You are on page 1of 6

Teori drama

Drama pada umumnya didesain untuk dipertunjukkan di atas panggung (Reaske,


1966: 5 dan Asmara, 1983: 9). Kritik drama mencoba menganalisis drama sebagai
kerja-kerja seni sebaik pertunjukan-pertunjukan. Untuk itu, sebelum dipentaskan,
teks tertulis perlu dipelajari. Sebagai bentuk kesusastraan, tidak ada alasan bagi
kita, baik praktisi, peneliti, ataupun penikmat drama pada umumnya, untuk tidak
mempelajari teks drama sepanjang kita tidak melupakan bahwa tulisan itu untuk
dipentaskan (Reaske, 1966: 5 dan Asmara, 1983: 9).

Kernodle membagi tiga tahapan yang harus dilalui sebelum drama


dapatdipentaskan di panggung, yaitu perencanaan, latihan, dan pertunjukan
(Kernodle, 1967: 337). Perencanaan dilakukan untuk mewujudkan naskah dari
penulis drama menjadi perencanaan yang utuh dari seorang sutradara. Tahap
selanjutnya adalah
latihan. Tahapan ini dilakukan untuk melihat dan mendengarkan drama dalam
suara dan tubuh aktor yang dibangun dalam kesatuan dengan dekorasi panggung
dan kostum. Tahapan yang terakhir adalah pertunjukan. Sutradara dan perancang,
sebagai orang belakang panggung, membantu aktor-aktornya mempertunjukkan
drama kepada penonton.

Bagian perencanaan masih dibagi atas tiga bagian (Kernodle, 1967: 338-339).
Pertama, klasifikasi drama dalam hubungan drama dengan keseluruhan alat-alat
kontrol, seperti jenis drama, keterangan pertunjukan dengan penikmat, konvensi,
dan gaya. Kedua, analisis drama terhadap nilai-nilai struktur (alur, karakter, dan
tema) dan tekstur (dialog, spectacle, dan suasana). Ketiga, penentuan pilihan dan
penggunaan material dasar dari teknik-teknik yang akan digunakan sutradara,
aktor, dan perancang. Penelitian ini hanya memfokuskan pada tahap analisis,
terutama analisis struktur dan tekstur. Alasannya, analisis terhadap teks drama
merupakan bagian penting dalam sebuah pertunjukan drama.

Sebuah pertunjukan drama merupakan kerja tim. Sebelum dipentaskan, teks drama
harus dianalisis sehingga gambaran kasar tentang teks drama tersebut di atas
pentas dapat dibayangkan. Sutradara dan perancang tidak akan menjalankan tugas
mereka masing-masing sebelum analisis terhadap teks drama mencapai
persetujuan pokok tentang ide dan perincian rencana produksi (Kernodle, 1967:
338).

1.1 Struktur
Struktur adalah bentuk drama pada waktu pementasan. Struktur terdiri atas alur,
karakter, dan tema (premise) (Kernodle, 1967: 345 dan Harymawan, 1984:26—29).
Drama mendapat intensitas konsentrasi dan kekuatan dari alur. William Archer (via
Kernodle, 1967: 345) mengatakan bahwa drama adalah seni dari kegentingan
sebagai karya fiksi yang dibangun secara bertahap. Bagian ini merupakan dasar
dari pola irama drama secara keseluruhan. Alur tersusun dari peristiwa-peristiwa
yang tersaji di atas pentas. Penikmat drama pada umumnya mengejar cerita dari
bagian awal, tengah, dan akhir (Kernodle, 1967: 345). Di dalam cerita, kegentingan
satu ke kegentingan selanjutnya dalam sebuah pola yang berirama, dari tegangan
dan istirahat, dipengaruhi oleh pergerakan alur. Alur mengarahkan cerita drama
pada klimaks dengan dorongan menarik, kemudian membiarkan berganti dan
berdebar di bagian akhir melalui pengalaman pertunjukan yang luar biasa.

Reaske (1966: 35 dan Asmara, 1983:51) mendefinisikan alur sebagai aspek pokok
dari semua drama. Alur bagi drama terutama memperhatikan tentang kejadian
yang terjadi. Segala sesuatu yang terjadi di dalam drama dibahas di dalam alur.
Sebuah drama terdiri dari sebuah rangkaian peristiwa atau episode yang mengikuti
satu sama lain menurut rencana dari penulis; setiap kejadian dihubungkan—selalu
dalam sebuah jalur yang tidak terlihat—kepada kejadiankejadian yang mengikuti.
Reaske menjelaskannya sebagai struktur alur yang menunjuk pada seluruh
organisasi dari drama. Analisis alur lebih menyeluruh daripada struktur alur. Analisis
alur lebih tertuju pada segala sesuatu yang terjadi di drama. Dengan kata lain,
analisis alur menganalisis tentang segala jenis insiden yang melibatkan konflik di
dalam drama (Reaske, 1966: 36 dan Asmara, 1983: 52).

Kernodle (1966: 346) menjelaskan bahwa sebuah drama bukan narasi, tidak hanya
dialog atau percakapan, tetapi sebuah interaksi. Tiap pembicaraan dari masing-
masing karakter menuntut reaksi dari karakter lain. Dengan demikian penikmat
drama menjadi tertarik untuk mengikuti cerita. Mereka ingin sekali melihat sesuatu
yang akan terjadi selanjutnya. Eric Bentley menganalogikannya seperti sorang
penari striptis yang melepas lapisan persembunyiannya satu persatu (Kernodle,
1967: 347).

Bagian pembukanya adalah eksposisi (Kernodle, 1967: 348). Tahapan ini


menjelaskan kepada penikmat drama tentang kejadian yang telah terjadi dan yang
sedang terjadi. Dengan demikian, penikmat drama tidak merasa ahistoris tentang
cerita yang sedang disajikan. Bagian selanjutnya adalah komplikasi (Kernodle,
1967: 348). Pada bagian ini, awal mula ketegangan dihadirkan. Setelah itu,
ketegangan akan menaik, lambat laun menjadi keras menuju klimaks minor.
Setelah itu, ada dua pilihan, yaitu memperlambat ketegangan atau melanjutkan
ketegangan menuju ke ketegangan yang lebih besar. Konfrontasi di dalamnya
semakin menguat sehingga timbul kemelut (Kernodle, 1967: 348). Umumnya,
sesudah mencapai tahapan ini, ketegangan sudah tidak dapat lagi kembali mereda,
tetapi terus memuncak. Pertarungan tiba di krisis mayor yang mungkin menjadi titik
puncak ketegangan, klimaks mayor. Setelah itu, muncul kesimpulan atau
denaounment, istilah bahasa Prancis untuk menyebut sebagai pelepasan alur
(Kernodle, 1967: 345). Aristoteles menyebut istilah itu sebagai disecovery. Pada
bagian ini, semuanya menjadi jelas
(peripeteia).
Di lain pihak, Reaske (1966: 27 dan Asmara, 1983: 40) menyebut struktur alur
drama tragedi tersusun atas empat kategori besar, yaitu rising action, climax,
falling action, dan catastrophe. Rising action merupakan penciptaan
kekuatankekuatan konflik yang digambarkan, diperluas, dan dipersiapkan untuk
suatu bencana. Klimaks merupakan bagian terbesar pertama yang memutuskan
atau membuat suatu penemuan yang penting tentang dirinya atau orang lain dalam
drama, tindakan yang memecahkan segala sesuatu yang lain yang terjadi dalam
drama, diserahkan kepada klimaks. Falling action merupakan bagian ketika
pahlawan berangsung-angsur melemah dan dikalahkan oleh kekuatan yang lebih
besar. Catastrophe merupakan bagian yang menceritakan bencana.

Karakter merupakan bahan paling aktif yang menggerakkan jalan cerita. Karekter
memiliki kepribadian dan watak. Karakter dapat dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu
fisiologis, sosiologis, dan psikologis (Harymawan, 1984: 25). Dimensi fisiologis
adalah ciri-ciri badani yang dimiliki oleh seorang tokoh. Contoh yang bisa diambil,
antara lain usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka, dan sebagainya.
Dimensi sosiologis adalah latar belakang kemasyarakatan dari cerita tersebut.
Contoh dari dimensi sosiologis, antara lain status sosial, pekerjaan, jabatan,
peranan dalam masyarakat, pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup,
kepercayaan, agama, ideologi, aktivitas sosial, organisasi, hobi, bangsa,suku, dan
keturunan. Dimensi ketiga adalah psikologis. Dimensi ini berarti latar belakang
kejiwaan yang dimiliki oleh tokoh-tokohnya, seperti mentalitas, ukuran moral,
perbedaan yang baik dengan yang tidak baik, temperamen, keinginan dan
perasaan pribadi terhadap sikap dan kelakuan, tingkat kecerdasan, dan keahlian
khusus dalam bidang tertentu (Harymawan, 1984: 27—28).

Reaske (1966: 44) membagi karakter menjadi dua, yaitu karakter mayor dan
karakter minor. Penentuan karakter mayor atau karakter minor dapat diketahui
melalui persentase aksi dalam drama (Reaske, 1966: 44). Pada umumnya, karakter
mayor terdiri dari dua orang tokoh, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Jika lebih dari itu, alasannya dapat diketahui di dalam cerita, misalnya cinta segitiga
atau kebingungan salah satu tokoh utama memilih dua tokoh yang lain.

Alur bercerita tentang peristiwa yang terjadi, sedangkan karakter bercerita tentang
alasan peristiwa terjadi (Kernodle, 1967: 349). Yang menggerakkan peristiwa
adalah karakter. Karakter melakukan tindakan berdasarkan motivasi yang ada
dalam dirinya. Dari motivasi tersebut, dapat diketahui dimensi psikologis karakter.
Reaske (1966: 41 dan 42 dan Asmara, 1983: 59—61) memberi contoh tujuh
motivasi yang sering ditemui dalam kehidupan nyata.

Pertama, motivasi perhitungan adalah jenis motivasi yang memandang semua hal
yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan imbalan. Kedua, motivasi penuh cinta
adalah jenis motivasi yang memandang segala hal yang dilakukannya demi cinta,
baik cinta yang dimilikinya, cinta yang diidamkannya, ataupun cinta yang dimiliki
seseorang untuknya. Ketiga, motivasi takut gagal adalah jenis motivasi yang
memandang segala sesuatu yang dikerjakan berdasarkan perhitungan untuk
menghindari kegagalan. Keempat, motivasi beragama adalah jenis motivasi yang
memandang sesuatu yang dikerjakannya berdasar atas nama Tuhan. Kelima,
motivasi pendendam adalah jenis motivasi yang memandang sesuatu yang
dikerjakannya berdasar atas balas dendam. Keenam, motivasi bangga adalah jenis
motivasi yang memandang sesuatu yang dikerjakannya sebagai sesuatu yang luar
biasa yang membuatnya merasa bangga. Ketujuh, motivasi cemburu adalah jenis
motivasi yang memandang sesuatu yang dikerjakannya berdasarkan kecemburuan
terhadap orang lain.

Bagian struktur yang lain adalah tema, Harymawan (1984: 26 dan Soemanto, 2001:
22) menyebutnya premis. Premis adalah rumusan intisari cerita sebagai landasan
idiil dalam menentukan arah tujuan cerita (Harymawan, 1984:26). Dalam bahasa
Indonesia, premis dapat diartikan sebagai ide pemikiran cerita. Untuk menemukan
makna lengkap dalam drama, tema sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai
drama yang lain (Kernodle, 1967: 354). Dengan kata lain, peneliti dapat
menginterpretasikannya dari implikasi-implikasi daya tariknya dan nuansa-nuansa
yang terbangun dalam drama (Reaske, 1966: 81 dan Asmara, 1983: 114).
Tema dapat ditemukan melalui banyak cara. Tema dapat ditemukan dalam dialog
dan diperjelas dalam pertunjukan (Kernodle, 1967: 354). Tiap adegan memiliki
kesatuan yang erat yang saling berhubungan untuk melengkapi dan
menyempurnakan tema.

Dalam drama abad pertengahan, tema dapat diketahui melalui epilog. Akan tetapi,
seorang karakter eksternal dalam drama modern berbicara langsung kepada
pembaca. Ia memberikan komentar tentang makna lakon. Pada abad ke-19 aktor
minorlah yang menjelaskan tema. Penjelasan itu semakin kuat apabila karakter
utama menyatakan kesimpulannya dari penjelasan sebalumnya. Pembaca harus
berhati-hati untuk tidak menganggap pernyataan dari seorang karakter sebagai
tema (Kernodle, 1967: 354). Pernyataan tersebut bisa saja hanya kesimpulan
sementara. Selain itu, kadang-kadang sesuatu yang diucapkan oleh seorang tokoh
dalam dialog menunjukkan suatu perbedaan yang ironis dengan peristiwa yang
terjadi.
Pada intinya, cerita terbaik menawarkan lebih dari sekadar pemahaman filosofis.
Cerita menawarkan pembaruan penting ketika karakter-karakternya bergerak
dalam ritme-ritme tindakan dan takdir menuju kepada kedamaian spiritual yang
besar (Kernodle, 1967: 355).

1.2 Tekstur
Tekstur berasal dari bahasa latin yang berarti tenunan (Kernodle, 1967:355). Ia
mencontohkan pada tekstur pakaian. Untuk mengetahui tekstur pakaian, kita harus
menyentuhnya, merasakan perbedaan. Dalam drama, indra yang dipakai adalah
indra penglihatan dan indra pendengaran. Indra pendengaran digunakan untuk
mendengarkan suara dan citra bahasa, sedangkan indra penglihatan digunakan
untuk melihat latar peristiwa dan gerakan-gerakan aktornya. Pengertian tekstur
dalam penelitian drama adalah sesuatu yang dialami langsung oleh pengamat.
Pengalaman tersebut hadir melalui indra, sesuatu yang didengar (dialog), sesuatu
yang dilihat (spectacle), dan sesuatu yang dirasa lewat pengalaman visual dan
aural (suasana) (Kernodle, 1967: 345). Tekstur terdiri dari dialog, suasana, dan
spectacle.

Untuk merasakan pengalaman tersebut, penikmat drama dapat memperolehnya


melalui haupttext dan nebentext. Wujud permasalahan teraba oleh kegiatan aktif
menikmati pentas (Soemanto, 2002: 42). Dialog menjadikan teks tertulis menjadi
terdengar dan perwatakan tokoh menampakkan diri. Johan Hauken (via Soemanto,
2002: 43) berpendapat bahwa pembacaan dan penikmatan teks drama secara aktif
merupakan kegiatan “gestalten”, membangun menjadi sesuatu, karena teks tertulis
dan pentas lakon adalah “gestaltungsfahig”, sesuatu yang masih harus dibentuk.
Untuk itu, dialog, spectacle, dan suasana disajikan
secara bersama-sama (Soemanto, 2002: 43).

Penggunaan bahasa berhubungan dengan keefektifan penyampaian tujuan yang


ingin disampaikan dalam drama (Reaske, 1966: 54 dan Asmara, 1983: 77).
Keberadaannya biasanya dihadirkan lewat pembicaraan-pembicaraan para
tokohnya. Oleh karena itu, dialog merupakan bagian tekstur terpenting dalam
drama. Tekstur drama dibangun oleh dialog. Tekstur drama tercipta karena adanya
suara dan imaji bahasa dalam dialog (Kernodle, 1967: 355). Dialog dalam lakon
merupakan sumber utama untuk menggali segala informasi tekstual (Dewojati,
2003: 54).

Jalannya eksekusi (pelaksanaan pentas) juga akan memosisikan dialog menjadi


sarana penting dalam menjadikan teks tertulis menjadi “terdengar” dan “teraba”
(Dewojati, 2003: 54). Hanya pada lakon yang tertulis secara lengkap dan rinci
tentang petunjuk penyutradaraan didapatkan pembacaan terhadap teks yang dapat
membantu untuk membayangkan kemungkinan pementasannya (Soemanto, 2001:
125).

Ada dua hal yang akan diteliti dalam dialog teks drama 9 Oktober 1740, yaitu
penggunaan gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa tinggi dan rendah. Penelitian
terhadap penggunaan gaya bahasa kiasan atau ketidaklangsungan makna
membantu untuk memahami lebih dalam tentang isi dialog dalam teks. Semua
penulis drama menggunakan bahasa kiasan (Reaske, 1966: 59 dan Asmara, 1983:
84). Mereka mengemukakan ide-idenya dengan menggunakan analogi yang
dihadirkan dengan cara berbeda, bukan secara tersurat.

Ketidaklangsungan bahasa ada beberapa jenis. Reaske (1966: 59—61 dan Asmara,
1983: 84—87) menyebutkan 13 jenis ketidaklangsungan bahasa, yaitu simile,
metafora, allegori, alliterasi, antithesis, cocophoni, epithet, eufemisme, euphoni,
imaji, paradok, periphasis, dan personifikasi. Akan tetapi, dari 13 jenis
ketidaklangsungan bahasa, disebutkan Reaske bahwa simile dan metafora
merupakan bagian paling penting. Kedua gaya bahasa tersebut membuat dialog
menjadi lebih hidup dan lebih dramatis (Reaske, 1966: 59 dan Asmara, 1983: 85).
Simile adalah semacam analogi yang membandingkan kesamaan antara satu
dengan yang lain sehingga menarik untuk diteliti (Reaske, 1966: 59 Asmara, 1983:
84). Contoh simile, matahari seperti lampu panas di langit. Metafora adalah
menyamakan suatu benda dengan benda yang lain (Reaske, 1966: 59 dan Asmara,
1983: 85). Contoh metafora, matahari adalah lampu panas di langit.
Yang dimaksud dengan gaya bahasa tinggi adalah yang menunjukkan keagungan,
keformalan, kehalusan, dan keandalan yang kuat dalam ekspresi fantastis (Reaske,
1966: 65 dan Asmara, 1983: 92). Yang dimaksud dengan gaya bahasa rendah
adalah yang menunjukkan kesederhanaan, kejelasan, dan ketidakindahan bahasa
(Reaske, 1966: 65 dan Asmara, 1983: 92).

Spectacle merupakan aspek-aspek visual sebuah lakon, terutama action fisik


karakter-karakter. Spectacle mengacu kepada pembabakan, kostum, tata rias,
perlampuan, dan perlengkapan (Soemanto, 2001: 23—24). Sutradara diharapkan
mampu memvisualisasikan teks ke dalam bentuk visual di pertunjukan. Dengan
demikian, penikmat drama pun dapat menikmati pertujukan dengan lebih lengkap.

Aristoteles menyebut bagian selanjutnya sebagai musik. Akan tetapi, musik, oleh
Kernodle (1967: 357), kemudian digantikan dengan istilah suasana karena pada
drama modern sedikit menggunakan instrumen atau melodi. Bahkan, dalam teks
drama 9 Oktober 1740, tidak dituliskan keterangan saat musik dimainkan. Akan
tetapi, sifat-sifat yang ada dalam musik, misalnya ritme, tidak dapat dipisahkan di
dalam suasana.
Suasana tergantung pada banyak unsur yang dikomunikasikan secara langsung
kepada penikmat drama. Suasana dapat dirasakan melalui dialog dan spectacle.
Suasana terutama dikomunikasikan secara langsung kepada penikmat drama
melalui ritme, gerak aktor, dialog aktor, dan perubahan-perubahan intensitas
pencahayaan (Kernodle, 1967: 357).

John Dewey (dalam Kernodle, 1967: 357) menyebut ritme sebagai urutan
perubahan yang bervariasi. Ia menyatakan bahwa ketika aliran seragam, tanpa
intensitas variasi atau kecepatan, tidak ada ritme. Perubahan ritme merupakan
terjadinya teror yang berbeda dengan harapan pada pemulihan. Setiap peristiwa
yang sedang terjadi melengkapi hubungan peristiwa sebelumnya dan mengantar ke
hubungan peristiwa selanjutnya di dalam teks.

You might also like