Professional Documents
Culture Documents
PERSPEKTIF HUMANISTIC ”
Oleh:
ABSTRACK
Humanist Extension activities which are extension activities which place more
emphasis on emotion and affective development . Humanistic theories encourage the
development of self-perception and self-potentials of a farmer as a participant counseling
extension activities. In the area of motivation, extension humanist emphasis on the intrinsic
variables, as exemplified by the theories of Abraham Maslow and Carl Rogers.
Proponents argue that the humanist theory of humanistic theory is also applicable in
extension activities, The Extension Specialist wanted a change from the conventional
process of extension / traditional "bound" to the process of freeing the participants extension
activities more humanist. The desired changes that include: 1) schedule of activities is more
open; 2) counseling process should be more active; 3) encourage and more freedom and
creativity of participants in counseling; 4) extension activities focused on cooperation; 5)
participants extension that is able to evaluate themselves, and 6) greater emphasis on
personal integrity, intrinsic potential participants and the curriculum.
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang mana eksistensinya di muka bumi
mengundang segudang tanya oleh manusia itu sendiri. Banyak orang cerdas yang terkemuka,
bahkan sampai dengan saat ini masih tetap pada paradoks yang sama. Apakah manusia hanya
di lihat terutama sebagai individu seperti yang dianjurkan oleh eksistensialisme dan banyak
psikologi modern?. Ataukah sebagai masyarakat seperti yang ditekankan pada sosiolog dan
Marxisme?. Ataukah harus pesimis dalam penafsiran psikilogis?. Ataukah manusia harus
optimis seperti yang dianjurkan oleh para penganut humanis dan para hedonisme popular?.
Selain sebagai mahluk sosial, sebagaimana yang ditekankan dalam perspektif humanis,
manusia harus dipandang sebagai pribadi/individu yang memiliki kemampuan dalam dirinya
sendiri untuk mengerti dan dimengerti, menentukan hidup, serta manusia secara
pribadi/individu dengan bebas dapat mengaktualisasikan diri dalam lingkungan dan dalam
kehidupan sosialnya. Selain itu, secara psikologis, manusia memiliki kebutuhan dasar akan
kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta-kasih dari orang lain.
Kebutuhan manusia dinyatakan oleh Roggers sebagai need for positive regard, baik
bersayarat (conditional positive regard) maupun yang tidak bersyarat (unconditional positive
regard).
2. Permasalahan
Para penggagas teori humanis percaya bahwa sejak lahir manusia sudah dibekali
berbagai kesanggupan untuk belajar, meskipun kemudian bukan berarti keahlian untuk
belajar. Oleh karena itu perkembangan kepribadian seseorang adalah objek yang sangat
penting yang harus mendapat perhatian dan dikaji oleh para penganut humanistis.
Carl Rogers adalah seorang pendidik humanistik, menyatakan bahwa banyak aspek
Pendidikan dan penyuluhan yang belum enerapkan prinsip-prinsip humanis. Ide pokok dari
teori - teori Rogers yaitu individu memiliki kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti
diri, menentukan hidup, dan menangani masalah-masalah psikisnya asalkan konselor
menciptakan kondisi yang dapat mempermudah perkembangan individu untuk
mengaktualisasikan dirinya.
Menurut Rogers motivasi orang yang sehat adalah aktualisasi diri. Aktualisasi diri
adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi
psikologis yang unik. Aktualisasi diri akan dibantu atau dihalangi oleh pengalaman dan oleh
belajar khususnya dalam masa lalu. Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan
perkembangan hidup seseorang. Ketika mencapai usia dewasa seseorang akan mengalami
pergeseran aktualisasi diri dari fisiologis ke psikologis.
1. Manusia mempunyai potensi alami untuk belajar dan mengembangkan dirinya,
2. Materi penyuluhan harus sesuai dengan tujuan penyuluhan,
3. Belajar mandiri tanpa tekanan,
4. Teori harus diikuti dengan praktek,
5. Peserta penyuluhan harus berpartisipasi aktif,
6. Kebebasan dan kreatifitas, serta
7. Belajar sambil berubah .
Dalam perspektif ini seorang Penyuluh harus membimbing peserta penyuluhan belajar
untuk menemukan dirinya melalui pengalaman yang konkrit dan umpan balik dari yang
lainnya, dengan demikian sedikit demi sedikit setiap individu peserta penyuluhan akan
membentuk konsep tentang siapa dirinya, apa yang akan, dapat dan tidak dia lakukan, dan
pada akhirnya, sudut pandang diri dibentuk oleh kualitas dari pengalaman awal
kehidupannya.
Bagi orang tua di rumah, harus menciptakan suasana nyaman pada diri anak-anaknya.
Dalam studinya kemudian Rogers menawarkan tiga prinsip bagaimana seharusnya orang tua
memperlakukan anak-anaknya di rumah, yaitu: (1). Orang tua harus benar-benar menerima
seorang anak sebagai seorang pribadi yang utuh, (2). Orang tua harus membuat harapan dan
standar yang jelas bagi anak, dan (3). Orang tua harus merasa peduli dan memberikan
kebebasan (ruang gerak) bagi inisiatif anak dan membatasinya pada keadaan tertentu.
Sebuah hipotesis yang masuk akal, minimal untuk pra-sekolah atau tahun-tahun awal
di sekolah dasar, Bahwa tingkah laku mereka sama dengan apa yang mereka perhatikan.
Penghargaan orang tua yang tinggi akan sangat mendukung perkembangan anak di sekolah.
Sementara itu perkembangan afektif, seperti perkembangan kognitif, tergantung dari
kemampuan individu untuk mencocokkan diri sesama individu dan kegiatan penyuluhan
terhadap tugas yang diberikan.
Pada tingkat yang lebih tinggi dari taksonomi menyuguhkan cara untuk
mengembangkan komitmen peserta penyuluhan pada nilai-nilai dan kepercayaan. Pada
awalnya, para peserta penyuluhan hanya memverbalkan posisi para Penyuluh, tetapi ketika
mereka menjadi ingin untuk menyampaikan dan mempertahankan posisinya di hadapan
publik. Pada level ketiga dari taksonomy, para peserta penyuluhan mulai menginternalisasi
keyakinan dalam diri mereka, sebagai contoh mereka menerima kebutuhan untuk mengelola
lingkungan, sehingga mereka tidak lagi dikontrol oleh opini dari yang lainnya. Peserta
penyuluhan setelah itu dapat mengintegrasikan keyakinannya tentang lingkungan dengan
keyakinan yang lainya dan bahkan mungkin menggeneralisasikan lebih jauh dan menjadi
kesadaran yang menyatu dan berhubungan atau dengan sukarela memberikan waktu untuk
masalah-masalah lingkungan.
Untuk mencapai tujuan penyuluhan yang lebih humanistis Patterson memberikan solusi
ke arah pencapaian perubahan dimaksud, diantaranya adalah (a). Jadwal harus terbuka
disesuaikan dengan kebutuhan peserta penyuluhan; (b) penyuluhan yang lebih aktif; (c)
Pembebasan (memudahkan aktualisasi diri dan perasaannya; (d) Penekanan lebih pada
kreativitas; (e) penyuluhan yang lebih kooperatif; (f) Kesempatan yang lebih pada evaluasi
diri;dan (g) Integritas pribadi (jati diri), potensi non-akademik dan kurikulum harus bersifat
intrinsic.
Apakah sampai sejauh ini seorang Penyuluh memberi kebebasan pada peserta
penyuluhan untuk menentukan tujuan penyuluhannya ? De Charms (1984) mencoba
memodifikasi beberapa pemikiran awalnya tentang bagaimana Penyuluh membantu
memfungsikan peserta penyuluhan sebagai “Origins” setelah berada di ruang kelas.
De Charms (1984) menulis :Sebuah sudut pandang romantic tentang seorang Origin
sebagai jiwa yang bebas tak terhalang oleh tekanan dari yang lainnya. Pada perspektif ini,
seseorang tidak memikul tanggung jawab untuk mempertahankan kewenangannya. Kita akan
menjadi lebih skeptis pada cara pandang tersebut..... tidak bermaksud untuk menekan orang-
orang disekitarnya tetapi adalah sebuah permulaan dalam memperlakukan orang-orang
sebagai Origins, tapi kita akan segera menemukan bahwa membiarkan mereka melakukan
apa yang mereka ingin lakukan bukan berarti kita tidak memperlakukan mereka sebagai
Origins. (p.83)
DeCharms menekankan perlunya peran Penyuluh dalam memotivasi peserta
penyuluhannya. Para Penyuluh yang ingin membantu peserta penyuluhan untuk
memfungsikan Origin dapat melakukan hal serupa dengan membantu mereka untuk
menyusun tujuan realistis, menemukan kekuatan serta kelemahan mereka, membuat rencana
konkret untuk mencapai tujuan, dan memonitor usaha mereka.
Sebagian tokoh humanis tidak sepakat dengan tata ruang kelas yang sering
dipraktekkan oleh penyuluhan konvensional/tradisional, atau gagasan memberikan
sesuatu/tugas yang sama pada waktu yang sama kepada peserta penyuluhan padahal
kemampuan dan minat peserta penyuluhan terhadap pelajaran berbeda-beda. Yang mesti
dilakukan adalah kegiatan penyuluhan yang lebih adaptif disesuaikan dengan kebutuhan
individu peserta penyuluhan, seperti memberikan kesempatan peserta penyuluhan dalam
mengembangkan minat, memilih pelajaran yang sesuai dengan kemampuan dll. ”Kebebasan
peserta penyuluhan” dan penyuluhan terbuka adalah dua hal yang sangat penting dalam
model penyuluhan yang adaptif.
Wang dan Lindvall (1984) menawarkan tujuh prinsip dalam penyuluhan adaptif, yaitu:
Pada tingkat kedua, satu aktivitas Simpson & Gray menggambarkan Mars Terompet
(Trumpet March) (dikembangkan di pusat penyuluhan humanis di University of
Massachussetts). Pada aktivitas ini peserta penyuluhan mengumpulkan dan mengevaluasi
data tentang tingkah laku mereka dengan yang lainnya. Cara lain untuk menjadikan afektif
sebagai kurikulum sekolah di beberapa ruang kelas melalui aktivitas klarifikasi nilai-nilai.
Simon, Howe, dan Kirschenbaum (1972) berpendapat bahwa banyak orang tidak memahami
nilai-nilai mereka dengan jelas.
Jantz dan asosiasinya (1976), dari pusat Aging di University of Maryland, telah
menghasilkan sebuah panduan kurikulum untuk perilaku anak-anak dan orang tua. Termasuk
di dalamnya buku-buku yang mengundang reaksi anak-anak. Informasi ini menawarkan
Informasi yang akurat bagi individu orang tua. Sebuah kesempatan untuk melihat tingkah
laku dari orang-orang dewasa yang berbeda-beda bentuknya, dan kesempatan untuk
mengembangkan perasaan positif tentang pertumbuhan.
Cara lain yang dipandang efektif yang difikirkan peserta penyuluhan adalah melalui
penyuluhan estetika. Beberapa orang beralasan bahwa peserta penyuluhan dapat menjadi
sensitif pada pengalaman estetika (lihat laporan Berangkat dari perasaan kita: Signifikansi
seni pada Penyuluhan Amerika. Ketertarikannya di sini bukan pada pentingnya
menyempurnakan kemampuan peserta penyuluhan untuk belajar tetapi membuat mereka
peduli terhadap permasalahan-permasalahan estetika. Bagaimana responnya ke seni, music,
dan objek-objek keindahan lainnya, bagaimana seseorang mengevaluasi penampilan teater
dengan pengajaran langsung, program penyuluhan estetika membantu peserta penyuluhan
untuk mengembangkan dan memahami kriteria respon untuk pengalaman estetika.
Pendeknya, tujuan pada pelatihan tersebut adalah untuk membuat peserta penyuluhan
mendapatkan pengalaman yang lebih baik lagi.
Lebih lanjut Baskin dan Hess mengklasifikasikan tujuh program tersebut ke dalam
tiga wilayah, yaitu (1). Emosi-internal atau dimensi internal meliputi perasaan, emosi,
persepsi diri, dan sikap; (2) Wilayah kognitif mencakup wilyah kognitif ini mengacu kepada
pemahaman mahapeserta penyuluhan tentang prinsip-prinsip sosial dan kemampuannya
mengahadapi pilihan situasi sosial yang tidak menentu); dan (3). Dimensi Tingkah
laku/tindakan; (dimensi tingkah laku meliputi tingkah laku interpersonal yang diamati seperti
interaksi sesama teman atau dengan orang dewasa).
Hudgin (1979) menampilkan data dari sebuah tes tentang efek dari program Toward
Afektif Development (TAD. Hudgin menyatakan bahwa tidak ada pengaruh signifikan dari
program ini pada peserta penyuluhan tentang konsep diri atau penyesuaiannya. Ia mencatat
bahwa ada pertimbangan anekdot yang memuji beberapa program afektif pada literatur-
literatur, tetapi beberapa data mendukung advokasi. Lebih jauh lagi, dia menyatakan bahwa
permohonan intuisi yang kuat untuk penyuluhan afektif untuk beberapa orang dapat
menyebabkan mereka mendukung sebuah program bahkan tanpa mempertimbangkan
penelitian tentang keefektifannya.
Disamping menempatkan objek afektif secara langsung melalui inklusi dari kurikulum
afektif pada program sekolah, hal tersebut mungkin untuk menyempurnakan objeknya secara
tidak langsung dengan mengubah kondisi dimana peserta penyuluhan berpartisipasi ke dalam
aktivitas akademik. Pada ruang kelas konvensional/tradisional, tipe-tipe peserta
penyuluhannya memiliki kepedulian hanya pada diri mereka sendiri, tidak dibolehkan
membantu satu sama lainnya, dan bersaing untuk sebuah nilai. Pendekatan penyuluhan
kerjasama diinstruksikan untuk mengubah kondisi ini. Sering dengan pengaruh positif pada
luaran afektif. Pendekatan penyuluhan kerjasama mengganti tempat kerja yang independent
dengan aktivitas penyuluhan kerjasama pada kelompok kecil peserta penyuluhan (5 sampai 6
orang) bekerja bersama dalam praktek dan pelatihan terapan. Beberapa yang terbaik terkenal
dan penelitian yang lebih luas mengenai program penyuluhan kerjasama yang dijelaskan
sebelumnya. Sebagai informasi tambahan mengenai hal ini dan program-program kerjasama
yang lainya, lihat Sharan et al (1984), slavin (1983), atau Slavin et al.(1985).
Schlomo sharan dan lembaganya (1984) telah mengembangkan apa yang mereka sebut
sebagai metode penelitian kelompok di Israel yang mirip dengan metode penyuluhan
kelompok yang dikembangkan di USA oleh Johnsons. Penelitian kelompok peserta
penyuluhan berbentuk kelompok dengan anggota dua sampai enam orang menggunakan
penyelidikan kerjasama, diskusi kelompok, dan proyek serta perencanaan kerjasama. Mereka
memilih sub-topik dari sebuah unit yang dipelajari oleh seluruh kelas, membawa mereka ke
tugas individu, dan membawa aktivitas yang diperlukan untuk mempersiapkan laporan pada
sub-topik tersebut. Bahkan sewaktu-waktu kelompok membuat sebuah presentasi atau
menampilkannya untuk mengkomunikasikan penemuannya ke seluruh kelas dan dinilai
berdasarkan kualitas laporan.
Aronson et, al, 1978 mengembangkan suatu metode yang disebutnya “metode gergaji”.
Metode ini lebih menekankan pada partisipasi individu aktif dan kerjasama kelompok dengan
menyusun tugas sehingga setiap anggota kelompok memiliki informasi yang unik dan
kemudian memiliki peran yang unik untuk dimainkan. Produk dari kelompok tidak dapat
dilengkapi tanpa setiap anggota kelompok melengkapi pekerjaannya, seperti puzzle gergaji
yang tidak bisa dilengkapi tanpa melingkupi semua bagiannya. Informasi diperlukan untuk
menyusun sebuah biografi, sebagai contoh, dapat dipecah menjadi kehidupan awal,
penyempurnaan pertama, latarbelakang utama, kehidupan kemudian, dan peristiwa-peristiwa
dunia yang terjadi selama waktu hidup seseorang. Setiap anggota kelompok yang berbeda
diberikan informasi yang diperlukan dan diberikan tanggungjawab untuk setiap lima bagian
ini. Anggota-anggota dar kelompok yang berbeda yang bekerja dengan bagian yang sama
bisa bertemu bersama di “Kelompok keahlian” untuk mendiskusikan bagian ini. Kemudian
mereka kembali ke kelompok regular dan mendapatkan giliran mengajarkan sesama anggota
kelompoknya tentang bagian mereka. selama seorang peserta penyuluhan hanya mempelajari
bagiannya kemudian mereka akan sangat mendengarkan dengan hati-hati bagian yang di
bawakan oleh teman lainnya sesama angota kelompok, mereka dimotivasi untuk mendukung
dan menunjukkan ketertarikan dengan pekerjaan yang lainnya. Para peserta penyuluhan
kemudian menyiapkan biografi atau membuat kuis dengan bahan-bahan mereka sendiri.
Robert Slavin dan yang lainnya di John Hopkins University, secara kolektif
mengembangkan sebuah metode penyuluhan kelompok yang dikenal dengan istilah Student
Team Learning. Empat metode penyuluhan kelompok peserta penyuluhan dimaksud adalah :
Teams-Games-Tournament (TGT), Student Teams- Ahievement Divisions (STAD), Jigsaw
(model gergaji) II, dan Team Assisted Indivizualitation (TAI).
Teams-Games-Tournament (TGT).
Metode ini melibatkan seluruh peserta penyuluhan yang bekerja bersama dengan empat
atau lima angota kelompok yang heterogen untuk menolong satu sama lainnya menguasai isi
materi dan menyiapkan kompetisi melawan kelompok yang lainnya (Slavin, 1983). Sesudah
para Penyuluh mempresentasikan bahan yang dipelajari, anggota kelompok bekerja bersama
untuk belajar dari kertas kerja dengan mendiskusikan bahan dan yang diterangkan Penyuluh
atau saling bertanya dan memberi kuis satu sama lain. Praktek kerjasama bentuk ini terus
berlanjut selama seminggu untuk mempersiapkan turnamen yang diselenggarakan hari jumat.
Untuk turnamennya, disertakan tiga peserta penyuluhan dimana yang disusun dari peserta
penyuluhan-peserta penyuluhan dari tim yang berbeda yang memiliki prestasi yang sama.
Tiga orang pada setiap meja berkompetisi pada games akademik yang terdiri dari kandungan
pemikiran serta praktek selama seminggu. Peserta penyuluhan mendapatkan poin dengan
menjawab dengan benar sebuah pertanyaan atau berhasil bersaing atau membetulkan jawaban
salah dari lawan, dua orang lainnya pada meja. Semenjak mereka bersaing dengan teman
sebaya yang prestasinya sama, peserta penyuluhan yang prestasinya rendah juga memiliki
kesempatan mengumpulkan poin untuk tim mereka dengan cara yang sama dengan yang
dilakukan peserta penyuluhan berprestasi tinggi. Poin dijumlahkan untuk menentukan skor
tiap tim, dan para Penyuluh menyiapkan sebuah koran untuk mengabadikan kesuksesan tim
tersebut.
Jigsaw II adalah penyederhanaan dan adaptasi dari Jigsaw asli (Slavin, 1983).
Penyederhanaan ini adalah Penyuluh tidak perlu menyediakan setiap peserta penyuluhan
dengan materi yang berbeda atau unik. Selain itu, setiap peserta penyuluhan dimulai dengan
membaca narasi yang biasa tetapi kemudian setiap peserta penyuluhan pada kelompok
diberikan topik yang terpisah yang membuat mereka menjadi seorang ahli. Juga, dimana
Jigsaw digunakan untuk mendapatkan nilai individu berdasarkan skor kuis. Jigsaw II
menggabungkan elemen penambahan dari menghitung skor tim dan menyempurnakan tim
melalui surat kabar (koran) kelas.
Slavin (1983) telah merangkum banyak penelitian pada metode penyuluhan kerjasama.
Pengaruhnya pada prestasi pada umumnya positif, walaupun mereka menggunakan penilaian
kelompok dan mendapatkan penilaian pribadi dengan struktur tugas kerjasama. Kemudian
metode penyuluhan kelompok peserta penyuluhan yang menggunakan nilai kelompok (TGT,
STAD, Jigsaw II, TAI) tetap dipertahankan untuk mendapatkan pengaruh positif yang
konsisten terhadap prestasi peserta penyuluhan, dimana lebih murni metode kerjasama
(belajar bersama, penelitian kelompok, atau original Jigsaw) yang lebih sedikit menghaslkan
keuntungan positif melalui pengajaran tradisional (Moskowitz et al., 1985; Okebukola, 1985;
Slavin, 1983).
Pengaruh dari out-put afektif ini lebih mengesankan. Penyusunan belajar kerjasama
ditemukan untuk mendorong pilihan persahabatan dan bentuk prososial yaitu interaksi
diantara sesama peserta penyuluhan yang berbeda secara prestasi, jenis kelamin, ras atau etnis
dan mendorong penerimaan dari peserta penyuluhan yang menghalangi mereka menjadi
teman sekelas yang tidak menghalangi mereka. Metode kerjasama juga terkadang memiliki
pengaruh yang positif pada luaran afektif seperti penghargaan diri, kepercayaan diri
akademik, menyukai klas, menyukai dan merasakan suka terhadap teman sekelas, empati dan
kerjasama sosial (Slavin, 1983).
Mussen dan Eisenberg-Berg (1977) menyatakan bahwa tingkah laku prososial adalah
“Tindakan untuk membantu orang lain, dengan tanpa pamrih, tanpa tekanan, dan tidak
dengan harapan memperoleh sesuatu hadiah. Meskipun beberapa tindakan sering
memerlukan biaya dan pengorbanan dirinya sebagai konsekuensi dari perannya”. Dan orang
tua yang prososial adalah orang tua yang memiliki tanggung-jawab pengatur anak-naknya
dengan baik pada usia dini, mendorong mereka untuk mengekspresikan perasaan mereka ke
yang lainnya, dan menjelaskan alasan dibalik aturan yang mereka buat. Demikian juga peran
para Penyuluh dalam perspektif penyuluhan prososial ini. Setiap tugas yang diberikan
kepada peserta penyuluhan sebisa mungkin diselesaikan atau dikerjakan secara bersama-sama
dalam bentuk kerja sama demikian juga laporannya, karena efek yang ditimbulkan dari
aktifitas ini dapat dirasakan manfaatnya secara langsung. Para Penyuluh juga dapat
mengeksplor topik prososial secara langsung dengan menjadwalkan diskusi mengenai dilema
moral, memainkan peranan atau simulasi situasi sosial, atau aktivitas lain yang dirancang
untuk mengembangkan prososial, tindakan kerjasama, dan penempatannya pada peserta
penyuluhan.
Menurut Patterson (1973) bahwa Penyuluh yang humanis adalah Penyuluh sejati.
Penyuluh seperti ini tidak khawatir terhadap peserta penyuluhan yang ia ajar dan selalu
memiliki keinginan untuk membagi pandangannya secara terbuka, ia tidak menyembunyikan
perasaannya dan tetap konsisten, ia menerima dan memposisikan peserta penyuluhannya
sebagai bagian dari perasaannya. Penyuluh seperti ini kata Petterson adalah Penyuluh yang
selalu mempertanggung-jawabkan setiap tindakannya. Ketika ia terluka atau marah, ia akan
mengatakan “Saya terluka”, “Saya marah”. Tentang kemarahan, Patterson menulis : “Saya
mengakui hal itu sebagai perasaannya dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Jika ia
memarahi seorang anak, yang ia marahi adalah perbuatannya, bukan anaknya, dengan apa
yang telah ia perbuat.”
Karakteristik kedua adalah penghargaan kepada anak sebagai seorang manusia, yang
ditunjukkan dengan menerima peserta penyuluhan dengan aktivitas yang dilakukannya,
tentang keinginan, pendapat dan perasaannya. Patterson mengakui bahwa ketidak
sempurnaan, kesalahan, perubahan pada mood dan motivasi adalah manusiawi. Tetapi dibalik
semua itu ada kepercayaan bahwa ada kebaikan yang mendasari manusia dalam
kapasistasnya sebagai individu untuk tumbuh dan berkembang, dan dapat mengaktualisasikan
potensinya di lingkungan yang cocok”.
Pemahaman empati adalah karakteristik ketiga dari Penyuluh humanistic. Hal ini
termasuk usaha yang aktif oleh para Penyuluh yang menempatkan dirinya pada peserta
penyuluhan-peserta penyuluhannya sesuai posisinya dan memahami persepsi serta perasaan
para peserta penyuluhannya.
Menurut Rogers (1983) bahwa Penyuluh yang berempati adalah Penyuluh yang sering
memuji peserta penyuluhannya; selalu menggunakan ide peserta penyuluhan dalam
interaksi/proses belajar-mengajar di kelas; sering berdiskusi dengan peserta penyuluhannya;
rencana penyuluhan disesuaikan dengan keadaan peserta penyuluhannya; tujuan penyuluhan
disarikan secara bersama; ruang kelasnya tertata secara individualisasi; lebih bebasdan
fleksibel; serta lebih menekankan pada produktivitas dan kreatifitas dibandingkan dengan
evaluasi.
III. KESIMPULAN
1 Kesimpulan
Dari berbagai teori yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan beberapa
hal antara lain :
Penyuluhan humanis merupakan salah satu teori penyuluhan yang mengarahkan
manusia pada pembebasan (proses memanusiakan manusia). Inti dari teori humanis
ini adalah aktualisasi diri, kepercayaan diri, keterbukaan, kooperatif, adaptif, tanpa
ancaman serta kreatifitas peserta penyuluhan dalam mengembangkan dirinya.
Penyuluh yang humanis adalah Penyuluh sejati yang memiliki kepekaan dan
mempunyai keinginan untuk membagi pandangannya secara terbuka, tidak
menyembunyikan perasaannya dan tetap konsisten, menerima dan memposisikan
peserta penyuluhannya sebagai bagian dari diri dan perasaannya. Sering memuji
peserta penyuluhannya dan selalu menggunakan ide peserta penyuluhan dalam
interaksi/proses belajar-mengajar di kelas.
Peran keluarga dan Penyuluh dalam perspektif humanis memiliki peran yang
sama dalam proses perkembangan jati diri anak/peserta penyuluhan.
DAFTAR PUSTAKA
Bringham, J.G. 1991. Social Psychology. New York: Harper Gillins Publisher Inc.
Budiningsih C.A., 2005. Belajar dan Pembelajaran. PT. Asdi Maha Satya, Jakarta.
Coulhorn, J.F., & Acocella, J.R. 1990. Psychology of Adjustment and Human Relationship.
New York: McGraw-Hill Publishing Company.
Hawkins & A.W. Van Den Ban, 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius, Yokyakarta.
Helmi, F.A. 1995. Konsep dan Teknik Pengenalan Diri. Buletin Psikologi, 2. Yogyakarta:
Fakultas Psikologi UGM.
Hurlock, E.B. (1974) 2002. Personality Development. New Delhi: Tata McGraw-Hill
Publishing Co. Ltd.
Poedjijogdjanti, R.G. 1993. Konsep Diri dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Penelitian
Unika Atmajaya.
Roger, E.M. 2004, The Diffusion Procces, Edisi ke enam New York: The Free Press.
Slavin, R. E. 1995. Cooperative learning: Theory, research, and practice (2nd ed.). Boston:
Allyn & Bacon.
Thomas L. Good dan Jere E. Brophy.2003 Educational Psychology-. Longman New York
dan London