You are on page 1of 26

1

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mikroalga Chlorella vulgaris

C. vulgaris adalah tanaman renik yang memiliki kadar klorofil tinggi.

Memiliki ukuran yang sama dengan ukuran sel darah manusia. Satu sel

C. vulgaris hanya berdiameter sebesar 5 mikron (0.000195 inchi), tetapi

terpisahkan dengan baik tanaman ini dengan inti selnya serta bergizi lengkap dan

merupakan substansi pembangun kesehatan (Lee dan Rosenbaum, 1987).

Klasifikasi C. vulgaris menurut Kabinawa (2006) yaitu :

Domain : Eukaryota

Kingdom : Plantae

Division : Chlorophyta

Class : Trebouxiophyceae

Order : Chlorellales

Family : Chlorellaceae

Genus : Chlorella

Species : C. vulgaris

Gambar 2. C. vulgaris
(Sumber : Shikano et al., 1990)
9
2

C. vulgaris adalah mikroalga hijau uniseluler yang pertama kali digunakan

dalam penelitian. C. vulgaris merupakan salah satu spesies mikroalga yang

memiliki banyak manfaat, telah diproduksi secara komersial dan digunakan

sebagai makanan kesehatan (health food) (Vonshak, 1990).

Sel C. vulgaris berukuran antara2 – 12 µm, berbentuk coccus atau bulat.

C. vulgaris mengandung kloroplas dan mempunyai dinding yang tipis. C. vulgaris

dapat hidup di tanah sebagai kontaminan umum pada air yang tergenang dalam

waktu yang lama (Bold dan Wynne, 1985). Struktur sel C. vulgaris terdiri dari

sebuah nukleus (inti), dense body (badan golgi), kloroplas, pirenoid, mitokondria

dan starch (pati). Struktur sel C. vulgaris dapat dilihat pada gambar 2.
Keterangan :

N = Nukleus (inti sel)

DB = Dense Body (badan golgi)

Chl = Kloroplas

Py = Pirenoid

M = Mitokondria

St = Starch (pati)

Gambar 3. Struktur sel C. vulgaris


Sumber : Bold dan Wynne (1985)

Keistimewaan ganggang C. vulgaris yang sudah diketahui adalah

kandungan klorofil (hijau daun) unik dan jauh berbeda dengan klorofil pada jasad

lainnya; dinding sel yang tersusun dari sellulosa, hemiselulosa dan lignin;

kandungan vitamin terutama A (beta karoten); kadar protein di atas 53 persen,

tertinggi di banding makhluk hidup lainnya; dan adanya Chlorella Growth Factor

(CGF) yang bersifat khusus dan hanya ada di Genus Chlorella (Suhanda, 2007).
3

Menurut Kastono (1992), C. vulgaris dalam keadaan kering mengandung

protein sekitar 60%, setara dengan protein daging atau 1,5 kali protein kedelai.

Kandungan karbohidratnya sekitar 20%, dan lemaknya 11% dimana asam lemak

tak jenuh berbanding asam lemak jenuh sama dengan 4 berbanding 1. Komposisi

C. vulgaris ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi C. vulgaris


No
Kandungan Gizi Jumlah
.
1. Protein 59,8 %
2. Karbohidrat 16,7 %
3. Lemak 11,6 %
4. Serat 1,5 %
5. Besi 87,9 mg%
6. Kalsium 187 mg%
7. Kalium 1030 mg%
8. Magnesium 337 mg%
9. Beta-karoten 67,5 mg%
10. Vitamin A 37.500 IU / 100 g
11. Vitamin B1 1,76 mg%
12. Vitamin B2 4,49 mg%
13. Vitamin B6 1,61 mg%
14. Vitamin B12 58 mcg%
15. Vitamin C 24 mg%
16. Vitamin E 19,5 mg%
17. Niasin 23,9 mg%
18. Klorofil 2.830 mg%
19. CGF (Chlorella Growth Factor) 27,9 %
Sumber : Sertifikat analisis No. 43080157-005 tanggal 22 Agustus 1990 dari
Japan Food Research Laboratories untuk Chlorella Midori-No-Sachi
Hasil budidaya Yaeyama Shokusan Co.Ltd.

C. vulgaris dalam pertumbuhannya memerlukan medium yang mengandung

mineral, nutrien, dan kondisi lingkungan yang sesuai. Faktor utama yang paling

penting dalam proses kultivasi mikroalga adalah sebagai berikut :

2.1.1. Faktor Kimia

a. Unsur hara

Pertumbuhan alga dipengaruhi oleh nitrat dan phosfat. Sebagian besar alga

menggunakan NO3 sebagai sumber nitrogen (Mara, 1976). Sebagian besar alga
4

menggunakan phosfat bervariasi antara 8,9 – 17,8 mg/ptlt dan konsekuensi yang

tinggi akan menghambat pertumbuhan (Kataraman, 1969).

Limbah organik hampir mengandung unsur hara yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan alga seperti: S, P dan K sehingga alga dapat tumbuh subur. Tetapi

unsur hara disini ada yang berbentuk sebagai kompleks organik sehingga harus

dioksidasi terlebih dahulu menjadi bentuk anorganik yang dapat diserap seperti

NO2, NH3, SO4 dan lain-lain. Oksidasi ini dilakukan oleh aktivitas simbiosis alga

dan bakteri. Oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi pada lapisan aerob

diperoleh melalui reaerasi pada permukaan air tetapi sebagian besar diperoleh dari

hasil fotosintesis alga yang tumbuh secara alami pada kolam jika terdapat sinar

matahari dan nutrien yang cukup. Alga mampu menggunakan karbondioksida

sebagai sumber karbon utama untuk sintesis sel baru dan melepaskan oksigen

melalui mekanisme fotosintesis (Mara, 1976).

C. vulgaris tumbuh pada salinitas 25 ppt C. vulgaris tumbuh lambat pada

salinitas 15 ppm, dan hampir tidak tumbuh pada salinitas 0 ppm dan 60 ppm

(Hirata et al., 1981).

b. Derajat keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) berperan secara langsung dalam kegiatan enzim.

Perubahan pH dari keadaan optimalnya akan mengakibatkan penurunan kegiatan

enzim dengan nyata, yang selanjutnya akan mempengaruhi pertumbuhan sel

(Angka, 1976).

Kisaran pH media yang baik seperti yang dikemukakan oleh Round (1973),

pH yang berkisar antara 7,0 – 8,0 cukup baik digunakan dalam kultur alga di
5

laboratorium. Sedangkan menurut pendapat Fogg (1975), C. vulgaris sangat tahan

terhadap lingkungan asam pada pH sampai pada pH 2,0.

Pencegahan berubahnya pH dalam media kultur alga, perlu ditambahkan

EDTA (Ethyl Diamina Tetra Acetat) ke dalam media, karena EDTA dapat

berfungsi sebagai bufer sehingga pH menjadi stabil (Round, 1973).

c. Karbon dioksida (CO2)

Karbon dioksida merupakan unsur yang penting dalam proses fotosintesis.

Oleh karena itu tersedianya CO2 dalam jumlah yang cukup dalam media akan

mendukung pertumbuhan kultur alga. Ketersediaan CO2 dapat dilakukan dengan

menggoyang-goyangkan media atau aerasi (Round, 1973). Dengan aerasi,

konsentrasi unsur hara dalam media dapat menyebar rata, selain itu juga dapat

mencegah terjadinya pengendapan sel alga (Fogg, 1975).

2.1.2. Faktor Fisika

a. Suhu

C. vulgaris tumbuh baik pada suhu 20°C, tetapi tumbuh lambat pada

suhu 32°C. Tumbuh sangat baik sekitar 20 – 23°C (Hirata et al., 1981).

C. vulgaris tahan hidup pada kisaran suhu 5 – 35°C, namun suhu optimum

bagi pertumbuhannya berkisar antara 23 – 30°C (Sutamiharja, 1975). Beberapa

spesies dari C. vulgaris yang mempunyai toleransi terhadap suhu, tumbuh paling

baik dan aktif pada suhu 35 – 40°C dan dapat menahan suhu sampai 42°C

(Sorokin, 1957).

b. Cahaya

Cahaya merupakan faktor utama yang mempunyai peranan penting untuk

pertumbuhan mikroalga sebagai sumber energi dalam fotosintesis. Intensitas


6

cahaya yang baik bagi mikroalga untuk melakukan fotosintesis berkisar antara 2 –

3 kilo lux. Cahaya matahari yang diperlukan oleh miktoalga dapat diganti dengan

lampu TL atau tungsten (Myers, 1962).

c. Agitasi

Agitasi merupakan variabel penting pada kultur mikroalga. Fungsi agitasi

antara lain untuk menghindari sedimentasi dan fotoinhibisi, untuk penyebaran

atau sirkulasi nutrien, penyebaran panas, meningkatkan efisiensi penyebaran

cahaya pada sel-sel mikroalga (Noue dan Pauw, 1988).

2.2. Senyawa Antibakteri C. vulgaris

Senyawa antibakteri adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan

mikroba dan dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan pada manusia,

hewan dan tumbuhan. Antimikroba termasuk ke dalam antimikroba yang

digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Schunack et. al., 1990 dalam

Efendi, 2006).

Organisme di lingkungan perairan harus mempunyai mekanisme pertahanan

aktif melawan bakteri dan fungi serta melawan organisme lainnya untuk menjaga

agar permukaannya bebas dari epifit, serta lingkungannya bebas dari kompetisi

(Michanek, 1979). Mikroalga menghasilkan berbagai komponen yang memiliki

aktivitas biologi (bioaktif). Komponen bioaktif ini dapat berupa antibiotik,

algisidal, antitoksin, serta bahan aktif untuk industri di dalam farmasi, dan pemacu

pertumbuhan (Pyne dan Metting, 1986).

Produk ekstraseluler mikroalga dapat berupa senyawa penghambat dan

pemacu pertumbuhan. Ketika mikroalga berlimpah di kolam, bakteri patogen dan


7

koliform mati dengan cepat, hal ini membuktikan bahwa mikroalga memproduksi

senyawa antibakteri (Fogg, 1975). Ditambahkan oleh Pelczar dan Chan (1988),

Bahan antimikrobial diartikan sebagai bahan yang mengganggu pertumbuhan dan

metabolisme mikroba. Beberapa digunakan untuk mengobati infeksi (antiinfectif)

atau disebut bahan terapeutik.

Alga dapat menghasilkan substansi toksik bagi alga itu sendiri karena

metabolit yang dihasilkan dan pengakumulasian metabolit tersebut dapat

mengakibatkan pertumbuhan eksponensial menjadi stasioner. Substansi toksik ini

bersifat autoinhibitor yang dapat dikeluarkan oleh mikroba Nostoc punotiforme,

C. vulgaris dan Nitzchia palea dalam kultur tidak murni (Fogg, 1975).

Menurut Dwijoseputro (1989), senyawa antibakteri berdasarkan cara

kerjanya memiliki dua sifat, yaitu zat yang hanya menghambat pertumbuhan

bakteri dengan tidak membunuhnya (bakteriostatis), sedang yang dapat

membunuh bakteri disebut bakterisidal. Wattimena et. al., (1991) menjelaskan

bahwa zat antibakteri dikatakan bersifat bakteriostatik bila menunjukkan

penyempitan zona hambatan dan pengurangan kecerahan setelah inkubasi 24 jam.

Lay (1994) menjelaskan bahwa bahan antimikrobial yang mampu menghambat

atau mematikan berbagai jenis mikroorganisme disebut antimikrobial dengan

kisaran luas (broad spectrum antimicrobes).

Beberapa kelompok utama bahan antimikroba kimiawi terdiri dari fenol dan

persenyawaan fenolat, alkohol, aldehid, halogen, logam berat dan

persenyawaannya, deterjen dan kemosterilisator gas. Kerja antimikroba

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsentrasi atau intensitas


8

antimikrobial yang digunakan, jumlah mikroorganisme, keberadaan bahan organik

lain dan pH (Pelczar dan Chan, 1988).

Menurut Jawetz et. al., (1996), mekanisme kerja antibakteri dibagi menjadi

empat cara yaitu:

1. Penghambatan sintesa dinding sel

Bahan antimikroba mengganggu proses sintesa mukopeptida dan

menghambat pembentukan ikatan glukosida pada dinding sel sehingga

pembentukan sel baru akan terganggu.

2. Penghambatan fungsi selaput sel

Bila integritas tinggi, selaput sitoplasma terganggu dengan adanya bahan

antimikroba maka makromolekul dan ion akan lolos dari sel dan terjadilah

kerusakan atau kematian sel.

3. Penghambatan sintesa protein

Penghambatan aktivitas ini menyebabkan kesalahan pembacaan pesan

mRNA pada “daerah pengenalan” ribosom yang mengakibatkan asam amino yang

salah dimasukkan ke dalam peptida sehingga menghasilkan protein yang tidak

berfungsi.

4. Penghambatan sintesa asam nukleat

Bahan antimikroba menghambat secara efektif terhadap sintesa DNA.

Semua kuinolon dan fluorokuinolon menghambat sintesa DNA pada bakteri

dengan menghambat girase DNA. Rifampin menghambat pertumbuhan bakteri

melalui ikatan kuat pada polymerase RNA yang bergantung DNA bakteri.

2.3. Tinjauan Umum Bakteri Uji


9

Bakteri adalah sel prokariot yang khas dan bersifat uniselular. Sel bakteri

berbentuk coccus, batang (basil) atau spiral (komma). Umumnya bakteri

berdiameter antara 0,5 sampai 1,0 µm, panjang 1,5 sampai 2,5 µm. Bakteri

dibedakan menjadi bakteri gram positif dan gram negatif berdasarkan perbedaan

pada komposisi dan struktur dinding selnya (Pelczar dan Chan, 1988).

Bakteri gram negatif mempunyai struktur dinding sel yang tipis berkisar

10-15 nm dan berlapis tiga (multi). Komposisi dinding sel bakteri gram negatif

ini terdiri dari lipid dan peptidoglikan. Konsentrasi lipid pada dinding sel bakteri

gram negatif berkisar antara 11% sampai 22%. Peptidoglikan berada di dalam

lapisan kaku sebelah dalam dengan jumlah sekitar 10% dari berat kering sel.

Bakteri gram negatif umumnya kurang rentan terhadap penisilin, kurang resisten

terhadap gangguan fisik dan persyaratan nutriennya relatif sederhana

(Pelczar dan Chan, 1988).

Bakteri gram positif mempunyai struktur dinding sel yang tebal antara 15

sampai 80 µm dan berlapis tunggal. Komposisi dinding sel terdiri dari lipid,

peptidoglikan dan asam tekoat. Konsentrasi lipid pada dinding sel bakteri gram

positif antara 1 sampai 4%. Bakteri gram positif lebih rentan terhadap penisilin

dan persyaratan nutriennya relatif rumit pada banyak spesies

(Pelczar dan Chan, 1988).

2.3.1. Escherischia coli

2.3.1.1. karakteristik biologi

E. coli pada umumnya merupakan mikroba yang secara normal terdapat

dalam saluran pencernaan hewan dan manusia berukuran panjang 2,0-6,0 µm dan
10

lebar 1,1-1,5 µm. Suhu optimum untuk pertumbuhan 10-40 oC dengan suhu

optimum 37oC (Fardiaz, 1983; Purbowatiningrum dan Mulyani, 2006).

Bakteri E. coli berbentuk batang dengan panjang 1-3 µm dan lebar 0,4-0,7

µm, termasuk golongan bakteri gram negatif, dan beberapa strainnya ada yang

berbentuk kapsul. Bakteri ini tumbuh baik pada media yang umum digunakan

untuk isolasi kuman enterik. E. coli mampu tumbuh dalam rentang suhu 8-46°C

dan tumbuh optimum pada suhu 37°C. oleh karena tumbuh pada rentang toleransi

suhu yang luas, bakteri ini termasuk dalam golongan bakteri euternik

(Dwidjoseputro, 1987).

Bakteri E. coli juga sering digunakan sebagai indikator dalam kasus

pencemaran lingkungan. Keberadaan bakteri E. coli dalam substrat di air

merupakan indikator adanya pencemaran bahan organik di lingkungan tersebut.

11
Sekitar 3 × 10 (atau sekitar 300 milyar) sel bakteri E. coli terkandung dalam 100

– 500 gram tinja yang dihasilkan oleh manusia setiap harinya (Suriawiria, 1993).

2.3.1.2. patogenitas E. coli

Bakteri E. coli merupakan bakteri oportunis yang banyak ditemukan di

dalam usus besar manusia, akan tetapi dalam kondisi yang tidak normal bakteri ini

hanya menyebabkan infeksi pada usus yang selanjutnya dapat menyebabkan diare

(Nurwantoro dan Djarijah, 1997).

2.3.2. Salmonella typhi

2.3.2.1. karakteristik biologi

Genus Salmonella terdapat pada usus manusia, binatang, dan unggas.

Berbentuk batang, gram negatif, berukuran 2 sampai 4µm x 0,6 µm, bergerak
11

(kecuali Salmonella gallinarum dan Salmonella pullorum), mempunyai flagel

peritrik. S. typhi bersifat aerob dan anerob fakultatif, suhu optimum untuk

pertumbuhannya adalah 37 °C dan pH optimum 6-8. S. typhi tumbuh dengan

mudah dalam media yang sederhana, tetapi hampir tidak dapat memfermentasikan

laktosa dan sukrosa. S. typhi membentuk asam dan kadangkala gas dari fermentasi

glukosa dan mannosa. S. typhi tidak menghidrolisis urea dan membentuk H2S.

Kuman ini bertahan dari pendinginan dalam waktu yang lama. S. typhi peka

terhadap kloramfenikol, tetapi resistan pada beberapa bahan kimia (contoh hijau

brilliant, sodium tetrathionat, sodium deoxycholat) yang menghibisi beberapa

bakteri usus.

Sifat Khusus S. typhi adalah bakteri gram negatif yang termasuk family dari

Enterobacteriaceae. Bersifat motil, anaerob fakultatif dan sensitif terhadap

beberapa antibiotik. Ada 107 strain dari mikroorganisme ini yang telah berhasil

diisolasi, beberapa diantaranya menunjukkan keanekaragaman karakteristik sistem

metabolisme, level virulensi, dan prevalensi dari gen yang mengkode multi drug

resistensi. Identifikasi dalam menentukan diagnostik dapat dilakukan dengan

menanam pada media Mac Conkey dan EMB (Eosin Metilena Biru) agar, dan

bakteri ini sama sekali tidak memfermentasikan laktosa. S. typhi hanya

menghasilkan asam tanpa menghasilkan gas saat ditanam di media TSI (Triple

Sugar Iron), yang mana media ini sering digunakan untuk membedakan S. typhi

dengan Enterobacteraceae lainnya.

2.3.2.2. patogenitas S. typhi

S. typhi adalah penyebab utama dari penyakit yang disebarkan melalui

makanan (foodborne diseases). Pada umumnya, serotipe S. typhi menyebabkan


12

penyakit pada organ pencernaan. Penyakit yang disebabkan oleh S. typhi disebut

salmonellosis. Ciri-ciri orang yang mengalami salmonellosis adalah diare, keram

perut, dan demam dalam waktu 8-72 jam setelah memakan makanan yang

terkontaminasi oleh S. typhi. Gejala lainnya adalah demam, sakit kepala, mual dan

muntah-muntah. Tiga serotipe utama dari jenis S. enterica adalah S. typhi,

S. typhimurium, dan S. enteritidis. S. typhi menyebabkan penyakit demam tifus

(Typhoid fever), karena invasi bakteri ke dalam pembuluh darah dan

gastroenteritis, yang disebabkan oleh keracunan makanan/intoksikasi. Gejala

demam tifus meliputi demam, mual-mual, muntah dan kematian. S. typhi memiliki

keunikan hanya menyerang manusia, dan tidak ada inang lain. Infeksi S. typhi

dapat berakibat fatal kepada bayi, balita, ibu hamil dan kandungannya serta orang

lanjut usia. Hal ini disebabkan karena kekebalan tubuh mereka yang menurun.

Kontaminasi S. typhi dapat dicegah dengan mencuci tangan dan menjaga

kebersihan makanan yang dikonsumsi (USDA , 2006).

Penularan terjadi melalui mulut, yaitu melalui makanan dan minuman yang

terkontaminasi kuman S. typhi. Kuman ini masuk ke dalam tubuh melalui jaringan

getah bening faring. Di dalam usus kuman ini melekatkan diri pada sel-sel epitel

villi usus. Kuman-kuman ini difagosit oleh leukosit tembereng (polimorf) atau

makrofag, lalu memasuki kelenjar getah bening usus dan berkembang biak di

tempat itu, kemudian memasuki ductus thoracicus.

Akibatnya tejadilah bakteremia dan kuman-kuman tersebut lalu bersarang

pada hati, kandung empedu, limpa, sumsum tulang, kelenjar getah bening, paru-

paru, ginjal dan lain-lain. Pada alat-alat tubuh ini kuman tersebut berkembang

biak lebih lanjut. Jadi pada saat terjadi bakteremia mulailah timbul gejala-gejala.

Kuman-kuman ini menyerang jaringan misalnya Plaque payeri dan folikel-folikel


13

getah bening usus halus. Kelainan-kelainan pada usus menjadi tukak dan berdarah

sehingga mungkin menyebabkan perforasi usus.

Kuman-kuman yang lisis mengeluarkan endotoksin yang menimbulkan

gejala-gejala toksis misalnya sakit kepala, tidak nafsu makan, demam yang

menetap, dan pembengkakan selaput lendir. Masa inkubasi berkisar antara 10

sampai 14 hari. Gambaran yang khas ialah demam yang kurvanya seperti anak

tangga, limpa teraba membesar, dan bintik-bintik merah (rose spots) yang hilang

jika ditekan dan timbul pada minggu sakit ke-2 dan ke-3.

2.3.3. Staphylococcus aureus

2.3.3.1. karakteristik biologi

S. aureus merupakan bakteri gram positif, tidak bergerak, tidak berspora dan

mampu membentuk kapsul, berbentuk kokus dan tersusun seperti buah anggur.

Ukuran S. aureus berbeda-beda tergantung media pertumbuhannya. Apabila

ditumbuhkan pada media agar, S. aureus memiliki diameter 0,5-1,0 mm dengan

koloni berwarna kuning (Volk dan Wheeler, 1989 ; Jawetz et. al., 1996).

S. aureus merupakan kelompok bakteri gram positif. Dinding sel

mengandung dua komponen utama, yaitu peptidoglikan serta asam tekoat yang

berkaitan. Metabolisme dengan respirasi dan fermentatif. Merupakan anaerob

fakultatif, tumbuh lebih cepat dan lebih banyak dalam keadaan aerob. Kisaram

inangnya luas dan banyak galur merupakan patogen potensial

(Pelczar dan Chan, 1988). Menurut Lund et. al. (2000), mikroorganisme ini dapat

mengkontaminasi makanan. Pada jumlah yang tinggi dapat menyebabkan infeksi

keracunan makanan.
14

Jenis Staphylococcus di laboratorium tumbuh dengan baik dalam kaldu

biasa pada suhu 37 oC. Suhu pertumbuhan optimal adalah 35 oC. Pertumbuhan

terbaik dan khas adalah pada suasana aerob dan aerob fakultatif. Pada lempeng

agar koloni berbentuk bola, diameter 1-2 mm, cembung, buram, mengkilat dengan

konsentrasi lunak. Warna khas bakteri ini adalah kuning keemasan. Pada agar

miring dapat hidup sampai berbulan-bulan, baik pada lemari es maupun suhu

ruangan (Warsa, 1994).

2.3.3.2. patogenitas S. aureus

S. aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran-saluran pengeluaran lendir

dari tubuh manusia dan hewan-hewan seperti hidung, mulut dan tenggorokan dan

dapat dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin. Bakteri ini mampu menghasilkan

racun yang disebut enterotoksin, yang akan meracuni tubuh dan menyebabkan

gastroenteritis atau radang mukosa usus. Bakteri ini juga sering terdapat pada

pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus. Selain dapat

menyebabkan intoksikasi, S. aureus juga dapat menyebabkan bermacam-macam

infeksi seperti jerawat, bisul, meningitis, osteomielitis, pneumonia dan masitis

pada manusia dan hewan (Dwijoseputro, 1987 ; Fardiaz, 1989).

2.3.4. Bacillus subtilis

2.3.4.1. karakteristik biologi


15

B. subtilis mempunyai ciri-ciri antara lain berbentuk batang, panjang 4-5

µm, lebar 1-1,25 µm, bersifat aerob dan memiliki flagel, termasuk golongan

bakteri gram positif dan memiliki endospora (Bibiana dan Hastowo, 1992).

Genus Bacillus merupakan bakteri basil gram positif pembentuk spora,

dapat hidup di lingkungan selama bertahun-tahun, bersifat aerob dan merupakan

mikroorganisme saprofit yang lazim berada dalam tanah, air, udara dan tumbuh-

tumbuhan seperti B. cereus dan B. subtilis yang menghasilkan enterotoksin yang

menyebabkan keracunan makanan (Brooks dan Stephen, 2001).

2.3.4.2. patogenitas B. subtilis

Bacillus substilis merupakan bakteri patogen yang dapat menyebabkan

penyakit pada manusia maupun hewan. Bakteri ini umumnya merupakan saprofit

yang lazim terdapat dalam tanah, air, udara, dan tumbuh-tumbuhan. B. subtilis

dapat tumbuh pada makanan dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan

keracunan makanan. B. subtilis juga menyebabkan terjadinya gastroenteritis pada

manusia. Gejalanya mual, kejang perut, diare berair, dan muntah-muntah selama

satu hari atau kurang (Holt dan Krieg, 1984 ; Nurwantoro, 1997).

2.4. Senyawa Bioaktif

Senyawa bioaktif adalah setiap senyawa atau molekul yang menyebabkan

satu atau lebih efek biologis yang dapat diukur baik secara in vitro atau in vivo.

Contoh senyawa bioaktif adalah diantaranya, molekul organik kecil (misalnya

yang terkandung dalam obat-obatan), mineral, logam, antibiotik, antivirus,

antimikroba, anti-inflamasi, antiproliferatif, sitokin, enzim atau protein inhibitor,

antihistamin, dan lain sebagainya (Omura, 1992).


16

2.4.1. Proses Ekstraksi

Setiap zat memiliki tingkat kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang

berlainan. Proses yang secara selektif mengambil zat terlarut dari campuran

dengan bantuan pelarut disebut ekstraksi. Teknik ekstraksi didasarkan pada

kenyataan bahwa jika suatu zat dapat larut dalam dua lapisan (fase) ke lapisan

(fase) lain dengan mengocoknya bersama-sama. Zat terlarut yang diekstraksi

dapat berada dalam medium padat atau cair, serta pelarut yang digunakan untuk

proses ekstraksi dapat berupa pelarut yang bersifat larut dalam air seperti alkohol,

atau tidak larut dalam air seperti heksana dan kloroform. Pemilihan pelarut yang

digunakan tergantung antara lain pada sifat kelarutan zat terlarut itu

(Brady, 1999).

Proses ekstraksi dapat diaplikasikan dalam dua bentuk yaitu ekstraksi padat-

cair (solid-liquid extraction) dan ekstraksi cair-cair (liquid-liquid extraction).

Ekstraksi padat-cair adalah pemisahan satu atau beberapa komponen dari bahan

padat yang dapat larut dengan bahan pelarut. Proses ini banyak digunakan secara

teknis dalam skala besar di bidang industri bahan alami dan makanan misalnya

untuk memperoleh bahan-bahan aktif dari tumbuhan atau hewan untuk keperluan

farmasi (Holt dan Krieg, 1984). Sedangkan untuk ekstraksi cair-cair pada

umumnya digunakan dalam proses separasi atau pemurnian senyawa dari alam

maupun senyawa produk dari suatu reaksi kimia

(Pavia et. al., 1995 dalam Effendi, 2006).

Saat proses ekstraksi ini dilakukan pengadukan pada saat maserasi secara

terus menerus. Pengadukan ini bertujuan untuk memecah sel pada bagian

kloroplas sehingga komponen yang diinginkan dapat keluar, memperbesar


17

kemungkinan tumbukan antara partikel sehingga komponen yang telah keluar

dapat terikat dan larut dalam pelarut, dan memperbesar pengikatan komponen

dengan pelarut yang digunakan.

2.4.1.1. pelarut metanol

Metanol adalah suatu zat cair yang bersifat volatil, mempunyai boiling point

(bp 65oC) dan mempunyai titik didih yang lebih rendah dari air. Metanol

merupakan pelarut yang beracun dan mampu mengakibatkan kebutaan bahkan

kematian. Selain itu, metanol uap dalam jangka waktu yang pendek juga sangat

berbahaya bagi kesehatan. Metanol dihasilkan dari reaksi antara gas karbon

monoksida dan hidrogen menggunakan katalis zink oksida (ZnO) dan

dichromtrioksida (Cr2O3) pada suhu 300-400 oC (Hein, 1993).

Nama lain dari metanol adalah metil alkohol, carbinol, dan alkohol kayu.

Berat molekulnya 32,04 dengan kandungan atom C sebesar 37,48%; atom H

12,58%; dan atom O sebesar 49,93%. Metanol mempunyai sifat mudah terbakar

dengan nyala api kebiru-biruan yang tidak terang, beracun, dalam bentuk murni

mempunyai bau alkohol yang ringan, dan berbau tajam. Dapat dicampur dengan

air, etanol, eter, benzene, keton dan banyak pelarut organik lain. Metanol adalah

pelarut yang lebih baik dari etanol, dapat melarutkan beberapa garam anorganik,

misalnya sodium iodida 43%, kalsium klorida 22%, ammonium nitrat 14%,

magnesium sulfat 13%, perak nitrat 4%, ammonium klorida 3,2%, dan sodium

klorida 1,4%. Metanol merupakan bahan untuk mengekstraksi hewan maupun

minyak pada tumbuh-tumbuhan karena paling reaktif sehingga bisa melarutkan

sebagian besar senyawa kimia didalamnya. Selain itu metanol juga pelarut untuk
18

pembuatan beberapa polimer, kolesterol, streptomiein, vitamin, hormone, dan

obat-obatan lainnya (Stecher, 1960).

2.4.1.2. pelarut kloroform

Senyawa kimia trichloromethane (CHCl3) atau yang biasa disebut

kloroform, memiliki ciri-ciri tidak berwarna, rasa sedikit manis, tidak mudah

terbakar, berbau sangat menyengat, menyerupai bau ether. Kegunaan utama

kloroform dalam industri yaitu untuk melarutkan bahan organik, yodium, dan

sulfur. Selain itu kloroform juga dapat digunakan untuk membuat pendingin,

sebagai fumigan untuk tanaman gandum, dan sebagai pembersih noda yang

kering. Kloroform ditemukan di Jerman pada tahun 1831 dan pada saat yang sama

hampir di Perancis dan di Amerika Serikat. Kloroform adalah bahan kimia alami,

tetapi sebagian besar kloroform yang ditemukan merupakan buatan manusia.

Kloroform adalah anggota dari kelompok bahan kimia yang disebut

"trihalometana" (Wisconsin Dept. of Health Services, 2008).

Kloroform (CHCl3) pernah menjadi bahan anestesi populer, tetapi prosedur

ini menyakitkan karena uap yang langsung menekan sistem saraf pusat dari

pasien. Pada 1847, dokter kebidanan Bathgate James Young Simpson

menggunakan kloroform untuk yang pertama kali sebagai anestesi umum selama

persalinan. Penggunaan kloroform selama operasi berkembang pesat setelah di

Eropa. Di Amerika Serikat, kloroform mulai digantikan oleh eter sebagai obat

bius pada awal abad ke-20 atas penemuan toksisitasnya, terutama kecenderungan

untuk menyebabkan aritmia jantung fatal analog atau yang disebut "kematian

mendadak sniffer". Anestesi dengan Eter lebih banyak digunakan di beberapa

negara berkembang karena indeks terapeutik yang tinggi (~ 1,5-2,2) dan harga
19

yang lebih murah. Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi jika menggunakan

kloroform yaitu meningkatkan pergerakan ion kalium melalui beberapa jenis

saluran kalium dalam sel saraf. Kloroform dapat juga dicampur dengan bahan

anestesi lain seperti eter untuk membuat campuran C.E., atau eter dan alkohol

untuk membuat campuran A.C.E (IPCS, 2004).

2.4.2. Uji Kontrol Negatif

Uji kontrol negatif dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh

pelarut dalam pembentukan diameter zona hambat. Idealnya pelarut tidak boleh

mempunyai pengaruh terhadap bakteri uji. Apabila pelarut memiliki daya hambat

terhadap bakteri uji maka akan dikurangi dengan diameter daya hambat ekstrak

sampel (Rifai dan Trianto, 2003).

Uji kontrol negatif dilakukan tehadap pelarut yang digunakan dalam

melarutkan atau mengencerkan ekstrak C. vulgaris yaitu metanol untuk senyawa

polar dan kloroform untuk senyawa non polar.

2.4.3. Uji Kontrol Positif

Uji kontrol positif bertujuan untuk mengetahui besarnya zona hambat

antibiotik terhadap bakteri uji. Dalam penelitian ini, digunakan antibiotik

kloramfenikol karena antibiotik ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri baik

dari jenis gram positif maupun gram negatif. Menurut Pelczar dan Chan (1988),

antibiotik adalah suatu produk metabolik yang dihasilkan organisme tertentu

dalam jumlah kecil yang mempunyai sifat merusak atau menghambat


20

pertumbuhan mikroorganisme. Kloramfenikol merupakan antibiotik berspektrum

luas yang aktif terhadap banyak bakteri gram positif dan gram negatif. Meskipun

relatif tidak beracun pada mamalia bila digunakan secara terapeutik, antibiotik ini

dapat menyebabkan beberapa kelainan yang gawat di dalam darah beberapa

pasien. Kloramfenikol bergabung dengan subunit-subunit ribosom sehingga

mengganggu sintesis protein.

2.4.4. Uji Sensitivitas Antibakteri

Sensitivitas antibakteri merupakan cara untuk mengetahui dan mendapatkan

produk alam berpotensial sebagai senyawa antibakteri yang mempunyai

keemampuan menghambat pertumbuhan dan bahkan mematikan mikroorganisme

pada konsentrasi rendah (Fenical dan Paul, 1984). Ditambahkan oleh Taslihan

(1993), bahwa uji sensitivitas antibakteri merupakan suatu metode untuk

menentukan tingkat kerentanan terhadap zat antibakteri dan untuk mengetahui

senyawa murni yang memiliki aktivitas antibakteri.

Aktivitas antimikrobia diukur in vitro untuk mengetahui potensi

antimikrobia dalam larutan, konsentrasi dalam tubuh dan kepekaan

mikroorganisme terhadap obat (Jawetz et. al., 1993). Suhanda (2007),

menambahkan uji sensitivitas bakteri adalah cara mengetahui dan mendapatkan

produk alam yang berpotensi sebagai antibakteri serta mempunyai kemampuan

menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri pada konsentrasi rendah. Pada

teknik ini konsentrasi dari zat antibakteri dibuat bervariasi hingga memberikan
21

hambatan maksimum, semakin besar zona hambat maka kemampuan senyawa

antibakteri semakin kuat.

Senyawa antibakteri merupakan suatu senyawa yang dapat mengganggu

pertumbuhan dan metabolisme mikroba (Pelczar dan Chan, 1988). Menurut

Collins (1970), pengujian antibakteri secara laboratoris dapat dilakukan dengan

beberapa metode antara lain:

1. Metode Kertas Cakram (paper disc)

Metode ini menggunakan kertas cakram (paper disc) atau kertas saring

dengan diameter tertentu kemudian dicelupkan dalam larutan uji. Kertas cakram

yang telah berisi zat antibakteri dari tiap fraksi diletakkan diatas media agar yang

telah diinokulasikan dengan bakteri dan diinkubasi pada suhu kamar. Setelah

diinkubasi akan nampak zona bening yang merupakan daerah penghambatan

pertumbuhan bakteri di sekitar kertas cakram yang mengindikasikan bahwa fraksi

larutan mengandung zat antibakteri.

2. Metode Perforasi

Metode ini menggunakan agar cair yang dicampur homogen dengan

suspense bakteri kemudian dituang dalam petridish steril dan dibiarkan memadat.

Dibuat lubang dengan alat perforator dengan diameter tertentu, kedalam tiap-tiap

lubang dimasukkan larutan uji kemudian diinkubasi pada suhu kamar.

3. Metode Kontak

Metode ini dilakukan dengan cara mencampur tiap 1 mL ekstrak dengan 1%

media kemudian ditetesi suspensi bakteri lalu dikocok sampai homogen. Setiap

satuan waktu tertentu ditanam ke plat agar sampai beberapa kali kemudian
22

diinkubasi pada suhu kamar. Metode ini biasanya dipakai untuk mengetahui

pengaruh waktu terhadap pertumbuhan bakteri.

Mekanisme metode paper disc plate adalah piringan kertas kecil yang

diresapi obat berbeda dalam jumlah tertentu diletakkan pada permukaan agar yang

telah diinokulasi. Pada teknik ini konsentrasi dari zat antibakteri dibuat bervariasi

hingga memberikan hambatan maksimum (Hugo dan Russell, 1997). Setelah

inkubasi dilakukan pengamatan terhadap zona penghambat (daerah jernih) di

sekeliling paper disc yang menunjukkan bahwa mikroorganisme dihambat

pertumbuhannya oleh obat (Pelczar dan Chan, 1988). Bridson (1998) menjelaskan

paper disc adalah kertas saring diameter 6-8 mm yang dibuat secara akurat untuk

penyebaran larutan antimikroba. Memiliki kelembaban 2% dan disimpan pada

temperatur rendah (2-8 °C) untuk mencegah kemungkinan antimikroba

terkondensasi oleh udara.

2.4.5. Analisis Senyawa Metabolit Sekunder dengan Skrining Fitokimia

Menurut Ramawat dan Merillon (1999), senyawa metabolit sekunder

merupakan kandungan biosintetik turunan dari senyawa metabolit primer yang

dianggap sebagai produk akhir dari metabolisme primer dan pada umumnya tidak

terlibat pada aktivitas metabolisme.

Senyawa metabolit sekunder merupakan bahan alam yang terpenting.

Selain itu, kandungan senyawa metabolit sekunder sangat variatif baik secara

kualitatif maupun kuantitatif pada tiap jenis tumbuhan, hal ini bergantung pada

faktor genetis, kondisi pertumbuhan dan tempat dia tumbuh. Senyawa metabolit

sekunder juga dapat menggambarkan perbedaan secara kimiawi dari spesies-

spesies yang ada berdasarkan pola biosintesis yang umum terdapat dalam
23

hampir tiap spesies yang hidup di bumi ini serta dipengaruhi oleh afinitas

kimiawi tiap tumbuhan dan keadaan lingkungan hidup tumbuhan tersebut

(Santoso, 2008).

Khopkar (2003) menyatakan bahwa manfaat metabolit sekunder adalah

sebagai berikut:

1. Sebagai bahan-bahan kimia alami yang bernilai komersial; dan

2. Berperan sebagai proteksi, digunakan tumbuhan untuk melawan penyakit,

serangan serangga atau binatang pemangsanya (predator).

2.4.5.1. fenolik

Senyawa fenolik merupakan substansi yang mempunyai cincin aromatik

dengan satu atau lebih substitusi gugus hidroksil dan alkil. Beberapa senyawa

fenolik bersifat antimikroba, seperti senyawa eugenol pada daun sirih yang

menghambat dan mematikan pertumbuhan bakteri (Aeromonas hydrophila) pada

ikan lele (Clarias sp.) (Agrawal, 1992).

2.4.5.2. flavonoid

Flavonoid dalam tumbuhan berfungsi sebagai pengaturan tumbuh,

pengaturan fotosintesis, memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan antivirus

(Robinson 1995 diacu dalam Santoso 2008).

2.4.5.3. saponin

Saponin merupakan golongan senyawa alam yang rumit, yang

mempunyai masa molekul besar, dan kegunaannya luas. Saponin adalah

glikosida, yaitu metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam, terdiri dari

gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Senyawa ini bersifat
24

racun bagi binatang berdarah dingin. Oleh karena itu dapat digunakan untuk

pembasmi hama tertentu. (Agrawal, 1992).

2.4.5.4. triterpenoid

Terpenoid merupakan suatu golongan hidrokarbon yang banyak dihasilkan

oleh tumbuhan dan terutama terkandung pada getah dan vakuola selnya. Pada

tumbuhan, senyawa-senyawa golongan terpenoid, merupakan metabolit sekunder.

Terpenoid dihasilkan pula oleh sejumlah hewan, terutama serangga dan beberapa

hewan laut. Di samping sebagai metabolit sekunder, terpenoid merupakan

kerangka penyusun sejumlah senyawa penting bagi makhluk hidup. Sebagai

contoh, senyawa-senyawa steroid adalah turunan skualena, suatu triterpen; juga

karoten dan retinol. Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan

terdapat di dalam sitoplasma sel tumbuhan (Harborne, 1987).

Golongan terpenoid dikenal sebagai senyawa utama pada tanaman yang

bersifat sebagai penyusun minyak atsiri. Terpenoid mempunyai rumus dasar

(C5H8)n atau dengan satu unit isoprene-2 metil-2, 3 butadiena. Golongan

terpenoid bisa ditemukan dalam tanaman paci-paci (Leucas sp.) dan sirih

(Piper betle L.)

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan (unit) isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30

asiklik, yaitu skualena

.
25

Gambar 4. Struktur Skualena


Sumber: Harborne, 1987

2.4.5.5. steroid

Steroid didefinisikan sebagai kelompok senyawa organik bahan alam yang

merupakan salah satu metabolit sekunder. Robinson (1991) menunjukkan

kerangka dasar karbon steroid sebagai berikut:

R1
R2
12 17
11 13
R3 C D 16
1 9 14
2 10 8 15
A B
3 5 7
4 6

Gambar 5. Kerangka dasar karbon steroid di mana R1, R2 dan R3 adalah


Substituen.
Sumber: Harborne, 1987

Di alam, steroid terdapat dalam jaringan hewan dan tumbuhan. Senyawa ini

berasal dari senyawa triterpen. Steroid yang terdapat dalam jaringan hewan

berasal dari triterpen lanosterol, sedangkan yang terdapat dalam jaringan

tumbuhan berasal dari triterpen sikloartenol. Tahap-tahap awal dari biosintesis

steroid adalah sama bagi semua steroid alam, yakni pengubahan asam asetat

melalui asam mevalonat dan skualen (suatu triterpen) menjadi lanosterol atau

sikoartenol. Kemudian lanosterol atau sikloartenol mengalami beberapa tahap

perubahan menjadi steroid (Arifin, 1985).

2.4.5.6. alkaloid

Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan

di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan


26

tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling

sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar

atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik (Sofia, 2006). Hampir

semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis tertentu

misalnya kuinin, morfin, nikotin, stiknin yang terkenal dan mempunyai efek

fisiologis dan psikologis (Sofia, 2006).

You might also like