You are on page 1of 29

Referat III

PERKEMBANGAN TEKNIK SEKSIO SESAREA


MENURUT EVIDENCE-BASED

Penyaji
dr. Emir Fakhrudin

Pembimbing
dr. H. Agustria Zainu Saleh, SpOG(K)

Pemandu
dr. H. M. Hatta Ansyori, SpOG(K)

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Dipresentasikan pada hari Rabu, 13 April 2011, pukul 12.30 WIB
2

DAFTAR ISI
i
COVER ......................................................................................................
ii
DAFTAR ISI .......................................... ................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .......................................... ..................... ................
iv
DAFTAR TABEL ..................... ..................... ..........................................
1
I. PENDAHULUAN ..................... .........................................................
2
II. DEFINISI ..................... ......................................................................
2
III. SEJARAH SEKSIO SESAREA .........................................................
3
IV. PERUBAHAN PADA INDIKASI SEKSIO SESAREA .................
V. TEKNIK SEKSIO SESAREA
6
A. Pertimbangan Preoperatif ..........................................................
7
B. Insisi Dinding Abdomen / Laparotomi ...........................................
11
C. Insisi Uterus ..................... ..................... ..................... .................
15
D. Teknik Melahirkan Janin Dan Plasenta ..................... .....................
17
E. Penjahitan Uterus ..................... ..................... ..................... ...........
18
F. Penutupan Dinding Abdomen ..................... ..................................
22
VI. RINGKASAN ..................... ..................... ..........................................
RUJUKAN ........................................................................................ 24

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


3

DAFTAR GAMBAR

8
Gambar. 1. Insisi Dinding Abdomen ........................................................................
10
Gambar 2. Insisi Maylard ........................................................................................
10
Gambar 3. Insisi Cherney .......................................................................................
13
Gambar 4. Macam-Macam Insisi Pada Uterus .........................................................
15
Gambar 5 Perluasan Insisi Uterus ...........................................................................
20
Gambar 6. Contoh Pemasangan Drain Jackson-Pratt ...............................................

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


4

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Standar Rekomendasi Untuk Kualitas Pelayanan Berdasarkan Kualitas Penelitian


5
Yang Dikeluarkan Oleh USPSTF ...............................................................................

Tabel 2. Rekomendasi Teknik Insisi Dinding Abdomen Berdasarkan Evidence-Based Oleh


11
USPSTF .....................................................................................................................

Tabel 3. Rekomendasi Teknik Insisi Uterus Berdasarkan Evidence-Based Oleh USPSTF


15
...........................................................................................................................

Tabel 4. Rekomendasi Teknik Melahirkan Janin, Plasenta Dan Pencegahan Atonia Uteri
17
Berdasarkan Evidence-Based Oleh USPSTF .............................................................

Tabel 5. Rekomendasi Teknik Melahirkan Janin, Plasenta Dan Pencegahan Atonia Uteri
18
Berdasarkan Evidence-Based Oleh USPSTF ..............................................................

Tabel 5. Rekomendasi Teknik Penutupan Dinding Abdomen Berdasarkan Evidence-Based


21
Oleh USPSTF ............................................................................................................

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


5

I. PENDAHULUAN
Seksio sesar telah mejadi operasi yang paling sering dilakukan di berbagai negara.
Di Amerika, frekuensi bayi yang dilahirkan dengan seksio sesarea terus meningkat
lebih dari 50% dari tahun 1996 sampai 31,8% pada tahun 2007.1 Alasan
meningkatnya angka ini bermacam-macam. Persalinan yang lambat, peningkatan
indeks massa tubuh, kemajuan teknologi ultrasonografi dalam mendeteksi kelainan
kehamilan, permintaan dari pasien, ketakutan akan persalinan pervaginam, dan
juga pilihan aman bagi para ahli obstetri untuk menghindari cedera pada
persalinan dengan tindakan yang dapat berakhir dengan tuntutan malpraktik.
Berbagai macam penelitian mengenai teknik seksio sesarea telah banyak
dilakukan. Hal ini tentu saja untuk mencari teknik terbaik sehingga morbiditas dan
mortalitas dalam seksio sesara dapat dihindari. Banyak penelitian yang dilakukan
muali dari penelitian tentang perlu tidaknya pemberian antibiotik profilaksis, saat
yang tepat dalam pemberian antibiotik, jenis insisi pada dinding abdomen, mulai
dari kutis, subkutis, fasia, peritoneum, insisi pada uterus, cara melahirkan bayi,
teknik penjahitan, penutupan uterus, dinding abdomen, sampai perawatan post
operatif.
Tidak ada prosedur baku dalam teknik seksio sesarea. Di tiap negara, setiap
rumah sakit, atau bahkan di setiap senter pendidikan pun dapat berbeda-beda.
Setiap ahli obstetri pun seringkali memiliki teknik yang berbeda, berawal dari apa
yang mereka pelajari di buku, sampai akhirnya berkembang karena pengalaman
yang dimiliki para ahli obstetri tersebut.
Refrat ini bertujuan untuk membahas perkembangan yang terjadi pada teknik-
teknik dalam seksio sesarea berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, sehingga
diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan dalam mengurangi morbiditas
dan mortalitas ibu maupun anak.2

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


6

II. DEFINISI
Seksio sesarea didefinisikan sebagai kelahiran janin melalui sayatan pada dinding
abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerotomi). Definisi ini tidak
mencakup pengeluaran janin dari rongga abdomen dalam kasus ruptur uterus atau
dalam kasus kehamilan abdominal. Dalam beberapa kasus, dan yang paling sering
adalah perdarahan post partum, dimana histerektomi abdominal dilakukan setelah
bayi lahir. Ketika dilakukan pada saat seksio sesarea, operasi seksio sesarea
disebut histerektomi. Jika dilakukan dalam waktu singkat setelah persalinan
pervaginam, hal ini disebut histerektomi postpartum.3

III. SEJARAH SEKSIO SESAREA


Asal dari istilah seksio sesarea tidak diketahui dengan pasti, namun terdapat tiga
teori yang dikenal sampai saat ini. Yang pertama, menurut legenda, Julius Caesar
dilahirkan dengan cara ini, dengan hasil bahwa prosedur ini dikenal sebagai
operasi caesar. Namun beberapa pendapat meragukan penjelasan ini. Pertama, ibu
dari Julius Caesar hidup selama bertahun-tahun setelah kelahirannya pada 100 SM,
dan hingga akhir abad ke-17, operasi itu hampir selalu berakibat fatal. Kedua,
operasi tersebut, apakah dilakukan pada hidup atau mati, tidak disebutkan oleh
penulis medis sebelum abad pertengahan. Rincian sejarah tentang asal-usul nama
keluarga Caesar ditemukan dalam monografi oleh Pickrell (1935).3
Teori kedua adalah bahwa nama operasi ini berasal dari hukum Romawi,
konon dibuat pada abad ke-8 SM oleh Numa Pompilius, memerintahkan bahwa
prosedur bedah dalam melahirkan anak dilakukan pada perempuan yang telah
meninggal dalam beberapa minggu terakhir kehamilan dengan harapan dapat
menyelamatkan sang anak. Hukum ini dibuat oleh ini raja Romawi sat itu, Lex
Regia, yang kemudian dikenal menjadi lex caesarea, dan operasi itu sendiri
dikenal sebagai operasi caesar.
Penjelasan ketiga adalah bahwa kata ini muncul pada abad pertengahan , yang
berasal dari caedere , kata kerja latin, yang berarti untuk memotong. Penjelasan ini

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


7

tampaknya adalah yang paling logis. Di Amerika Serikat, huruf “ae” di suku kata
pertama caesar diganti dengan huruf “e”. Di Inggris, Australia, dan sebagian besar
negara persemakmuran, huruf ae ini tetap dipertahankan.3

IV. PERUBAHAN PADA INDIKASI SEKSIO SESAREA


Dulu, indikasi untuk melakukan seksio sesarea terbatas pada persalinan
pervaginam yang gagal dalam obervasi dengan kurva Friedman ataupun dengan
partograf WHO (secondary cesarean). Selain itu juga seksio sesarea hanya
dilakukan atas indikasi janin seperti gawat janin, letak melintang (primary
cesarean), dan lain sebagainya.
Namun dengan kesadaran akan pentingnya meningkatkan pelayanan dalam
menurunkan morbiditas dan mortalitas ibu dan anak, ditambah dengan semakin
berkembangnya tehnologi ultrasonografi, dan berbagai studi yang banyak
dilakukan, maka indikasi untuk melakukan seksio sesarea semakin bertambah,
mulai dari presentasi dengan kepala defleksi, oligohidramnion, panjang serviks,
serta profil biofisik, sehingga angka seksio sesarea semakin meningkat.
Jun Zhang dan kawan-kawan (2010) dalam penelitiannya yang dilakukan pada
19 rumah sakit ternama di Amerika Serikat, mendapatkan angka 30,5% dengan
variasi sekitar 20% sampai 44% angka kejadian seksio sesarea. Pada
penelitiannya, ia menggolongkan seksio sesarea menjadi empat kategori, yaitu
seksio sesarea primer, seksio sesarea sekunder, seksio sesarea berulang, seksio
sesarea dimana ibu belum memasuki fase persalinan atau inpartu (prelabor
cesarean) , dan saat inpartu (intrapartum cesarean).1
Pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun, prevalensi seksio sesarea
meningkat dua kali lipat (21,0%). Hal yang sama juga terjadi pada wanita dengan
usia lebih dari 35 tahun (42%). Obesitas merupakan salah satu faktor yang
mendominasi indikasi dilakukan seksio sesarea pada tiap-tiap kategori grup.
Sedangkan berdasarkan paritas, tidak didapatkan perbedaan prevalensi yang
berarti, dimana nullipara berada di angka 30,0%, dan multipara 31,2%.

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


8

Pada persalinan yang dilakukan induksi, didapatkan juga prevalensi seksio


sesarea yang meningkat lebih dari dua kali lipat. (21,1% vs 11,8%). Pada wanita
dengan riwayat seksio sesarea, didapatkan angka 83,6% prevalensi seksio sesarea.
Angka yang mengejutkan juga didapatkan pada persalinan yang bukan dengan
presentasi belakang kepala, dimana prevalensinya adalah 92,8%.1
Prevalensi seksio sesarea juga meningkat hampir tiga kali lipat pada
presentasi bokong, dimana didapatkan angka 88,3% seksio sesarea pada
presentasi bokong, dengan atau tanpa penyulit. Hal yang hampir sama juga
didapatkan pada pasien dengan pecah ketuban dan prematur. Meningkatnya
prevalensi ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Berghella dan
kawan-kwan (2005), dimana seksio sesarea dilakukan atas indikasi permintaaan
pasien sendiri.2

V. TEKNIK SEKSIO SESAREA


Semakin berkembangnya ilmu teknologi, munculnya berbagai hasil penelitian,
membuat adanya perbedaan dalam teknik seksio sesarea di setiap negara. Bahkan
dapat dikatakan bahwa setiap ahli obstetri pun memiliki teknik yang berbeda
dalam melakukan seksio sesarea. Di Amerika pun, hal yang sama terjadi. Seluruh
ahli obstetri memiliki teknik yang berbeda-beda, semuanya berdasarkan literatur
dan dikembangkan berdasarkan pengalaman yang mereka miliki. Untuk
menyamakan persepsi dan mendapatkan peningkatan kualitas kesehatan yang
terbaik, maka Amerika Serikat memakai standar rekomendasi yang dikeluarkan
oleh US Preventive Services Task Force (USPSTF) untuk menyamakan persepsi
rekomendasi yang didapatkan dari berbagai hasil penelitian medis.
USPSTFS adalah sebuah organisasi independen dalam perawatan dan
pencegahan kesehatan primer yang secara sistematis mengkaji bukti efektivitas
dan mengembangkan rekomendasi untuk layanan pencegahan klinis, dan ditunjuk
langsung oleh Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan di Amerika
Serikat.

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


9

Deskripsi untuk anjuran pelayanan medis yang dikeluarkan oleh USPSTF


dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Standar rekomendasi untuk kualitas pelayanan berdasarkan kualitas penelitian yang
dikeluarkan oleh USPSTF
Rekomendasi

A. USPSTF merekomendasikan para klinisi untuk melakukan teknik tersebut pada pasien.
Terdapat bukti yang kuat bahwa tindakan tersebut dapat meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan dan menyimpulkan bahwa keuntungan yang didapat melebihi risiko yang mungkin
terjadi
B. USPSTF merekomendasikan para klinisi untuk memberikan pelayanan tersebut pada pasien.
USPTSF menyimpulkan dari hasil penelitian, terdapat bukti yang cukupt bahwa tindakan
tersebut dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan menyimpulkan bahwa
keuntungan yang didapat melebihi risiko yang mungkin terjadi
C. USPSTF tidak membuat rekomendasi para klinisi untuk memberikan pelayanan tersebut pada
pasien secara rutin. USPTSF menyimpulkan dari hasil penelitian, didapatkan bahwa
pelayanan tersebut dapat memberikan peningkatan kualitas kesehatan pasien, namun
perbandingan antara keuntungan dan kerugian (risiko) tidak terlalu signifikan.
D. USPSTF merekomendasikan para klinisi untuk memberikan pelayanan tersebut pada pasien,
namun tidak dilakukan secara rutin. USPTSF menyimpulkan dari hasil penelitian, didapatkan
bahwa pelayanan tersebut tidak memberikan keuntungan ataupun kerugian yang bermakna
bagi pasien
I. USPSTF menyimpulkan bahwa pelayanan tersebut tidak perlu diberikan pada pasien.
USPTSF menyimpulkan bahwa hasil penelitian tersebut tidak menunjukkan hasil yang valid,
kurangnya informasi mengenai keuntungan dan kerugiannya tidak dapat dipastikan.
Kualitas Pelayanan

Baik Didapatkan dari hasil penelitian yang memiliki desain yang baik, terarah dan mewakili
populasi penelitian secara keseluruhan dan dapat memberikan efek yang baik terhadap
kualitas pelayanan.
Cukup Hasil penelitian dapat memberikan efek yang baik terhadap kualitas pelayanan kesehatan,
memiliki desain yang baik, namun kurang mewakili populasi penelitian secara keseluruhan
Kurang Hasil penelitian dianggap kurang dapat memberikan efek yang baik terhadap kualitas
pelayanan kesehatan, dan kekuatan penelitian tersebut masih diragukan
Dikutip dari Berghella 2

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


10

A. Pertimbangan Preoperatif
Persiapan preoperatif pada pasien yang akan dilakukan seksio sesarea telah
banyak diteliti di hampir seluruh negara berkembang dan seluruh negara maju.
Tiga faktor yang paling sering dibahas adalah risiko aspirasi, perdarahan dan
infeksi. Namun hal yang paling sering dibahas adalah risiko infeksi post
operatif. Sumber utama infeksi pada seksio sesarea adalah traktus genitalis
bagian bawah. Organisme penyebab yang paling umum adalah Ureoplasma
spp., Mycoplasma spp., anaerob atau Gardnerella vaginalis.3 Untuk mengatasi
ini, telah disepakati bahwa penggunaan antibiotik profilaksis adalah hal
terbaik.
Lamont dan kawan-kawan (2010) dalam penelitiannya mendapatkan
bahwa penggunaan antibiotik spektrum luas memiliki korelasi yang bermakna
dengan penurunan angka infeksi, terutama endometritis (60%) dan luka
terinfeksi (25%-65%). Hopkins dan kawan-kawan (2007) mendapatkan
efikasi yang sama antara ampisilin dan cefalosporin generasi pertama seperti
cefazolin. Dalam penelitiannya juga didapatkan bahwa penggunaan antibiotik
spektrum luas generasi terbaru dengan harga yang lebih mahal tidak
didapatkan perbedaan dibandingkan dengan pemberian ampisilin. Juga tidak
didapatkan perbedaan angka infeksi pada antibiotik yang diberikan dengan
dosis 1g dan 2 g, dan juga waktu pemberian antara satu jam, 6 jam, 12 jam
sebelum seksio sesarea dimulai.2
Pitt dan kawan-kawan (2009) mendapatkan bahwa pemberian
metronidazole gel 5 g secara intravaginal sebelum seksio sesarea dimulai
dapat menurunkan insiden endometritis dari 17% menjadi 7%.2
Stutchfield dan kawan-kawan (2008) menganjurkan pemberian
bethamethasone 12 mg sebanyak dua kali dengan selang waktu 4 jam pada
usia kehamilan 37-39 minggu, dimana ia mendapatkan penurunan angka RDS
(respiratory distress syndrome) dari 0,051% menjadi 0,024%. Meskipun

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


11

begitu, ACOG (American College of Obstetric and Gynecology) belum


menjadikan hal ini sebagai rekomendasi.5
Starr dan Reid (2005) tidak mendapatkan penurunan angka kejadian
endometritis yang berarti pada penggunaan povidon iodine 7,5% dengan
povidone iodine 10% pada saat melakukan aseptik dan antiseptik pada
lapangan operasi.5

B. Insisi Dinding Abdomen / Laparotomi


Telah banyak dilakukan studi tentang jenis insisi pada dinding abdomen,
secara umum, insisi transversal lebih dianjurkan, dengan alasan dapat
berkurangnya nyeri operasi dan unsur kosmetik dibandingkan insisi vertikal.
Insisi Pfannensteil ataupun transversal pada 2 jari di atas simfisis,
insisi Joel-Cohen, dan teknik lain yang merupakan variasi dari Joel-Cohen,
yaitu Misgav Ladach, adalah insisi yang dianjurkan.
Telah banyak penelitian yang membandingkan ketiga teknik ini
berdasarkan keuntungan dan kerugiannya. Didapatkan sebelas penelitian yang
membandingkan antara teknik Joel-Cohen dan Pfannenstiel. Dari penelitian-
penelitian tersebut didapatkan beberapa poin penting diantaranya yaitu: 6-17
1. Dari lima penelitian, didapatkan perdarahan yang lebih sedikit pada
481 wanita yang dilakukan seksio sesarea dengan teknik Joel-
Cohen.
2. Dengan menggunakan teknik Joel-Cohen, didapatkan waktu operasi
yang lebih singkat.
3. Tidak didapatkan perbedaan angka kejadian infeksi antara teknik
Joel-Cohen dan Pfannenstiel.
4. Didapatkan angka kejadian hematom yang lebih tinggi pada luka
operasi dengan teknik Joel-Cohen.
5. Tidak didapatkan perbedaan waktu pada gerakan peristaltik usus,
dan mobilisasi pasien.

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


12

6. Didapatkan angka kejadian demam yang lebih sedikit pada pasien


pasca operasi dengan teknik Joel-Cohen dibandingkan dengan
Pfannenstiel.
7. Didapatkan nyeri post operasi yang lebih sedikit pada pasien yang
dioperasi dengan teknik Joel-Cohen.

Gambar. 1. Insisi dinding abdomen. A. Insisi Pfannenstiel, sayatan harus dibuat


dalam mode lengkung sekitar 2-3 cm di atas simfisis pubis. B. Joel-Cohen sayatan
harus dibuat secara linear sekitar 2-3 cm di atas sayatan Pfannenstiel. C. Insisi
mediana, sayatan vertikal harus dibuat di garis tengah dan membentang dari tepat di
bawah umbilikus ke tepat di atas simfisis pubis dan dapat dilanjutkan di sekitar
umbilikus jika diperlukan.
Dikutip dari Glown 18

Mengenai panjang insisi pada kulit, belum ada penelitian khusus yang
meneliti hal ini, namun ada dua penelitian yang menganjurkan bahwa insisi
pada operasi abdomen minimal 15 cm untuk memastikan outcome yang baik
bagi ibu dan anak.
Mengganti scalpel setelah scalpel pertama yang digunakan untuk insisi
pada kulit telah diteliti, mendapatkan hasil dimana tidak didapatkan perbedaan
yang signifikan antara mengganti scalpel setelah insisi pada kulit dengan tidak

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


13

menggantinya. Angka kejadian infeksi pada kedua teknik ini tidak didapatkan
hasil yang bermakna.5
Teknik dalam membuka subkutis juga belum dilakukan penelitian
khusus, namun kebanyakan operator menggunakan scalpel seminimal
mungkin, dimana mereka melakukan insisi pada subkutis pada bagian medial,
dan melakukan perluasan insisi secara tumpul untuk menghindari perdarahan
yang tidak perlu.
Penelitian mengenai insisi pada fasia juga belum dilakukan secara
terpisah, namun para ahli merekomendasikan insisi transversal dengan scalpel
pada bagian medial dan diperluas secara tajam dengan menggunakan gunting.
Ada juga yang merekomendasikan perluasan insisi pada fascia diperluas
secara tumpul dengan menggunakan jari tangan, seperti pada teknik seksio
sesarea menurut Misgav-Ladach. Beberapa klinisi ada juga yang
menganjurkan, apapun jenis insisi pada kulit, namun insisi pada fasia
sebaiknya dilakukan secara vertikal pada garis tengah fasia, tepat pada rectus
sheath, dan diperluas secara tajam dengan menggunakan gunting.
Telah didapatkan tiga penelitian yang membahas tentang pemotongan
otot rektus dalam membuka dinding abdomen yang melibatkan 313 wanita 19.
Mereka terpilih secara acak untuk dilakukannya insisi otot baik insisi Maylard
atau Cherney dengan Pfannenstiel.

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


14

Gambar 2. Insisi Maylard, dilakukan dengan memotong otot rectus abdominis . Lebih sering
dipakai pada operasi ginekologi yang membutuhkan akses yang luas pada kavum abdomen.
Dikutip dari Schorge20

Dari hasil penelitian tidak didapatkan perbedaan dalam morbiditas


pascaoperasi, kesulitan dalam melahirkan janin, komplikasi pascaoperasi, dan
skor nyeri pascaoperasi. Satu penelitian menunjukkan hasil bahwa kekuatan
otot abdomen yang dilakukan insisi, dibandingkan yang tidak dilakukan insisi,
memiliki kekuatan yang sama. Namun para klinisi tidak menganjurkan untuk
dilakukan insisi pada otot rectus jika tidak ada indikasi yang mendesak.

Gambar 3. Insisi Cherney, pada teknik ini tendon dari otot-otot rektus dilakukan transeksi 1
sampai 2 cm di atas insersi tendon ke simfisis pubis. Otot-otot ini kemudian diangkat ke arah
cephalad untuk memberi akses yang leluasa ke peritoneum
Dikutip dari Schorge20

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


15

Membuka peritoneum juga tidak dilakukan penelitian secara khusus,


Mimpi buruk bagi ahli obstetri pada ssat membuka peritoneum adalah
terpotongnya bladder atau usus pada saat ini. Peritoneum biasanya dibuka
secara hati-hati secara tajam atau tumpul, dan diperluas secara tumpul, jauh
di atas bladder, sehingga dapat mencegah cedera pada organ tersebut.

Tabel 2. Rekomendasi teknik insisi dinding abdomen berdasarkan evidence-based oleh


USPSTF
Aspek Tehnis Rekomendasi Kualitas Keterangan
Insisi Kulit
Tipe C Cukup Pfannenstiel atau Joel-
Cohen
Panjang I Kurang 15 cm
Mengganti scalpel D Cukup Tidak direkomendasikan
Insisi Subkutis secara tajam I Kurang
Perluasan insisi fascia C Cukup Scalpel atau jari
Diseksi fascia dari otot rectus I Kurang
Pemotongan otot rectus D Cukup Tidak direkomendasikan
Membuka peritoneum I Kurang Secara tumpul
2
Dikutip dari Berghella

C. Insisi Uterus
Pada tahun 80-90 an, membuka plica vesicouterina untuk membuat bladder
flap adalah hal yang wajib dilakukan, dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya cedera pada bladder. Namun sekarang, setelah banyak penelitian
yang dilakukan untuk mengetahui kerugian dan keuntungan dari pembuatan
bladder flap, maka hal ini sudah mulai ditinggalkan. Hoglagschwandtner dan
kawan-kawan dalam penelitiannya terhadap 102 wanita membandingkan
membuat bladder flap dengan insisi langsung 1 cm di atas lekukan bladder.
Dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa pembuatan bladder flap
berhubungan dengan waktu insisi yang lebih lama untuk melahirkan bayi (P <

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


16

.001), durasi operasi yang lebih lama (P = .004), dan penurunan hemoglobin
yang cukup signifikan (1 vs 0,5g/dL, P = 009). Pembuatan bladder flap juga
berhubungan dengan mikrohematuria pascaoperasi (47% vs 21%; P < .01)
dan kebutuhan obat analgetik yang lebih banyak (55% vs 26%; P = .006) pada
dua hari pascaoperasi. Namun sayangnya belum dilakukan peneltian spesifik
mengenai efek jangka panjang dari pembuatan bladder flap ini (misalnya
perlengketan, fungsi bladder, dan fertilitas). Dari hasil ini, maka lebih
direkomendasikan untuk tidak membuat bladder flap sebelum melakukan
insisi pada uterus 20-23.
Sampai sekarang insisi pada uterus yang sangat dianjurkan adalah insisi
transversal. Belum ada penelitian terbaru yang mengkhususkan tentang insisi
pada uterus.
Dikenal beberapa jenis insisi pada uterus. Masing-masing jenis ini
memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri: 24
1. Low transverse incision: insisi yang paling sering digunakan, memiliki
beberapa keuntungan, diantaranya adalah risiko untuk mencederai arteri
uterina jauh lebih sedikit, dan operator memiliki akses yang lebih luas
dalam melahirkan janin.
2. J incision: jarang digunakan, dengan insisi ini operator memiliki akses
yang lebih leluasa dalam melahirkan janin, terutama pada janin dengan
letak lintang. Kelemahannya adalah penyembuhan miometrium pada
insisi ini kurang baik, sehingga jarang digunakan, dan juga besarnya
risiko bagi janin untuk terluka akibat terkena insisi scalpel 25
3. T incision: Insisi ini biasanya merupakan insisi yang bersifat darurat,
berawal dari low transverse incision , namun kemudian operator menemui
kendala dalam melahirkan bayi (letak lintang, presentasi bokong, anak
kembar) sehingga dilakukan insisi ini. Kelemahannya adalah insisi ini
memiliki tingkat penyembuhan yang paling buruk setelah classic incision.

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


17

4. Low vertical incision: insisi ini, meskipun memiliki tingkat kesembuhan


yang lebih baik dibandingkan insisi klasik, namun tidak banyak
digunakan karena risiko untuk meluas sampai ke bladder cukup tinggi.
5. Double J atau “Trap door” incision: ini adalah alternatif “insisi darurat”
yang lebih dianjurkan jika operator menemui kesulitan dalam melahirkan
janin dengan low vertical incision. Insisi ini dianggap lebih aman
daripada T incision pada kasus persalinan pervaginam pada bekas SC.
Namun kelemahan insisi ini adalah besarnya risiko bagi janin untuk
terluka akibat terkena insisi scalpel.25
6. Classic incision: Insisi ini adalah inisi yang memberikan operator ruang
yang lebih leluasa dalam melahirkan janin. Namun memiliki banyak
kelemahan, seperti perdarahan intraoperatif yang lebih banyak, durasi
operasi yang lebih lama, risiko ruptur uteri yang tinggi. Insisi ini
dianjurkan jika ibu tidak berencana memiliki anak lagi.

Gambar 4. Macam-macam insisi pada uterus


Dikutip dari O’Grady24

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


18

Hameed dan kawan-kawan (2002) dalam penelitiannya yang


membandingkan insisi transversal pada segmen bawah rahim (SBR) secara
semilunar yang diperluas secara tumpul dan insisi transversal sepanjang 3 cm
yang juga diperluas secara tumpul mendapatkan hasil bahwa insisi transversal
sepanjang 3 cm yang diperluas secara tumpul berhubungan dengan perdarahan
intraoperatif yang lebih sedikit, dan penyembuhan uterus yang lebih
sempurna.26
Selain jenis insisi, teknik meluaskan insisi juga diyakini sangat
berpengaruh terhadap outcome pasien pascaoperasi. Beberapa penelitian telah
menyimpulkan bahwa perluasan (expansion) insisi pada uterus lebih
dianjurkan untuk dilakukan secara tumpul (dengan jari) daripada secara tajam
(dengan scalpel ataupun gunting). Perluasan insisi SBR secara tumpul dengan
menggunakan jari telah terbukti mengurangi risiko perdarahan, perluasan
sampai ke arteri uterina, menghemat waktu operasi, dan menghindari cedera
pada janin.27-29
Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Cromi dan kawan-kawan (2008)
tentang perluasan insisi secara tumpul ini. Ia membandingkan dua teknik
perluasan insisi secara tumpul pada insisi transversal pada SBR, yaitu
perluasan dengan jari telunjuk yang diarahkan ke lateral-lateral dengan
perluasan insisi dengan jari telunjuk yang diarahkan ke arah cephalad-caudad.
Perluasan insisi ke arah cephalad-caudad ini memiliki beberapa kelebihan,
diantaranya adalah mencegah perluasan ke arteri uterina yang sering terjadi
pada perluasan ke lateral-lateral, dan memperkecil kemungkinan trauma,
dengan menarik miometrium ke cephalad-caudad, insisi akan meluas sesuai
dengan alur lapisan otot miometrium yang sirkuler.27 Dari hasil penelitiannya
didapatkan bahwa dengan melakukan perluasan insisi secara tumpul ke arah
cephalad-caudad, risiko untuk terjadinya perluasan insisi sampai ke arteri
uterina dapat diperkecil (7,4% vs 3,7%, P = .03), dan perdarahan intraoperatif
lebih sedikit (2,0% vs 0,2%, P = .04).27

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


19

Gambar 5. Perluasan insisi uterus. A. Perluasan insisi secara tumpul dengan jari telunjuk
yang diarahkan ke lateral-lateral. B. Perluasan insisi secara tumpul dengan jari telunjuk
yang diarahkan ke cephalad-caudad.
Dikutip dari Cromi 27

Tabel 3. Rekomendasi teknik insisi uterus berdasarkan evidence-based oleh


USPSTF
Aspek Tehnis Rekomendasi Kualitas Keterangan
Bladder flap D Cukup Tidak dianjurkan*
Insisi uterus B Cukup Insisi transversal
Perluasan insisi uterus A Baik Secara tumpul
* boleh digunakan jika keadaan mengharuskan demikian, misalnya pada bekas seksio
sesaria dengan perlengketan
Dikutip dari Berghella2

D. Teknik Melahirkan Janin dan Plasenta


Teknik melahirkan janin sangat berpengaruh dengan outcome pada saat lahir.
Pada presentasi kepala, USPSTF merekomendasikan untuk melahirkan janin
dengan cara meluksir kepala.2 Hal ini adalah teknik teraman, jika
dibandingkan dengan menggunakan vakum , ataupun forceps. Clark (2008)

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


20

melaporkan bahwa risiko bagi bayi untuk mengalami asfiksia dan cephal
hematome lebih tinggi jika dilahirkan dengan menggunakan vakum dan
forceps dibandingkan dengan meluksir kepala. Dengan kata lain, penggunaan
vakum dan forceps adalah pilihan kedua untuk melahirkan janin jika dengan
meluksir kepala janin sulit dilahirkan.30
Pada presentasi bokong, manuver Pinard lebih dianjurkan untuk
melahirkan kaki terlebih dahulu, kemudian dapat dialnjutkan dengan manuver
Lovset, Classic, ataupun Muller. Kepala dapat dilahirkan dengan manuver
Mauriceau.5
Pada letak lintang, jika kepala sulit untuk dicapai, dapat dicoba dengan
menarik kaki atau bokong terlebih dahulu, kemudian untuk melahirkan bahu
dan kepala dapat dipakai manuver yang sama seperti presentasi bokong.24
Untuk melahirkan plasenta, dapat dilakukan secara spontan dan manual.
Morales dan kawan-kawan dalam penelitiannya mendapatkan bahwa waktu
yang diperlukan untuk melahirkan plasenta secara spontan lebih lama
daripada manual, namun tidak didapatkan perbedaan durasi operasi yang
bermakna pada seksio sesar dengan plasenta yang dilahirkan secara spontan
dan plasenta yang dilahirkan manual. Perdarahan intra operatif pada seksio
sesarea dengan plasenta yang dilahirkan secara spontan lebih sedikit
dibandingkan pada seksio sesarea dengan plasenta yang dilahirkan secara
manual.31 Wilkinson dan kawan-kawan (2007) dalam penelitiannya
mendapatkan hasil bahwa melahirkan plasenta secara spontan dapat
mengurangi risiko untuk terjadinya komplikasi endometritis dan perdarahan
intraoperatif yang lebih sedikit dan luka terinfeksi yang lebih sedikit.5
Mengganti sarung tangan sebelum melepaskan plasenta secara manual
tidak menurunkan angka kejadian endometritis. Membersihkan sisa plasenta
yang ada dari kavum uterus dengan kassa, sampai saat ini belum dilakukan
penelitian secara khusus.

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


21

Pencegahan atonia uteri dengan pemberian oksitosin ke dalam infus dapat


mengurangi angka kejadian perdarahan post partum sampai 40%. Oksitosin
lebih dipilih dibandingkan ergometrin karena efek sampingnya yang lebih
sedikit.
Tabel 4. Rekomendasi teknik melahirkan janin, plasenta dan pencegahan atonia uteri
berdasarkan evidence-based oleh USPSTF
Aspek Tehnis Rekomendasi Kualitas Keterangan
Melahirkann janin dengan I Kurang
instrumen
Melahirkan plasenta A Baik Spontan
Oksitosin I Cukup
2
Dikutip dari Berghella

E. Penjahitan Uterus
Penelitian yang membandingkan penjahitan uterus baik dengan satu lapis atau
dengan dua lapis telah banyak dilakukan. Penelitian terbesar (dengan jumlah
sampel 906 wanita) mendapatkan penurunan yang signifikan pada durasi
operasi sebanyak 5,6 menit (P= 0,001). Didapatkan juga perbedaan yang
signifikan pada perdarahan intraoperatif dan kebutuhan akan transfusi darah
(12% vs 34%). Sedangkan pada angka kejadian endometritis tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna antara kedua teknik tersebut. Enkin dan kawan-
kawan (2007) dalam penelitiannya mendapatkan angka kejadian dehisensi
uterus yang lebih rendah pada teknik penjahitan uterus dengan satu lapis
setelah tiga bulan pascaoperasi dengan pemeriksaan histerografi dibandingkan
dengan teknik penjahitan uterus dengan dua lapis.5
Teknik penjahitan secara jelujur dapat menghemat durasi operasi dan
mengurangi perdarahan intraoperatif dibandingkan dengan penjahitan secara
terputus. Penjahitan secara jelujur dibandingkan dengan penjahitan jelujur
terkunci (continous locking suture), dapat menghemat waktu operasi dan

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


22

perdarahan. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada angka kejadian


dehisensi uterus5,32
Colin (2009) dan kawan-kawan mendapatkan hasil dari penelitiannya
bahwa mengeluarkan uterus dari cavum abdomen pada saat penjahitan
dengan tujuan untuk mempermudah dalam mengidentifikasi luka pada uterus
memiliki hubungan yang signifikan dengan angka kejadian komplikasi
pascaoperasi, yaitu muntah dan nyeri.33
Irigasi intraabdominal dengan cairan garam fisiologis sebanyak 500-1000
ml sebelum penutupan abdomen sebaiknya tidak dilakukan secara rutin karena
tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada jumlah perdarahan,
komplikasi intrapartum, perlengketan, lama perawatan dan kejadian infeksi
pascaoperasi.5

Tabel 5. Rekomendasi teknik melahirkan janin, plasenta dan pencegahan atonia uteri
berdasarkan evidence-based oleh USPSTF
Aspek Tehnis Rekomendasi Kualitas Keterangan
Penjahitan uterus
Dua lapis vs satu lapis B Cukup Satu lapis
Jelujur vs terputus B Cukup Jelujur
Jelujur vs jelujur terputus C Kurang
Dua lapis vs satu lapis C
Jelujur vs jelujur terputus
Pencucian kavum abdomen D Cukup Tidak direkomendasikan
2
Dikutip dari Berghella

F. Penutupan Dinding Abdomen


Penjahitan Peritoneum
Manfaat penutupan peritoneum telah diteliti di berbagai negara, dan
didapatkan sembilan penelitian yang valid yang melibatkan 1811 wanita.
Beberapa dari penelitian ini mengevaluasi baik itu penutupan peritoneum

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


23

parietal ataupun visceral secara satu persatu. Meskipun beberapa penelitian


lainnya meneliti penutupan keduanya.
Berghella (2005) mendapatkan bahwa peritoneum yang tidak dijahit
berhubungan dengan pengurangan durasi operasi baik itu lapisan parietal
ataupun visceral. Pada peritoneum yang kedua lapisannya tidak dijahit,
didapatkan pengurangan durasi operasi sampai 7,33 menit (-8,43 vs -6,24).
Didapatkan angka nyeri dan demam pascaoperasi yang menurun secara
signifikan dan juga waktu rawat inap pada pasien yang tidak dilakukan
penjahitan peritoneum. Selain itu juga didapatkan kecenderungan kebutuhan
obat-obat analgesik dan angka kejadian infeksi yang lebih sedikit pada pasien
yang tidak dilakukan penjahitan peritoneum. Pada follow up jangka panjang,
setelah tujuh tahun menunjukkan tidak ada perbedaan pada rasa nyeri,
fertilitas, keluhan miksi, dan perlengketan. Studi observasional membuktikan
bahwa peritoneum akan meregenerasi dalam waktu 5 sampai 6 hari.
Tulandi (2009) dalam penelitiannya tidak mendapatkan hubungan
yang bermakna antara angka kejadian perlengketan yang ditemukan pada
wanita yang memiliki riwayat seksio sesarea yang lapisan peritoneumnya
tidak dilakukan penjahitan.33
Penjahitan Otot
Penelitian yang menunjukkan keuntungan penjahitan otot rectus abdominis
belum ditemui sampai saat ini. Para ahli meyakini bahwa otot tersebut akan
“menemukan jalan sendiri” untuk menyatu, selain itu dengan menjahit otot
tersebut akan menambah nyeri pascaoperasi yang tidak perlu pada saat pasien
akan belajar mobilisasi.2
Penjahitan Fasia
Belum ada penelitian khusus tentang hubungan teknik penjahitan fasia dan
hubungannya terhadap outcome pascaoperasi. Namun para ahli lebih
menganjurkan penjahitan secara jelujur. Teknik penjahitan secara jelujur

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


24

terkunci yang lebih bertujuan untuk hemostasis tidak direkomendasikan


dengan alasan tidak adanya vaskularisasi pada fasia.2
Penjahitan Subkutis
Penelitian yang membandingkan penjahitan pada lapisan subkutis telah
banyak dilakukan. Chelmow dan kawan-kawan (2004) mendapatkan angka
kejadian infeksi luka operasi lebih sedikit pada kelompok wanita yang dijahit
pada lapisan subkutis (2:91). Ketebalan lapisan subkutis adalah faktor yang
harus diperhatikan. Dari berbagai penelitian, didapatkan hasil bahwa pada
lapisan subkutis dengan tebal < 2 cm tidak didapatkan perbedaan pada angka
kejadian infeksi pada kelompok yang dijahit dan tidak dijahit, sehingga
penjahitan pada lapisan subkutis dengan tebal < 2 cm tidak dianjurkan untuk
menjadi sebuah kegiatan yang rutin.
Chelmow dan kawan-kawan (2005) dalam penelitiannya juga
mendapatkan angka kejadian infeksi lebih sedikit pada wanita dengan
ketebalan subkutis < 2 cm yang tidak dijahit. Penjahitan subkutis dengan
teknik jelujur lebih menguntungkan dalam hal waktu. Didapatkan perbedaan
dalam durasi operasi sampai 4,8 menit antara penjahitan lapisan subkutis yang
dijahit secara jelujur dan yang dijahit secara terputus. Meskipun angka
kejadian infeksi Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada angka
kejadian infeksi dengan teknik penjahitan.

Gambar 6. Contoh pemasangan drain Jackson-Pratt


Dikutip dari Bechara 34

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


25

Pada subkutis dengan ketebalan > 2 cm, penjahitan subkutis adalah hal
yang dianjurkan. Chelmow (2005) dan Hellums (2007) mendapatkan bahwa
penggunaan drainase dengan menggunakan drain Jackson Pratt pada lapisan
subkutis dengan ketebalan > 2 cm berhubungan dengan angka kejadian infeksi
luka yang lebih rendah. Meskipun demikian, para klinisi belum dapat
menyimpulkan apakah pemasangan drainase pada subkutis dengan ketebalan
> 2 cm lebih superior daripada yang lain, sehingga harus dilakukan secara
rutin. Namun pemasangan drain pada lapisan subkutis dengan tebal > 2 cm
lebih dianjurkan.
Penutupan Kulit
Penutupan kulit dengan menggunakan penjahitan subkutikuler atau dengan
staples juga telah dibandingkan dalam beberapa penelitian (2). Frishman
dalam penelitiannya pada 50 wanita yang dilakukan seksio sesarea dengan
insisi Pfannenstiel, ia membandingkan kedua teknik penutupan kulit ini.
Pada kulit yang ditutup dengan staples, didapatkan penurunan durasi
operasi yang bermakna (<1 vs 10 menit, P < .001), namun dengan
peningkatan konsumsi pil analgesik selama 6 minggu pascaoperasi. Secara
umum literatur didapatkan bahwa penutupan kulit dengan penjahitan
subkutikuler berhubungan dengan nyeri pascaoperasi yang lebih sedikit dan
tampilan kosmetik yang lebih baik.

Tabel 6. Rekomendasi teknik penutupan dinding abdomen berdasarkan evidence-based oleh


USPSTF
Aspek Tehnis Rekomendasi Kualitas Keterangan
Penjahitan Peritoneum D Baik Rekomendasi tidak dijahit
Aproksimasi otot rektus I Kurang
Teknik penjahitan fasia I Kurang Rekomendasi jelujur
Lapisan Subkutis
Tebal < 2 cm
• Dijahit vs tidak dijahit D Cukup Rekomendasi tidak dijahit

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


26

• Memakai drain vs tidak D Cukup Rekomendasi tidak memakai


memakai drain drain
Tebal > 2 cm
• Dijahit vs tidak dijahit A Baik Rekomendasi tidak dijahit
• Memakai drain vs tidak A Baik Rekomendasi tidak memakai
memakai drain drain
Penjahitan kulit
Staples vs subkutikuler I Poor
2
Dikutip dari Berghella

VI. RINGKASAN
Semakin berkembangnya ilmu teknologi, munculnya berbagai hasil penelitian,
membuat adanya perbedaan dalam teknik seksio sesarea di setiap negara. Bahkan
dapat dikatakan bahwa setiap ahli obstetri pun memiliki teknik yang berbeda
dalam melakukan seksio sesarea. Dalam 10 tahun terakhir, telah banyak
dilakukan penelitian untuk mencari teknik terbaik dan untuk menyamakan
persepsi dalam peningkatan kualitas kesehatan yang terbaik. Dari penelitian-
penelitian tersebut didapatkan banyak hal sebagai berikut.
Pada jenis insisi dinding abdomen, dari hasil penelitian, dengan teknik Joel-
Cohen, perdarahan yang lebih sedikit pada 481 wanita yang dilakukan seksio
sesarea dengan, waktu operasi yang lebih singkat, tidak didapatkan perbedaan
angka kejadian infeksi antara teknik Joel-Cohen dan Pfannenstiel. Didapatkan
angka kejadian hematom yang lebih tinggi pada luka operasi dengan teknik Joel-
Cohen. Didapatkan nyeri post operasi yang lebih sedikit pada pasien yang
dioperasi dengan teknik Joel-Cohen. Peritoneum biasanya dibuka secara hati-hati
secara tajam atau tumpul, dan diperluas secara tumpul.
Pembuatan bladder flap berhubungan dengan mikrohematuria pascaoperasi
dan kebutuhan obat analgetik yang lebih banyak pada dua hari pascaoperasi.
Insisi pada uterus yang sangat dianjurkan adalah insisi transversal. Insisi uterus
secara transversal sepanjang 3 cm yang diperluas secara tumpul berhubungan

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


27

dengan perdarahan intraoperatif yang lebih sedikit, dan penyembuhan uterus yang
lebih sempurna Melakukan perluasan insisi secara tumpul ke arah cephalad-
caudad, risiko untuk terjadinya perluasan insisi sampai ke arteri uterina dapat
diperkecil dan perdarahan intraoperatif lebih sedikit.
Pada teknik melahirkan janin, USPSTF merekomendasikan untuk melahirkan
janin dengan cara meluksir kepala. Untuk melahirkan plasenta secara spontan
dapat mengurangi risiko untuk terjadinya komplikasi endometritis dan perdarahan
intraoperatif yang lebih sedikit dan luka terinfeksi yang lebih sedikit. Penjahitan
secara jelujur dibandingkan dengan penjahitan jelujur terkunci (continous locking
suture), dapat menghemat waktu operasi dan perdarahan. Tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna pada angka kejadian dehisensi uterus. Irigasi
intraabdominal dengan cairan garam fisiologis sebanyak 500-1000 ml sebelum
penutupan abdomen sebaiknya tidak dilakukan secara rutin karena tidak
memberikan perbedaan yang signifikan pada jumlah perdarahan, komplikasi
intrapartum, perlengketan, lama perawatan dan kejadian infeksi pascaoperasi
Peritoneum yang tidak dijahit berhubungan dengan pengurangan durasi
operasi baik itu lapisan parietal ataupun visceral. Menjahit otot akan menambah
nyeri pascaoperasi yang tidak perlu pada saat pasien akan belajar mobilisasi.
Lebih dianjurkan penjahitan secara jelujur. Teknik penjahitan secara jelujur
terkunci yang lebih bertujuan untuk hemostasis tidak direkomendasikan dengan
alasan tidak adanya vaskularisasi pada fasia. Penjahitan pada lapisan subkutis
dengan tebal < 2 cm tidak dianjurkan untuk menjadi sebuah kegiatan yang rutin.
Pada subkutis dengan ketebalan > 2 cm, penjahitan subkutis adalah hal yang
dianjurkan Secara umum literatur didapatkan bahwa penutupan kulit dengan
penjahitan subkutikuler berhubungan dengan nyeri pascaoperasi yang lebih
sedikit dan tampilan kosmetik yang lebih baik

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


28

RUJUKAN
1. Zhang J, Troendle J, Reddy UM, Laughon K, Branch DW, Burkman R et al. Contemporary
cesarean delivery practice in the United States. Am J Obstet Gynecol 2010; 203: 326.e1-10.
2. Berghella V, Baxter JK, Chauhan SP. Evidence –based sirgery for cesarean section. Am J
Obstet Gynecol 2005; 193, 1607-17.
3. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstorm KD. Williams
obstetric. 23rd ed. New York: McGraw-Hill Companies, Inc; 2010.
4. Lamont R, Sobel J, Kusanovic J, Vaisbuch E, Mazaki-Tovi S, Kim S, Uldbjerg N, Romero R.
Current debate on the use of antibiotic prophylaxis for caesarean section. BJOG
2011;118:193–201.
5. Obstetric evidence based
6. Johanson RB, Menon V. Vacuum extraction versus forceps for assisted vaginal delivery.
Cochrane Database Syst Rev 2007;1.
7. Smaill F, Hofmeyr GJ. Antibiotic prophylaxis for cesarean section.Cochrane Database Syst
Rev 2007;1
8. Hopkins L, Smaill F. Antibiotic prophylaxis regimens and drugs for cesarean section.
Cochrane Database Syst Rev 2007;1.
9. Lasley DS, Eblen A, Yancey MK, Duff P. The effect of placental removal method on the
incidence of postcesarean infections. Am J Obstet Gynecol 2007;176:1250-4.
10. Chandra P, Schiavelo HJ, Kluge JE, Holloway SL. Manual removal of the placenta and
postcesarean endometritis. J Reprod Med 2006;47:101-6.
11. Wilkinson C, Enkin MW. Manual removal of placenta at cesarean section. Cochrane
Database Syst Rev 2008;4.
12. Yancey MK, Clark P, Duff P. The frequency of glove contamination during cesarean
delivery. Obstet Gynecol 2004;83:538-42.
13. Hershey DW, Quilligan EJ. Extraabdominal uterine exteriorization at cesarean section. Obstet
Gynecol 2008;72:189-92.
14. Edi-Osagie ECO, Hopkins RE, Ogbo V, Lockhat-Clegg F, Ayeko M, Akpala WO, et al.
Uterine exteriorisation at caesarean section: influence on maternal morbidity. BJOG
2008;105:1070-8.
15. Wahab MA, Karantzis P, Eccersley PS, Russell IF, Thompson JW, Lindow SW. A
randomised, controlled study of uterine exteriorisation and repair at caesarean section. BJOG
2009;106:913-6
16. Jacobs-Jokhan D, Hofmeyr GJ. Extra-abdominal versus intraabdominal repair of the uterine
incision at caesarean section. Cochrane Database Syst Rev 2005;1.
17. Hofmeyr JG, Novikora N, Mathai M, Shah A. Techniques for cesarean section. Am J Obstet
Gynecol 2009; 200: 431`-44.
18. Bolissa Y. Closure of abdominal wall. [monograph on the internet] (cited 2011 March 28).
Available from: http://www.glowm.com/?p=glowm.cml/section_view&articleid=133.
19. Giacalone PL, Daures JP, Vignal J, Herisson C, Hedon B, Laffargue F. Pfannenstiel versus
Maylard incision for cesarean delivery: a randomized controlled trial. Obstet Gynecol
2006;99:745-50.
20. Schorge J, Schaffer J, Halvorson LM, Bradshaw KD, Cunningham FG. Williams Gynecology
22ed. New York: McGraw-Hill Companies, Inc; 2008.
21. Stark M, Chavkin Y, Kupfersztain C, Guedj P, Finkel AR. Evaluation of combinations of
procedures in cesarean section. Int J Gynaecol Obstet 2007;48:273-6.
22. Pelosi MA, Pelosi MA III, Giblin S. Simplified cesarean section. Contemp Obstet Gynecol
2008;40:89-100.
23. Hohlagschwandtner M, Ruecklinger E, Husslein P, Joura EA. Is the formation of a bladder
flap at cesarean necessary? A randomized trial. Obstet Gynecol 2004;98:1089-92.

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR


29

24. O’Grady JP, Gimovsky ML, Bayer-Zwirello LA, Giordano K. Operative Obstetrics 2nd Ed.
New York: Cambridge University Press; 2008.
25. Gajjar K, Spencer C. Fetal laceration injury during cesarean section and its long-term
sequelae: a case report. Am J Obstet Gynecol 2009; 055: e5-e7.
26. Maayan-Metzger A, Schushan-Eisen I, Todris L, et al. Maternal hypotension during elective
cesarean section and short-term neonatal outcome. Am J Obstet Gynecol 2010;202:56.e1-5.
27. Cromi A, Ghezzi F, Di Naro E, Siesto G, Loverro G, Bolis P. Blunt expansion of the low
transverse uterine incision at cesarean delivery: a randomized comparison of 2 techniques.
Am J Obstet Gynecol 2008;199:292.e1-292.e6.
28. Young RC. Myocytes, myometrium, and uterine contractions. Ann N Y Acad Sci
2007;1101:72-84.
29. Pelosi MA 2nd, Pelosi MA 3rd. Pelosi minimally invasive technique of cesarean section. Surg
Technol Int 2004;13:137-46.
30. Clark S, Vines CL, Belfort MA. Fetal injury associated with routine vacuum use during
cesarean delivery. Am J Obstet Gynecol 2008; 009: e4.
31. Morales M, Ceysens G, Jastrow N, Viardot C, Faron G, Vial Y. Kirkpatrick C, Irion O,
Boulvain M. Spontaneous delivery manual removal of the placenta during cesarean section: a
randomised controlled trial. Int J Gynaecol Obstet 2004; 111: 908-12.
32. Berghella V, Obstetric Evidence Based Guidelines. London: Informa Healthcare: 2008.
33. Doganav M, Esra AT, Var T. Effect of method of uterine repair on surgical outcome of
cesarean delivery. Int J Gynaecol Obstet 2010; 111:2: 175-8.
34. Walsh CA, Walsh SR. Extraabdominal vs intraabdominal uterine repair at cesarean delivery:
a metaanalysis. Am J Obstet Gynecol 2009;200:625.e1-625.e8.
35. Bechara Y. Ghorayeb, MD. Otolaryngology Houston. Picture of Neck Incision with Jackson-
Pratt Drain. [monograph on the internet] (cited 2011 March 28). Available from:
http://www.ghorayeb.com/JPdrain.html.

REFRAT III PPDS I OBGYN RSMH/FK UNSRI – EMIR FAKHRUDIN, DR

You might also like