadang-kadang argumen pengadialan dalam membuat keputusan terkesan kabur sehingga sulit
dimengerti.
Ada beberapa pelajaran penting yang semestinya diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi
persoalan ini. Kejadian ini nampaknya semakin mempertegas pentingnya penetapan batas Negara, dalam
hal ini batas laut, tidak saja dengan Malaysia tetapi dengan seluruh Negara tetangga. Saat ini tercatat
bahwa Indonesia memiliki batas laut yang belum tuntas dengan Malaysia, Filipina, Palau, India, Thailand,
Timor Timur, Sigapura, Papua New Guinea, Australia, dan Vietnam. Bisa dipahami bahwa Indonesia saat
ini menghadapi banyak persoalan berat, termasuk bencana alam yang menyita perhatian besar. Saat
inilah kemampuan pemerintah benar-benar diuji untuk dapat tetap memberi perhatian kepada persoalan
Hal penting lain yang mendesak adalah melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di seluruh wilayah
Indonesia termasuk melakukan pemberian nama (tiponim). Sesungguhnya hal ini sudah menjadi program
pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan sejak cukup lama, namun kiranya perlu diberikan
energi yang lebih besar sehingga bisa dituntaskan secepatnya. Jika ini tidak dilakukan, Indonesia yang
terdiri dari ribuan pulau akan kehilangan satu per satu pulaunya karena diklaim oleh bangsa lain tanpa
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa dasar sejarah saja tidak bisa dijadikan pegangan dalam
menelusuri kepemilikan sebuah wilayah. Lepasnya Sipadan dan Ligitan adalah salah satu bukti nyata
untuk hal ini. Diperlukan adanya bukti hukum yang menunjukkan bahwa Indonesia telah melakukan
upaya sistematis untuk memelihara secara administrai daerah yang dipersoalkan. Hal ini, salah satunya,
dilakukan dengan menarik pajak bagi penduduk setempat, dan mengeluarkan peraturan-peraturan lokal
yang berkaitan dengan wilayah sengketa. Didirikannya resor-resor wisata oleh Malaysia di Sipadan dan
Ligitan adalah salah satu kekuatan yang akhirnya mengantarkan Malaysia pada suatu kemenangan,
Apapun cara yang ditempuh, kedua belah pihak wajib saling menghormati dengan menempuh cara-cara
damai dalam menyelesaikan konflik. Pemahaman yang baik dari segi ilmiah, teknis dan hukum yang baik
oleh kedua pihak diharapkan akan mengurangi langkah-langkah provokatif yang tidak perlu. Pemahan
seperti ini tentu saja tidak cukup bagi pemerintah saja, melainkan juga masyarakat luas untuk bisa
Banyak pihak di negeri ini mengkhawatirkan tragedi lepasnya Sipadan-Ligitan terulang kembali di Ambalat
dan sengketa perbatasan lainnya. Sumber utama kekhawatiran ini adalah terulangnya kekalahan di meja
perundingan, kalah dalam bernegosiasi. Kekuatan negosiasi terletak pada fokusnya, yaitu yang bertumpu
pada pencapaian kesepakatan yang saling menguntungkan. Negosiasi membuka jalan baru yang
membawa harapan baru pula bagi semua pihak yang terlibat dengan cara yang unik, yaitu dengan
motivasi. Jadi kekuatan inti negosiator ulung adalah kemampuannya untuk memotivasi pihak lain atau
yang diajak berunding untuk menerima tujuan negosiasi. Atau dengan kata lain, kekuatan negosiasi
terletak pada kemampuan si negosiator untuk memunculkankekuatan persuasi atau faktor intellectual
nonaggressiveness yang melekat dan menghindari crude power. Kenyataannya, tidak mudah untuk
menciptakan suasana win-win yang menuju pada kesepakatan bersama. Berbagai faktor dapat
mempengaruhi suasana negosiasi dan dapat menurunkan rasa percaya antar-pihak yang berunding.
Apabila hal ini tidak diatasi, maka negosiasi yang sebenarnya merupakan sarana strategis dapat berbalik
menjadi sarana destruktif yang akibatnya dapat berkepanjangan. Namun, menjadi negosiator yang baik
memang tidak mudah.. Anak-anak adalah negosiator ulung karena mereka gigih (persistence), tidak
mengenal kata 'tidak', tidak tahu malu, dan cerdik dalam memanfaatkan kelemahan mereka menjadi
kekuatan. Seorang Jendral yang tegas dan displin, barangkali harus menyerah terhadap rengekan
anaknya.
Dalam negosiasi, terdapat empat faktor yang mesti diperhatikan: pemanfaatan waktu, individualisme,
pola komunikasi dan derajat kepentingan formalitas dan conformity bagi suatu pihak. Keempat faktor ini
mempengaruhi pace dari proses negosiasi, mempengaruhi penerapan strategi negosiasi dan menciptakan
kepekaan untuk membentuk hubungan yang harmonis, trust, dan keterkaitan emosi. Faktor-faktor ini
juga membantu dalam mengidentifikasi pola pengambilan keputusan, dan memahami alur pikir pihak
lawan runding. Unsur penting dalam negosiasi adalah power, informasi dan waktu. Power yang dimaksud
tentu saja crude power, tetapi berbentuk kekuatan bersaing, kekuatan mengambil resiko, kekuatan
komitmen, kekuatan keahlian, dan masih banyak lagi. Kelengkapan dan keakuratan informasi juga
merupakan senjata yang ampuh dalam negosiasi. Jika kita tahu bahwa ‘lawan’ kita tidak mempunyai
alternatif, kita dapat menaikkan bargaining position kita. Dan ‘waktu’ dapat dimanfaatkan untuk
Dengan inisiatif kita, dapat diterapkan teknik-teknik negosiasi untuk ‘membawa’ situasi negosiasi masuk
ke dalam skenario kita. Jika ternyata ‘lawan’ memiliki inisiatif serupa, pemahaman teknik negosiasi dapat
menjadi bekal untuk menghadapinya. Biasanya dalam negosiasi yang menyangkut persoalan yang bernilai
tinggi, dilakukan secara kelompok. Di sini manajemen pelaku negosiasi memegang peranan yang sangat
penting, terutama memasang ‘orang’ dalam peran yang sesuai dengan skenario yang telah kita susun.
Ketika Malaysia mengatakan bahwa masalah Ambalat cukup ditangani Menteri Luar Negeri, mirip sekali
dengan manajemen pelaku negosiasi. Mirip dengan skenario “orang baik” –“orang jahat”. Menlu akan
menjadi ‘orang jahat’ yang memiliki banyak permintaan dan tidak banyak kompromi, sementara Badawi
akan menjadi “orang baik” yang tenang dan tidak meledak-ledak. Dalam negosiasi bisnis, skenarionya
“orang baik “ akan selalu meluluskan pemintaan kecil-kecil, tetapi sekali mengajukan permintaan akan
meminta yang ‘besar’ dan esensial, yang menyebabkan rasa rikuh untuk menolaknya
Hal-hal yang harus di perjuangkan oleh seorang negosiator dalam kasus ambalat, di antaranya:
Pertama, seperti sengketa perbatasan lain di Asia Tenggara, kasus Ambalat merupakan warisan masa
penjajahan. Peta-peta yang ditinggalkan colonial masters tidak pernah jelas dalam penarikan batas
wilayah, namun terpaksa digunakan tiap negara di Asia Tenggara setelah negara-negara itu mendapat
kemerdekaan. Negara-negara di Asia Tenggara perlu menyadari, konflik-konflik itu bukan diinsiprasikan
atau didorong semangat aggresi atau keingginan untuk memperbesar wilayah, tetapi lebih disebabkan
Kedua, mengingat masa kolonial itu, hampir seluruh negara Asia Tenggara amat sensitif terhadap
keutuhan dan kedaulatan wilayah. Sengketa wilayah yang berdampak kemungkinan pengurangan luas
wilayah sering dipersepsikan sebagai signal adanya ancaman terhadap kedaulatan dan membangkitkan
memori masa kolonial (the question of political sensitivity). Sensitivitas politik pada gilirannya
mengakibatkan efektivitas instrumen hukum internasional menjadi amat terbatas guna menyelesaikan
Ketiga, Dilihat dari kacamata hukum laut internasional posisi Malaysia maupun Indonesia terhadap blok
Ambalat?
Dari sisi hukum, Malaysia adalah negara pantai biasa. Oleh karena itu dia hanya bisa memakai dua tipe,
yaitu normal baseline dan straight baseline untuk semua wilayah laut. Kalau Indonesia kita sudah jelas
bisa memakai garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline). Itu bisa kita tetapkan mana pulau-pulau
terluar kita. Karang Unarang adalah sebenarnya baseline yang mau kita pakai sebagai pengganti base line
kita di Sipadan Ligitan. Kalau dilihat ke PP 38/2002, Sipadan dan Ligitan masih masuk dalam garis
pangkal. Itu sebelum putusan. Namun sebagai negara yang baik dan menerima putusan, sekarang PP itu
sedang dirubah dan kita sedang mengukur-ukur kembali dan Karang Unarang menjadi pilihan base line
kita. Karang Unarang sendiri berada dalam 12 mil laut dari (pulau) Sebatik yang bagian Indonesia. Jadi
kita berhak. Kita berhak sampai 100 mil laut. Kalau ada karang kita masih bisa klaim bahwa itu titik
terluar kita.
Karang Unarang sendiri bukan pulau, itu adalah elevasi pasang surut. Jadi kalau air laut pasang dia tidak
terlihat, begitu pula sebaliknya. Namanya law tide elevation harus ada permanent structure, maka itu kita
buat mercusuar sekarang ini. Sipadan Ligitan sendiri adalah pulau kecil yang jauh dari daratan utama
Malaysia. Lagipula mereka kan bukan negara kepulauan, jadi mereka tidak bisa menuntut itu. Dari
yurisprudensi hukum internasional, penetapan batas landas kontinen pulau-pulau kecil itu tidak ada.
Jadi posisi tawar untuk Indonesia jelas lebih besar, bargaining position Indonesia sendiri untuk kasus
Ambalat ini sangat besar. Seperti yang diaktakan oleh Prof Hasyim Djalal, ia ingin tahu dasar
hukum apa yang dipakai oleh Malaysia dalam mengklaim blok Ambalat tersebut. Karena kalau anda lihat
dan otak-atik UNCLOS, mereka tidak punya dasar hukum. Sipadan Ligitan sendiri bisa menjadi as an
island, tapi kalau dalam perundingan batas landas kontinen itu tidak bisa dipaksakan. Dari segi hukum
Keempat, adanya proyeksi, harga energi (minyak dan gas) akan tinggi di masa depan karena kebutuhan
yang kian besar, baik untuk industrialisasi maupun pertumbuhan penduduk dan tuntutan hidup
masyarakat. Di sisi lain, ada dugaan, berdasarkan proyeksi geologi, sepertiga continental shelf dunia
terletak di Asia Tenggara, karena itu mengandung potensi besar untuk eksploitasi energi di masa depan.
Persoalan insentif ekonomi (the question of economic incentive) ini sedikit banyak mewarnai konflik-
konflik batas kelautan di wilayah Asia Tenggara, seperti konflik di Laut China Selatan, termasuk Ambalat.
Kelima, belum adanya tradisi melembaga untuk menyelesaikan konflik-konflik batas kelautan di Asia
Tenggara secara regional. Sejauh ini, praktik yang ada melalui mekanisme bilateral lalu mengajukannya
ke Mahkamah Internasional seperti kasus Sipadan dan Ligitan. Persoalan mekanisme regional ini (the
question of regional conflict resolution) sebenarnya telah berupaya untuk dilembagakan oleh ASEAN
melaui gagasan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dan ASEAN Security Community (ASC), namun
tampaknya hingga kini belum digunakan maksimal. Malaysia dan Indonesia sebaiknya merujuk kedua
dokumen resmi itu yang menekankan resolusi konflik secara damai. Kedua negara sebaiknya juga
mempertimbangkan implikasi politik regional jika tidak menggunakannya. Adalah suatu ironi besar jika
kedua negara mengabaikan dokumen ini sebagai prinsip normatif untuk penyelesaian konflik karena
negara-negara ASEAN sebenarnya telah mengikat negara-negara Asia Timur, seperti China, Jepang, dan
Korea Selatan, melalui penandatanganan TAC dan sepakat melembagakan dan mempromosikan ASC.
Keenam, adanya potensi untuk meningkatkan ketegangan dalam hubungan bilateral dengan tujuan
mengaburkan skala prioritas agenda domestik. Tradisi ini bukan sesuatu yang baru, tetapi dipraktikkan
beberapa pemerintahan di negara-negara Asia Tenggara di masa lalu untuk mengurangi aneka tekanan
dari dinamika politik domestik. Kemungkinan untuk pendayagunaan ini disebut sebagai persoalan politik
pengambinghitaman (the question of scapegoat politics) perlu dicermati dan diwaspadai terutama karena
bujukan untuk melakukan kebijakan semacam itu biasanya lebih kuat muncul dari pemerintahan baru.
BAB III
KESIMPULAN
SENGKETA batas wilayah dan pemilikan Ambalat mendapat perhatian besar beberapa hari terakhir ini.
Jika tidak segera ditangani, hubungan bilateral Indonesia-Malaysia yang mengandung banyak aspek (tidak
menggunakan peta (laut) yang diproduksi tahun 1979. Menutur Prescott (2004), peta tersebut memuat
Batas Continental Shelf di mana klaim tersebut secara kesuluruhan melewati median line. Deviasi
maksimum pada dua sekor sekitar 5 mil laut. Nampaknya dalam membuat klaim dasar laut ini Malaysia
telah mengabaikan beberapa titik garis pangkal Indonesia yang sudah sah. Di luar pandangan tersebut di
atas, perlu ditinjau secara detail bagaimana sesungguhnya sebuat peta laut bisa diakui dan sah untuk
Untuk menyelesaikan persoalan klaim yang tumpang tindih ini, harus dilihat kembali rangkaian proses
negosiasi antara kedua negara berkaitan dengan penyelesaian perbatasan di Pulau Kalimantan yang
sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1974 (menurut Departeman Luar Negeri). Diketahui secara luas
bahwa Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, di mana Ambalat berada, memang belum
terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan
dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnya dimenangkan oleh Malaysia. Jika memang belum pernah dicapai
kesepakatan yang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat maka perlu dirujuk kembali Konvensi Batas
Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah tersebut di
masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja menjadi salah satu acuan utama dalam penentuan perbatasan
antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit
memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Cara terbaik adalah jika para pembuat kebijakan, baik di Jakarta
dan Kuala Lumpur maupun berbagai kelompok masyarakat di kedua negara, bersedia menggunakan
Ada beberapa pelajaran penting yang semestinya diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi
persoalan ini. Kejadian ini nampaknya semakin mempertegas pentingnya penetapan batas Negara, dalam
hal ini batas laut, tidak saja dengan Malaysia tetapi dengan seluruh Negara tetangga. Saat ini tercatat
bahwa Indonesia memiliki batas laut yang belum tuntas dengan Malaysia, Filipina, Palau, India, Thailand,
Timor Timur, Sigapura, Papua New Guinea, Australia, dan Vietnam. Bisa dipahami bahwa Indonesia saat
ini menghadapi banyak persoalan berat, termasuk bencana alam yang menyita perhatian besar. Saat
inilah kemampuan pemerintah benar-benar diuji untuk dapat tetap memberi perhatian kepada persoalan
Indonesia termasuk melakukan pemberian nama (tiponim). Sesungguhnya hal ini sudah menjadi program
pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan sejak cukup lama, namun kiranya perlu diberikan
energi yang lebih besar sehingga bisa dituntaskan secepatnya. Jika ini tidak dilakukan, Indonesia yang
terdiri dari ribuan pulau akan kehilangan satu per satu pulaunya karena diklaim oleh bangsa lain tanpa