You are on page 1of 2

Manusia Indonesia Mochtar Lubis (Renungan Si Bung Jangkung)

Dec 11, '07 9:18 PM


for everyone
Manusia Indonesia Mochtar Lubis
Hampir empat dasawarsa lalu mendiang Mochtar Lubis memaparkan potret manusia Ind
onesia. Makalah 14 halaman berjudul â Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawabanâ itu
ibacakan dalam ceramah 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang kini
kerap dikatakan Pidato Kebudayaan. Rasanya pedas buat yang tersodok, namun cambu
k bagi orang terbuka yang mau memperbaiki diri. Tak sepenuhnya ilmiah, karena ia
bukan akademisi tulen. Lebih dari itu ia adalah seorang budayawan dan jurnalis
yang lurus, tegar dan berani.
Berikut ringkasan stereotip manusia Indonesia yang dipotret Mochtar Lubis:
1. Munafik atau hipokrit, yang diantaranya menampilkan dan menyuburkan sika
p ABS (asal Bapak senang);
2. Enggan dan segan bertanggungjawab atas perbuatannya;
3. Berjiwa feodal;
4. Percaya takhayul;
5. Artistik, berbakat seni;
6. Lemah wataknya;
7. Cenderung boros dan suka jalan pintas (instan);
8. Cepat belajar, otaknya cukup encer namun malas dan kurang sabar;
9. Dan lain-lainnya yang disinggung secara singkat.
Singkat kata, Mocthar Lubis mencurigai kentalnya stereotip tersebut lah yang mem
buat kehidupan bangsa Indonesia menjadi bangsa paria seperti sekarang ini.
Ciri-ciri tersebut tidak muncul dengan sendirinya secara otomatis, alias paten a
tau bakat bawaan orang Indonesia. Ia adalah hasil dari sekian lama dan sekian ba
nyak persinggungan peradaban, serta reaksi atas kejadian yang menimpa sejarah In
donesia. Dalam paparan selanjutnya Mochtar Lubis menyinggung banyak persoalan du
nia yang terkait dengan kondisi Indonesia kala itu, antara lain keroposnya bumi
akibat kapitalisme, peran adi-kuasa (lembaga-lembaga internasional dan multi-nas
ional korporasi) dan makin sedikitnya pemimpin dunia bijak sebagai penyebab berb
agai masalah global saat ini.
Untuk pemimpin Indonesia, Mochtar Lubis memberi saran di akhir paparannya:
â Bagaimana keluar darinya? Dengan berdaya upaya agar kehidupan bangsa kita jangan te
rlalu banyak tergantung dari mereka, dengan memobilisasi sumber-sumber manusia,
dana dan alam kita sebaik-baiknya dan seefisien yang dapat kita lakukan, dengan
berhemat sampai menghitung sen, menghentikan sama sekali korupsi, dan memusatkan
usaha dan pengabdian kita pada perbaikan penghidupan rakyat kita.
Kita pasti tidak sepenuhnya dapat melepaskan diri dari sistem dan jaringan ekono
mi, keuangan dan perdagangan internasional yang selama ini telah kita masuki den
gan membuka pintu tanah air kita seluas-luasnya pada mereka. Akan tetapi kita ma
sih dapat melakukan daya upaya untuk membikin sesuatu hempasan yang mungkin timb
ul, jangan terlalu keras menghempaskan kita.
Jika kita terus begini, tidak mengubah cara-cara kita berpikir dan berbuat, meng
ubah nilai-nilai yang membimbing kehidupan kita, maka saya khawatir kita akan ja
di kuli kasar belaka bagi perusahaan-perusahaan multinasional Jepang, Amerika, J
erman, Belanda, Perancis, Inggris, dan sebagainya, di tanah air kita sendiri.
Relakah kita melihat anak cucu kita mengalami nasib demikian?â
Mochtar Lubis pun pernah menjadi korban kepicikan manusia Indonesia. Karena krit
ik-kritiknya kepada pemerintahan, ia dijebloskan ke dalam sel, baik oleh rezim O
rde Lama maupun Orde Baru. Toh ia berguyon, mungkin saja itu gara-gara pemimpin
Indonesia masih percaya takhayul. â Coba bayangkan, apabila segala rupa kebijaksanaan
negara, umpamanya didasarkan pada wahyu dan petunjuk-petunjuk yang sepenuhnya i
rrasional seperti ini, alangkah berbahayanya bagi penghidupan bangsa kita. Siapa
tahu dahulu Soekarno atau dukunnya pada suatu malam mendapat mimpi, dia mendaki
gunung yang amat tinggi, sampai tergelincir jatuh. Lalu esok paginya melapor pa
da Soekarno, awas hati-hati terhadap seorang jangkung!â , begitu tulis Mochtar Lubis.

jotz

You might also like