You are on page 1of 8

Cara Memeriksa Hidung & Sinus Paranasalis

Oleh : Muhammad al-Fatih II


Ada 8 cara yang dapat kita lakukan untuk memeriksa keadaan hidung dan sinus paranasalis,
yaitu :
Pemeriksaan dari luar : inspeksi, palpasi, & perkusi.
Rinoskopia anterior.
Rinoskopia posterior.
Transiluminasi (diaphanoscopia).
X-photo rontgen.
Pungsi percobaan.
Biopsi.

Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin, bakteriologi, serologi, & sitologi.


1. Pemeriksaan Hidung & Sinus Paranasalis dari Luar

Ada 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan inspeksi hidung & sinus
paranasalis, yaitu :
Kerangka dorsum nasi (batang hidung).
Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial.
Bibir atas.

Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita temukan pada inspeksi
hidung & sinus paranasalis, yaitu :
Lorgnet pada abses septum nasi.
Saddle nose pada lues.
Miring pada fraktur.
Lebar pada polip nasi.
Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem di tempat
tersebut.

Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat melakukan inspeksi hidung & sinus
paranalis. Maserasi disebabkan oleh sekresi yang berasal dari sinusitis dan adenoiditis.

Ada 4 struktur yang penting kita perhatikan saat melakukan palpasi hidung & sinus
paranasalis, yaitu :
Dorsum nasi (batang hidung).
Ala nasi.
Regio frontalis sinus frontalis.
Fossa kanina.
Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung) dapat kita temukan pada palpasi
hidung. Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os nasalis.

Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda ini dapat kita
temukan pada furunkel vestibulum nasi.

Ada 2 cara kita melakukan palpasi pada regio frontalis sinus frontalis, yaitu :

Kita menekan lantai sinus frontalis ke arah mediosuperior dengan tenaga optimal dan simetris
(besar tekanan sama antara sinus frontalis kiri dan kanan). Palpasi kita bernilai bila kedua
sinus frontalis tersebut memiliki reaksi yang berbeda. Sinus frontalis yang lebih sakit berarti
sinus tersebut patologis.
Kita menekan dinding anterior sinus frontalis ke arah medial dengan tenaga optimal dan
simetris. Hindari menekan foramen supraorbitalis. Foramen supraorbitalis mengandung
nervus supraorbitalis sehingga juga menimbulkan reaksi sakit pada penekanan. Penilaiannya
sama dengan cara pertama diatas.
Palpasi fossa kanina kita peruntukkan buat interpretasi keadaan sinus maksilaris. Syarat dan
penilaiannya sama seperti palpasi regio frontalis sinus frontalis. Hindari menekan foramen
infraorbitalis karena terdapat nervus infraorbitalis.

Perkusi pada regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita lakukan apabila palpasi pada
keduanya menimbulkan reaksi hebat. Syarat-syarat perkusi sama dengan syarat-syarat
palpasi.

2. Rinoskopia Anterior

Ada 5 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior, yaitu :
Cermin rinoskopi posterior.
Pipa penghisap.
Aplikator.
Pinset (angulair) dan bayonet (lucae).
Spekulum hidung Hartmann.
Spekulum hidung Hartmann bentuknya unik. Cara kita memakainya juga unik meliputi cara
memegang, memasukkan dan mengeluarkan.

Cara kita memegang spekulum hidung Hartmann sebaiknya menggunakan tangan kiri dalam
posisi horisontal. Tangkainya yang kita pegang berada di lateral sedangkan mulutnya di
medial. Mulut spekulum inilah yang kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung)
pasien.

Cara kita memasukkan spekulum hidung Hartmann yaitu mulutnya yang tertutup kita
masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Setelah itu kita membukanya pelan-
pelan di dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.

Cara kita mengeluarkan spekulum hidung Hartmann yaitu masih dalam kavum nasi (lubang
hidung), kita menutup mulut spekulum kira-kira 90%. Jangan menutup mulut spekulum
100% karena bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut keluar.

Ada 5 tahapan pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang akan kita lakukan, yaitu :
Pemeriksaan vestibulum nasi.
Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah.
Fenomena palatum mole.
Pemeriksaan kavum nasi bagian atas.
Pemeriksaan septum nasi.
Pemeriksaan Vestibulum Nasi pada Rinoskopia Anterior

Sebelum menggunakan spekulum hidung pada pemeriksaan vestibulum nasi, kita melakukan
pemeriksaan pendahuluan lebih dahulu. Ada 3 hal yang penting kita perhatikan pada
pemeriksaan pendahuluan ini, yaitu :
Posisi septum nasi.
Pinggir lubang hidung. Ada-tidaknya krusta dan adanya warna merah.
Bibir atas. Adanya maserasi terutama pada anak-anak.
Cara kita memeriksa posisi septum nasi adalah mendorong ujung hidung pasien dengan
menggunakan ibu jari.

Spekulum hidung kita gunakan pada pemeriksaan vestibulum nasi berguna untuk melihat
keadaan sisi medial, lateral, superior dan inferior vestibulum nasi. Sisi medial vestibulum
nasi dapat kita periksa dengan cara mendorong spekulum ke arah medial. Untuk melihat sisi
lateral vestibulum nasi, kita mendorong spekulum ke arah lateral. Sisi superior vestibulum
nasi dapat terlihat lebih baik setelah kita mendorong spekulum ke arah superior. Kita
mendorong spekulum ke arah inferior untuk melihat lebih jelas sisi inferior vestibulum nasi.

Saat melakukan pemeriksaan vestibulum nasi menggunakan spekulum hidung, kita


perhatikan ada tidaknya sekret, krusta, bisul-bisul, atau raghaden.

Pemeriksaan Kavum Nasi Bagian Bawah pada Rinoskopia Anterior

Cara kita memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian bawah yaitu dengan mengarahkan
cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) yang searah dengan konka nasi
media.

Ada 4 hal yang perlu kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi (lubang hidung) bagian
bawah, yaitu :
Warna mukosa dan konka nasi inferior.
Besar lumen lubang hidung.
Lantai lubang hidung.
Deviasi septi yang berbentuk krista dan spina.
Fenomena Palatum Mole Pada Rinoskopia Anterior

Cara kita memeriksa ada tidaknya fenomena palatum mole yaitu dengan mengarahkan cahaya
lampu kepala ke dalam dinding belakang nasofaring secara tegak lurus. Normalnya kita akan
melihat cahaya lampu yang terang benderang. Kemudian pasien kita minta untuk
mengucapkan “iii”.

Selain perubahan dinding belakang nasofaring menjadi lebih gelap akibat gerakan palatum
mole, bayangan gelap dapat juga disebabkan cahaya lampu kepala tidak tegak lurus masuk ke
dalam dinding belakang nasofaring.

Setelah pasien mengucapkan “iii”, palatum mole akan kembali bergerak ke bawah sehingga
benda gelap akan menghilang dan dinding belakang nasofaring akan terang kembali.

Fenomena palatum mole positif bilamana palatum mole bergerak saat pasien mengucapkan
“iii” dimana akan tampak adanya benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang
nasofaring berubah menjadi lebih gelap. Sebaliknya, fenomena palatum mole negatif apabila
palatum mole tidak bergerak sehingga tidak tampak adanya benda gelap yang bergerak ke
atas dan dinding belakang nasofaring tetap terang benderang.

Fenomena palatum mole negatif dapat kita temukan pada 4 kelainan, yaitu :
Paralisis palatum mole pada post difteri.
Spasme palatum mole pada abses peritonsil.
hipertrofi adenoid
Tumor nasofaring : karsinoma nasofaring, abses retrofaring, dan adenoid.
Pemeriksaan Kavum Nasi Bagian Atas pada Rinoskopia Anterior

Cara kita memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian atas yaitu dengan mengarahkan
cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) bagian atas pasien.

Ada 4 hal yang penting kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi (lubang hidung) bagian
atas, yaitu :
Kaput konka nasi media.
Meatus nasi medius : pus dan polip.
Septum nasi bagian atas : mukosa dan deviasi septi.
Fissura olfaktorius.
Deviasi septi pada septum nasi bagian atas bisa kita temukan sampai menekan konka nasi
media pasien.

Pemeriksaan Septum Nasi pada Rinoskopia Anterior

Kita dapat menemukan septum nadi berbentuk krista, spina dan huruf S.

3. Rinoskopia Posterior

Prinsip kita dalam melakukan rinoskopia posterior adalah menyinari koane dan dinding
nasofaring dengan cahaya yang dipantulkan oleh cermin yang kita tempatkan dalam
nasofaring.

Syarat-syarat melakukan rinoskopia posterior, yaitu :

Penempatan cermin. Harus ada ruangan yang cukup luas dalam nasofaring untuk
menempatkan cermin yang kita masukkan melalui mulut pasien. Lidah pasien tetap berada
dalam mulutnya. Kita juga menekan lidah pasien ke bawah dengan bantuan spatula (spatel).
Penempatan cahaya. Harus ada jarak yang cukup lebar antara uvula dan faring milik pasien
sehingga cahaya lampu yang terpantul melalui cermin dapat masuk dan menerangi
nasofaring.
Cara bernapas. Hendaknya pasien tetap bernapas melalui hidung.
Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :

Cermin kecil.
Spatula.
Lampu spritus.
Solusio tetrakain (- efedrin 1%).
Teknik-teknik yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :

Cermin kecil kita pegang dengan tangan kanan. Sebelum memasukkan dan menempatkannya
ke dalam nasofaring pasien, kita terlebih dahulu memanaskan punggung cermin pada lampu
spritus yang telah kita nyalakan.
Minta pasien membuka mulutnya lebar-lebar. Lidahnya ditarik ke dalam mulut, jangan
digerakkan dan dikeraskan. Bernapas melalui hidung.
Spatula kita pegang dengan tangan kiri. Ujung spatula kita tempatkan pada punggung lidah
pasien di depan uvula. Punggung lidah kita tekan ke bawah di paramedian kanan lidah
sehingga terbuka ruangan yang cukup luas untuk menempatkan cermin kecil dalam
nasofaring pasien.
Masukkan cermin kedalam faring dan kita tempatkan antara faring dan palatum mole kanan
pasien. Cermin lalu kita sinari dengan menggunakan cahaya lampu kepala.
Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita masukkan spatula, kita berikan lebih dahulu
tetrakain 1% 3-4 kali dan tunggu ± 5 menit.
Ada 4 tahap pemeriksaan yang akan kita lalui saat melakukan rinoskopia posterior, yaitu :

Tahap 1 : pemeriksaan tuba kanan.


Tahap 2 : pemeriksaan tuba kiri.
Tahap 3 : pemeriksaan atap nasofaring.
Tahap 4 : pemeriksaan kauda konka nasi inferior.
Tahap 1 : Pemeriksaan Tuba Kanan

Posisi awal cermin berada di paramedian yang akan memperlihatkan kepada kita keadaan
kauda konka nasi media kanan pasien. Tangkai cermin kita putar kemudian ke medial dan
akan tampak margo posterior septum nasi. Selanjutnya tangkai cermin kita putar ke kanan,
berturut-turut akan tampak konka nasi terutama kauda konka nasi inferior (terbesar), kauda
konka nasi superior, meatus nasi medius, ostium dan dinding tuba.

Tahap 2 : Pemeriksaan Tuba Kiri

Tangkai cermin kita putar ke medial, akan tampak kembali margo posterior septum nasi
pasien. Tangkai cermin terus kita putar ke kiri, akan tampak kauda konka nasi media kanan
dan tuba kanan.

Tahap 3 : Pemeriksaan Atap Nasofaring

Kembali kita putar tangkai cermin ke medial. Tampak kembali margo posterior septum nasi
pasien. Setelah itu kita memeriksa atap nasofaring dengan cara memasukkan tangkai cermin
sedikit lebih dalam atau cermin agak lebih kita rendahkan.

Tahap 4 : Pemeriksaan Kauda Konka Nasi Inferior

Kita memeriksa kauda konka nasi inferior dengan cara cermin sedikit ditinggikan atau
tangkai cermin sedikit direndahkan. Kauda konka nasi inferior biasanya tidak kelihatan
kecuali mengalami hipertrofi yang akan tampak seperti murbei (berdungkul-dungkul).

Ada 2 kelainan yang penting kita perhatikan pada rinoskopia posterior, yaitu :

Peradangan. Misalnya pus pada meatus nasi medius & meatus nasi superior, adenoiditis, dan
ulkus pada dinding nasofaring (tanda TBC).
Tumor. Misalnya poliposis dan karsinoma.
Ada 3 sumber masalah pada rinoskopia posterior, yaitu :

Pihak pemeriksa : tekanan, posisi, dan fiksasi spatula.


Pihak pasien : cara bernapas dan refleks muntah.
Alat-alat : bahan spatula dan suhu & posisi cermin.
Tekanan spatula yang kita berikan terhadap punggung lidah pasien haruslah seoptimal
mungkin. Tekanan yang terlalu kuat akan menimbulkan sensasi nyeri pada diri pasien.
Sebaliknya tekanan yang terlalu lemah menyebabkan faring tidak terlihat jelas oleh
pemeriksa.

Posisi spatula hendaknya kita pertahankan pada tempat semula. Gerakan kepala pasien
berpotensi menggeser posisi spatula. Posisi spatula yang terlalu jauh ke pangkal lidah apalagi
sampai menyentuh dinding faring dapat menimbulkan refleks muntah.

Cara fiksasi spatula memiliki keunikan tersendiri. Ibu jari pemeriksa berada dibawah spatula.
Jari II dan III berada diatas spatula. Jari IV kita tempatkan diatas dagu sedangkan jari V
dibawah dagu pasien.

Kesulitan yang menjadi tantangan buat kita dari pemeriksaan rinoskopia posterior ini terletak
pada koordinasi yang kita jaga antara tangan kanan yang memegang cermin kecil, tangan kiri
yang memegang spatula, kepala dan posisi cahaya dari lampu kepala yang akan menyinari
cermin dalam faring, dan kejelian mata kita melihat bayangan pada cermin kecil dalam
faring.

Cara bernapas yang tidak seperti biasa menjadi kendala tersendiri bagi pasien. Mereka harus
bernapas melalui hidung dengan posisi mulut yang terbuka. Ada beberapa pasien yang
memiliki refleks yang kuat terhadap perlakuan yang kita buat. Kita bisa memberikannya
tetrakain dan efedrin untuk mencegahnya.

Bahan spatula yang terbuat dari logam dapat menimbulkan refleks pada beberapa pasien
karena rasa logam yang agak mengganggu di lidah.

Suhu cermin jangan terlalu panas dan terlalu dingin. Cermin yang terlalu panas menimbulkan
rasa nyeri sedangkan cermin yang terlalu dingin menimbulkan kekaburan pada cermin yang
mengganggu penglihatan kita.

Posisi cermin jangan terlalu jauh masuk ke dalam apalagi sampai menyentuh faring pasien.
Refleks muntah dapat timbul akibat kecerobohan kita ini.

4. Transiluminasi (Diaphanoscopia)

Entah mengapa cara pemeriksaan sinus paranasalis – terutama sinus frontalis dan sinus
maksilaris – ini belum pernah saya saksikan sendiri. Penuturan dari teman-teman dan para
pembimbing juga belum pernah saya dengar.

Syarat melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) adalah adanya ruangan yang


gelap. Alat yang kita gunakan berupa lampu listrik bertegangan 6 volt dan bertangkai panjang
(Heyman).

Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) kita gunakan untuk mengamati sinus frontalis


dan sinus maksilaris. Cara pemeriksaan kedua sinus tersebut tentu saja berbeda.

Cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus frontalis yaitu kita
menyinari dan menekan lantai sinus frontalis ke mediosuperior. Cahaya yang memancar ke
depan kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus frontalis normal bilamana dinding depan
sinus frontalis tampak terang.
Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus maksilaris,
yaitu :

Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada margo inferior
orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri.
Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum durum homolateral berwarna terang.
Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah diselubungi dengan
tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien kemudian kita tutup. Cahaya yang
memancar dari mulut dan bibir atas pasien, kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya dinding
depan dibawah orbita tampak bayangan terang berbentuk bulan sabit.
Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan adanya perbedaan sinus
kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak terang, menandakan keduanya normal. Namun
khusus pasien wanita, hal itu bisa menandakan adanya cairan karena tipisnya tulang mereka.
Jika kedua sinus tampak gelap, menandakan keduanya normal. Khusus pasien pria, kedua
sinus yang gelap bisa akibat pengaruh tebalnya tulang mereka.

5. X-Photo Rontgen

Untuk melihat sinus maksilaris, kita usulkan memakai posisi Water pada X-photo rontgen.
Hasil foto X dengan sinus gelap menunjukkan patologis. Perhatikan batas sinus atau tulang,
apakah masih utuh ataukah tidak.

6. Pungsi Percobaan

Pungsi percobaan hanya untuk pemeriksaan sinus maksilaris dengan menggunakan troicart.
Kita melakukannya melalui meatus nasi inferior. Hasilnya jika keluar nanah atau sekret
mukoid maka kita melanjutkannya dengan tindakan irigasi sinus maksilaris.

7. Biopsi

Jaringan biopsi kita ambil dari sinus maksilaris melalui lubang pungsi di meatus nasi inferior
atau menggunakan Caldwell-Luc.

Daftar Pustaka

Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri Herawati,
Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok.
Jakarta : EGC. 2000.

Technorati Tags: Pemeriksaan Fisik, Sinus Paranasal, SPN, Hidung, Cavum nasi
Comments (2)
2 Comments »

Terima kasih dok.. cukup membantu untuk ujian pasien saya besok.

Comment by Windya — December 10, 2008 @ 10:27 am | Reply

Thanx Dok.Lengkap banget,,cukup tuk acuan Literature sy d RS..

Comment by Yudha — December 27, 2009 @ 12:28 pm | Reply


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI
Leave a comment

Name (required)

E-mail (required)

Website

Notify me of follow-up comments via email.

Send me site updates


Search for:

You might also like