You are on page 1of 7

c c

   



c 


Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang
kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu
dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat memberikan daya dukungan bagi
mahluk hidup untuk hidup secara optimal.
Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat
memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain
industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Berbagai kegiatan tersebut merupakan
kontribusi terbesar dari pencemar udara yang dibuang ke udara bebas. Sumber pencemaran
udara juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam, seperti kebakaran hutan, gunung
meletus, gas alam beracun, dll. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan
penurunan kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia.
Udara merupakan media lingkungan yang merupakan kebutuhan dasar manusia perlu
mendapatkan perhatian yang serius, hal ini pula menjadi kebijakan Pembangunan Kesehatan
Indonesia 2010 dimana program pengendalian pencemaran udara merupakan salah satu dari
sepuluh program unggulan.
Pertumbuhan pembangunan seperti industri, transportasi, dll disamping memberikan
dampak positif namun disisi lain akan memberikan dampak negatif dimana salah satunya
berupa pencemaran udara dan kebisingan baik yang terjadi didalam ruangan (indoor) maupun
di luar ruangan (outdoor) yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan terjadinya
penularan penyakit.
Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan mengamanatkan bahwa upaya
kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat
dan dilaksanakan terhadap tempat umum, lingkungan pemukiman, tempat kerja, angkutan
umum, dan lingkungan lainnya yang meliputi penyehatan air, udara, pengamanan limbah
padat, limbah cair, limbah gas, radiasi, kebisingan, pengendalian vektor dan penyehatan
lainnya.
Keterbatasan tempat tinggal di daerah perkotaan semakin meningkat dari waktu ke
waktu. Pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan dengan ketersediaan lahan. Kondisi
ini mengakibatkan munculnya permasalahan perumahan yang semakin rumit di perkotaan
terutama masalah sanitasi lingkungan yang kurang baik. Penduduk dengan status sosial
ekonomi rendah jumlahnya cukup banyak, dan untuk mengatasi kebutuhan perumahan,
mereka cenderung tinggal di daerah pinggiran, termasuk masyarakat umum dan pemulung
yang bermukim di sekitar lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS). Pemulung
yang menjadikan TPAS sebagai sumber mata pencahariannya bahkan mendirikan rumahnya
di atas timbunan sampah di lokasi TPAS. Kebutuhan ekonomiyang semakin meningkat dan
sulitnya mencari pekerjaan yang layak membuat para pemulung tetap bertahan tinggal di
lokasi TPAS.
Tercemarnya udara di sekitar TPA sampah menyebabkan kesehatan lingkungan
terganggu, termasuk kualitas udara dalam rumah yang berada disekitar TPA sampah terutama
meningkatnya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Hasil kajian dari
Departemen Kesehatan pada tahun 2004/2005 menyatakan bahwa penyakit ISPA selalu
berada di urutan pertama dari sepuluh besar penyakit di 80% kabupaten/kota pada 22 propinsi
di Indonesia. Diketahui bahwa resiko terjadinya ISPA, Pneumonia dan penyakit gangguan
saluran pernafasan lainnya disebabkan oleh buruknya kualitas udara di dalam rumah/gedung
dan di luar rumah baik secara fisik, kimia maupun biologis.
Kualitas udara dalam rumah penduduk di sekitar lokasi TPAS Kelurahan Terjun
Kecamatan Medan Marelan tidak memenuhi syarat kesehatan disebabkan oleh adanya
konsentrasi polutan-polutan gas penggganggu yaitu: gas H2S dengan konsentrasi maksimum
0,9 ppm,
Gas H2S adalah rumus kimia dari gas Hidrogen Sulfida yang terbentuk dari 2 unsur
Hidrogen dan 1 unsur Sulfur. Satuan ukur gas H2S adalah PPM ( part per milion ). Gas H2S
disebut juga gas telur busuk, gas asam, asam belerang atau uap bau. Gas H2S terbentuk
akibat adanya penguraian zat-zat organik oleh bakteri. Oleh karena itu gas ini dapat
ditemukan di dalam operasi pengeboran minyak / gas dan panas bumi, lokasi pembuangan
limbah industri, peternakan atau pada lokasi pembuangan sampah.
c c
c   






Peneliti (2008) menemukan bahwa kadar gas H2S dalam rumah di sekitar tempat
pembuangan akhir sampah Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan berkisar 0,28±0,90
ppm (mg/m3).
Berapa besar tingkat resiko non karsinogenik bagi orang yang terhirup gas tersebut ?

‘ 

Diketahui : H2S minimum = 0,28 ppm, H2S maximum = 0,90 ppm.
Frekuensi pajanan = 350 hari/tahun
Durasi pajanan = 30 tahun
Berat badan = 55 kg
Sehingga asupan nonkarsinogenik (Ê ) untuk konsentrasi H2S maksimum dapat
nk

dihitung sebagai berikut:


       

ü 
  

  

ƒ  ƒ  ƒ  ƒ

Ê =  



 
   -1 mg/kg/hari
nk    ƒ

 

Selanjutnya, dengan dosis-respon (IRIS 1998; NRC 1999) dihitung   sebagai berikut:
 ƒ   
   = 0,1  
 ƒƒ

ƒ ƒƒƒƒ  !"


RQ = ƒ ƒƒƒ !"
= 0,57

Jelas RQ harus > 1 itu beresiko


c  Ê   

Berdasarkan estimasi risiko di atas, H2S yang terdapat di dalam rumah di sekitar
tempat pembuangan akhir sampah Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan
berisiko bagi individu dengan berat badan 55 kg bila udara di sekitar tempat pembuangan
akhir sampah Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan tersebut dihirup sebanyak 20
m3/hari selama 350 hari/tahun dalam jangka waktu 30 tahun karena   > 1. Estimasi
tersebut dihitung untuk durasi @ sepanjang hayat (  ) 30 tahun sehingga efek-
efek toksisitas H2S mungkin baru dirasakan dalam masa 30 tahun ke depan juga.
Untuk pembuktian secara epidemiologis, 30 tahun bukanlah jangka waktu survey yang
normal. Karena itu perlu dihitung estimasi risiko untuk durasi pajanan  yang di-
alami penduduk. Misalnya, berdasarkan hasil survey durasi pajanan real time dapat
dikelompokkan menjadi 5 tahun, 10 tahun, dan seterusnya, atau dalam penggalan waktu
yang lebih singkat. Berikut adalah estimasi risiko untuk durasi pajanan 5 dan 10 tahun.
ƒ   ƒ  !" ƒ !" # $  # $
‹  # $     % -2 mg/kg/hari
   !" # $  ƒ# $

ƒ   ƒ  !" ƒ !" # ƒ# $


‹ ƒ# $     &' -1 mg/kg/hari
   !" # $  ƒ# $
ƒ ƒ 
 !"    % ! RQ < 1 (tidak beresiko)
ƒ
ƒ ƒ(
 !"    & ! RQ < 1 (tidak beresiko)
ƒ

Untuk efek nonkarsinogenik, jangka waktu pajanan 5 dan 10 tahun tidak berisiko
karena RQ<1.
     
Agar survey epidemiologi bisa menemukan gejala atau penyakit berbasis toksisitas
H2S dan surveilansnya lebih tepat sasaran, perlu dihitung durasi pajanan berapa lama
resiko mulainya dikendalikan dengan menyusun ulang.
    

  !" 
    
sehingga:

   )*  # $%&' (%$)*  (%$)*


#   + (%$)*  &-)+%*
 + ,* ,   % , $%&'   $%&' (%$)*
Ini berarti, efek toksik H2S diprakirakan akan ditemukan pada orang dewasa
dengan 55 kg berat badan yang telah menghirup udara yang mengandung H2S 0,9 mg/m3
selama 114 bulan dengan laju konsumsi 20 m3/hari selama 350 hari/tahun.

p     

Manajemen hanya dilakukan dengan mengubah laju konsumsi () pada konsentrasi
H2S minimum dan maksimum untuk kelompok berisiko menurut kenaikan berat badan
dengan menyusun ulang.
    
  ! ,-
   

Tabel 1. Jumlah inhalasi udara yang aman untuk dihirup dari risiko nonkarsinogenik H2S di
tempat pembuangan akhir sampah dari menurut kelompok berat badan penduduk
dengan pola pajanan fE 350 hari/tahun dan Dt 30 tahun di Kelurahan Terjun
Kecamatan Medan Marelan.
 
  

c
c


 !"#$  
 !% # 
45 20,000 m3 20,003 m3
50 20,002 m3 20,001 m3
55 20,004 m3 20,019 m3
60 20,000 m3 20,016 m3
65 20,002 m3 20,013 m3
70 20,003 m3 19,994 m3

&
'  ( adalah pilihan manajemen risiko untuk mengamankan efek-efek
nonkarsinogenik H2S. Laju konsumsi hirupan udara berdasarkan Baku Anjuran Kesehatan
sangat sedikit sehingga perlu pasokan udara berkadar H2S rendah. Berapa konsentrasi H2S
yang aman dari efek nonkarsinogenik bila laju konsumsi 20 m3/hari selama 350 hari/tahun
yang berlangsung dalam 30 tahun untuk populasi residensial dengan berat badan 55 kg.
Untuk menjawab pertanyaan ini harus digunakan  yang menyatakan dosis harian yang
aman. Karena  berarti dosis aman seluruh jalur pajanan, langkah pertama adalah
mengubah  menjadi tingkat kesetaraan inhalasi atau  
      (Ê)
menggunakan berat badan dan laju menghirup udara. Jika digunakan berat badan 55 kg dan
frekuensi pajanan 350 hari/tahun maka:
   ! ,-  
ü./ 
%  ! ,-

   ! ,-  
ü./    %.  
%  ! ,-
Sumber kontribusi relatif (   
 
 
  , ) udara untuk asupan
mineral dari diet berkisar 80% dari total asupan inhalasi. Jika tidak ada data yang pasti, untuk
keamanan biasanya dipakai  80% untuk H2S. Perkalian Ê dengan  menghasilkan
apa yang disebut (
    
):
RCS H2S di udara = 80%

sehingga : MCLG = IEL X RCS


= 0,275 X 0,8 = 0,22 mg/m3

adalah batas aman menurut kesehatan yang dianjurkan menjadi baku mutu bagi
populasi yang berat badannya 55 kg, inhalasi 20 m3/hari selama 350 hari/tahun untuk jangka
waktu pajanan sedikitnya 30 tahun..
Berapa batas aman H2S bagi populasi yang posturnya lebih besar, misalnya berat badan
70 kg seperti @  Amerika (EPA 1990). Dengan pola pajanan yang sama (konsumsi 20
m3/hari, 350 hari/tahun, 30 tahun) -nya lebih tinggi dari batas aman orang Indonesia
menurut nilai @  Nukman et al (2005). Jika demikian, apakah baku mutu H2S
berdasarkan Kepmen LH No. 13/Men LH/1995 tentang baku mutu H2S adalah 10 ppm cukup
aman bagi orang Indonesia.

 c 
       

ü 
  

 ,* ,  % , $%&'   $%&' ($*  (%$)*


‹    0 .% ,*)*$%&'
)*  # $%&' (%$)*  (%$)*

0 .%
   0. %


Jelas bahwa baku mutu H2S 10 mg/m3 kurang aman karena  >1. Baku mutu yang
ditetapkan adalah baku mutu untuk menghindari kesakitan dan kecelakaan akibat H2S.
c c
&

 )

 



Kualitas fisik rumah seperti jenis dinding yang berhubungan dengan kualitas udara
dalam rumah. Dinding yang terbuat dari papan atau seng mempunyai celah/lubang yang lebih
banyak sehingga menyebabkan udara dari luar lebih banyak masuk ke dalam rumah. Udara
dari luar rumah (udara bebas) yang telah tercemar polutan gas H2S dari kegiatan yang ada di
TPAS Terjun masuk ke dalam rumah (udara tidak bebas), akibatnya udara dalam rumah
menjadi tidak sehat.
Dari sejumlah kecil udara dari luar masuk ke dalam rumah, beberapa polutan akan
terakumulasi menjadi konsentrasi yang dapat mempengaruhi kesehatan. Hal ini salah satunya
disebabkan oleh ventilasi, dimana rumah yang di dibuat dengan pertukaran udara yang
kurang dapat meningkatkan jumlah polutan gas dalam rumah.
Ventilasi yang kurang menyebabkan aliran udara dalam rumah tidak segar karena
kurangnya oksigen di dalam rumah dan meningkatkan polutan gas yang bersifat racun bagi
penghuninya. Tidak cukupnya ventilasi menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan
naik karena terjadi proses penguapan cairan dari kulit.
Moerdjoko (2004) menyatakan bahwa ventilasi terjadi jika terdapat perbedaan tekanan
udara. Ventilasi dengan tekanan udara tertentu dapat mempengaruhi kecepatan pergerakan
udara, arah pergerakan, intensitas dan pola aliran udara serta suhu ruangan.




Bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi TPAS sebaiknya
memperbaiki kondisi fisik rumahnya seperti ventilasi yang memadai agar udara dalam rumah
selalu berganti. Lingkungan di sekitar rumah ditanami dengan pohon-pohon yang fungsinya
selain sebagai penyaring udara juga dapat menurunkan temperatur dalam rumah.


You might also like