Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Agung Yuriandi
Medan
2011
Latar Belakang
Baru-baru ini ada pembangunan gedung yang sangat megah dinamakan
“Gedung Baru Dewan Perwakilan Rakyat”. Dana yang dihabiskan untuk anggaran
pembangunan ini mencapai Rp. 1,1 triliun rencananya dibangun setinggi 36 lantai dan
berisi 600 ruangan. Pada proses pembangunan gedung baru tersebut ada suatu proses
yang dilalui yaitu proses tender pemerintah. Proses tender mengacu kepada Peraturan
Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan
peraturan yang ada di atasnya adalah Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang
Jasa Konstruksi.1 Proses tender diatur dengan Peraturan Presiden menggantikan
Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, selanjutnya jasa konstruksi yang dilakukan oleh perusahaan
rekanan tunduk kepada ketentuan Undang-Undang.
Menurut Peneliti LSM Indonesia Budget Center, Roy Salam menilai proses
lelang proyek pembangunan gedung baru DPR lemah, berikut hasil penelitiannya2 :
“Mundurnya PT. Duta Graha Indah dari proyek tersebut karena tersandung
kasus korupsi. DPR tidak meneliti secara mendalam perusahaan peserta
tender, mulai dari rekam kerja hingga hasil kerjanya. Ketika menggunakan
proses dengan menggunakan metode pra-kualifikasi seharusnya ada aktivitas
verifikasi administrasi, dan rekam jejak dari perusahaan yang ikut mendaftar
sebagai peserta tender. Ini yang menjadi pertanyaan, hal itu dilakukan atau
tidak. Lolosnya PT. DGI ini dapat menggambarkan kemungkinan hal tersebut
1
Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833.
2
Roy Salam, “IBC : Proses Tender Gedung DPR Meragukan”,
http://www.kbr68h.com/berita/nasional/5721-ibc--proses-tender-gedung-dpr-meragukan., diakses pada
19 Mei 2011.
2
Jelas, setelah diteliti oleh lembaga peneliti mengenai proses tender sudah
ditemukan tindak-tanduk tidak baik dari proses pendaftaran tender tersebut. Salah
satunya adalah pada saat pendaftaran, Panitia Pengadaan Barang/Jasa DPR tidak
melakukan penilaian terhadap perusahaan peserta tender. Seharusnya dinilai track
record atau rekam jejak atau daftar pengalaman kerja dari perusahaan peserta
tersebut. Dilihat proyek yang pernah dilakukan sebelumnya oleh perusahaan peserta
apakah ada masalah atau tidak atau ada kasus yang sedang dijalani atau tidak.
Adapun proses tender yang harus dilalui untuk melaksanakan pembangunan
Gedung Baru DPR tersebut, menurut Peratura Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yaitu3 :
1. “Perencanaan Pengadaan;
2. Pembentukan Panitia Lelang;
3. Kualifikasi Perusahaan;
4. Penyusunan Dokumen Lelang;
5. Pengumuman Lelang;
6. Pengambilan Dokumen Lelang;
7. Penentuan Harga Perkiraan Sendiri;
8. Penjelasan Lelang;
9. Penyerahan Penawaran Harga dan Pembukaan Harga;
10. Evaluasi Penawaran;
11. Pengumuman Calon Pemenang;
12. Sanggahan Peserta Lelang;
13. Penunjukan Pemenang Lelang;
14. Penandatanganan Kontrak Perjanjian;
15. Penyerahan Barang/Jasa kepada Pengguna Barang”.
Dapat dilihat diatas begitu banyak proses pengadaan barang dan jasa
pemerintah yang harus dilalui. Setiap tahapan memiliki penilaian yang berbeda-beda.
Permasalahan yang menjadi topik dalam opini hukum ini adalah mengenai urgensitas
atau kebutuhan pengguna gedung tersebut adalah Wakil Rakyat. Teori hukum yang
digunakan untuk membedah permasalahan tersebut adalah Utilitarian Theory, yang
3
Agung Yuriandi, “Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Mengawasi
Tender Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Sumatera Utara”, (Medan : Skripsi, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, 2007), hal. 19-26.
3
dikemukakan pertama sekali oleh Jeremy Bentham. Kegunaan dari hukum itu adalah
demi kemaslahatan masyarakat banyak.4 Menemui kasus yang menjadi polemik di
masyarakat bagai pedang bermata dua, maka perlu diterapkan teori ini untuk
membuktikan mana yang benar. Tujuan menggunakan teori ini adalah demi
tercapainya Penegakan Hukum. Penegakan hukum tercapai demi kepastian hukum,
kemanfaatan hukum dan keadilan.5
4
Bryan Magee, The History of Philosophy, penerjemah Marcus Widodo dan Hardono Hadi,
(Yogjakarta : Kanisius, 2008), hal. 182.
5
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, editor oleh Aloysius Soni BL de Rosari,
(Jakarta : Kompas, Agustus 2010), hal. 107.
6
Bey Machmudin, “Ugensi VS Peraturan”,
http://www.majalahtrust.com/danlainlain/kolom/1179.php., diakses pada 19 Mei 2011.
7
Tempo Interaktif, “Presiden : Hentikan Pembangunan Gedung Baru DPR”,
http://www.tempointeraktif.com/hg/fokus/2011/04/07/fks,20110407-1824,id.html., diakses pada 19
Mei 2011.
4
8
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta : Kompas, Januari 2010), hal. 16.
5
9
Bismar Nasution, Materi Perkuliahan Politik Hukum, (Medan : Program Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008).
10
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 252.
11
Mekanisme Check and Balances pasca Perubahan UUD 1945 memposisikan aspek
perimbangan kekuasaan hubungan antara Presiden dan DPR, Presiden dan Mahkamah Agung,
Ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 memberikan kekuatan kepada rancangan undang-undang yang
telah disetujui bersama dengan DPR. Suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui akan tetap
menjadi undang-undang tanpa pengesahan Presiden. Ini dimaksudkan sebagai penyeimbang antara
DPR dan Presiden dalam pembentukan undang-undang. Dalam : Zaini Bidaya, “Penerapan Check and
Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945”, editor Rusdianto,
http://shaffaninstitute.blogspot.com/2010/10/penerapan-checks-and-balances-dalam.html?
zx=5dcf1da8552a9ea9., diakses pada 19 Mei 2011.
12
Editorial Media Massa Indonesia, “Lembaga Paling Korup”,
http://opini.wordpress.com/2006/12/11/lembaga-paling-korup/., diakses pada 19 Mei 2011.
6
Kalau ditanya, ini jelas saya sampaikan, ya, kalau ditanya, masyarakat tanya
perlu gedung baru atau tidak. Seratus persen jawabnya tidak. Karena tidak
dijelasin, kalau sistem surveinya perlu gedung baru atau tidak semua jawaban
tidak karena gedung sudah ada. Tapi kalau dijawab bagaimana kita ingin
memperbaiki DPR dari posisi sekarang menjadi posisi ke depan itu, inginnya
bagaimana, kita jelaskan keperluan-keperluannya, baru ada gedung disitu,
baru orang bilang, oh perlu gedung.
Ditanya apakah metode survei yang diusulkan tidak pas, Marzuki menjawab
rakyat biasa tidak bisa diajak memikirkan perbaikan sistem DPR, termasuk di
dalamnya pembangunan gedung baru.
Ini cuma orang-orang yang elite yang paham yang bisa membahas masalah
ini, rakyat biasa nggak bisa dibawa. Kalau rakyat biasa dibawa memikirkan
bagaimana perbaikan sistem, bagaimana perbaikan organisasi, bagaimana
perbaikan infrastruktur, rakyat biasa pusing. Bagi rakyat yang penting adalah
kebutuhan sehari-hari bisa terpenuhi.
Rakyat biasa dari hari ke hari yang penting perutnya terisi, udah jalan, makan,
kerja, ada rumah, ada pendidikan, selesai rakyat. Jangan diajak ngurusin yang
begini. Urusan begini orang-orang pinter ajak bicara, ajak kampus-kampus
bicara, kita diskusikan. Lebih lanjut Marzuki mengajak semua pihak untuk
memikirkan substansi pembangunan gedung baru DPR yang merupakan
bagian dari Rencana Strategis DPR 2009-2014”.
13
Gudang Berita, “Marzuki : Cuma Elite yang Bisa Bahas Gedung Baru DPR, Rakyat Biasa
Tak Bisa”, http://news.gudangmateri.com/2011/04/marzuki-cuma-elite-yang-bisa-bahas.html., diakses
pada 19 Mei 2011.
7
jawaban perlu dilanjutkan atau tidak. Survey juga dapat membuktikan teori Jeremy
Bentham mengenai the greatest good of the greatest number.14
14
Bryan Magee, Op.cit., hal. 184.
15
Lord Acton dalam Mansyur Semma, Negara dan Korupsi : Pemikiran Mochtar Lubis atas
Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik, Edisi Pertama, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,
2008), hal. 241.
8
Penutup
Seseorang yang sudah memasuki sistem, suka tidak suka harus mengikuti
sistem itu. Jadi, jika sudah terindikasi korupsi seharusnya lembaga-lembaga
pemerintah seperti KPPU (mengawasi proses tender), KPK (mengawasi korupsi),
Kepolisian, dan Kejaksaan mengusut mengenai proses Konsultan Gambar Gedung
Baru DPR sebesar Rp. 11 miliar. Korupsi ini adalah korupsi struktural yang
dilakukan oleh lembaga penegak hukumnya. Lembaga-lembaga tersebut bertindak
pasif artinya baru bergerak menyelidiki kalau ada aduan. Deliknya delik aduan.
Mengenai lembaga penegak hukum ini dapat dikaji dengan menggunakan teori
Lawrence M. Friedman yang mengatakan bahwa Hukum itu harus ada substansi,
struktur, dan budaya.
Anggaran untuk membangun gedung baru tersebut seharusnya dibuat untuk
membeli buku untuk anak-anak sekolah, buat membangun rumah sederhana bagi
rakyat, memberikan pengobatan gratis (seperti di Nanggroe Aceh Darussalam),
meningkatkan gizi masyarakat, dan lain sebagainya. Penulisan paper ini bertujuan
untuk melengkapi tugas Politik Hukum yang diasuh oleh Prof. Dr. Solly Lubis, SH.
Jadi, tidak bisa untuk dijadikan bukti bahwa DPR itu melakukan Korupsi dalam
membangun gedung baru DPR.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asshiddiqie, Jimly., Konstitusi Ekonomi, Jakarta : Kompas, Januari 2010.
Magee, Bryan., The History of Philosophy, penerjemah Marcus Widodo dan Hardono
Hadi, Yogjakarta : Kanisius, 2008.
Semma, Mansyur., Negara dan Korupsi : Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara,
Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik, Edisi Pertama, Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia, 2008.
ARTIKEL INTERNET
Bidaya, Zaini., “Penerapan Check and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945”, editor Rusdianto,
http://shaffaninstitute.blogspot.com/2010/10/penerapan-checks-and-balances-
dalam.html?zx=5dcf1da8552a9ea9., diakses pada 19 Mei 2011.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4330.