Professional Documents
Culture Documents
KARAKTERISTIK
(KTSP)
A. Apakah KTSP itu?
Desain kurikulum ini merupakan desain yang berpusat pada pengetahuan (the
knowledge centered design) yang dirancang berdasarkan struktur disiplin
ilmu(Anonim, 2008 : 41). Dilihat dari desainnya, KTSP adalah kurikulum
yang berorientasi pada disiplin ilmu. Hal ni dapat dilihat dari (1) struktur
program KTSP yang memuat sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh
oleh peserta didik dan mata pelajaran yang harus dipelajari itu selain sesuai
dengan nama-nama disiplin ilmu juga ditentukan jumlah jam pelajarannya; (2)
kriteria keberhasilan KTSP lebih banyak diukur dari kemampuan siswa
menguasai materi pelajaran.
Asumsi yang mendasari desain kurikulum ini adalah, bahwa tujuan dari
sekolah yaitu melayani kebutuhan masyarakat. Oleh karena tu, kebutuhan
masyarakat harus dijadikan salah satu dasar dalam pengembangan
kurikulum(Anonim, 2008 : 43). KTSP merupakan kurikulum yang berorientasi
pada masyarakat. Hal itu terlihat dari :
Salah satu acuan operasional penyusunan KTSP yaitu keragaman potensi dan
karakteristik daerah dan lingkungan. KTSP disusun dengan memperhatikan
bahwa daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman
karakteristik. Masing-masing daerah memerlukan pendidikan sesuai dengan
karakteristik daerah dan pengalman hidup sehari-hari. Oleh karena itu KTSP
disusun dengan memperhatikan keragaman tersebut unruk menghasilkan lulusan
yang relevan dengan kebutuhan pengembangan daerah.
2 komentar:
akhlis mengatakan...
muyassaroh mengatakan...
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
Pengikut
Arsip Blog
• ▼ 2009 (9)
o ► Oktober (1)
o ► Agustus (1)
o ► April (2)
o ► Februari (1)
o ▼ Januari (4)
KARAKTERISTIK KTSP
MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF
ANALISIS KURIKULUM SMPN 2 KANDANGAN KAB.
TEMANGGUN...
COOPERATIF LEARNING: SUATU PENDEKATAN
PEMBELAJARAN.
• Karakteristik KTSP
KTSP merupakan bentuk operasional pengembangan kurikulum dalam konteks
desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah, yang akan memberikan wawasan
baru terhadap sistem yang sedang berjalan selama ini. Hal ini diharapkan dapat
membawa dampak terhadap peningkatan efisiensi dan efektivitas kinerja
sekolah, khususnya dalam meningkatkan peserta didik datang dari berbagai latar
belakang kesukuan dan tingkat sosial, salah satu perhatian sekolah harus
ditunjukan pada asas pemerataan, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun
politik. Disisi lain, sekolah juga harus meningkatkan efisiensi, partisipasi, dan
mutu, serta bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
Karakteristik KTSP bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan
pendidikan dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan
sumber belajar, profosionalsme tenaga kependidikan, serta sistem penilaian.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikemukakan beberapa karakteritik KTSP
sebagai berikut: pemberian otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan,
partisipasi masyarkat dan orang tua yang tinggi, kepemimpinan yang
demokaratis dan froposional, serta team-kerja yang kompak dan transparan.
Untuk lebih jelasnya, masing-masing karakteristik tersebut dideskripsikan
sebagaiman mestinya.
Dasar-dasar Strategi Belajar-Mengajar
Yang dimaksud dengan strategi secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu garis
besar haluan bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Menurut
Newman dan Logan, dalam bukunya yang berjudul Strategy Policy and Central
Management(1971 : 8), strategi dasar dari setiap usaha akan mencakup keempat hal
sbb :
Meskipun terdapat keragaman dari berbagai paham dan teori tentang makna
perbuatan belajar, namun teori manapun pada akhirnya cenderung untuk sampai pada
konsensus bahwa hasil perbuatan belajar itu dimanifestasikan dalam perubahan perilaku
dan pribadi baik secara material-substansial, struktural-fungsional, maupun secara
behavioral. Tingkat dan jenis karakteristik perilaku siswa yang telah dimilikinya pada
saat akan memasuki kegiatan belajar mengajar inilah yang dimaksudkan dengan
Entering Behavior. Entering Behavior ini akan dapat kita identifikasikan dengan
berbagai cara, antara lain :
3) Dengan membandingkan nilai hasil pre-test dengan nilai hasil akhir, guru akan
memperoleh indikator yang menunjukkan seberapa banyak perubahan perilaku
yang terjadi pada siswa.
a. Batas-batas cangkupan ruang lingkup materi pengetahuan yang telah dimiliki dan
dikuasai siswa.
a) Sejauh mana batas-batas materi pengetahuan yang telah dikuasai dan diketahui oleh
siswa yang akan diajar.
b) Tingkat dan tahap serta jenis kemamupuan manakah yang telah dicapai dan dikuasai
siswa yang bersangkutan.
c) Apakah siswa sudah cukup siap dan matang untuk menerima bahan dan pola-pola
perilaku yang akan diajarkan.
d) Seberapa jauh motivasi dan minat belajar yang dimiliki oleh siswa sebelum belajar
dimulai.
Tipe belajar ini menduduki tahapan hierarki (yang paling dasar). Signal learning
dapat didefinisikan sebagai proses penguasaan pola dasar perilaku yang bersifat
involunter (tidak disengaja dan didasari tujuannya). Kondisi yang diperlukan bagi
berlangsungnya tipe belajar ini ialah diberikan stimulus secara serempak perangsang-
perangsang tertentu dengan berulang-ulang.
Kedua tipe belajar ini setaraf, ialah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R yang
satu dengan yang lainnya. Tipe III berkenaan dengan aspek-aspek perilau psikomotorik
dan tipe IV berkenaan dengan aspek-aspek belajar verbal. Kondisi yang diperlukan bagi
berlangsungnya proses belajar ini antara lain secara internal terdapat pada diri siswa
harus sudah terkuasai sejumlah satuan-satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun
verbal. Di samping itu, prinsip contiguity, repetition, dan reinforcement masih tetap
memegang peranan penting bagi berlangsungnya proses chaining dan association
tersebut.
Dalam tahap belajar ini, siswa mengadakan diskriminasi (seleksi dan pengujian)
di antara dua perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya kemudian memilih
pola-pola sambutan yang dipandangnya paling sesuai. Kondisi yang utama untuk dapat
berlangsungnya proses belajar ini ialah siswa telah mempunyai kemahiran melakukan
chaining dan association serta memiliki kekayaan pengalaman (pola-pola satuan S-R)
Pada tingkat ini siswa belajar mengadakan kombinasi dari berbagai konsep
(pengertian) dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal sehingga siswa dapat
membuat konklusi tertentu.
Dewasa ini, para ahli teori belajar telah mencoba mengambarkan cara
pendekatan atau system pengajaran atau proses belajar-mengajar. Diantara berbagai
system pengajaran yang banyak menarik perhatian orang akhir-akhir ini ialah:
· Expository Learning
Dalam sistem ini, guru menyajikan bahan dalam bentuk yang telah
dipersiapkan secara rapi, sistematik, dan lengkap sehingg asiswa tingal menyimak dan
mencernanya secara teratur dan tertib. Secara garis besar prosedurnya ialah periapan-
petautan-penyajian-evaluasi. Ausubel berpendapat bahwa pada tingkat-tingkat belajar
yang lebih tinggi, siswa tidak selau harus mengalami sendiri. Siswa akan mampu dan
lebih efisien memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dalam tempo sesingkat-
singkatnya. Yang penting siswa dikembangkan penguasaannya atas kerangka konsep-
konsep dasar atau pla-pola pengertian dasar tentang sesuatu hal sehingga dapat
mengorganisasikan data, informasi, dan pengalaman yang bertalian dengan hal tersebut.
Proses belajar yang berorientasi pada prinsip mastery learning ini harus dimulai
dengan penguasaan bagian terkecil untuk kemudian baru dapat melanjutkan ke dalam
satuan (modul) atau unit berikutnya. Atas dasar itu maka dewasa ini telah
dikembangkan system pengajaran berprogram dan juga system pengajaran modul,
bahkan Computer Assisted Instruction (CAI). Dengan tercapainya tingkat penguasaan
hasil pelajaran yang tinggi, maka akan menunjukkan sikap mental yang sehat pada
siswa yang bersangkutan.
· Humanistic Education
Teori belajar ini menitikberatkan pada upaya membantu siswa agar ia sanggup
mencapai perwujudan diri (self realization) sesuai dengan kemampuan dasar dan
keunikan yang dimilikinya. Karakteristik utama metode ini, antara lain bahwa guru
hendaknya tidak membuat jarak yang tidak terlalu tajam dengan siswa. Sasaran akhir
dari proses belajar mengajar menurut paham ini ialah self actualization yang seoptimal
mungkin dari setiap siswa.
· N=1. Pada situasi ekstrem, kelompok belajar mungkin hanya terdiri atas seorang siswa
atau seorang siswa bekerja individual saja.metode belajarnya bisa disebut dengan
tutorial, pengajaran berprogram, studi individual, atau independent study,
· N=2-20. Kelompok belajar kecil, mungkin terdiri atas 2 sampai 20 siswa. Mtode
belajar seperti ini biasanya disebut dengan metode diskusi atau seminar.
· N=2-40. Kelompok besar mungkin berkisar antar 20-40 siswa. Metode ini disebut
metode belajar mengajar kelas. Metodenya mungkin bervariasi, sesuai dengan
kesenangan dan kemampuan guru unuk mengelolanya.
· N=40 lebih besar atau ukuran kelompok melebihi 40 orang. Metode belajar-mengajar
lazim disebut (ceramah) atau the lecture.
Sejak ratusan tahun yang lalu, orang telah mengembangkan berbagai metode dan
teknik mengajar untuk dapat membantu siswa dalam proses menerima materi pelajaran.
Beberapa metode mengajar yang banyak digunakan oleh para guru antara lain:
Ceramah atau kuliah merupakan metode belajar tradisional dimana bahan disajikan oleh
guru secara monologue sehingga pembicaraan lebih bersifat satu arah. Peran guru lebih
banyak dalam hal keaktifannya untuk memberikan materi pelajaran, sementara siswa
mendengarkan dengan teliti serta mencatat yang pokok-pokok dari pernyataan yang
dikemukakan oleh guru.
(2) Metode Diskusi
Metode diskusi merupakan cara lain dalam belajar-mengajar dimana guru dan
siswa, bahkan antarsiswa terlibat dalam suatu proses interaksi secara aktif dan timbal
balik dari dua arah.
Tujuan akhir dari tindakan evaluasi, serta bagaimana mengembangkan dan memilih
instrumennya yang memenuhi syarat telah kita bahas dalam unit-unit terdahulu. Yang
menjadi persoalan sekarang, kapan pengukuran dan evaluasi itu dilakukan, serta
bagaimana menafsirkan hasilnya bagi pengambilan keputusan dan tindak lanjutnya.
Evaluasi sumatif ialah model pelaksanaan evaluasi yang dilakukan setelah berakhirnya
kegiatan belajar-mengajar, atau sering juga kita kenal dengan istilah lain, yaitu post test.
Pola evaluasi ini dilakukan kalau kita hanya bermaksud mengetahui tahap
perkembangan terakhir dari tingkat pengetahuan atau penguasaan belajar (mastery
learning) yang telah dicapai oleh siswa. Asumsi yang mendasarinya ialah bahwa hasl
belajar itu merupakan totalitas sejak awal sampai akhir, sehingga hasil akhir itu dapat
kita asumsikan dengan hasil. Hasil penilaian ini merupakan indikator mengenai taraf
keberhasilan proses belajar-mengajar tersebut. Atas dasar itu, kita dapat menentukan
apakah dapat dilanjutkan kepada program baru atau harus diadakan pelajaran ulangan
seperlunya.
Evaluasi formatif ialah model pelaksanaan evaluasi yang dilakukan selama masih
berjalannya proses kegiatan belajar-mengajar. Mungkin kita baru menyelesaikan
bagian-bagian atau unit-unit tertentu dari keseluruhan program atau bahan yang harus
diselesaikan. Tujuannya ialah apabila kita menghendaki umpan-balik yang secara
(immediate feedback), kelemahan-kelemahan dari proses belajar itu dapat segera
diperbaiki sebelum terlanjur dengan kegiatan lebih lanjut yang mungkin akan lebih
merugikan, baik bagi siswa maupun bagi guru sendiri. Bila dibiarkan kesalahan akan
berlarut-larut. Dengan kata lain, evaluasi formatif ini lebih bersifat diagnostik untuk
keperluan penyembuhan kesulitan-kesulitan atau kelemahan belajar-mengajar (remedial
teaching and learning), sedangkan reevaluasi sumatif (EBTA) biasanya lebih berfungsi
informatif bagi keperluan pengambilan keputusan, seperti penentuan nilai (grading), dan
kelulusan.
Evaluasi reflektif ialah model pelaksanaan evaluasi yang dilakukan sebelum proses
belajar-menagjar dilakukan atau sering kita kenal dengan sebutan pre-test. Sasaran
utama dari evaluasi reflektif ini ialah untuk mendapatkan indikator atau informasi awal
tentang kesiapan (readliness) siswa dan disposisi (keadaan taraf penguasaan) bahan atau
pola-pola perilaku siswa sebagai dasar penyusunan rencana kegiatan belajar-menagjar
dan peramalan tingkat keberhasilan yang mungkin dapat dicapainya setelah menjalani
proses belajar-menagjar nantinya. Jadi, evaluasi reflektif lebih bersifat prediktif.
Pengguanaan teknik pelaksanaan evaluasi itu secara kombinasi dapat dan sering
juga dilakukan terutama antara reflektif dan sumatif atau model pre-post test design.
Tujuan penggunaan model dilaksanakan evaluasi ini ialah apabila kita ingin mengetahui
taraf keefektivan proses belajar-mengajar yang bersangkutan. Dengan cara demikian,
kita akan mungkin mendeteksi seberapa jauh konstribusi dari komponen-komponen
yang terlibat dalam proses belajar-mengajar tersebut. Sudah barang tentu model ini pun
lebih bersifat diagnostik, tetapi lebih komprehensif.
Untuk dapat menafsirkan hasil penilaian dari evaluasi yang dilaksanakan, kita
perlu patokan atau ukuran baku atau norma. Dalam evaluasi, kita mengenal dua norma
yang lazim dipergunakan untuk menumbang taraf keberhasilan belajar-menagjar, yaitu
apa yang disebut (1) criterion referenced dan (2) norm referenced, seperti telah
disinggung di atas.
Atas dasar kedua norma itulah seseorang dinyatakan lulus atau tidak lulus, atau
berhasil atau tidak berhasil (pass-fail). Norma kelulusan itu biasanya disebut batas lulus
(passing grade).
Dalam criterion referenced evaluation ( PAP ) angka batas lulus itu lazimnya
dipergunakan angka nilai 6 dalam skala 10 atau 60 dalam skala 100, atau 2+ slaam skala
-4, atau C dalam skala A-E. adapaun filosofi yang melandasi sistem penilaian ini ialah
teory mastery learning, dimana seseorang dapat dianggap memenuhi syarat
kecakapannya (qualified) kalau menguasai minimal 60% dari hasil yang diharapkan.
Dalam konteks sistem pendidikan di Indonesia persayaratan ini dikenakan terutama
terhadap mata pelajaran dasar yang penting yaitu PMP, agama, bahasa Indonesia dan
sebaginya, yang berarti bahwa sistem pendidikan di Indonesia sangat mengutamakan
pembinaan warga negara yang baik, beragama dan berdasarkan kebudayaan bangsanya.
Dalam norm referenced evaluation ( PAN ), norma itu dapat dipergunakan dengan
berbagai cara, misalnya (1) ukuran rata-rata prestasi kelompoknya, (2) ukuran
penyebaran nilai prestasi kelasnya, dan (3) ukuran penyimpangan dari ukuran rata-rata
prestasi kelompoknya (mean,range, and standard deviation).
PENGERTIAN STRATEGI, METODE DAN TEKNIK BELAJAR MENGAJAR
Menurut Gropper sesuai dengan Ely bahwa perlu adanya kaitan antara strategi belajar
mengajar dengan tujuan pengajaran, agar diperoleh langkah-langkah kegiatan belajar-
mengajar yang efektif dan efisien. Ia mengatakan bahwa strategi belajar-mengajar ialah
suatu rencana untuk pencapaian tujuan. Strategi belajar-mengajar terdiri dari metode
dan teknik (prosedur) yang akan menjamin siswa betul-betul akan mencapai tujuan,
strategi lebih luas daripada metode atau teknik pengajaran.
Metode, adalah cara, yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu
tujuan. Hal ini berlaku baik bagi guru (metode mengajar) maupun bagi siswa (metode
belajar). Makin baik metode yang dipakai, makin efektif pula pencapaian tujuan
(Winamo Surakhmad)
Dapat disimpulkan bahwa strategi terdiri dan metode dan teknik atau prosedur yang
menjamin siswa mencapai tujuan. Strategi lebih luas dari metode atau teknik
pengajaran. Metode atau teknik pengajaran merupakan bagian dari strategi pengajaran.
Untuk lebih memperjelas perbedaan tersebut, ikutilah contoh berikut:
Dalam suatu Satuan Acara Perkuliahan (SAP) untuk mata kuliah Metode-metode
mengajar bagi para mahasiswa program Akta IV, terdapat suatu rumusan tujuan khusus
pengajaran sebagai benikut: “Para mahasiswa calon guru diharapkan dapat
mengidentifikasi minimal empat jenis (bentuk) diskusi sebagai metode mengajar”.
Strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan pengajaran tersebut misalnya:
1. Mahasiswa diminta mengemukakan empat bentuk diskusi yang pernah dilihatnya,
secara kelompok.
2. Mahasiswa diminta membaca dua buah buku tentang jenis-jenis diskusi dari Winamo
Surakhmad dan Raka Joni.
3. Mahasiswa diminta mendemonstrasikan cara-cara berdiskusi sesuai dengan jenis
yang dipelajari, sedangkan kelompok yang lain mengamati sambil mencatat
kekurangan-kekurangannya untuk didiskusikan setelah demonstrasi itu selesai.
4. Mahasiswa diharapkan mencatat hasil diskusi kelas.
Dari contoh tersebut dapat kita lihat bahwa teknik pengajaran adalah kegiatan no 3 dan
4, yaitu dengan menggunakan metode demonstrasi dan diskusi. Sedangkan seluruh
kegiatan tersebut di atas merupakan strategi yang disusun guru untuk mencapai tujuan
pengajaran. Dalam mengatur strategi, guru dapat memilih berbagai metode seperti
ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi dan sebagainya. Sedangkan berbagai media
seperti film, kaset video, kaset audio, gambar dan lain-lain dapat digunakan sebagai
bagian dan teknik teknik yang dipilih.
Suatu saat guru dapat menggunakan strategi ekspositorik dengan metode ekspositorik
juga. Begitu pula dengan discovery/inquiry. Sehingga suatu ketika ekspositorik –
discovery/inquiry dapat berfungsi sebagai strategi belajar-mengajar, tetapi suatu ketika
juga berfungsi sebagai metode belajar-mengajar.
Guru dapat memilih metode ceramah, ia hanya akan menyampaikan pesan berturut-turut
sampai pada pemecahan masalah/eksperimen bila guru ingin banyak melibatkan siswa
secara aktif. Strategi mana yang lebih dominan digunakan oleh guru tampak pada
contoh berikut:
Dengan menunjukkan sebuah media film yang berjudul “Pengamanan jalan menuju
sekolah guru ingin membantu siswa untuk merencanakan jalan yang terbaik dan sekolah
ke rumah masing-masing dan menetapkan peraturan untuk perjalanan yang aman dari
dan ke sekolah.
Dengan film sebagai media tersebut, akan merupakan strategi ekspositori bila
direncanakan untuk menjelaskan kepada siswa tentang apa yang harus mereka perbuat,
mereka diharapkan menerima dan melaksanakan informasi/penjelasan tersebut. Akan
tetapi strategi itu dapat menjadi discovery atau inquiry bila guru menyuruh anak-anak
kecil itu merencanakan sendiri jalan dari rumah masing masing. Strategi ini akan
menyebabkan anak berpikir untuk dapat menemukan jalan yang dianggap terbaik bagi
dirinya masing-masing. Tugas tersebut memungkinkan siswa mengajukan pertanyaan
pertanyaan sebelum mereka sampai pada penemuan-penemuan yang dianggapnya
terbaik. Mungkin mereka perlu menguji cobakan penemuannya, kemungkinan mencari
jalan lain kalau dianggap kurang baik.
Dan contoh sederhana tersebut dapat kita lihat bahwa suatu strategi yang diterapkan
guru, tidak selalu mutlak ekspositorik atau discovery. Guru dapat mengkombinasikan
berbagai metode yang dianggapnya paling efektif untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
3. Pendekatan konsep :
Terlebih dahulu harus kita ingat bahwa istilah “concept” (konsep) mempunyai beberapa
arti. Namun dalam hal ini kita khususkan pada pembahasan yang berkaitan dengan
kegiatan belajar-mengajar. Suatu saat seseorang dapat belajar mengenal kesimpulan
benda-benda dengan jalan membedakannya satu sama lain. Jalan lain yang dapat
ditempuh adalah memasukkan suatu benda ke dalam suatu kelompok tertentu dan
mengemukakan beberapa contoh dan kelompok itu yang dinyatakan sebagai jenis
kelompok tersebut. Jalan yang kedua inilah yang memungkinkan seseorang mengenal
suatu benda atau peristiwa sebagai suatu anggota kelompok tertentu, akibat dan suatu
hasil belajar yang dinamakan “konsep”.
Kita harus memperhatikan pengertian yang paling mendasar dari istilah “konsep”, yang
ditunjukkan melalui tingkah laku individu dalam mengemukakan sifat-sifat suatu obyek
seperti : bundar, merah, halus, rangkap, atau obyek-obyek yang kita kenal seperti
rambut, kucing, pohon dan rumah. Semuanya itu menunjukkan pada suatu konsep yang
nyata (concrete concept). Gagne mengatakan bahwa selain konsep konkret yang bisa
kita pelajari melalui pengamatan, mungkin juga ditunjukkan melalui definisi/batasan,
karena merupakan sesuatu yang abstrak. Misalnya iklim, massa, bahasa atau konsep
matematis. Bila seseorang telah mengenal suatu konsep, maka konsep yang telah
diperoleh tersebut dapat digunakan untuk mengorganisasikan gejala-gejala yang ada di
dalam kehidupan. Proses menghubung-hubungkan dan mengorganisasikan konsep yang
satu dengan yang lain dilakukan melalui kemampuan kognitif
Siswa pada hakekatnya memiliki potensi atau kemampuan yang belum terbentuk secara
jelas, maka kewajiban gurulah untuk merangsang agar mereka mampu menampilkan
potensi itu, betapapun sederhananya. Para guru dapat menumbuhkan keterampilan-
keterampilan pada iswa sesuai dengan taraf perkembangannya, sehingga mereka
memperoleh konsep. Dengan mengembangkan keterampilan keterampilan memproses
perolehan, siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendin fakta dan kosep
serta mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Proses belajar-mengajar seperti
inilah yang dapat menciptakan siswa belajar aktif.
Dalam menerapkan konsep CBSA, hakekat CBSA perlu dijabarkani menjadi bagian-
bagian kecil yang dapat kita sebut sebagai prinsip-pninsip CBSA sebagai suatu tingkah
laku konkret yang dapat diamati. Dengan demikian dapat kita lihat tingkah laku siswa
yang muncul dalam suatu kegiatan belajar mengajar karena memang sengaja dirancang
untuk itu.
Prinsip-prinsip CBSA:
Dan uraian di atas kita ketahui bahwa prinsip CBSA adalah tingkah laku belajar yang
mendasarkan pada kegiatan-kegiatan yang nampak, yang menggambarkan tingkat
keterlibatan siswa dalam proses belajar-mengajar baik intelektual-emosional maupun
fisik, Prinsip-Prinsip CBSA yang nampak pada 4 dimensi sebagai berikut:
Menurut Benjamin S. Bloom CS, ada tiga domein ialah: 1) Domein kognitif, yang
menitik beratkan aspek cipta. 2) Domein afektif, aspek sikap. 3) Dornein psikomotor,
untuk aspek gerak.
Langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut; Pertama menentukan tujuan
dalam arti merumuskan tujuan dengan jelas sehingga dapat diketahui apa yang
diharapkan dapat dilakukan siswa, dalam kondisi yang bagaimana serta seberapa tingkat
keberhasilan yang diharapkan. Pertanyaan inipun tidak mudah dijawab, sebab selain
setiap siswa berbeda, juga tiap guru pun mempunyai kemampuan dan kwalifikasi yang
berbeda pula. Disamping itu tujuan yang bersifat afektif seperti sikap dan perasaan,
lebih sukar untuk diuraikan (dijabarkan) dan diukur. Tujuan yang bersifat kognitif
biasanya lebih mudah. Strategi yang dipilih guru untuk aspek ini didasarkan pada
perhitungan bahwa strategi tersebut akan dapat membentuk sebagaimana besar siswa
untuk mencapai hasil yang optimal.
Namun guru tidak boleh berhenti sampai disitu, dengan kemajuan teknologi, guru dapat
mengatasi perbedaan kemampuan siswa melalui berbagai jenis media instruksional.
Misalnya, sekelompok siswa belajar melalui modul atau kaset audio, sementara guru
membimbing kelompok lain yang dianggap masih lemah.
Strategi ini lebih tepat. Guru dapat menunjukkan berbagai jenis binatang, dengan sketsa
atau slide kemudian siswa diminta membedakan manakah yang termasuk serangga; ciri-
cirinya, bentuk dan susunan tubuhnya, dan sebagainya. Guru menjawab pertanyaan
siswa dengan jawaban pelajari lebih jauh. Mereka dapat mencari data tersebut dari
buku-buku di perpustakaan atau melihat kembali gambar (sketsa) yang ditunjukkan
guru kemudian mencocokkannya. Dengan menunjuk beberapa gambar, guru memberi
pertanyaan tentang beberapa spesies tertentu yang akhirnya siswa dapat membedakan
mana yang termasuk serangga dan mana yang bukan serangga. Kegiatan ini sampai
pada perolehan konsep tentang serangga.
Metode terakhir ini memang membawa siswa pada suatu pengertian yang sama dengan
yang dicapai melalui ekspository, tetapi pencapaiannya jauh lebih lama. Namun inquiry
membawa siswa untuk mempelajari konsep atau pnnsip yang berguna untuk
mengembangkan kemampuan menyelidiki.
2. Efektifitas :
Strategi yang paling efisien tidak selalu merupakan strategi yang efektif. Jadi efisiensi
akan merupakan pemborosan bila tujuan akhir tidak tercapai. Bila tujuan tercapai, masih
harus dipertanyakan seberapa jauh efektifitasnya. Suatu cara untuk mengukur efektifitas
ialah dengan jalan menentukan transferbilitas (kemampuan memindahkan) prinsip-
prinsip yang dipelajari. Kalau tujuan dapat dicapai dalam waktu yang lebih singkat
dengan suatu strategi tertentu dari pada strategi yang lain, maka strategi itu efisien.
Kalau kemampuan mentransfer informasi atau skill yang dipelajari lebih besar dicapai
melalui suatu strategi tertentu dibandingkan strategi yang lain, maka strategi tersebut
lebih efektif untuk pencapaian tujuan.
3. Kriteria lain :
Pertimbangan lain yang cukup penting dalam penentuan strategi maupun metode adalah
tingkat keterlibatan siswa. (Ely. P. 186). Strategi inquiry biasanya memberikan
tantangan yang lebih intensif dalam hal keterlibatan siswa. Sedangkan pada strategi
ekspository siswa cenderung lebih pasif. Biasanya guru tidak secara murni
menggunakan ekspository maupun discovery, melainkan campuran. Guru yang kreatif
akan melihat tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dimiliki siswa, kemudian
memilih strategi yang lain efektif dan efisien untuk mencapainya.