You are on page 1of 20

Copy @2011 pasca-unpak

”TEORI DAN PRAKTEK KEGIATAN PENYULUHAN DALAM

PERSPEKTIF HUMANISTIC ”

Oleh:

J.Soenarmo dan Eka Suhardi

ABSTRACK

Humanist  Extension  activities which are extension activities which place more
emphasis on emotion and affective development . Humanistic theories encourage the
development of self-perception and self-potentials of a farmer as a participant counseling
extension activities. In the area of motivation, extension humanist emphasis on the intrinsic
variables, as exemplified by the theories of Abraham Maslow and Carl Rogers.

Proponents argue that the humanist theory of humanistic theory is also applicable in
extension activities, The Extension Specialist  wanted a change from the conventional
process of extension / traditional "bound" to the process of freeing the participants extension
activities more humanist. The desired changes that include: 1) schedule of activities is more
open; 2) counseling process should be more active; 3) encourage and  more freedom and
creativity of participants in counseling; 4) extension activities focused on cooperation; 5)
participants extension that is able to evaluate themselves, and 6) greater emphasis on
personal integrity, intrinsic potential participants and the curriculum.

Keywords : Humanist  Extension  activities,  The Extension Specialist,   participants.


 

I.    PENDAHULUAN

 
1.      Latar Belakang

Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang mana eksistensinya di muka bumi
mengundang segudang tanya oleh manusia itu sendiri. Banyak orang cerdas yang terkemuka,
bahkan sampai dengan saat ini masih tetap pada paradoks yang sama. Apakah manusia hanya
di lihat terutama sebagai individu seperti yang dianjurkan oleh eksistensialisme dan banyak
psikologi modern?. Ataukah sebagai masyarakat seperti yang ditekankan pada sosiolog dan
Marxisme?. Ataukah harus pesimis dalam penafsiran psikilogis?. Ataukah manusia harus
optimis seperti yang dianjurkan oleh para penganut humanis dan para hedonisme popular?.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas menggaris-bawahi pandangan yang berbeda


tentang relevansi dan hakekat eksistensi manusia di muka bumi. Tetapi apapun tentang
manusia, adalah sebaik-baik makhluk yang pernah diciptakan oleh Tuhan. Dan apapun yang
dikatakan tentang manusia adalah tindakan kreatif Tuhan dalam proses penciptaannya.
Kemampuan rasional, kesadaran moral, pengutamaan keindahan, rasa takut akan punah dan
persepsi spritual adalah wujud - keunikan Tuhan dalam kerangka penciptaan manusia.
Selain itu, manusia berbeda dengan makhluk lain apapun, karena satu sifat yang luar biasa.
Manusia menemukan kebahagiaan dalam memberi, dan suka cita dalam mencintai dan
dicintai. Disamping manusia juga punya hati nurani yang mengganggu jika manusia dalam
kehidupannya  menyimpang.

Selain sebagai mahluk sosial, sebagaimana yang ditekankan dalam perspektif humanis,
manusia harus dipandang sebagai pribadi/individu yang memiliki kemampuan dalam dirinya
sendiri untuk mengerti dan dimengerti, menentukan hidup, serta manusia secara
pribadi/individu dengan bebas dapat mengaktualisasikan diri dalam lingkungan dan dalam
kehidupan sosialnya. Selain itu, secara psikologis, manusia memiliki kebutuhan dasar akan
kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta-kasih dari orang lain.
Kebutuhan manusia dinyatakan oleh Roggers  sebagai need for positive regard, baik
bersayarat (conditional positive regard) maupun yang tidak bersyarat (unconditional positive
regard).

2.       Permasalahan

Para penggagas teori humanis percaya bahwa sejak lahir manusia sudah dibekali
berbagai kesanggupan untuk belajar, meskipun kemudian  bukan berarti keahlian untuk
belajar. Oleh karena itu perkembangan kepribadian seseorang adalah objek yang sangat
penting yang harus mendapat perhatian dan dikaji oleh para penganut humanistis.

Untuk memenuhi potensi dasarnya sebagai manusia, psikologi humanis menekankan


pentingnya pemahaman tentang bagaimana mereka memahami atau mempersepsikan diri
sendiri, orang lain serta lingkungan sekitarnya sebagai dasar perkembangan afektifnya,
disamping itu bagaimana konsep individu atau pemikirannya terhadap sesuatu
kejadian/peristiwa dapat diintegrasikan sebagai perkembangan kognitifnya. Dan untuk
menjadikan manusia yang manusiawi, sebagian para penggagas teori humanis ini bahkan
tidak perduli apakah  penyuluhan humanis dapat meningkatkan penampilan dan prestasi  atau
tidak, tetapi kajian humanis tetaplah menjadi sesuatu yang sangat penting.

II. KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN

1   Problem Penyuluhan  dalam Perspektif Humanistik

Carl Rogers adalah seorang pendidik humanistik, menyatakan bahwa banyak aspek
Pendidikan dan  penyuluhan yang belum enerapkan prinsip-prinsip humanis. Ide pokok dari
teori - teori Rogers yaitu individu memiliki kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti
diri, menentukan hidup, dan menangani masalah-masalah psikisnya asalkan konselor
menciptakan kondisi yang dapat mempermudah perkembangan individu untuk
mengaktualisasikan dirinya.
Menurut Rogers motivasi orang yang sehat adalah aktualisasi diri. Aktualisasi diri
adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi
psikologis yang unik. Aktualisasi diri akan dibantu atau dihalangi oleh pengalaman dan oleh
belajar khususnya dalam masa lalu. Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan
perkembangan hidup seseorang. Ketika mencapai usia dewasa seseorang akan mengalami
pergeseran aktualisasi diri dari fisiologis ke psikologis.

Dalam memotivasi proses penyuluhan yang lebih humanis, Rogers menawarkan


beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan oleh seorang penyuluh, yaitu:

1.      Manusia mempunyai potensi alami untuk belajar dan mengembangkan dirinya,
2.      Materi penyuluhan harus sesuai dengan tujuan penyuluhan,
3.      Belajar mandiri tanpa tekanan,
4.      Teori harus diikuti dengan praktek,
5.      Peserta penyuluhan harus berpartisipasi aktif,
6.      Kebebasan dan kreatifitas, serta
7.      Belajar sambil berubah .

Pertanyaannya adalah apakah semua penyuluh telah menerapkan prinsip-prinsip dasar


penyuluhan humanis tersebut? Jawabannya ternyata masih sangat sulit. Sebagai contoh, di
satu sisi para  Penyuluh ingin agar supaya peserta penyuluhan menjadi kritis, namun di sisi
yang lain masih banyak  Penyuluh yang tidak ingin dikritisi.

Prinsip-prinsip  penyuluhan humanis tersebut menurut Roggers dimaksudkan agar para


Penyuluh memberi motivasi pada dasar-dasar intrinsic, dan kurikulum diperlukan jika semua
instrumen/unsur-unsur  penyuluhan sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar peserta 
penyuluhan. Prinsip  penyuluhan humanis tersebut diharapkan agar  Penyuluh dapat
membantu prestasi peserta penyuluhan berdasarkan kepercayaan mereka tentang apa yang
penting dalam pengajaran dan bagaimana memotivasi mereka. Strateginya adalah, di ruang
pertemuan peran  Penyuluh terutama harus focus untuk membantu peserta penyuluhan belajar
tentang bagaimana setiap individu peserta  penyuluhan dapat mengenal dirinya sendiri, dan
kemudian mengenal orang lain.
2.   Perkembangan Afektif dalam Perspektif Humanis

Dalam perspektif ini seorang  Penyuluh harus membimbing peserta penyuluhan belajar
untuk menemukan dirinya  melalui pengalaman yang konkrit dan umpan balik dari yang
lainnya, dengan demikian sedikit demi sedikit setiap individu peserta  penyuluhan akan
membentuk konsep tentang siapa dirinya, apa yang akan, dapat dan tidak dia lakukan, dan
pada akhirnya, sudut pandang diri dibentuk oleh kualitas dari pengalaman awal
kehidupannya.

            Bagi orang tua di rumah, harus menciptakan suasana nyaman pada diri anak-anaknya.
Dalam studinya kemudian Rogers menawarkan tiga prinsip bagaimana seharusnya orang tua
memperlakukan anak-anaknya di rumah, yaitu: (1). Orang tua harus benar-benar menerima
seorang anak sebagai seorang pribadi yang utuh, (2). Orang tua harus membuat harapan dan
standar yang jelas bagi anak, dan (3). Orang tua harus merasa peduli dan memberikan
kebebasan (ruang gerak) bagi inisiatif anak dan membatasinya pada keadaan tertentu.

Sebuah hipotesis yang masuk akal, minimal untuk pra-sekolah atau tahun-tahun awal
di sekolah dasar, Bahwa tingkah laku mereka sama dengan apa yang mereka perhatikan.
Penghargaan orang tua yang tinggi akan sangat mendukung perkembangan anak di sekolah.
Sementara itu perkembangan afektif, seperti perkembangan kognitif, tergantung dari
kemampuan individu untuk mencocokkan diri sesama individu dan  kegiatan penyuluhan
terhadap tugas yang diberikan.

Penyuluh seharusnya memberikan tugas dan struktur  penyuluhan yang seimbang


kepada peserta penyuluhan sesuai dengan kemampuan kognitifnya. Variabel yang dapat
dijadikan contoh dalam mengukur konsep diri dan prestasi peserta  penyuluhan menurut
Roggers, 1983 adalah sebagai berikut:Penyuluh harus mendengarkan suara dan keinginan
peserta penyuluhan serta biarkan peserta penyuluhan mengekspresi diri dan perasaannya,
Penyuluh berkewajiban memberikan apresiasi yang tulus atas prestasi yang diraih oleh
peserta penyuluhan/peserta  penyuluhannya.

3  Taksonomi pada Penyuluhan Afektif

Ringness (1975) menyatakan bahwa taksonomi diharapkan dapat membantu para


Penyuluh untuk mengklarifikasi pemahaman mereka tentang bagaimana mengajar untuk
meningkatkan perkembangan afektif  peserta  penyuluhan. Sebagai contoh, jika seorang
Penyuluh menerangkan sebuah polusi maka hal itu akan berguna untuk menyadarkan bahwa
dengan hanya sebuah kesadaran dan kepedulian pada polusi sebagai suatu masalah membuat
mereka tidak penting untuk membangun kemauan untuk mengambil tindakan.

Pada tingkat yang lebih tinggi dari taksonomi menyuguhkan cara untuk
mengembangkan komitmen peserta  penyuluhan pada nilai-nilai dan kepercayaan. Pada
awalnya, para peserta  penyuluhan hanya memverbalkan posisi para  Penyuluh, tetapi ketika
mereka menjadi ingin untuk menyampaikan dan mempertahankan posisinya di hadapan
publik. Pada level ketiga dari taksonomy, para peserta  penyuluhan mulai menginternalisasi
keyakinan dalam diri mereka, sebagai contoh mereka menerima kebutuhan untuk mengelola
lingkungan, sehingga mereka tidak lagi dikontrol oleh opini dari yang lainnya. Peserta 
penyuluhan setelah itu dapat mengintegrasikan keyakinannya tentang lingkungan dengan
keyakinan yang lainya dan bahkan mungkin menggeneralisasikan lebih jauh dan menjadi
kesadaran yang menyatu dan berhubungan atau dengan sukarela memberikan waktu untuk
masalah-masalah lingkungan.

Kunci pertanyaan yang menjadi perhatian adalah perluasan dimana pengalaman di


dalam ruang pertemuan akan membantu peserta penyuluhan membangun struktur nilai yang
terpadu. Sebuah topik yang dipelajari menjadi sebuah nilai pemeriksaan, dengan demikian
sebuah kurikulum dapat dirancang dengan cara ini. Dengan waktu yang relatif singkat sebuah
tujuan dapat diselesaikan dan direspons, dan waktu yang lebih lama diperlukan untuk
mencapai tingkat yang lebih tinggi dari taksonomi.

Taksonomi ini menyediakan referensi konsep yang berguna yang menyarankan


bagaimana level yang beragam dari pengaruh peserta  penyuluhan dapat berhubungan dengan
kandungan kurikulum, dan termasuk di dalamnya prinsip-prinsip Roggers (1983), seperti
membantu peserta  penyuluhan untuk membangkitkan kepercayaan diri mereka. Namun
demikian, Patterson (1973) mengkritik methode ini (taksonomi), karena menurutnya hanya
sedikit memberikan kontribusi pada perkembangan afektif.

Menurut Patterson, Penyuluhan afektif adalah perkembangan kesadaran. Perkembangan


yang pertama adalah ekspresi diri, bagaimana seorang/individu  dapat melihat atau menerima
dirinya sendiri seperti apa adanya. Dan yang paling utama adalah bagaimana ia merasa bebas,
menjadi terbuka dan jujur pada dirinya sendiri. Perkembangan yang kedua adalah
seorang/individu harus mampu untuk mengeksplorasi, mencari, dan mengevaluasi dirinya
sendiri. Bagian dari proses ini termasuk umpan balik dan ia diterima dalam kelompoknya.

Taksonomi bukan satu-satunya methode dinamik yang digunakan dalam membantu


perkembangan kepribadian afektif peserta penyuluhan. Tetapi cara ini berguna untuk
mempertimbangkan tujuan afektif sehingga memudahkan para  Penyuluh untuk memilih
metode, prosedur, dan kandungannya untuk membantu peserta  penyuluhan dalam berprestasi
dan menginternalisasi keyakinannya.

4          Penerapan Prinsip-Prinsip Humanis

Untuk mencapai tujuan  penyuluhan yang lebih humanistis Patterson memberikan solusi
ke arah pencapaian perubahan dimaksud, diantaranya adalah (a). Jadwal harus terbuka
disesuaikan dengan kebutuhan peserta penyuluhan; (b) penyuluhan yang lebih aktif; (c)
Pembebasan (memudahkan aktualisasi diri dan perasaannya; (d) Penekanan lebih pada
kreativitas;  (e) penyuluhan yang lebih kooperatif;  (f) Kesempatan yang lebih pada evaluasi
diri;dan (g) Integritas pribadi (jati diri), potensi non-akademik dan kurikulum harus bersifat
intrinsic.

Apakah sampai sejauh ini  seorang  Penyuluh memberi kebebasan pada peserta
penyuluhan untuk menentukan tujuan  penyuluhannya ? De Charms (1984) mencoba
memodifikasi beberapa pemikiran awalnya tentang bagaimana  Penyuluh membantu
memfungsikan peserta penyuluhan sebagai “Origins” setelah berada di ruang kelas.

De Charms (1984) menulis :Sebuah sudut pandang romantic tentang seorang Origin
sebagai jiwa yang bebas tak terhalang oleh tekanan dari yang lainnya. Pada perspektif ini,
seseorang tidak memikul tanggung jawab untuk mempertahankan kewenangannya. Kita akan
menjadi lebih skeptis pada  cara pandang tersebut..... tidak bermaksud untuk menekan orang-
orang disekitarnya tetapi adalah sebuah permulaan dalam memperlakukan orang-orang
sebagai Origins, tapi kita akan segera menemukan bahwa membiarkan mereka melakukan
apa yang mereka ingin lakukan bukan berarti kita tidak memperlakukan mereka sebagai
Origins. (p.83)
DeCharms menekankan perlunya peran  Penyuluh dalam memotivasi peserta
penyuluhannya. Para  Penyuluh yang ingin membantu peserta penyuluhan  untuk
memfungsikan Origin dapat melakukan hal serupa dengan membantu mereka untuk
menyusun tujuan realistis, menemukan kekuatan serta kelemahan mereka, membuat rencana
konkret untuk mencapai tujuan, dan memonitor usaha mereka.

Praktek-praktek  penyuluhan konservarif sering membatasi ruang gerak peserta


penyuluhan dalam belajar dan waktu yang digunakanpun sering dibatasi. Sementara
penyuluhan humanis lebih menekankan pentingnya keterbukaan  sesuai dengan kebutuhan
peserta  penyuluhan. Sebagai contoh, banyak para peserta penyuluhan yang sudah memiliki
pekerjaan lain  akan mengekspresikan jadwal yang lebih fleksibel. Sebagian waktunya
digunakan untuk kegiatan-kegiatan pelatihan dalam hal mencari pengalaman kerja.
Akomodasi yang bijak ini disebut dengan fleksibilitas, dengan usaha yang berkelanjutan
terhadap pertumbuhan akademik peserta penyuluhan dan tidak mengganti nilai-nilai
penyuluhan dengan nilai-nilai budaya mereka. Untuk mengilustrasikan terjadinya reaksi
kimia, contohnya, sangat berguna untuk membuat peserta  penyuluhan membatasi waktunya
dua jam jika jadwalnya dapat dimodifikasi sehingga peserta  penyuluhan dapat sewaktu-
waktu menggunakan waktu tambahan pada mata pelajaran tertentu ketika pembelajaran
eksakta atau percobaan yang membutuhkan waktu yang lebih banyak.

Sebagian tokoh humanis tidak sepakat dengan tata ruang kelas yang sering
dipraktekkan oleh penyuluhan konvensional/tradisional, atau gagasan memberikan
sesuatu/tugas yang sama pada waktu yang sama kepada peserta penyuluhan padahal
kemampuan dan minat peserta penyuluhan terhadap pelajaran berbeda-beda. Yang mesti
dilakukan adalah kegiatan penyuluhan yang lebih adaptif disesuaikan dengan kebutuhan
individu peserta penyuluhan, seperti memberikan kesempatan peserta penyuluhan dalam
mengembangkan minat, memilih pelajaran yang sesuai dengan kemampuan  dll.  ”Kebebasan
peserta penyuluhan” dan penyuluhan terbuka adalah dua hal yang sangat penting dalam
model  penyuluhan yang adaptif.

         Wang dan Lindvall (1984) menawarkan tujuh prinsip dalam penyuluhan adaptif, yaitu:

1)      Tujuan Instruksional berdasarkan pada kemampuan setiap peserta  penyuluhan,


2)      Memilih materi dan prosedur yang sesuai dengan minat dan kemampuan peserta
penyuluhan,
3)      Evaluasi periodik,
4)      Mengidentifikasi kebutuhan, kemampuan, rencana aktifitas, dan evaluasi
penguasaan belajar,
5)      Membantu keahlian atau keterampilan akademis yang dibutuhkan dalam kegiatan
alternatif;

6)      Menetapkan tujuan penyuluhan, luaran dan aktivitas, serta

7)      Kerjasama kelompok dalam rangka mencapai tujuan.

Banyak program instruksi individualisasi dikembangkan dengan rancangan yang


menitikberatkan pada prestasi akademik dibandingkan kepribadian peserta  penyuluhan atau
perkembangan afektif, walaupun keuntungan afektif seringkali dibutuhkan oleh peserta
penyuluhan. Dengan pengecualian dari program yang mengandung elemen  penyuluhan
kerjasama (Slavin, 1983). Bagaimanapun, program individualisasi tidak mencatat kesuksesan
dalam mendorong kepribadian peserta  penyuluhan atau perkembangan afektif. Alasan utama
untuk ini bahwa beberapa program menggantungkan pada kebutuhan peserta  penyuluhan
untuk bekerja melalui modul kurikulum individualiasi, sebuah bentuk instruksi yang cocok
untuk digerakkan dan dipraktekkan pada fakta dasar, konsep dan keterampilan tetapi tidak
untuk instruksi pada proses kognitif yang lebih tinggi. (penyelesaian masalah, berfikir,
kreativitas) atau untuk mengembangkan pernyataan disposisi yag umum seperti minat,
tingkah laku atau nilai-nilai (Jackson, 1985). Konsekuensinya, banyak dari program-program
ini mengandung sedikit karakter pertama pada catatan Wang dan Lindvall (1984). Aktivitas
membaca sering dikorbankan untuk aktivitas-aktivitas kerja yang mengandalkan subskill
mendengar, kreatifitas menulis dikorbankan pada pengejaan dan pemberian tanda-tanda baca,
bekerja dengan manipulasi yang konkret, pelajaran matematika dikorbankan oleh latihan
perhitungan, dan menghilangkan  penyuluhan sains dan ilmu sosial yang sebenarnya (Kepler
&Randall, 1977). Meskipun sebuah tingkat individualisasi, seperti instruksi sering
membosankan, diulang-ulang dan dengan kata lain kurang memuaskan dibandingkan
instruksi tradisional (Carlson, 1982; Everhart, 1983).

5   Korikulum Afektif dalam Perspektif Humanis

Brown (1971) menggunakan istilah penyuluhan tatap-muka (confluent education) untuk


merefleksikan integrasi dari pengaruh kedalam materi ajaran. Simpson & Gray menyebutkan
Lingkaran Magis (Magic Circle) (berdasarkan program pengembangan manusia yang
dikembangkan oleh Harold Bessell dan Ualdo Palomares). Selama pertemuan kelompok
lingkaran magis, peserta  penyuluhan memiliki kesempatan untuk saling menukar persepsi
dan opini dengan teman sebaya mereka tentang suatu topik seperti, “ sesuatu yang saya suka
darimu”, “Sesuatu yang saya suka dari diri sendiri”, atau,”Jika saya dapat melakukan sesuatu
saya ingin kamu suka”.

Pada tingkat kedua, satu aktivitas Simpson & Gray menggambarkan Mars Terompet
(Trumpet March)  (dikembangkan di pusat penyuluhan humanis di University of
Massachussetts). Pada aktivitas ini peserta  penyuluhan mengumpulkan dan mengevaluasi
data tentang tingkah laku mereka dengan yang lainnya. Cara lain untuk menjadikan afektif
sebagai kurikulum sekolah di beberapa ruang kelas melalui aktivitas klarifikasi nilai-nilai.
Simon, Howe, dan Kirschenbaum (1972) berpendapat bahwa banyak orang tidak memahami
nilai-nilai mereka dengan jelas.

Jantz dan asosiasinya (1976), dari pusat Aging di University of Maryland, telah
menghasilkan sebuah panduan kurikulum untuk perilaku anak-anak dan orang tua. Termasuk
di dalamnya buku-buku yang mengundang reaksi anak-anak. Informasi ini menawarkan
Informasi yang akurat bagi individu orang tua. Sebuah kesempatan untuk melihat tingkah
laku dari orang-orang dewasa yang berbeda-beda bentuknya, dan kesempatan untuk
mengembangkan perasaan positif tentang pertumbuhan.

Cara lain yang dipandang efektif yang difikirkan peserta penyuluhan adalah melalui
penyuluhan estetika. Beberapa orang beralasan bahwa peserta penyuluhan dapat menjadi
sensitif pada pengalaman estetika (lihat laporan Berangkat dari perasaan kita: Signifikansi
seni pada Penyuluhan Amerika. Ketertarikannya di sini bukan pada pentingnya
menyempurnakan kemampuan peserta penyuluhan untuk belajar tetapi membuat mereka
peduli terhadap permasalahan-permasalahan estetika. Bagaimana responnya ke seni, music,
dan objek-objek keindahan lainnya, bagaimana seseorang mengevaluasi penampilan teater
dengan pengajaran langsung, program penyuluhan estetika membantu peserta penyuluhan
untuk mengembangkan dan memahami kriteria respon untuk pengalaman estetika.
Pendeknya, tujuan pada pelatihan tersebut adalah untuk membuat peserta  penyuluhan
mendapatkan pengalaman yang lebih baik lagi.

Baskin dan Hess (1980) mengevaluasi program-program penggunaan kurikulum


afektif untuk mencapai tujuan afektif, yang diimplementasikan pada waktu yang spesifik
selama di kelas/sekolah, dan diperoleh hasil evaluasinya sebagai berikut : (1). Pendekatan
Kognitif dapat menyelesaikan masalah ; (2). Perkembangan pemahaman diri sendiri dan
orang lain; (3). Program pengembangan manusia; (4). Proyek pelatihan keterampilan
interpersonal; (5). Kepedulian; (6). Sekolah tanpa kegagalan; (6). Pelatihan efektifitas bagi
Penyuluh (TET).

Lebih lanjut Baskin dan Hess mengklasifikasikan tujuh program tersebut ke dalam
tiga wilayah, yaitu (1). Emosi-internal atau dimensi internal meliputi perasaan, emosi,
persepsi diri, dan sikap; (2) Wilayah kognitif mencakup wilyah kognitif ini mengacu kepada
pemahaman mahapeserta penyuluhan tentang prinsip-prinsip sosial dan kemampuannya
mengahadapi pilihan situasi sosial yang tidak menentu); dan (3). Dimensi Tingkah
laku/tindakan; (dimensi tingkah laku meliputi tingkah laku interpersonal yang diamati seperti
interaksi sesama teman atau dengan orang dewasa).

Elardo (1976) merangkum informasi tentang program yang berhubungan dengan


perkembangan sosial dan mengkritisi empat program yang telah dan sedang
diimplementasikan di sekolah dasar (SD), yaitu :

1)      Pendekatan Causal Ojemann’s untuk tingkah laku manusia;

2)      Program perkembangan manusia;

3)      Terapi realitas/sekolah tanpa kegagalan; dan

4)      Perkembangan pemahaman untuk diri sendiri dan orang lain.

Elardo menyimpulkan bahwa empat program yang dicobakan untuk penyuluhan 


humanisasi selama anak usia awal dan pertengahan sekolah dan menyediakan contoh-contoh
dan cara dimana kurikulum sekolah tradisional dapat diperpanjang tetapi program-program
tersebut mengecewakan. Hal ini disebabkan karena, pertama; deskripsi kegiatan tidak
mengandung pernyataan yang jelas berkaitan dengan mekanisme perkembangan pemahaman
manusia, kedua; sangat menyulitkan untuk menentukan dasar perencanaan kurikulum, ketiga;
program tersebut tidak terintegrasi dengan baik dengan teori dan penalitian anak terkini,
keempat; setiap program mengekspresikan banyak penghargaan pribadi, tetapi sedikit yang
fokus pada hubungan peserta penyuluhan dengan yang lainnya. Untuk itu Elardo beralasan
bahwa untuk mendapatkan tingkah laku yang proporsional harus keluar dari individu peserta
penyuluhan dengan mencari kelompok dan ruang kelas yang membutuhkan peserta
penyuluhan.

Hudgin (1979) menampilkan data dari sebuah tes tentang efek dari program Toward
Afektif Development (TAD. Hudgin menyatakan bahwa tidak ada pengaruh signifikan dari
program ini pada peserta penyuluhan tentang konsep diri atau penyesuaiannya. Ia mencatat
bahwa ada pertimbangan anekdot yang memuji beberapa program afektif pada literatur-
literatur, tetapi beberapa data mendukung advokasi. Lebih jauh lagi, dia menyatakan bahwa
permohonan intuisi yang kuat untuk penyuluhan afektif untuk beberapa orang dapat
menyebabkan mereka mendukung sebuah program bahkan tanpa mempertimbangkan
penelitian tentang keefektifannya.

6   Kerjasama Afektif dalam Perspektif Humanis

Disamping menempatkan objek afektif secara langsung melalui inklusi dari kurikulum
afektif pada program sekolah, hal tersebut mungkin untuk menyempurnakan objeknya secara
tidak langsung dengan mengubah kondisi dimana peserta penyuluhan berpartisipasi ke dalam
aktivitas akademik. Pada ruang kelas konvensional/tradisional, tipe-tipe peserta
penyuluhannya memiliki kepedulian hanya pada diri mereka sendiri, tidak dibolehkan
membantu satu sama lainnya, dan bersaing untuk sebuah nilai. Pendekatan  penyuluhan
kerjasama diinstruksikan untuk mengubah kondisi ini. Sering dengan pengaruh positif pada
luaran afektif. Pendekatan  penyuluhan kerjasama mengganti tempat kerja yang independent
dengan aktivitas  penyuluhan kerjasama pada kelompok kecil peserta penyuluhan (5 sampai 6
orang) bekerja bersama dalam praktek dan pelatihan terapan. Beberapa yang terbaik terkenal
dan penelitian yang lebih luas mengenai program  penyuluhan kerjasama yang dijelaskan
sebelumnya. Sebagai informasi tambahan mengenai hal ini dan program-program kerjasama
yang lainya, lihat Sharan et al (1984), slavin (1983), atau Slavin et al.(1985).

Pendekatan  penyuluhan kerjasama diinstruksikan untuk mengubah pola-pola peserta


penyuluhan yang memiliki kepedulian hanya pada diri mereka sendiri, tidak kooperatif, dan
bersaing hanya untuk mendapatkan sebuah nilai. Johnson et al., 1984; membagi Model ini ke
dalam  empat  elemen dasar, yaitu:
1)      Interdependensi positif (menyelesaikan tugas secara bersama-sama dan saling
berkontribusi untuk meraih kesuksesan bersama);
2)      Saling berinteraksi sesama anggota kelompok (tugas membutuhkan lebih banyak
interaksi dibandingkan dikerjakan sendiri);
3)      Pertanggungjawaban individu (setiap anggota harus mengetahui secara jelas apa
yang harus mereka pertanggungjawabkan);
4)      Keterampilan interpersonal (saling menghargai, diskusi, berpartisipasi aktif dalam
menghidupkan kelompoknya.

Schlomo sharan dan lembaganya (1984) telah mengembangkan apa yang mereka sebut
sebagai metode penelitian kelompok di Israel yang mirip dengan metode  penyuluhan
kelompok yang dikembangkan di USA oleh Johnsons. Penelitian kelompok peserta
penyuluhan berbentuk kelompok dengan anggota dua sampai enam orang menggunakan
penyelidikan kerjasama, diskusi kelompok, dan proyek serta perencanaan kerjasama. Mereka
memilih sub-topik dari sebuah unit yang dipelajari oleh seluruh kelas, membawa mereka ke
tugas individu, dan membawa aktivitas yang diperlukan untuk mempersiapkan laporan pada
sub-topik tersebut. Bahkan sewaktu-waktu kelompok membuat sebuah presentasi atau
menampilkannya untuk mengkomunikasikan penemuannya ke seluruh kelas dan dinilai
berdasarkan kualitas laporan.

Aronson et, al, 1978 mengembangkan suatu metode yang disebutnya “metode gergaji”.
Metode ini lebih menekankan pada partisipasi individu aktif dan kerjasama kelompok dengan
menyusun tugas sehingga setiap anggota kelompok memiliki informasi yang unik dan
kemudian memiliki peran yang unik untuk dimainkan. Produk dari kelompok tidak dapat
dilengkapi tanpa setiap anggota kelompok melengkapi pekerjaannya, seperti puzzle gergaji
yang tidak bisa dilengkapi tanpa melingkupi semua bagiannya. Informasi diperlukan untuk
menyusun sebuah biografi, sebagai contoh, dapat dipecah menjadi kehidupan awal,
penyempurnaan pertama, latarbelakang utama, kehidupan kemudian, dan peristiwa-peristiwa
dunia yang terjadi selama waktu hidup seseorang. Setiap anggota kelompok yang berbeda
diberikan informasi yang diperlukan dan diberikan tanggungjawab untuk setiap lima bagian
ini. Anggota-anggota dar kelompok yang berbeda yang bekerja dengan bagian yang sama
bisa bertemu bersama di “Kelompok keahlian” untuk mendiskusikan bagian ini. Kemudian
mereka kembali ke kelompok regular dan mendapatkan giliran mengajarkan sesama anggota
kelompoknya tentang bagian mereka. selama seorang peserta penyuluhan hanya mempelajari
bagiannya kemudian mereka akan sangat mendengarkan dengan hati-hati bagian yang di
bawakan oleh teman lainnya sesama angota kelompok, mereka dimotivasi untuk mendukung
dan menunjukkan ketertarikan dengan pekerjaan yang lainnya. Para peserta penyuluhan
kemudian menyiapkan biografi atau membuat kuis dengan bahan-bahan mereka sendiri.

Robert Slavin dan yang lainnya di John Hopkins University, secara kolektif
mengembangkan sebuah metode  penyuluhan kelompok yang dikenal dengan istilah Student
Team Learning. Empat metode  penyuluhan kelompok peserta penyuluhan dimaksud adalah :
Teams-Games-Tournament (TGT), Student Teams- Ahievement Divisions (STAD), Jigsaw
(model gergaji) II, dan Team Assisted Indivizualitation (TAI).

Teams-Games-Tournament (TGT).

Metode ini melibatkan seluruh  peserta penyuluhan yang bekerja bersama dengan empat
atau lima angota kelompok yang heterogen untuk menolong satu sama lainnya menguasai isi
materi dan menyiapkan kompetisi melawan kelompok yang lainnya (Slavin, 1983). Sesudah
para  Penyuluh mempresentasikan bahan yang dipelajari, anggota kelompok bekerja bersama
untuk belajar dari kertas kerja dengan mendiskusikan bahan dan yang diterangkan  Penyuluh
atau saling bertanya dan memberi kuis satu sama lain. Praktek kerjasama bentuk ini terus
berlanjut selama seminggu untuk mempersiapkan turnamen yang diselenggarakan hari jumat.
Untuk turnamennya, disertakan tiga peserta penyuluhan dimana yang disusun dari peserta 
penyuluhan-peserta  penyuluhan dari tim yang berbeda yang memiliki prestasi yang sama.
Tiga orang pada setiap meja berkompetisi pada games akademik yang terdiri dari kandungan
pemikiran serta praktek selama seminggu. Peserta penyuluhan mendapatkan poin dengan
menjawab dengan benar sebuah pertanyaan atau berhasil bersaing atau membetulkan jawaban
salah dari lawan, dua orang lainnya pada meja. Semenjak mereka bersaing dengan teman
sebaya yang prestasinya sama, peserta penyuluhan yang prestasinya rendah juga memiliki
kesempatan mengumpulkan poin untuk tim mereka dengan cara yang sama dengan yang
dilakukan peserta penyuluhan berprestasi tinggi. Poin dijumlahkan untuk menentukan skor
tiap tim, dan para  Penyuluh menyiapkan sebuah koran untuk mengabadikan kesuksesan tim
tersebut.

Student Teams- Ahievement Divisions (STAD)


STAD adalah sebuah penyederhanaan dari TGT (Slavin,1983). Yang digunakan pada
pengelompokan anggota yang heterogen dan prosedur  penyuluhan kerjasama tetapi
mengganti turnamen dengan kuis. Skor kuis di translate kedalam kompetisi poin tim
berdasarkan pada skor peserta penyuluhan yang satu kemudian dibandingkan dengan skor
peserta penyuluhan yang lainnya pada “divisi prestasi” mereka ( Terdiri dari peserta 
penyuluhan-peserta  penyuluhan dengan prestasi yang sama), dan poin individu
dikombinasikan ke total tim. Baik TGT maupun STAD mengkombinasikan struktur tugas
penyuluhan kolektif dengan kompetisi tim dan reward kelompok dengan performa kolektif
individu, Bagimanapun STAD menguraikan personalisasi elemen kompetitif. Dibandingkan
berkompetisi berhadap-hadapan melawan teman sekelas mereka pada meja turnamen,
peserta  penyuluhan-peserta  penyuluhan pada kelas STAD mencoba untuk melakukan yang
terbaik dalam kuis yang mereka kerjakan secara individu. Mereka tahu bahwa poin akan
diberikan tergantung dari bagaimana mereka lakukan dibandingkan dengan teman sebayanya
pada divisi prestasi yang sama, tetapi mereka tidak mengetahui siapa peserta penyuluhan-
peserta penyuluhan ini ( Penyuluh tidak memperlihatkan prestasi anggota divisi). Slavin dan
lembaganya sedikit-demi sedikit menempatkan penekanan yang lebih pada STAD dan sedikit
pada TGT, karena STAD lebih mudah diimplementasikan dan dapat mereduksi kompetisi
yang terlalu mencolok.

Jigsaw II (Gergaji II)

Jigsaw II adalah penyederhanaan dan adaptasi dari Jigsaw asli (Slavin, 1983).
Penyederhanaan ini adalah  Penyuluh tidak perlu menyediakan setiap peserta penyuluhan
dengan materi yang berbeda atau unik. Selain itu, setiap peserta penyuluhan dimulai dengan
membaca narasi yang biasa tetapi kemudian setiap peserta penyuluhan pada kelompok
diberikan topik yang terpisah yang membuat mereka menjadi seorang ahli. Juga, dimana
Jigsaw digunakan untuk mendapatkan nilai individu berdasarkan skor kuis. Jigsaw II
menggabungkan elemen penambahan dari menghitung skor tim dan menyempurnakan tim
melalui surat kabar (koran) kelas.

Team Assisted Indivizualitation (TAI).

TAI adalah sebuah adaptasi dari instruksi individualisasi matematika yang


mengenalkan metode  penyuluhan kerjasama dan kompetisi tim dengan penilaian kelompok,
seperti pada STAD (slavin, 1985). Peserta  penyuluhan-peserta  penyuluhan TAI bekerja
secara bekerjasama dengan berpasangan atau tiga orang dengan tutorial, kuis, dan bentuk
yang lainnya yang membantu yang lainya menguasai kandungan penugasan individu. Di
akhir minggu, diadakan ujian berdasarakan referensi tugas individu, dan nilai mereka
digunakan baik pada penilaian individu maupun bertujuan memberikan penilaian pada
kelompok.

Slavin (1983) telah merangkum banyak penelitian pada metode  penyuluhan kerjasama.
Pengaruhnya pada prestasi pada umumnya positif, walaupun mereka menggunakan penilaian
kelompok dan mendapatkan penilaian pribadi dengan struktur tugas kerjasama. Kemudian
metode  penyuluhan kelompok peserta penyuluhan yang menggunakan nilai kelompok (TGT,
STAD, Jigsaw II, TAI) tetap dipertahankan untuk mendapatkan pengaruh positif yang
konsisten terhadap prestasi peserta penyuluhan, dimana lebih murni metode kerjasama
(belajar bersama, penelitian kelompok, atau original Jigsaw) yang lebih sedikit menghaslkan
keuntungan positif melalui pengajaran tradisional (Moskowitz et al., 1985; Okebukola, 1985;
Slavin, 1983).

Pengaruh dari out-put afektif ini lebih mengesankan. Penyusunan belajar kerjasama
ditemukan untuk mendorong pilihan persahabatan dan bentuk prososial yaitu interaksi
diantara sesama peserta penyuluhan yang berbeda secara prestasi, jenis kelamin, ras atau etnis
dan mendorong penerimaan dari peserta  penyuluhan yang menghalangi mereka menjadi
teman sekelas yang tidak menghalangi mereka. Metode kerjasama juga terkadang memiliki
pengaruh yang positif pada luaran afektif seperti penghargaan diri, kepercayaan diri
akademik, menyukai klas, menyukai dan merasakan suka terhadap teman sekelas, empati dan
kerjasama sosial (Slavin, 1983).

Metode  penyuluhan kerjasama tidak mengganti secara keseluruhan pendekatan


tradisional tapi mengadaptasi dimana pengenalan  Penyuluh dan konsep yang berkembang
dengan cara biasa tetapi kemudian ditambahkan praktek dan penerapan aktivitas yang
dikerjakan secara bersama-sama dibandingkan hanya dengan secara individu. Metode
penyuluhan kelompok tersebut para peserta penyuluhan merasa lebih cocok untuk
mempraktekkan keterampilan dasar,dimana metode kerjasama yang lebih murni terlhat lebih
cocok untuk aktivitas penelitian dan proyek kerja yang lainnya di pelajaran ilmu pengetahuan
sosial maupun sains. Beberapa aktivitas  penyuluhan kerjasama dapat menjadi cara yang
efektif untuk menyusun pengalaman sehingga baik out-put kognitif maupun afektif dapat
diteruskan, khususnya jika aktivitasnya dirancang sehingga tiap peserta  penyuluhan berperan
aktif dalam memainkan peranannya.

7   Tingkah Laku Prososial dalam Perpektif Humanis

Mussen dan Eisenberg-Berg (1977) menyatakan bahwa tingkah laku prososial adalah
“Tindakan untuk membantu orang lain, dengan tanpa pamrih, tanpa tekanan, dan tidak
dengan harapan memperoleh sesuatu hadiah. Meskipun beberapa tindakan sering
memerlukan biaya dan pengorbanan dirinya sebagai konsekuensi dari perannya”. Dan orang
tua yang prososial adalah orang tua yang memiliki tanggung-jawab pengatur anak-naknya
dengan baik pada usia dini, mendorong mereka untuk mengekspresikan perasaan mereka ke
yang lainnya, dan menjelaskan alasan dibalik aturan yang mereka buat. Demikian juga peran
para  Penyuluh dalam perspektif  penyuluhan prososial ini. Setiap tugas yang diberikan
kepada peserta penyuluhan sebisa mungkin diselesaikan atau dikerjakan secara bersama-sama
dalam bentuk kerja sama demikian juga laporannya, karena efek yang ditimbulkan dari
aktifitas ini dapat dirasakan manfaatnya secara langsung. Para  Penyuluh juga dapat
mengeksplor topik prososial secara langsung dengan menjadwalkan diskusi mengenai dilema
moral, memainkan peranan atau simulasi situasi sosial, atau aktivitas lain yang dirancang
untuk mengembangkan prososial, tindakan kerjasama, dan penempatannya pada peserta
penyuluhan.

8   Siapakah  Penyuluh Humanis?

Menurut Patterson (1973) bahwa  Penyuluh yang humanis adalah  Penyuluh sejati.
Penyuluh seperti ini tidak khawatir terhadap peserta penyuluhan yang ia ajar dan selalu
memiliki keinginan untuk membagi pandangannya secara terbuka, ia tidak menyembunyikan
perasaannya dan tetap konsisten, ia menerima dan memposisikan peserta penyuluhannya
sebagai bagian dari perasaannya.  Penyuluh seperti ini kata Petterson adalah  Penyuluh yang
selalu mempertanggung-jawabkan setiap tindakannya. Ketika ia terluka atau marah, ia akan
mengatakan “Saya terluka”, “Saya marah”. Tentang kemarahan, Patterson menulis : “Saya
mengakui hal itu sebagai perasaannya dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Jika ia
memarahi seorang anak, yang ia marahi adalah perbuatannya, bukan anaknya, dengan apa
yang telah ia perbuat.”
Karakteristik kedua adalah penghargaan kepada anak sebagai seorang manusia, yang
ditunjukkan dengan menerima peserta  penyuluhan dengan aktivitas yang dilakukannya,
tentang keinginan, pendapat dan perasaannya. Patterson mengakui bahwa ketidak
sempurnaan, kesalahan, perubahan pada mood dan motivasi adalah manusiawi. Tetapi dibalik
semua itu ada kepercayaan bahwa ada kebaikan yang mendasari manusia dalam
kapasistasnya sebagai individu untuk tumbuh dan berkembang, dan dapat mengaktualisasikan
potensinya di lingkungan yang cocok”.

Pemahaman empati adalah karakteristik ketiga dari  Penyuluh humanistic. Hal ini
termasuk usaha yang aktif oleh para  Penyuluh yang menempatkan dirinya pada peserta
penyuluhan-peserta penyuluhannya sesuai posisinya dan memahami persepsi serta perasaan
para peserta penyuluhannya.

Menurut Rogers (1983) bahwa  Penyuluh yang berempati adalah  Penyuluh yang sering
memuji peserta penyuluhannya; selalu menggunakan ide peserta penyuluhan dalam
interaksi/proses belajar-mengajar di kelas; sering berdiskusi dengan peserta penyuluhannya;
rencana  penyuluhan disesuaikan dengan keadaan peserta penyuluhannya; tujuan  penyuluhan
disarikan secara bersama; ruang kelasnya tertata secara individualisasi; lebih bebasdan
fleksibel; serta lebih menekankan pada produktivitas dan kreatifitas dibandingkan dengan
evaluasi.

III. KESIMPULAN

 1   Kesimpulan

Dari berbagai teori yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan beberapa
hal antara lain :

      Penyuluhan humanis merupakan salah satu teori penyuluhan yang mengarahkan
manusia pada pembebasan (proses memanusiakan manusia). Inti dari teori humanis
ini adalah aktualisasi diri, kepercayaan diri, keterbukaan, kooperatif, adaptif, tanpa
ancaman serta kreatifitas peserta penyuluhan dalam mengembangkan dirinya.
       Penyuluh yang humanis adalah  Penyuluh sejati yang memiliki kepekaan dan
mempunyai keinginan untuk membagi pandangannya secara terbuka, tidak
menyembunyikan perasaannya dan tetap konsisten, menerima dan memposisikan
peserta penyuluhannya sebagai bagian dari diri dan perasaannya. Sering memuji
peserta penyuluhannya dan selalu menggunakan ide peserta penyuluhan dalam
interaksi/proses belajar-mengajar di kelas.

      Peran keluarga dan  Penyuluh dalam perspektif humanis memiliki peran yang
sama dalam proses perkembangan jati diri anak/peserta penyuluhan.

DAFTAR PUSTAKA

Bringham, J.G. 1991. Social Psychology. New York: Harper Gillins Publisher Inc.

Brophy, J. E. y Good, T. L. (1974): Teacher-student relationships: Causes and


consequences. New York: Holt, Rinehart & Winston.

Budiningsih C.A., 2005. Belajar dan Pembelajaran. PT. Asdi Maha Satya, Jakarta.

Coulhorn, J.F., & Acocella, J.R. 1990. Psychology of Adjustment and Human Relationship.
New York: McGraw-Hill Publishing Company.

Hawkins & A.W. Van Den Ban, 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius, Yokyakarta.

Helmi, F.A. 1995. Konsep dan Teknik Pengenalan Diri. Buletin Psikologi, 2. Yogyakarta:
Fakultas Psikologi UGM.

Hurlock, E.B. (1974) 2002. Personality Development. New Delhi: Tata McGraw-Hill
Publishing Co. Ltd.

Jalaluddin Rahmat. 1988. Keterampilan Komunikasi. Bandung : CV. Karya Remaja.

Kartasapoetra, 1994. Teknologi Penyuluhan Pertanian, Radar Jaya Offset, Jakarta.


Kusnandar, 2007. Guru Profesional. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Maslow, Abraham.(1954) 2001 Motivation and personality. Harper and Row New York,
New York.

Poedjijogdjanti, R.G. 1993. Konsep Diri dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Penelitian
Unika Atmajaya.

Roger, E.M. 2004, The  Diffusion Procces, Edisi ke enam New York: The Free Press.

Sanafiah Faisal. 1989. Sosiologi Pendidikan. Surabaya : Usaha Novel Indonesia.

Slavin, R. E. 1995. Cooperative learning: Theory, research, and practice (2nd ed.). Boston:
Allyn & Bacon.

Thomas L. Good dan Jere E. Brophy.2003 Educational Psychology-. Longman New York
dan London

 Sanjaya W, 1992. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses  Pendidikan. Kencana


Prenada Media Group, Jakarta.

Suhardiyono, 1992. Penyuluhan Petunjuk Bagi Penyuluh Pertanian. Erlangga, Jakarta.

You might also like