Professional Documents
Culture Documents
Balikpapan
TUNTAS sudah kontroversi pengelolaan kepelabuhanan. DPR sudah mengetuk palu atas
Rancangan Undang-undang (RUU) Pelayaran. Dengan persetujuan DPR dan pemerintah,
akhirnya RUU yang akan menggantikan UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang pelayaran itu
semakin membuka liberalisasi dan swastanisasi pengelolaan pelabuhan.
Pro-kontra pengelolaan pelabuhan sejatinya sudah berlangsung lama sekali. Bisa jadi, di tengah
aksi unjukrasa para pekerja Pelindo menolak RUU Pelayaran, sejumlah daerah yang tergabung
dalam Forum Deklarasi Balikpapan (FDB) justeru sedang bertepuk tangan merayakan
kemenangan.
Siapa FDB sebenarnya? Forum Deklarasi Balikpapan (FDB) merupakan forum beranggotakan
daerah-daerah yang memiliki pelabuhan laut dan udara. Kebetulan, dalam beberapa kali
pertemuan FDB yang berlangsung di sejumlah daerah seperti di Balikpapan, Gresik, Cilegon,
dan Jakarta sepanjang tahun 2002-2004, saya sempat mengikutinya. Tentu saja diajak
rombongan FDB asal Balikpapan. Ketika itu, jumlah anggota FDB tercatat sebanyak 68
kabupaten/kota.
FDB getol mengkaji UU Nomor 21 Tahun 1999 tentang pelayaran dan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 69 tahun 2001 tentang pengelolaan kepelabuhanan yang dianggap bertentangan
dengan UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah atau dikenal dengan UU Otonomi Daerah.
Forum ini dibentuk pada September 2002 di Hotel Benakutai, Balikpapan. Hasil konsultasi
nasional yang dihadiri para bupati dan wali kota serta ketua DPRD/Kota dari 68 daerah yang
memiliki pelabuhan udara dan laut, tercetus satu gagasan untuk tidak melaksanakan PP
kepelabuhanan yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah.
Forum itu juga menyepakati membentuk tim advokasi, kemudian menyusun materi judicial
review atas PP Kepelabuhanan untuk diajukan ke Mahkamah Agung (MA).
Sementara itu, daerah-daerah diperbolehkan membuat Perda dan melaksanakan perda itu.
Bahkan ketika itu, Kota Cilegon sudah sukses melaksanakan Perda Kepelabuhanan. Perda
Kepelabuhanan memungkinkan Pemda mengelola pelabuhan dan dermaga milik swasta,
sehingga semua jasa kepelabuhanan termasuk sandar, labuh dan jasa kapal tunda bisa dikelola
Pemda melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
FDB menilai monopoli Pelindo sangat kuat dalam pengelolaan pelabuhan. Sementara Pemda
tidak mendapatkan kontribusi yang signifikan. Padahal segala akibat sosial dari keberadaan
pelabuhan itu ditanggung masyarakat dan pemda.
“Fasilitas sosial dan fasilitas umum, yang menyediakan pemda tetapi kami tak mendapatkan
kontribusi yang nyata,” kata Wali Kota Balikpapan H Imdaad Hamid ketika itu.
Pelindo juga dinilai tidak transparan mengungkapkan besarnya ”kue” keuntungan yang diperoleh
setiap tahun, sehingga masyarakat kurang mengetahui berapa persen keuntungan perusahaan
yang secara langsung disalurkan sebagai kredit bagi pengembangan usaha kecil atau program
pengentasan kemiskinan.
FDB menghendaki adanya pebaikan-perbaikan peraturan. Sebab, dalam pengelolaan pelabuhan
selama ini, tidak jelas mana yang menjadi regulator dan operator. Fakta yang terlihat, Pelindo
sebagai operator pelabuhan ternyata diberikan hak regulasi dalam pengelolaan pelabuhan.
Di pelabuhan, misalnya, kapal yang berlabuh di luar daerah pelabuhan, yang semestinya tidak
ada kaitan sama sekali dengan Pelindo tetap harus membayar ke Pelindo.
Perjuangan FDB tak sia-sia, uji materi PP 69/2001 tentang Kepelabuhan disetujui Mahkamah
Agung. FDB berpandangan, pengelolaan pelabuhan menjadi wewenang pemda setelah 27 pasal
dalam PP Nomor 69 Tahun 2001 dibatalkan oleh MA.
Mengacu pada hasil uji materiil PP No 69/2001, Sekretaris FDB Soegito Wiratmoko menilai
posisi PT Pelindo tidak lagi sebagai operator sekaligus regulator kepelabuhanan. Menurut dia,
PT Pelindo kini hanya operator di kawasan pelabuhannya sendiri karena regulator
kepelabuhanan menjadi wewenang pemda.
Wakil Ketua DPRD Balikpapan, Sukri Wahid meminta pemerintah daerah untuk mengkaji regulasi dana
perimbangan sektor migas antara pusat dan daerah. "Balikpapan musti punya landasan kuat saat
menuntut dana perimbangan pada pemerintah pusat," ujarnya.
Menurut Sukri menyatakan, Balikpapan telah dirugikan triliunan rupiah setiap tahun
sehubungan dengan temuan sumur lepas pantai milik perusahaan minyak dan gas berada di
kawasannya. Sumur migas lepas pantainya masih berada di batas 4 mill perairan Balikpapan.
"Meski rignya di luar batas 4 mill, tapi pipa bornya menjulur ke wilayah Balikpapan," kata
Sukri.
Sebagai daerah penghasil migas, kata Sukri, Balikpapan seharusnya memperoleh dana
perimbangan hingga Rp 5 triliun. "Kalau sekarang ini hanya Rp 1,4 triliun. Mestinya sama
dengan Kutai Kartanegara," ujarnya.
Di kawasan perairan Balikpapan, terdapat dua perusahaan asing pengeboran minyak lepas pantai,
yakni Total Indonesie dan Chevron Indonesia. Rig pengeboran minyaknya terletak di batas
Provinsi Kalimantan Timur yaitu antara 4 hingga 12 mill perairan Balikpapan.
Sesuai ketentuan Undang Undang Otonomi Daerah, Sukri melanjutkan, dana perimbangan dari
sumur migas tersebut dinikmati Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Balikpapan hanya
memperoleh cipratan anggaran setelah dibagi rata bersama 13 kota/kabupaten lainnya di
Kalimantan Timur.