Professional Documents
Culture Documents
Belum lama ini telah terbit Peraturan Direktur Jenderal Pajak : PER-43/PJ/2010 tentang
pedoman penentuan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (ALP) dalam transaksi diantara
Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Latar Belakang
Salah satu prinsip dalam UU PPh adalah substance over form; harga perolehan atau harga
penjualan dalam setiap transaksi yang ada hubungan istimewa harus berdasarkan harga wajar
atau harga yang seharusnya diterima (Pasal 10 UU PPh). Pajak penghasilan dihitung
berdasarkan perkalian tarif PPh dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP diperoleh dari
penghasilan dikurangi dengan pengurang penghasilan (Pasal 16 UU PPh).
Dalam transaksi antar Wajib Pajak yang ada hubungan istimewa, seringkali unsur penghasilan
dan pengurang tesebut belum tentu sama bila dibandingkan dengan transaksi yang dilakukan atar
pihak yang independen, yang dampaknya pelaporan penghasilan dan pengurang untuk
menghitung PKP tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Oleh karenanya
sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU PPh, Direktur Jenderal Pajak berhak melakukan
penyesuaian besarnya penghasilan dan pengurang yang menjadi dasar dalam penghitungan
PKP.
Inti peraturan
PER 43/PJ-2010 merupakan pedoman bagi Wajib Pajak dalam penerapan prinsip kewajaran
dan Kelaziman usaha, sehingga tercapai harga wajar, dan laba wajar dalam transaksi antar para
pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Harga wajar atau laba wajar, adalah penetapan harga atau laba dalam transaksi yang ada
hubungan istimewa haruslah sama atau dalam rentang harga tertentu bila dibandingkan dengan
transaksi yang sama antara para pihak yang independen.
Wajib Pajak yang bertransaksi dengan pihak pihak yang mempunyai hubungan istimewa wajib
menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dengan melalui analisa kesebandingan,
menetapkan pembanding baik internal maupun eksternal, dan memilih metoda yang tepat dalam
penentuan harga atau laba wajar dimaksud.
Pemilihan pembanding, lebih diutamakan pembanding internal, yaitu data harga wajar atau laba
wajar dalam transaksi sebanding antara Wajib Pajak dengan pihak independen.
Metoda kesebandingan
a) Comparable Uncontrolled Price Method (CUPM) biasanya dikenal dengan CUP Method),
cocok untuk membandingkan harga antara transaksi yang ada hubungan istimewa dengan pihak
yang independent dalam kondisi sebanding (barang dan jasa identik).
b) Resale Price Method (RPM), untuk membandingkan harga transaksi produk dikurangi laba
kotor wajar yang mencerminkan fungsi, asset dan risiko dalam transaksi independen (fungsi
identik walaupun barang dan jasa berbeda).
c) Cost Plus Method (CPM) untuk membandingkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
perusahaan akan sama dengan laba kotor perusahaan lain yang sebanding, pada tingkat Harga
Pokok Penjualan yang sesuai dengan Arm’s Length Price (ALP). Transaksi berupa barang
setengah jadi, transaksi jasa, terdapat joint facilities atau long-term agreement).
d) Profit Split Method (PSM) atau metoda penentuan laba transaksional dengan
mengidentifikasi laba gabungan yang akan dibagikan kepada para pihak terafiliasi dengan
menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan gambaran perkiraan
laba wajar bila transaksi tersebut bersifat independen (terdapat barang tak wujud yang unik, dan
tidak terdapat pembanding yang tepat).
e) Transactional Net Margin Method (TNMM), yaitu metoda yang membandingkan laba operasi
dengan laba, penjualan, aktiva, prosentase laba bersih operasi yang sebanding apabila dilakukan
oleh pihak yang independen. Digunakan bilamana keempat metoda diatas tidak dapat
diterapkan).
Setiap metoda hanya efektif digunakan untuk penentuan harga atau laba wajar dalam kondisi
specifik, namun peraturan tersebut mewajibkan dilakukan secara hierarkhis, dimulai dengan
metoda CUP.
1. Tidak terdapat kondisi signifikan yang berbeda yang dapat mempengaruhi harga atau
laba yang diperbandingkan;
2. Kemungkinan terdapat kondisi berbeda yang dapat dilakukan penyesuaian untuk
menghilangkan pengaruh.
Khusus untuk transaksi Jasa, apabila identifikasi transaksi jasa yang diserahkan kepada pihak
yang ada hubungan istimewa tidak dapat dilakukan, hendaknya dilihat dari beban jasa yang
dialokasikan ke masing masing pihak dengan memperhatikan sifat jasa, kondisi jasa pada saat
diserahkan, dan manfaat yang diperoleh, eksklusifitas jasa, dan kondisi geografis transaksi.
1. Wajib Pajak dapat melakukan sendiri penyesuaian besarnya penghasilan dan pengurang
dengan menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
2. Dilakukan oleh DJP apabila penentuan harga atau laba wajar tidak dilakukan oleh Wajib
Pajak, dilakukan tetapi metoda yang digunakan tidak disepakati oleh DJP, atau
dikarenakan Wajib Pajak tidak dapat menjelaskan proses dalam penerapan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha.
Correlative Adjustment
Berbagai Peraturan Direktur Jenderal Pajak terdahulu mengenai dokumen yang harus disertakan
dalam lampiran SPT Tahunan, mengatur tentang dokumen lain yang signifikan dalam
menjelaskan perhitungan PKP. Signifkan karena bentuk atau macam dokumen sangat tergantung
pada kondisi khusus dari Wajib Pajak, misalnya saja Wajib Pajak perusahaan multi nasional,
Wajib Pajak cabang perusahaan asing, Wajib Pajak yang bertransaksi dengan berbagai pihak
yang mempunyai hubungan istimewa atau yang berdomisili di Tax Heaven Country. Sejalan
dengan hal tersebut, sesuai denganPER 34/PJ/2010 tentang SPT Tahunan, semua dokumen
terkait analisis kesebandingan perlu dilampirkan dalam SPT Tahunan (seperti lampiran VI dan
lampiran khusus 3-A /3-A1).
0 comments
kompas.com, 18-Januari-2011
Direktorat Jenderal Pajak membidik pihak-pihak yang menjalin hubungan istimewa dengan wajib pajak
badan atau perusahaan pembayar pajak terbesar pada 2011
JAKARTA, KOMPAS.com — Direktorat Jenderal Pajak membidik pihak-pihak yang menjalin hubungan
istimewa dengan wajib pajak badan atau perusahaan pembayar pajak terbesar pada 2011.
Program yang diberi nama ”Feeding” atau mengumpan ini menjadi prosedur utama yang akan
digunakan untuk mengejar target penerimaan pajak tahun 2011 sebesar Rp 764,487 triliun.
”Target yang dibebankan kepada Ditjen Pajak tidak turun. Atas dasar itu, kami akan tetap
mempertajam program ektensifikasi dan intensifikasi. Salah satunya adalah dengan menggelar
program Feeding ini,” ungkap Direktur Kepatuhan, Potensi, dan Penerimaan Direktorat Jenderal
Pajak Sumihar Petrus Tambunan di Jakarta, Senin (17/1/2011).
Menurut Sumihar, dalam program Feeding ini ada sekitar 1.000 wajib pajak badan atau
perusahaan besar yang akan menjadi umpan bagi wajib pajak lain yang selama ini terkait erat
dalam urusan bisnis wajib pajak besar tersebut.
Tidak hanya itu, dalam program Feeding tersebut, Ditjen Pajak juga akan membidik pihak-pihak
lain yang tidak memiliki hubungan bisnis dengan wajib pajak besar, tetapi memiliki hubungan
istimewa dengan perusahaan umpannya itu.
Sebelumnya, Ditjen Pajak sudah menjalankan program sejenis, tetapi tidak menggali informasi
aliran dana dari dan ke pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa.
Oleh karena itu, program Feeding baru diterapkan tahun 2011 dan diharapkan akan ampuh dalam
menghimpun penerimaan pajak lebih besar lagi. ”Dari program Feeding ini akan diketahui
wajib-wajib pajak yang sebelumnya tersembunyi dan belum diketahui, atau akan diketahui
kewajiban pajak yang belum dipenuhi oleh perusahaan pemasok, misalnya. Kami akan
mengetahui wajib pajak yang tidak mengisi SPT (surat pemberitahuan) pajak secara keliru,” kata
Sumihar.
Saat ini, ada 331 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia. Mereka diwajibkan
membuat profil 1.000 wajib pajak yang membayar terbesar di setiap wilayah kerjanya.
Namun, dari seluruh Indonesia, hanya ada satu KPP Wajib Pajak Besar Badan atau Large
Taxpayer Office (LTO) yang menampung tidak lebih dari 1.000 wajib pajak badan pembayar
pajak terbesar di Indonesia.
Semua wajib pajak yang dilayani di KPP LTO tersebut akan menjadi umpan dalam program
Feeding ini.
Secara terpisah, pengamat pajak Ruston Tambunan mengatakan, Feeding merupakan program
yang baru terdengar kali ini. Agar tidak mubazir dan dapat berjalan efektif, program ini perlu
didahului survei dan analisis untuk mengidentifikasi adanya indikasi awal ketidakpatuhan pihak-
pihak yang berhubungan dengan perusahaan besar itu.
Identifikasi dapat dilakukan dengan meneliti berkas SPT perusahaan besar yang menjadi umpan
atau melakukan pemeriksaan pajak. Jika kemudian ditemukan indikasi ketidakpatuhan, perlu
dilakukan pemeriksaan segera atas perusahaan pemasok dan pihak yang berhubungan istimewa
dengan perusahaan besar itu.
”Kalau perlu dilakukan secara serentak dalam waktu bersamaan dengan pemeriksaan pada
perusahaan besar yang menjadi umpan. Ini bisa disebut pemeriksaan keterkaitan. Namun, butuh
tenaga pemeriksa lebih banyak,” kata Ruston.
www.pemeriksaanpajak.com
Dituduh Transfer Pricing, Bagaimana Menghadapinya ??
0 comments
hubungan istimewa, pajak, pajak penghasilan, Pemeriksaan, pemeriksaan pajak, transfer pricing
Di kalangan pajak istilah Transfer Pricing menjadi cukup populer akhir-akhir ini. Ditambah lagi
Ditjen Pajak membentuk tim audit gabungan dan peraturan-peraturan baru untuk menganalisa
kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan
istimewa (Transfer Pricing).
Transfer Pricing merupakan transaksi yang dianggap mengandung unsur pelarian laba (shifting
profit) atau pengurangan tarif pajak (shifting tax rate). Pelarian laba ataupun pengurangan tarif
pajak tersebut berupa pengiriman uang ke luar negeri yang biasanya memiliki tarif pajak lebih
rendah dibanding dengan tarif pajak di Indonesia (Tax Haven Country) yang pengakuannya
dapat berupa pembayaran atas Fee / balas jasa atau pinjaman, dan sebagainya.
Bagaimana apabila dalam pemeriksaan pajak perusahaan Anda terdapat isu Transfer Pricing ??
Hal ini berarti Pemeriksa akan melakukan koreksi atas transaksi yang dicurigai mengandung
unsur Transfer Pricing yang pastinya akan menyebabkan hutang pajak menjadi bertambah besar.
Namun hal ini bukanlah berarti kiamat buat Anda, karena Anda masih mempunya hak untuk
melakukan pembelaan / argumentasi atas temuan Pemeriksa tersebut. Pembelaan / argumentasi
yang Anda lakukan haruslah berdasarkan bukti transaksi dan peraturan serta data dan informasi
yang menjelaskan bahwa pembayaran ke luar negeri tersebut merupakan pembayaran yang
seharusnya dan wajar bagi Perusahaan Anda sehingga tidak mengandung unsur Transfer Pricing.
Selain pembelaan / argumentasi tersebut, Anda tentu saja harus membina komunikasi yang baik
dengan Tim Pemeriksa.
Jadi telitilah terlebih dahulu transaksi Perusahaan Anda apakah bersih dari unsur Transfer
Pricing sebelum terjadi Pemeriksaan.
www.pajakpenghasilan.com