You are on page 1of 51

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Peningkatan mutu pelayanan kesehatan menjadi salah satu tujuan utama


dari berbagai tatanan pelayanan kesehatan saat ini. Menurut undang-undang
kesehatan No : 23 tahun 1992, pembangunan kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, keamanan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal.
Di tengah era persaingan global, setiap industri dituntut untuk siap dan
mampu bersaing untuk lebih maju, apabila ingin industrinya tetap bertahan.
Sehingga hanya industri yang benar-benar siaplah yang dapat bertahan. Hal ini
juga berlaku untuk industri perumahsakitan. Saat ini banyak rumah sakit yang
berdiri dengan visi berbeda, melakukan sejumlah pembenahan dengan bertujuan
untuk meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya yang ada agar mampu
bersaing dengan rumah sakit lain.
Untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, diperlukan
peningkatan unsur-unsur atau sumber daya yang terlibat didalamnya seperti
manusia, metoda, lingkungan, peralatan dan dana. Tetapi unsur yang paling
penting untuk menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit adalah
sumber daya manusia. Wijono (1999) menyatakan bahwa pelayanan keperawatan
merupakan salah satu penentu atau cerminan mutu pelayanan kesehatan di
rumah sakit secara keseluruhan.
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan, berbentuk pelayanan Bio-Psiko-Sosial-Spritual yang komprehensif.
Pelayanan keperawatan yang diberikan berupa bantuan karena adanya kelemahan
fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan menuju
kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.
Untuk mencapai hal tersebut, maka sangat diperlukan tenaga keperawatan yang

1
memiliki kompetensi yang profesional dan sehat Bio-Psiko-Sosial-Spritual ,
iklim kerja yang kondusif serta manajemen yang baik ( Swansburg, 1999).
Menurut Swansburg (1999), banyak faktor yang mempengaruhi
kompetensi perawat dalam memberikan pelayanan /asuhan keperawatan di rumah
sakit, baik faktor dari dalam diri perawat maupun dari lingkungan kerjanya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ini dapat merupakan stresor bagi perawat, dan
jika dikelola dengan baik akan merupakan stimulus meningkatkan kompetensi
perawat.
Adapun faktor dari dalam diri perawat yang berhubungan dengan kepuasan kerja
adalah pencapaian, pekerjaan yang menantang, tanggung jawab, potensi
pengembangan, otonomi, wewenang, sedangkan dari lingkungan kerja adalah
lingkungan pekerjaan yang menyenangkan, jam yang disepakati, keamanan kerja,
upah, manajemen, pengawasan, komunikasi dan fasilitas (Gilmes, 1996).
Stres dalam pekerjaan dapat dilihat dari sisi individual maupun dari sisi
lingkungan kerjanya. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan stres kerja
perawat, antara lain kondisi klien kritis akan merupakan sumber stres yang besar
dibandingkan kondisi klien yang tenang dan juga pada saat klien menghadapi
kematian dan merawat klien dengan penyakit menular. Keadaan lain sebagai
sumber stres adalah jumlah tenaga perawat terbatas, beban kerja berlebihan,
pengorganisasian kerja kurang baik, konflik sesama teman kerja, dokter serta
administrator, keterbatasan fasilitas dan sarana serta merasa tidak mampu dalam
melakukan prosedur keperawatan, sehingga membuat ketidak puasan perawat
dalam bekerja (Tappen,1998). Dalam suatu survei terhadap perawat di Texas
(Wandelt et al, 1981) penyebab utama ketidakpuasan kerja bagi perawat adalah
kekurangan gaji, tulis menulis yang berlebihan, kurangnya reward/penghargaan,
dan kurangnya pendidikan lanjutan.
Sumber-sumber stres ini akan merupakan faktor yang menyebabkan
perawat bekerja dengan stres tinggi, sehingga perawat kurang mampu dalam
memberikan pelayanan/asuhan keperawatan dengan baik. Tidak jarang dijumpai
di lapangan klien, keluarga dan dokter mengeluh tentang kinerja perawat yang
tidak profesional, seperti lupa / lalai atau terlambat dalam memberikan tindakan

2
mandiri maupun melaksanakan program dokter. Bisa juga terjadi gangguan
mental ringan ditandai dengan mudah gugup, marah, tersinggung, tegang,
konsentrasi kurang, apatis ( Kompas Cyber Media). Menurut Mangkunegara
(2002) perawat yang bekerja dengan stres tinggi bila dibiarkan akan menyebabkan
terjadinya kelelahan kerja ( burn out ).
Burn out merupakan kondisi kelelahan kerja yang dialami oleh perawat,
yang disebabkan oleh faktor personal, keluarga dan lingkungan kerja. Jika terjadi
burn out, maka asuhan keperawatan tidak dapat terlaksana dengan baik, karena
burn out memberi dampak terhadap finansial, fisik, emosi dan sosial terhadap
profesi, klien dan organisasi ( Duquatte, Sandhu and Beaudeut,1994).
Hasil penelitian tentang burn out diantara staf keperawatan di 2 rumah sakit
Finish di Finlandia, dengan sampel sebanyak 723 perawat dapat menggambarkan
bahwa setengah dari jumlah perawat tersebut memperlihatkan indikasi frustasi
atau burn out, kejadiannya meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Perawat
dengan pengalaman kerja pendek dan perawat yang mempunyai kesempatan
melanjutkan pendidikan mengalami burn out rendah, sedangkan perawat yang
bekerja di bangsal psikiatri mengalami kejadian burn out tinggi. Melanjutkan
pendidikan keperawatan baik vakosional maupun profesional merupakan faktor
mencegah burn out (Koivula, Paunonen dan Laippala, 1999).
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala bidang perawatan RS PGI
Cikini sistem karir belum ada, sistem karir masih pada tingkat struktural. Pada
tahun 2003 angka turn over 9,93 %, tahun 2004 turn over 7,85 % dan pada tahun
2005 mengalami turn over 5,31 %, tahun 2006 sampai bulan April mengalami
turn over 2,43 %, karena menurut Gillies, (1996) bahwa nilai turn over perawat
adalah 5 -10 %, dengan demikian angka turn over di RS PGI Cikini masih dalam
batas normal, angka ketidak hadiran perawat 48 % rata-rata tidak masuk 1- 2
hari dengan alasan sakit. Alasan tenaga perawat mengundurkan diri dari RS PGI
Cikini pada umumnya ingin mendapatkan upah/penghargaan yang lebih baik atas
kinerja yang mereka berikan, ingin suasana yang baru karena sudah jenuh dengan
rutinitas. Dari hasil evaluasi tentang persepsi klien terhadap mutu asuhan
keperawatan yang dilaksanakan oleh bidang keperawatan untuk 14 ruang rawat

3
inap April 2005 juga ditemukan nilai rata-rata 88 % menyatakan kinerja perawat
baik sedangkan 12 % menyatakan kinerja kurang baik dengan saran agar perawat
meningkatkan keterampilan dan keramahan, kepedulian terhadap klien dan
keluarga. Evaluasi terhadap pendokumentasian asuhan keperawatan ditemukan
nilai 70 %, nilai ini menunjukan mutu pendokumentasi asuhan keperawatan
masih dibawah standar yang ditetapkan akreditasi rumah sakit yaitu 80 %.
( Dokumen Bidang perawatan, 2005)
Berdasarkan keseluruhan uraian diatas dapat diasumsikan bahwa ada faktor-faktor
penyebab terjadinya burn out pada perawat pelaksana di RS PGI Cikini. Untuk
membuktikannya, penulis berminat melakukan penelitian faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian burn out pada perawat pelaksana di RS PGI Cikini.

B. Masalah penelitian

Kelelahan kerja ( Burn Out ) juga merupakan hasil akhir dari stres kerja
yang tidak dapat diselesaikan dengan baik. Beberapa faktor yang dapat
menyebabkan burn out adalah : stres kerja, personal perawat, jenis pekerjaan,
tuntutan yang menyebabkan konflik serta keseimbangan hidup yang kurang dalam
keluarga ( Tappen, 1998)
Berdasarkan hasil evaluasi bidang perawatan ,bahwa mutu pelayanan
keperawatan yang belum optimal yang ditandai adanya keluhan dari klien,
keluarga maupun dokter sebagai mitra kerja perawat serta gambaran kejadian
burn out pada perawat pelaksana yang ditandai terjadinya turn over perawat dan
seringnya perawat tidak masuk dengan alasan sakit. ( Bidang Perawatan, 2005).
Berdasarkan uraian tersebut maka masalah penelitian adalah : belum
diketahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi kejadian burn out pada perawat
pelaksana di RS PGI Cikini.

4
C. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum :
Diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian burn out pada
perawat pelaksana di RS PGI Cikini.

2. Tujuan Khusus :
a. Diketahuinya gambaran karakteristik personal perawat pelaksana di RS PGI
Cikini
b. Diketahuinya gambaran kejadian burn out pada perawat pelaksana di RS PGI
Cikini
c. Diketahuinya gambaran faktor lingkungan kerja dengan kejadian burn out
pada perawat pelaksana di RS PGI Cikini

D. Manfaat penelitian .
1. Bagi Institusi :

Memberikan masukan bagi Pimpinan rumah sakit maupun Manajer Keperawatan

tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya burn out pada perawat

pelaksana di RS PGI Cikini, dalam rangka meningkatkan kinerja perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas.

2. Bagi Peneliti :

Diharapkan penelitian ini dapat memperkaya wawasan pengetahuan dan sebagai

rujukan dalam pengembangan pelayanan keperawatan khususnya yang terkait

dengan kejadian burn out pada perawat pelaksana.

5
E. Ruang lingkup penelitian

Dengan belum diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian burn out

pada perawat pelaksana di RS PGI Cikini yang menyebabkan rendahnya mutu

pelayanan keperawataan yang diberikan, maka penelitian ini dilakukan di RS PGI

Cikini JL. Raden Saleh No 40 Jakarta Pusat , adapun respondennya adalah perawat

pelaksana, penelitian diharapkan selesai dalam waktu 4 bulan ( Agustus –

Nopember 2006 ).

6
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pada BAB II akan dibahas mengenai pengertian burn out, faktor-faktor yang
mempengaruhi burn out, indikator seseorang mengalami burn out, perawat pelaksana dan
penelitian terkait.
A. Kelelahan kerja ( Burn Out )
Pengertian Menurut Tappen ( 1998 ) dan Marelli (1997 ), burn out atau kelelahan
kerja merupakan suatu kondisi kemunduran yang cepat dalam bekerja dan
penampilan lain. Kelelahan kerja juga merupakan hasil akhir dari stres kerja yang
tidak diselesaikan dengan baik.
Webster’s New World Pictionary burn out adalah sebagai kelelahan kerja dan
emosi yang mengakibatkan reaksi dan sikap yang negatif terhadap orang lain
maupun dirinya sendiri yang sangat nyata.
Burn out merupakan manifestasi perilaku yang kompleks akibat ketidak mampuan
koping terhadap stres yang berlangsung lama, khususnya burn out tenaga
professional, diperlihatkan dengan hilangnya simpati dan respek terhadap klien
(Lavendero, 1981)
Gejala burn out mencakup : frustasi, emosi yang kosong, marah, kelelahan,
hilangnya identitas dan kreativitas, bosan, tertekan, penurunan efektivitas dalam
berkomunikasi dan terlihat sendiri dalam mengatasi masalah – masalah pasien.
Abraham & Shanley F (1997) dalam Sunaryo (2004) menyatakan bahwa sumber
stres dalam keperawatan yaitu : beban kerja yang berlebihan, kesulitan menjalin
hubungan dengan staf lain, kesulitan dalam merawat pasien kritis, berurusan
dengan pengobatan/perawatan pasien, merawat pasien yang gagal untuk
membaik.
Menurut Tappen (1998), seseorang yang mempunyai daya tahan serta ketabahan
hati dapat sebagai penahan atau penyangga melawan terjadinya burn out, kondisi
ketabahan hati mencakup : pengawasan diri dari pada tidak berdaya, komitmen
pada kerja dan kualitifitas hidup dari pada mengasingkan diri serta melihat kedua-

7
duanya tuntunan dan perubahan-perubahan hidup sebagai tantangan dari pada
ancaman.
Dalam beberapa aspek, burn out merupakan reaksi-reaksi yang sangat sama
bentuknya (Marelli, 1977). Secara mendasar stres pekerjaan adalah reaksi
psikologi dihubungkan dengan persepsi-persepsi seseorang apakah kerja melebihi
kemampuan-kemampuannya (Cohen,1989). Dalam konteks praktek keperawatan,
stres adalah kondisi yang dihubungkan dengan kepuasan kerja yang diterima,
kualitas penampilan, ketidakhadiran karena sakit, komitmen terhadap karir dan
keluar/pindahnya perawat ( Wheeler and Riding, 1994 ).
Ada 6 (enam) sumber stres dalam batasan organisasi ( Ress and Cooper,
1992 ) yaitu : faktor instrinsik kerja, peran dalam organisasi, pengembangan karir
dan pencapaian , struktur dan iklim organisasi, hubungan dalam organisasi,
masalah-masalah rumah dan pekerjaan.
Gowell and Boverie (1992) menyatakan bahwa lingkungan kerja untuk perawat-
perawat sangat tinggi stresnya dan berhubungan dengan kondisi meningkatnya
absen, keluar/pindahnya perawat dan ketidakpuasan kerja. Dapat dilihat efek dari
stres pada perawat : tingginya angka ketidakhadiran, sakit, pindah/ keluar, ketidak
puasan, penampilan kerja yang menurun serta menurunnya efisiensi dan
efektivitas ( Stapley and Cleavely, 1995 ).
Terdapat beberapa penyebab stres kerja yaitu : tidak melakukan
pekerjaan seperti apa yang diinginkan, koping terhadap kerja yang baru, bekerja
terlalu berat, kolega di tempat kerja dan pemimpin yang sulit ( Robbins, 1998 )
beberapa faktor yang berhubungan dengan burn out adalah stres kerja, faktor
personal, lingkungan kerja, sifat pekerjaan melayani manusia, konflik terhadap
tuntutan dan tidak ada keseimbangan dalam kehidupan ( Tappen , 1998 ).
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat diidentifikasi beberapa penyebab stres
kerja yang juga dapat menyebabkan terjadinya burn out yaitu : faktor personal
perawat, faktor keluarga dan faktor lingkungan kerja.
Berdasarkan pendapat seperti yang diuraikan , maka burn our merupakan suatu
kondisi yang dialami oleh perawat yang tidak mampu mengatasi stres dengan

8
baik. Terdapat gejala-gejala kelelahan kerja yang dapat menurunkan semangat
kerja bahkan hilang dan tidak mempunyai energi untuk berkerja.
Goliszek (1992) dalam mengidentifikasi 4 tahap sindroma burn out yaitu :
1. Harapan tinggi dan idealisme. Pada tahap ini individu sangat antusias, berdedikasi
dan berkomitmen dengan pekerjaan serta memperlihatkan tingkat energi yang
tinggi dan bersikap positif.
2. Pesimis dan ketidakpuasan kerja awal, individu mengalami frustasi, kekecewaan
atau bosan dengan pengembangan kerja dan individu mulai memperlihatkan
gejala fisik dan psikologis terhadap stres.
3. Menarik diri dan sosial. Jika individu masuk ke tahap tiga timbul respon : marah,
bermusuhan serta memperlihatkan sikap negatif terhadap orang lain. Gejala stres
fisik dan psikologis menjadi lebih buruk.Terjadi perubahan awal dari tujuan kerja,
sikap dan perilaku, menunjukkan terjadinya kemunduran proses “burn out “
4. Kerusakan menetap dan hilangnya minat. Gejala stres fisik dan emosi menjadi
berat, individu memperlihatkan harga diri rendah, absen kronis, sinis dan semua
hal dianggap negatife, merugi atau tidak baik. Jika individu masuk pada tahap
ini dalam waktu panjang, maka burn out tidak dapat dihindarkan, selanjutnya
individu mengalami kelelahan fisik dan emosi yang berat dan menyeluruh.
Dampak burn out seperti stres, burn out adalah reaksi yang berkepanjangan
dan kesukaran yang menghabiskan energi. Stres kerja tidak hanya berpengaruh
terhadap invdividu misalnya kepuasan kerja, kesehatan mental, ketegangan,
ketidakhadiran, dan sering juga dihubungkan dengan kinerja tetapi juga terhadap
organisasi yaitu terjadinya disorganisasi, penurunan produktivitas dan penurunan
keuntungan dan jika hal ini terjadi maka mutu pelayanan keperawatan akan
menurun, akibatnya rumah sakit tidak mampu merebut jasa pelayanan kesehatan.
Menurut Lavendero, (1985) seorang perawat yang burn out
bersikap/menunjukkan kehilangan simpati dan respek terhadap pelanggan-
pelanggan.

9
B. Faktor – faktor penyebab kejadian burn out.

Berdasarkan uraian teori sebelumnya yaitu menurut Robbins (1998) terdapat 3 kategori
sumber-sumber potensial stres yaitu lingkungan, organisasi dan individu. Faktor
lingkungan mencakup : ekonomi, politik dan teknologi yang tidak menentu. Organisasi
mencakup : tugas, peran, hubungan interpersonal, struktur organisasi, kepemimpinan dan
tahap kehidupan organisasi, sedangkan faktor individu seperti masalah-masalah keluarga
dan ekonomi, dan menurut ( Tappen , 1998 ) beberapa faktor yang berhubungan dengan
burn out adalah stres kerja, faktor personal, lingkungan kerja, sifat pekerjaan melayani
manusia, konflik terhadap tuntutan dan tidak ada keseimbangan dalam kehidupan, maka
penyebab kejadian burn out dapat dikelompokkan menjadi karakteristik personal,
lingkungan kerja dan faktor keluarga.

1. Faktor Personal
Borman (1993) menyatakan bahwa faktor personal yang menyebabkan
burn out adalah umur, jenis kelamin, pendidikan dan pengalaman serta pola
koping.
Hasil penelitian Laipalla (1999), menggambarkan kejadian burn out meningkat
sesuai dengan bertambahnya umur. Pengalaman kerja yang pendek akan
menurunkan kejadian burn out serta meningkatkan pendidikan perawat
merupakan faktor kunci mencegah terjadinya burn out .
Robbins (1998) menambahkan bahwa situasi baru dan tidak menentu akan
menimbulkan stres, tetapi dengan bertambahnya pengalaman, stres akan menurun.
Pegawai senior dari suatu organisasi lebih mampu adaptasi dan sedikit mengalami
stres.
Menurut La Monica (1979), pendidikan adalah pengalaman berharga dan
merupakan integrasi antara pengetahuan, sikap, dan pengalaman masa lalu dan
masa kini dari individu dan akan terjadi suatu perubahan.
Dalam meningkatkan pendidikan memiliki kesempatan untuk menantang
kompetensi seseorang dan mengembangkan identitas profesional.

10
Faktor personal lain penyebab burn out adalah koping, yang maladaptive
yang merupakan pengelolaan keadaan sekitar, mengeluarkan upaya untuk
mengatasi masalah-masalah kehidupan dan dapat menurunkan stres. Sesuai
dengan jenis sumber stres, koping terhadap stres berbeda-beda untuk setiap
perawat dan bersifat individual. Menurut Robinson and Lewis (1989) mengatakan
terdapat beberapa mekanisme koping yaitu adaptif dan mal adaptif. Mekanisme
koping adaptif yaitu : cara mengatasi masalah yang sesuai dan tepat serta
mempergunakan beberapa jenis koping, sedangkan koping mal adaptif yaitu :cara
mengatasi masalah yang kurang tepat, masalah hanya teratasi sementara tetapi
tidak sesuai, cenderung mempergunakan satu jenis koping yang sama.
Menurut Vecchio (1995) beberapa bentuk mekanisme koping terhadap stres
yaitu : menghindar atau berjuang, latihan, dukungan sosial, rancang ulang
pekerjaan, tehnik relaksasi, membangun filosofi hidup yang baru, pengelolaan
waktu dengan baik dan program-program kesejahteraan. Bentuk-bentuk koping
ini dapat dipergunakan secara bervariasi untuk mengatasi stres kerja disesuaikan
dengan sumber-sumber stresnya. Duquette, Sandhu and Beaudeut (1994); Nowak
and Pentkowski (1994) menyatakan bahwa ketabahan hati dan daya tahan
seseorang akan sebagai penyangga melawan terjadinya burn out, yaitu jika
seseorang mempergunakan respon koping yang positif dan adaptif, seperti :
optimis, efektif mempergunakan sistem pendukung dan kebiasaan hidup sehat.
Jika seseorang kurang mempunyai koping yang baik maka stres akan berlangsung
lama dan mengakibatkan burn out ( Santrock, 2000).
Kemampuan mempergunakan berbagai koping dalam mengatasi masalah kerja
sehari-hari merupakan faktor personal yang penting untuk mencegah burn out.

2. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja merupakan faktor eksternal di luar diri perawat yang
mempengaruhi perawat bersangkutan dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-
hari. Menurut Swanburg (1999), lingkungan kerja perawat selalu pada tempat
yang padat, perawat juga harus berinteraksi secara konstan dengan anggota staf

11
yang lain, pengunjung dan dokter, hal ini akan menyebabkan stres yang tinggi dan
akhirnya terjadi burn out.
Soeroso (2003) dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia di rumah sakit
mengatakan bahwa sumber daya manusia merupakan aset utama rumah sakit.
Manusia merupakan sumber daya yang paling penting dalam mencapai
keberhasilan organisai karena akan menunjang organisai dengan bakat,
kecakapan, keterampilan, kreatifitas dan karyanya. Betapun sempurnanya aspek
teknologi dan ekonomi suatu organisasi tanpa sumberdaya manusia sulit kiranya
tujuan organisasi akan terwujud (Stoner, 1996).
Aktivitas yang melelahkan di lingkungan kerja perawat yang akhirnya
menyebabkan burn out adalah sumber daya manusia atau keterbatasan jumlah
perawat, bersifat negatife terhadap sebagian staf, tidak ada waktu untuk istirahat
atau makan siang, melayani banyak klien, beban kerja tinggi, berhubungan
dengan klien yang sulit, pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien bersifat
rutin, serta selalu bekerja lembur dan berhubungan dengan pegawai yang
mengalami konflik ( Marelli, 1997).
Lingkungan kerja yang dikelola dengan baik adalah lingkungan yang disenangi
oleh manajer maupun pegawai, karakteristik lingkungan yang sehat mencakup,
ketersediaan sumberdaya minimal/standar, bila seseorang merasa bagian dari
organisasi, komunikasi jelas, setiap orang menyadari bekerja untuk mencapai
tujuan.
Menurut Tappen (1998), sistem penghargaan yaitu cara bagaimana setiap
perawat mendapat penghargaan dan hukuman, terutama jika tidak wajar, dan juga
adanya pengembangan staf. Penghargaan yang diberikan dalam bentuk insentif
semakin banyak yang bisa dihasilkan semakin besar imbalan yang akan diterima
(Gde Patra, 2006). Lingkungan kerja yang tidak dikelola dengan baik, akan
mengakibatkan pegawai keluar/berhenti dari pekerjaannya : dimana kondisi
pegawai tidak setuju dengan nilai-nilai dan kebijakan pimpinan serta dukungan
yang kurang dari pimpinan.

12
Menurut Swanburg (1999) beberapa pemimpin menciptakan budaya kerja
penuh tekanan, takut dan cemas, membangun tekanan tidak realistik, pengawasan
terlalu ketat dan rutin terhadap pegawai yang tidak baik.
Hal ini menyebabkan pegawai datang terlambat, pulang cepat serta menghilang
pada jam kerja dan pegawai memperlihatkan sikap tidak respek ( Marelli, 1997).
Pemimpin sangat menentukan budaya kerja suatu organisasi, sehingga pemimpin
diharapkan mampu menciptakan budaya kerja yang kondusif, keterbukaan,
memberikan dukungan, melibatkan bawahan, dapat menjadi pendengar yang baik
akan mengurangi stres kerja.
Borman (1993) menyatakan studi baru-baru ini menunjukkan tuntutan-
tuntutan kerja yang berbeda-beda menempatkan perawat pada lingkungan yang
berbeda pula. Sebagai contoh : organisasi yang baku dan birokrasi pada unit akut
dan pasien dirawat lama dapat menyebabkan lingkungan penuh stres bagi orang-
orang yang sulit mengatasi struktur.
Beban kerja lebih dari 40 jam setiap minggu, jumlah pasien yang besar
sehingga rasio perawat-klien tidak sesuai, dan dengan klasifikasi klien. Frekuensi
dan perubahan kondisi pasien yang tidak dapat diprediksi, kontribusi saat kritis
yang membutuhkan perawatan lebih, dapat menyebabkan beban kerja yang
berlebihan dan menurunkan kesabaran dalam perawatan, perawat tidak dapat
memberikan perawatan yang baik jika waktu terbatas untuk mengerjakan
pekerjaannya. Salah satu masalah beban kerja tersebut adalah jumlah staf yang
kurang, distribusi dan pemanfaatan staf yang tidak efisien dan masalah
penjadwalan (Zschoche,1986). Karena beban ini maka dalam menjalankan fungsi
asuhan keperawatan digunakan sistem penggantian kerja (shift) yang dibagi
dalam 3 group yaitu dinas pagi, sore, malam. Diketahui bahwa sistem shift kerja
lebih banyak menimbulkan stress bila dibandingkan dengan yang tidak mendapat
shift.
Banyak stres yang dialami perawat yang dihubungkan dengan sifat
pekerjaan melayani manusia. Orang yang bekerja pada organisasi melayani
manusia secara konsisten, dilaporkan mempunyai kepuasan kerja rendah
dibandingkan bekerja di tempat lain. Dimana perawat dihubungkan dengan sifat

13
kerjanya, intensif, sering kontak dengan orang yang serius, kadang-kadang
dengan masalah-masalah fisik, mental, emosi dan atau social yang fatal
( Tappen,1998), pekerjaan yang dilakukan setiap hari dengan jadwal dan jenis
yang relative sama setiap hari, tidak ada ide baru.
Dalam beberapa kejadian, profesi yang melayani manusia juga mengalami
pembayaran yang rendah, jam kerja yang panjang dan sangat luas peraturannya
daripada profesi lain. Tidak adekuatnya kesempatan promosi untuk wanita dan
sebagian kecil mempunyai status rendah, selalu pada posisi dibayar rendah,
merupakan gambaran kondisi pada beberapa area pelayanan kesehatan
( Marquirs, 2000).
Tuntutan-tuntutan interpersonal adalah tekanan-tekanan yang ditimbulkan
oleh orang lain. Dukungan sosial yang kurang dari kolega dan kurangnya
hubungan interpersonal akan menyebabkan stres khususnya bagi perawat dengan
kebutuhan sosial yang tinggi ( Robbins,1998).
Setelah diuraikan tentang faktor lingkungan penyebab burn out dapat
disimpulkan bahwa lingkungan kerja merupakan kondisi yang berpengaruh
terhadap perawat dalam melaksanakan tugas sehari-hari yaitu memberikan asuhan
keperawatan kepada klien.

3. Faktor Keluarga
Faktor keluarga adalah hal-hal yang ada pada keluarga yang mempengaruhi
perawat sebagai anggota keluarga dalam melakukan pekerjaan sehari-hari.
Perawat dalam memenuhi tanggung jawab kerja dan mempertahankan keluarga
serta kehidupan personal dapat mengalami peningkatan kejadian stres jika tidak
mempunyai cukup waktu dan energi untuk melaksanakan semuanya.
Terlihat beberapa perbedaan cara pria dan wanita untuk mendapat keseimbangan
yang nyaman, masyarakat menilai perilaku-perilaku orang dewasa wanita dan pria
yang bekerja adalah berbeda. Menurut Borman (1993), jika seorang karyawan
laki-laki pekerjaannya terganggu untuk urusan keluarga maka ia dianggap
sebagai pria yang baik dalam keluarga, tetapi ketika seorang wanita terganggu

14
pekerjaannya karena keluarganya, maka karyawan wanita tersebut dianggap
kurang komitmen terhadap pekerjaannya /profesionalnya dipertanyakan.
Biddle dan Thomas (1996) menyatakan bahwa setiap individu menduduki banyak
posisi, setiap posisi mempunyai beberapa peran. Sebagai contoh, posisi ibu
mempunyai peran ibu rumah tangga, pengasuh anak, penanggung jawab
kesehatan keluarga, memasak dan lain-lain.
Friedmen (1998), menyatakan karena banyaknya peran untuk setiap posisi, maka
diperlukan kebersamaan untuk menanggung semua beban peran tersebut, seperti
peran mengasuh anak, saat ini menjadi tanggung jawab bersama bagi posisi ayah
dan ibu.
Bernard (1972), mengemukakan bahwa angka depresi pada wanita yang
menikah lebih tinggi dibandingkan dengan suami karena ketidakpuasan terhadap
perkawinan yang menuntut istri berperan tradisional yaitu lebih banyak
memenuhi kebutuhan suami dan anak-anak daripada kebutuhan diri sendiri .
Tenaga perawat sebagian besar adalah ibu rumah tangga yang mungkin karena
faktor budaya masih banyak berperan tradisional yaitu pengabdian sepenuhnya
untuk keluarga, sehingga hal ini mempengaruhi perannya dalam bekerja.
Dilema yang biasa terjadi antara karir dan peran dalam keluarga bagi wanita yang
bekerja disebabkan karena adanya perubahan-perubahan peran dalam keluarga.
Keluarga yaitu pasangan suami istri harus menganalisa bahwa ada keuntungan
tambahan bila istri bekerja, keuntungan tersebut dapat berupa peningkatan
pendapat keluarga jika istri bekerja, beban pada kondisi suami menjadi cemas
karena peran atau kekuatannya berkurang (Cronkita, 1997). Friedman (1998)
mengatakan istri yang bekerja selalu mengalami perasaan bersalah karena waktu
yang tidak cukup untuk anak dan untuk pelaksanaan fungsi-fungsi tradisional
sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga.
Kondisi ini menyebabkan konflik bagi wanita yang bekerja dan akan
mengakibatkan minat dan kepuasan dalam kerja menjadi terbatas, maka ia akan
lebih mudah terkena burn out, kesusahan dalam kerja akan menyebabkan
kesusahan dalam seluruh kehidupan.

15
C. Perawat pelaksana
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan dalam UU No 23 tahun 1992
tentang kesehatan, pasal 50 dinyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas
menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang
keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Perawat adalah individu yang sepakat untuk mengidentifikasi dan memenuhi
kebutuhan pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga, masyarakat dan
kelompok-kelompok ( Craven and Hirnle,1996).
Perawat adalah perawat yang langsung memberikan asuhan keperawatan kepada
klien. Di rumah sakit, selain memberikan suhan keperawatan langsung, perawat
juga berperan sebagai pendidik, manajer dan administrator juga supervisor
(Chetty,1997).
Perawat berperan sebagai orang kunci untuk memonitor status kliennya dan
mencatat perubahan-perubahan yang terjadi disamping sebagai advokat bagi klien
dan keluarganya, hal ini disebabkaan karena perawatlah yang mengenal klien-
klien serta sistemnya. Untuk itu diperlukan keterampilan manajemen agar
segalanya berjalan sebaik mungkin (Rubenfeld and Scheffer,1991).
Sebagai pemberi pelayanan, perawat betanggung jawab membantu klien
meningkatkan, memelihara, dan mempertahankan kesehatan juga melindungi hak
pasien dengan menjaga privacy, menyimpan informasi-informasi yang
berhubungan dengan klien ( Craven and Himle, 1996). Perawat juga mempunyai
fungsi sebagai pemberi pelayanan, pembuat keputusan, advokasi klien, manajer,
komunikator dan pendidik. Standar ANA' (American Nurse Assosciation) tentang
pedoman praktek dan praktek keperawatan langsung menguraikan bahwa
tanggung jawab perawat mencakup pengumpulan data, membuat diagnosa
keparawatan, perencanaan dan implementasi asuhan serta menilai hasil dari
asuhan keperawatan yang telah diberikan.
Kemampuan berfikir kritis merupakan komponen penting dari tanggung gugat
dan tanggung jawab profesional dalam meningkatkan asuhan keperawatan yang
diberikan.

16
Sebagai perawat pelaksana yang mempunyai peran utama memberikan asuhan
keperawatan langsung kepada klien, perawat harus memiliki kemampuan berfikir
kritis, serta otonomi jelas sebagai profesi dan percaya diri, mempunyai pandangan
yang kontekstual kreatif, fleksibel, integritas intelektual, intuisi, tekun, gigih serta
selalu mencari dan ingin tahu ( Rubenfeld and Scheffer, 1999).
Perawat juga harus memiliki sikap asertif, dasar ilmu pengetahuan yang kuat,
mempunyai kemampuan membuat keputusan yang aman, kemampuan
berkomunikasi, semangat kolegalitas tim kesehatan ( Craven and Hirnle,1996 ).

D. Penelitian terkait
Laporan hasil penelitian Karo, R (2005) tentang : “Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Stres dengan Stres Kerja Perawat di unit Perawatan Kritis RS Pusat
Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta”, menyebutkan (n = 75 perawat) bahwa
perawat yang mengalami stres adalah 89,3 % dimana ada hubungan signifikan
antara faktor beban kerja, lingkungan kerja, konflik peran, pasien kritis, keluarga
pasien dengan stres kerja perawat, dan faktor konflik peran, pasien kritis, dan
keluarga pasien tidak ada hubungan signifikan dengan perubahan perilaku perawat
di unit perawatan kritis.
Hasil penelitian Yuniarti, E (2004) : “Hubungan Karakteristik Pekerjaan
dengan Stres Kerja pada Perawat di RS MH Thamrin Jakarta”, (n = 97 perawat)
perawat yang mengalami stres 51,5% dimana faktor hubungan interpersonal dengan
rekan kerja, pasien dan keluarga menunjukkan hubungan yang signifikan,
sedangkan faktor lain seperti beban kerja, promosi dan otonomi tidak mempunyai
hubungan yang signifikan.

17
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka konsep
Kerangka konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan landasan
berfikir yang dikembangkan berdasarkan teori yang sudah dibahas dalam tinjauan
pustaka tantang hal yang berhubungan dengan burn out, yaitu : faktor-faktor yang
berhubungan dengan burn out sebagai variabel independen dan kejadian burn out
sebagai variabel dependen.

Variabel Independen Variabel dependen

Faktor Personal
 Umur
 Pendidikan
 Pengalaman kerja
 Pola Koping

Faktor keluarga Kejadian


 Konflik peran BURN OUT
 Tuntutan keluarga Pada Perawat Pelaksana

Faktor Lingkungan kerja


 Beban kerja
 Sifat pekerjaan
 Kepemimpinan
 Hubungan interpersonal
 Sistem penghargaan
 Sumber daya

18
Gambar 2.2
Kerangka konsep faktor-faktor yang berhubungan dengan burn out
pada perawat pelaksana
B. Hipotesis penelitian

Definisi Operasional variabel Penelitian

N VARIABE DEFINISI ALAT CARA HASIL SKALA


O L OPERASIONAL UKUR UKUR UKUR UKUR
Faktor
Personal

1 Umur Usia responden kuesione Mengajukan Angka dalam Interval


sampai ulang tahun r pertanyaan tahun
terakhir saat A:a tanggal, bulan
penelitian tahun,
kelahiran
2 Pendidikan Tingkat pendidikan kuesione Mengajukan Tingkat Ordinal
formal terakhir r pertanyaan pendidikan
responden A:b tentang 1. S1
pendidikan 2. DIII
formal 3. SPK/SPR
terakhir 4. Bidan
3 Pengalaman Merupakan lama kuesione Menanyakan Angka dalam Rasio
kerja kerja di unit r lama masa tahun
sampai saat A:c kerja sampai
penelitian, minimal saat penelitian
5 tahun
4 Pola koping mekanisme koping kuesione Skala 1 – 5 Beresiko jika Interval
terhadap stres r 1. tidak nilai > dari
yaitu : menghindar B, no:1- menekan median dan
atau berjuang, 4 2. sedikit tidak beresiko
latihan, dukungan menekan jika nilai <

19
sosial, rancang 3. kadang- dari median
ulang pekerjaan, kadang
tehnik relaksasi, menekan
membangun filosofi 4. sering
hidup yang baru, menekan
pengelolaan waktu 5. selalu
dengan baik dan menekan
program-program
kesejahteraan.
(Vecchio, 1995)
Faktor
Keluarga
5 Konflik Merupakan kondisi kuesione Skala 1 – 5 Beresiko jika Interval
peran dilingkungan r 1. tidak nilai > dari
rumah, dimana B, no:5- menekan median dan
responden dihadapi 8 2. sedikit tidak beresiko
dengan dua pilihan menekan jika nilai <
yaitu: peran sebagai 3. kadang- dari
profesi perawat dan kadang Median
sebagai anggota menekan
keluarga/ibu rumah 4. sering
tangga. menekan
5. selalu
menekan

6 Tuntutan Kondisi didalam kuesione Skala 1 – 5 Beresiko jika Interval


keluarga keluarga dimana r 1. tidak nilai > dari
responden dituntut B, no:9- menekan median dan
tinggi perannya 12 2. sedikit tidak beresiko
dalam menekan jika nilai <
melaksanakan tugas 3. kadang- dari
rumah tangga kadang Median

20
menekan
4. sering
menekan
5. selalu
menekan
Faktor
Lingkunga
n Kerja

7 Beban kerja Jumlah dan jenis kuesione Skala 1-5 Beresiko jika Interval
pekerjaan yang r 1. tidak nilai > dari
dipikul dan beban B, menekan median dan
kerja >40 no:13- 2. sedikit tidak beresiko
jam/minggu 16 menekan jika nilai <
3. kadang- dari
kadang Median
menekan
4. sering
menekan
5. selalu
menekan
8 Sifat Dimana perawat kuesione Skala 1-5 Beresiko jika Interval
pekerjaan dihubungkan r 1. tidak nilai > dari
dengan sifat B, menekan median dan
kerjanya, intensif, no:17- 2. sedikit tidak beresiko
sering kontak 20 menekan jika nilai <
dengan orang yang 3. kadang- dari
serius, kadang- kadang Median
kadang dengan menekan
masalah-masalah 4. sering
fisik, mental, emosi menekan
dan atau social 5. selalu

21
yang fatal menekan
(Tappen,1998),
pekerjaan yang
dilakukan setiap
hari dengan jadwal
dan jenis yang
relative sama setiap
hari.
9 Kepemimpi Karakteristik kuesione Skala 1 – 5 Beresiko jika Interval
nan pemimpin baik r 1. tidak nilai > dari
kepala ruangan B, no menekan median dan
maupun kepala 21- 24 2. sedikit tidak beresiko
seksi mencakup : menekan jika nilai <
keterbukaan, 3. kadang- dari
memberikan kadang Median
dukungan, menekan
melibatkan 4. sering
bawahan, dapat menekan
sebagai pendengar 5. selalu
yang baik serta menekan
tidak kaku dengan
birokrasi.
10 Hubungan Merupakan bentuk kuesione Skala 1-5 Beresiko jika Interval
interpersona interaksi antar r 1. tidak nilai > dari
l responden dengan B, no menekan median dan
teman kerja selama 25- 28 2. sedikit tidak beresiko
melaksanakan tugas menekan jika nilai <
sehari-hari 3. kadang- dari
kadang Median
menekan
4. sering
menekan

22
5. selalu
menekan

11 Sistem Memberikan kuesione Skala 1-5 Beresiko jika Interval


penghargaa penghargaan dan r 1. tidak nilai > dari
n hukuman serta B, menekan median dan
umpan balik no:29- 2. sedikit tidak beresiko
terhadap 32 menekan jika nilai <
penampilan kerja 3. kadang- dari
perawat dalam kadang Median
melaksanakan tugas menekan
sehari-hari dalam 4. sering
memberikan asuhan menekan
keperawatan 5. selalu
menekan
12 Sumber Sumber daya kuesione Skala 1-5 Beresiko jika Interval
daya manusia, fasilitas, r 1. tidak nilai > dari
dan sarana B, menekan median dan
merupakan kondisi no:33- 2. sedikit tidak beresiko
lingkungan kerja 36 menekan jika nilai <
tentang 3. kadang- dari
ketersediaan kadang Median
sumber daya menekan
minimal/standar 4. sering
untuk menekan
melaksanakan 5. selalu
asuhan keperawatan menekan
13 Kejadian Keadaan yang kuesione  Ya Respon Nominal
burn ou dialami responden rC  Tidak dikatakan
Pada dengan gejala sudah
perawat kelelahan kerja mengalami

23
pelaksana yang dapat burn out jika
mengganggu 50%
pekerjaan menjawab ya
responden dalam (Tappen,1998
memberikan asuhan ).
keperawatan

B. Hipotesis

Ho : tidak ada hubungan anatara variabel independen dengan variabel dependen

Ha : ada hubungan anatara variabel independen dengan variabel dependen

1. Ada pengaruh antara umur terhadap Burn Out

2. Tidak ada pengaruh antara umur terhadap Burn Out

3. Ada pengaruh antara pendidikan terhadap Burn Out

4. Tidak ada pengaruh antara pendidikan terhadap Burn Out

5. Ada pengaruh antara pengalaman kerja terhadap Burn Out

6. Tidak ada pengaruh antara pengalaman kerja terhadap Burn Out

7. Ada pengaruh antara pola koping terhadap Burn Out

8. Tidak ada pengaruh antara pola koping terhadap Burn Out

9. Ada pengaruh antara konflik peran terhadap Burn Out

10. Tidak ada pengaruh antara konflik peran terhadap Burn Out

11. Ada pengaruh antara tuntutan keluarga terhadap Burn Out

12. Tidak ada pengaruh antara tuntutan keluarga terhadap Burn Out

24
13. Ada pengaruh antara beban kerja terhadap Burn Out

14. Tidak ada pengaruh antara beban kerja terhadap Burn Out

15. Ada pengaruh antara sifat pekerjaan terhadap Burn Out

16. Tidak ada pengaruh antara sifat pekerjaan terhadap Burn Out

17. Ada pengaruh antara kepemimpinan terhadap Burn Out

18. Tidak ada pengaruh antara kepemimpinan terhadap Burn Out

19. Ada pengaruh antara hubungan interpersonal terhadap Burn Out

20. Tidak ada pengaruh antara hubungan interpersonal terhadap Burn Out

21. Ada pengaruh antara sistem penghargaan terhadap Burn Out

22. Tidak ada pengaruh antara sistem penghargaan terhadap Burn Out

23. Ada pengaruh antara sumber daya terhadap Burn Out

24. Tidak ada pengaruh antara sumber daya terhadap Burn Out

25
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian
Penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan burn out pada
perawat pelaksana di RS PGI Cikini mempergunakan jenis penelitian
deskriptif kuantitatif rancangan Cross Sectionnal untuk memperoleh
gambaran pengaruh faktor resiko terjadinya burn out sebagai variabel
independen yaitu : faktor personal, faktor lingkungan kerja dan variabel
burn out sebagai variabel dependen . Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah primer, dengan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpul data.

B. Populasi dan sampel penelitian


Populasi yang dipergunakan pada penelitian ini adalah: perawat pelaksana
di RS PGI Cikini yang berjumlah 275 orang.
Pengambilan sampel mempergunakan rumus :
N
n = -----------
1+ N (d²)

dimana :
n = besarnya sampel

26
N = besarnya populasi
d = tingkat kesalahan sampling
( Notoadmojo,2002)

Jadi jumlah sampel yang didapat adalah


275
n = -------------- = 162,96 orang
1+ 275 (0,05)²

Digenapkan menjadi 163 orang.

Jumlah sampel yang diambil adalah 163 orang (59 %) perawat pelaksana
yang bekerja di ruang rawat inap dan ruang rawat jalan yang dinas pagi,
sore dan malam pada saat pengumpulan data serta tidak sedang libur
dinas, cuti atau izin, atau sedang mengikuti pendidikan, dengan masa kerja
minimal 5 tahun.
C . Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di 15 ruang rawat inap dan ruang rawat jalan di RS
PGI CIKINI JL. Raden Saleh No 40 Jakarta Pusat. Diharapkan
selesai dalam waktu 4 bulan ( Agustus- Nopember 2006 ).

D. Etika penelitian
Sebelum responden diberi lembar angket untuk diisi, peneliti menjelaskan
maksud dan tujuan peneliti, selanjutnya dimohonkan kesediaannya untuk
ikut dalam penelitian. Kesediaan responden berbentuk penandatanganan
lembar informed consent dan juga memberikan hak kepada responden
untuk menolak dijadikan responden penelitian. Sebagai perlindungan
identitas pribadi seperti nama, tidak dicantumkan dalam penelitian ini.

E. Alat pengumpulan data


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yaitu sejumlah
pertanyaan dengan mengacu pada kerangka konsep, dimana pertanyaan –
pertanyaan yang dibuat dikembangkan dari variabel-variabel yang ada.

27
F. Metode pengumpulan data
Kuesioner ini merupakan kuesioner dengan angket tertutup yang
disediakan jawabannya, responden tinggal membubuhkan tanda check list
(√) pada kolom yang sesuai.
Sebelum dipergunakan pada penelitian dilakukan uji coba instrumen
dengan 10 orang perawat pelaksana di RS Pondok Indah Jakarta, dimana
kuesioner ini tidak disertakan dalam populasi penelitian. Kemudian
lembar kuesioner dibagikan satu persatu kepada responden. Kuesioner
yang telah didiisi dimasukkan kembali kedalam amplop bersama dengan
lembar persetujuan menjadi responden.

G. Tehnik analisis data


1. Editing
Tahapan ini untuk meneliti mengevaluasi kelengkapan, konsisten
dan kesesuaian antara kriteria data yang diperlukan untuk menguji
jawaban pada setiap kuesioner yang telah diisi.
2. Coding
Mengkode data, pada setiap kuesioner diberi kode dengan
memberi pada kolom ini untuk menguantifikasi data kualitatif atau
membedakan aneka karakter.
3. Tabulasi data
Data yang telah diolah dicek kembali untuk memastikan bahwa
data telah bersih dari kesalahan.
4. Penetapan Skor
Untuk setiap variabel, masing-masing diberi skor sesuai dengan
kategori data dan jumlah item pertanyaan dari tiap-tiap variabel
5. Analisa data
a. Analisa Univariat
Analisa univariat dipergunakan untuk melakukan analisa
terhadap distribusi frekuensi dan porsentasi dari setiap variabel

28
b. Analisa Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk melihat ada hubungan antara
variabel dependen dan variabel independen dengan
menggunakan rumus Chi-Square,derajat kemaknaan 95%, nilai p
value < 0,05 berarti hasil perhitungan statistik bermakna
(signifikan), dan nilai value > 0,05 berarti hasil perhitungan
statistik tidak bermakna .
(0 – E) ²
X² = ∑ ---------
E

Setelah didapat X² hitung, kemudian dicari nilai X², tabel dengan


derajat Uji Kebebasan → df : ( b – 1)( K – 1 )
Keterangan :
b : Jumlah baris dalam tabel silang atau kontigensi
K : Jumlah kolom dalam tabel silang atau kontigensi

Ho ditolak bila X² hitung lebih besar dari X² tabel untuk α = 0,05


dan df : ( b - 1)( K – 1 ). Dengan uji ini dapat diketahui
kemaknaan pengaruh antara variabel independen dan variabel
dependen.

29
BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi


kejadian burn out pada perawat pelaksana di RS PGI Cikini. Pengumpulan
data menggunakan sampel yang berjumlah 163 orang yaitu perawat pelaksana
di ruang rawat inap dan rawat jalan. Hasil analisa dalam bentuk univariat yang
menggambarkan distribusi frekuensi dari semua variabel, kemudian dianalisa
secara bivariat untuk mengatahui ada hubungan antara variabel independen
yaitu personal, keluarga, lingkungan kerja dan variabel dependen yaitu burn
out.

Hasil Analisa

I. Analisa Univariat
Analisa Univariat pada penelitian ini akan melihat frekuensi dari seluruh
variabel independen (variabel bebas) dimana mencakup variabel personal
yang terdiri dari : umur, pendidikan, pengalaman kerja, pola koping, variabel
keluarga mencakup : konflik peran, tuntutan keluarga serta variabel
lingkungan kerja mencakup : beban kerja, sifat pekerjaan, kepemimpinan,
hubungan interpersonal, sistem penghargaan dan sumber daya.

30
Juga distribusi frekuensi kejadian burn out pada perawat pelaksana sebagai
variabel dependen (terikat).
A. Variabel Bebas (Independen)
1. Gambaran Karakteristik Personal
Karakteristik personal pada penelitian ini mencakup : umur,
pendidikan, pengalaman kerja, pola koping
Hasil analisa univariat dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut :

Tabel 3.1
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Personal
Pada perawat pelaksana RS PGI Cikini Jakarta
Tahun 2006

n = 163

No KARAKTERISTIK n %
PERSONAL
1 Umur
1. 26-33 tahun 78 47,9
2. 34-41 tahun 41 25,2
3. 42-49 tahun 33 20,2
4. ≥ 50 tahun 11 6,7

2 Pendidikan
1. S1 2 1,2
2. D3 87 53,4
3. SPK/SPR 72 44,2
4. BIDAN 2 1,2

3 Lama Kerja
1. 5-12 tahun 86 52,8
2. 13-20 tahun 40 24,5
3. 21-28 tahun 36 22,1
4. ≥ 29 tahun 1 0,6

4 Pola Koping
1. Beresiko 12 7,4
2. Tidak beresiko 151 92,6

a). Umur Responden

31
Hasil analisa data dari 163 perawat pelaksana di RS PGI Cikini yang menjadi
responden berada pada rentang umur 26 tahun sampai dengan 51 tahun. Selanjutnya data
umur responden dikelompokkan menjadi 26 tahun sampai 33 tahun, 34 tahun sampai 41
tahun, 42 tahun sampai 49 tahun dan lebih dari 50 tahun.
Responden yang paling banyak bekerja di RS PGI Cikini adalah perawat kelompok umur
26 tahun sampai 33 tahun yaitu sebanyak 47,9%.

b). Tingkat Pendidikan Responden

Tingkat Pendidikan merupakan latar belakang pendidikan perawat terakhir yang diikuti
responden. Dari segi latar belakang pendidikan ini menunjukkan bahwa responden yang
bekerja sebagai perawat pelasana di ruang rawat inap dan unit rawat jalan di RS PGI
Cikini paling banyak yang berlatar belakang D3 (53,4%), hanya sedikit perbedaannya
dengan latar belakang pendidikan SPK/SPR (44,2%).

c). Pengalaman Kerja Responden


Dari segi pengalaman kerja responden minimal 5 tahun. Selanjutnya dikelompokkan
menjadi 5 tahun sampai 12 tahun, 13 tahun sampai 20 tahun, 21 tahun sampai 28 tahun,
dan lebih dari 29 tahun.
Pada tabel 3.1 dapat dilihat bahwa responden yang bekerja sebagai perawat pelaksana di
RS PGI Cikini paling banyak adalah dengan pengalaman kerja 5 sampai 12 tahun
(52,8%). Sedangkan masa kerja 13 tahun sampai 20 tahun dan 21 tahun sampai 28 tahun
hampir sama.

d). Pola Koping


Untuk mengetahui pola koping responden dilakukan penilaian yang menggambarkan
jenis dan cara koping serta kemampuan mengunakan koping. Setiap jawaban diberi nilai
1 sampai 5, kemudian dikelompokkan menjadi beresiko dan tidak beresiko dengan

32
menggunakan nilai median sebagai nilai batas. Hasil pengelompokkan menunjukkan
bahwa pola koping beresiko 7,4 % dan tidak beresiko 92,6 %. (Tabel 3.1).

2. Gambaran Karakteristik Keluarga


Karakteristik keluarga merupakan aspek keluarga yang berhubungan dengan burn out
terdiri dari konflik peran dan tuntutan keluarga. Analisa data karakteristik keluarga
dengan menilai jawaban responden tentang pertanyaan yang berhubungan dengan konflik
keluarga dan dan tuntutan keluarga. Setiap jawaban diberi nilai 1 sampai 5, kemudian
dikelompokkan menjadi beresiko dan tidak beresiko dengan menggunakan nilai median
sebagai nilai batas. Hasil analisa dapat dilihat pada tabel 3.2

Tabel 3.2
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Keluarga
Pada perawat pelaksana RS PGI Cikini Jakarta
Tahun 2006
n = 163

No KARAKTERISTIK n %
KELUARGA
1 Konflik Peran
1. Beresiko 10 6,1
2. Tidak beresiko 153 93,9

2 Tuntutan Keluarga
1. Beresiko 7 4,3
2. Tidak beresiko 156 95,7

a. Konflik Peran
Hasil analisa data menunjukkan bahwa perawat pelaksana yang mengalami
konflik peran yaitu bingung memilih peran keluarga atau profesi sehingga
kemungkinan beresiko terjadinya burn out adalah 6,1 % jauh lebih rendah dari
yang tidak beresiko yaitu 93,9 %.

b. Tuntutan Keluarga
Hasil analisa data tentang tuntutan keluarga terhadap tugas-tugas rumah
tangga menunjukkan kemungkinan beresiko burn out 4,3 % dan yang tidak

33
beresiko 95,7 %.

3. Gambaran Karakteristik Lingkungan Kerja


Karakteristik lingkungan kerja responden mencakup : beban kerja, sifat
pekerjaan, kepemimpinan, hubungan interpersonal, sistem penghargaan dan
sumber daya.
Gambaran tentang karakteristik lingkungan kerja ini diperoleh dengan
menganalisa pilihan dari pertanyaan masing-masing karakteristik. Setiap
pertanyaan diberi nilai 1 sampai 5, selanjutnya dikelompokkan menjadi
beresiko dan tidak beresiko dengan mempergunakan nilai median sebagai
nilai batas. Hasil analisa dapat dilihat pada tabel 3.3.

Tabel 3.3
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Lingkungan Kerja
Pada perawat pelaksana RS PGI Cikini Jakarta
Tahun 2006
n = 163

No KARAKTERISTIK N %
LINGKUNGAN KERJA
1 Beban Kerja
1. Beresiko 27 16,6
2. Tidak beresiko 136 83,4

2 Sifat Pekerjaan
1. Beresiko 13 8,0
2. Tidak beresiko 150 92,0

3 Kepemimpinan
1. Beresiko 12 7,4
2. Tidak beresiko 151 92,6

4 Hubungan Interpersonal
1. Beresiko 26 16,0
2. Tidak beresiko 137 84,0

5 Sistem Penghargaan
1. Beresiko 44 27,0
2. Tidak beresiko 119 73,0

6 Sumber Daya

34
1. Beresiko 26 16,0
2. Tidak beresiko 137 84,0

a. Beban Kerja
Beban kerja perawat pelaksana yang mencakup : jumlah dan jenis pekerjaan yang
dipikul dan beban kerja relatif lebih besar yang tidak beresiko terjadi burn out yaitu
83,4 % dibandingkan dengan yang kemungkinan beresiko (16,6 %).

b. Sifat Pekerjaan
Sifat pekerjaan yang digambarkan dengan sifat kerjanya, intensif, sering kontak
dengan orang lain yang serius, masalah dengan fisik, mental, emosi dan atau sosial,
jenis dan jadual yang relative sama setiap hari, kemungkinan terjadi burn out 8,0 %
lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak beresiko 92,0 %.

c. Kepemimpinan
Kepemimpinan yang menciptakan budaya kerja penuh tekanan, takut dan cemas,
membangun tekanan tidak reslistik, pengawasan terlalu ketat dan rutin terhadap
pegawai yang tidak baik, menunjukkan kemungkinan beresiko burn out 7,4%, dan
yang tidak beresiko 92,6%.

d. Hubungan Interpersonal
Untuk hubungan interpersonal mencakup tekanan yang timbul dari orang lain,
kurangnya kolega, kurangnya hubungan interpersonal, kemungkinan beresiko
terhadap kejadian burn out sebanyak 16,0% dan tidak beresiko 84,0%.

e. Sistem Penghargaan
Sistem penghargaan yang mencakup memberikan penghargaan dan hukuman serta
Umpanbalik terhadap penampilan kerja terutama jika tidak wajar, tidak adanya
pengembangan staf, memberi gambaran kemungkinan beresiko terhadap kejadian
burn out sebanyak 27,0%.

35
f. Sumber Daya
Dari segi sumber daya yang mencakup ketersediaan fasilitas, sarana, dan jumlah
tenaga perawat menunjukkan kemungkinan beresiko terhadap kejadian burn out
sebanyak 16,0% dan tidak beresiko 84,0%.

B. Variabel Terikat ( Dependen)


Variabel kejadian burn out adalah variabel dependen, merupakan kondisi burn out yang
terjadi pada perawat pelaksana. Terdapat 4 tahap sindroma burn out ( Goliszek,1992)
yaitu : harapan tinggi dan idealisme, pesimis dan ketidak puasan kerja awal, menarik diri
dan isolasi serta kerusakan menetap dan hilangmya minat.
Jika gambaran kejadian burn out dikelompokkan menjadi 4 tahap seperti tersebur, maka
dari 163 responden diperoleh gambaran bahwa 33 orang (20,2%) berada pada tahap 1
yaitu masih memiliki harapan tinggi dan idealisme kerja, 104 orang (63,8%) berada pada
tahap 2 dan 3 yaitu mulai pesimis dan ketidak puasan kerja awal, dan 3 orang (1,8%)
berada pada tahap 4 yaitu burn out. Selanjutnya kejadian burn out ini dikelompokkan
berdasarkan pilihan responden terhadap 21 item pilihan tentang kondisi yang
menggambarkan kejadian burn out . Setiap pernyataan mempunyai jawaban ”ya” dan
”tidak”.
Untuk responden yang memilih > 50% pilihan benar disebut sudah mengalami burn out
dan < 50% benar disebut belum mengalami burn out (Tappen,1998).
Berdasarkan hal tersebut diperoleh gambaran seperti terlihat pada tabel 3.4 berikut ini :

Tabel 3.4
Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Burn Out
Pada perawat pelaksana RS PGI Cikini Jakarta
Tahun 2006

n = 163

36
No KEJADIAN BURN OUT N %

1 Sudah mengalami Burn Out 29 17,8

2 Belum mengalami Burn Out 134 82,2

Jumlah 163 100

Hasil menunjukkan bahwa responden yang sudah mengalami burn out dan
perlu mendapat perhatian, relatif rendah 3 orang (1,8%) dan responden yang
belum mengalami burn out yaitu 160 orang (98,2%).

II. Analisa Bivariat


Penyajian analisa bivariat akan memberikan gambaran ada atau tidaknya
hubungan antara variabel independen (bebas) dan sebagai variabel dependen
(terikat) dengan menggunakan uji statistik chi-square dengan tingkat
kemaknaan 5% sehingga dikatakan hubungan bermakna jika p-value < 0,05
dan tidak bermakna jika p-value > 0,05.
1. Hubungan Karakteristik Personal Perawat Pelaksana dengan Kejadian
Burn out pada Perawat Pelaksana.
Karakteristik personal yang terdiri dari : umur, pendidikan, pengalaman
kerja, pola koping.

Tabel 3.5
Hubungan Karakteristik Personal dengan Kejadian Burn Out
Perawat Pelaksana pelaksana RS PGI Cikini
tahun 2006

KARAKTERISTIK BURN OUT


N PERSONAL Sudah Belum TOTAL P OR dengan
O n % N % n % VALUE 95% CI
1 Umur                
2. 97. 10
  26 – 33 2 6 76 4 78 0 0,292 2,256
2, 97, 10
  34 – 41 1 4 40 6 41 0   (0,378-13,447)
10
  42 – 44 0 0 33 100 33 0    

37
10
  >= 50 0 0 11 100 11 0    
                   
2 Pendidikan              
10
  S1 0 0 2 100 2 0 0,282 6,542
3, 96, 10
  D3 3 4 84 6 87 0   (0,492-86,978)
10
  SPK 0 0 72 100 72 0    
10
  BIDAN 0 0 2 100 2 0    
                   
3 Lama Kerja              
2, 97, 10
  5- 12 2 3 84 7 86 0 0,399 2,022
2, 97, 10
  13 – 20 1 5 39 5 40 0   (0,323-12,674)
10
  21 – 28 0 0 36 100 36 0    
10
  >= 29 0 0 1 100 1 0    
                   
4 Pola Koping                
8, 91, 10
  Beresiko 1 3 11 7 12 0 0,533 6,773
1, 14 98, 15 10
  Tidak Beresiko 2 2 9 7 1 0   (0,569-80,66)

     
a. Hubungan Umur dengan Kejadian Burn Out
Pada tabel 3.5 hubungan variabel umur dengan kejadian burn out mempunyai nilai
p = 0,292 (p> 0,05). Dengan demikian dapat diartikan tidak ada hubungan yang
bermakna antara umur dengan kejadian burn out, walaupun secara prosentase
tampak kelompok umur 26 - 33 tahun ( 2,6%) sudah mengalami burn out dan
hanya sedikit bedanya dengan umur 34 - 41 tahun yang sudah mengalami
burn out yaitu 2,4%.

b. Hubungan Pendidikan Dengan Kejadian Burn Out


Pada uji hubungan antara variabel ini menghasilkan nilai p = 0,282 (p>0,05) berarti
tidak ada hubungan bermakna antara variabel pendidikan dengan kejadian burn out,

38
secara prosentase yang sudah mengalami burn out adalah tingkat pendidikan DIII
Keperawatan yaitu 3,4 %. Tingkat pendidikan S1, SPK, Bidan belum mengalami
burn out.

c. Hubungan Pengalaman Kerja dengan Kejadian Burn Out


Hasil uji menggambarkan tidak terdapat hubungan bermakna antara pengalaman kerja
dengan kejadian burn out dimana nilai p = 0,399 (p>0,05).
Secara prosentase masa kerja 13-20 tahun memiliki persontase lebih besar 2,5 % yang
sudah mengalami burn out dibandingkan masa kerja 5-12 tahun (2,3%).

d. Hubungan Pola Koping dengan Kejadian Burn Out


Hasil uji memberi gambaran tidak ada hubungan pola koping dengan kejadian burn
out dimana nilai p = 0,533 (p>0,05).
Walau secara prosentase pola koping yang beresiko lebih besar (8,3%) sudah
mengalami burn out dibandingkan tidak beresiko (1,2%).

2. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Kejadian Burn Out


Karakteristik Keluarga mencakup konflik peran, tuntutan keluarga.

Tabel 3.6
Hubungan Karakteristik Keluarga Responden dengan Kejadian Burn Out
Pada Perawat Pelaksana RS PGI Cikini
tahun 2006

N KARAKTERISTIK BURN OUT TOTA P OR


O KELUARGA L VALU dengan 95%
E CI
Sudah Belum
n % n %
1 Konflik Peran        
  A. Beresiko 0 0 10 100 10 1,000 1,020
2, 15 98, (0,997-
  B. Tidak Beresiko 3 0 0 0 153   1,043)
                 
2 Tuntutan Keluarga        

39
  A. Beresiko 0 0 7 100 7 1,000 1,020
1, 15 98, (0,997-
  B. Tidak Beresiko 3 9 3 1 156   1,043)

a. Hubungan Konflik Peran dengan Kejadian Burn Out.


Hasil uji menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara konflik peran dengan
burn out dimana p = 1,000 ( p > 0,05) dimana beresiko mengalami burn out tidak ada
(0%), walaupun beresiko burn out tetapi belum belum mengalami burn out ada 10
responden (100%).

b. Hubungan Tuntutan Keluarga dengan Kejadian Burn Out.


Hasil uji menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara tuntutan keluarga
dengan burn out dimana p = 1,000 ( p > 0,05). Gambaran prosentase memperlihatkan
responden beresiko sudah mengalami burn out tidak ada (0%) tetapi yang beresiko
burn out tetapi belum mengalami ada n = 7 ( 100%).

3. Hubungan Karakteristik Lingkungan Kerja dengan Kejadian Burn Out


pada Perawat Pelaksana.
Karakteristik lingkungan kerja terdiri dari : beban kerja, sifat pekerjaan,
kepemimpinan, hubungan interpersonal, sistem penghargaan dan sumber
daya. Masing-masing variabel akan dianalisis hubujngannnya dengan
kejadian burn out. Hasilnyan dapat dilihat pada tabel 3.7

Tabel 3.7
Hubungan Karakteristik Lingkungan Kerja dengan Kejadian Burn Out
Pada Perawat Pelaksana RS PGI Cikini
Tahun 2006

N KARAKTERISTIK BURN OUT TOTAL P OR dengan 95%


O LINGKUNGAN KERJA Sudah Belum VALUE CI
n % n %
1 Beban Kerja          
40
96,
  A. Beresiko 1 3,7 26 3 27 0,996 2,577
98,
  B. Tidak Beresiko 2 1,5 134 5 136   (0,285-2,947)
                 
2 Sifat Pekerjaan        
84,
  A. Beresiko 2 15,4 11 6 13 0,007 27,09
99,
  B. Tidak Beresiko 1 7 149 3 150   (2,275-322,63)
                 
3 Kepemimpinan        
  A. Beresiko 0 0 12 100 12 1,000 1,020
  B. Tidak Beresiko 3 2 148 98 151   (0,997-1,044)
                 
4 Hubungan Interpersonal        

96,
  A. Beresiko 1 3,8 25 2 26 0,973 2,70
98,
  B. Tidak Beresiko 2 1,5 135 5 137   (0,236-30,91)
                 
5 Sistem penghargaan        
97,
  A. Beresiko 1 2,3 43 7 44 1,000 1,36
98,
  B. Tidak Beresiko 2 1,7 117 3 119   (0,120-15,38)
                 
6 Sumber Daya        
96,
  A. Beresiko 1 3,8 25 2 26 0,973 2,70
98,
  B. Tidak Beresiko 2 1,5 135 5 137   (0,236-30,91)

a. Hubungan Beban Kerja dengan Kejadian Burn Out


Hasil uji menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara beban kerja dengan
kejadian burn out, dimana nilai p > 0,05 yaitu p = 0,996. Secara prosentase beban
kerja yang berlebihan memiliki prosentase lebih besar 3,7% (n=1) dibandingkan
dengan beban kerja yang rendah 1,5% (n=2).

41
b. Hubungan Sifat Pekerjaan dengan Kejadian Burn Out
Uji hubungan antara variabel sifat pekerjaan dengan kejadian burn out
menggambarkan ada hubungan bermakna, dimana secara prosentase sifat pekerjaan
beresiko lebih besar ( 15,4%) sudah mengalami burn out dibandingkan dengan yang
tidak beresiko (7%). Dengan nilai Odd Rasio 27,09 mempunyai arti bahwa sifat
pekerjaan yang beresiko akan mengalami burn out 27,09 kali lebih besar dari pada
sifat pekerjaan yang tidak beresiko.

c. Hubungan Kepemimpinan dengan Kejadian Burn Out


Hasil uji antar variabel ini menunjukkan nilai p =1,000. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara kepemimpinan dengan
kejadian burn out, dimana beresiko sudah burn out tidak terjadi 0%, tetapi yang sudah
burn tidak beresiko ada 2% (n=3).

d. Hubungan Hubungan Interpersonal dengan Kejadian Burn Out


Uji hubungan antar variabel ini menunjukkan nilai p = 0,973 (p>0,05). Dengan
demiokinian dapat disimpulkan bahwa tidak hubungan bermakna antara hubungan
interpersonal dengan kejadian burn out, walaupun secara prosentase hubungan
interpersonal yang beresiko yaitu hubungan interpersonal yang adanya tekanan dan
kurangnya dukungan sosial dari teman kerja mempunyai prosentase lebih besar 3,8%
sudah mengalami burn out dibandingkan dengan yang tidak beresiko (1,5%).

e. Hubungan Sistem Penghargaan dengan Kejadian Burn Out


Secara prosentase sistem penghargaan yang beresiko sebanyak 2,3% mengalami burn
out dan hanya 1,7% yang tidak beresiko mengalami burn out. Uji hubungan antar
variabel ini menghasilkan nilai p = 1,000 (p>0,05). Dengan demikian dapat
disimpulkan tidak ada hubungan bermakna antara sistem penghargaan dengan
kejadian burn out.

f. Hubungan Sumber Daya dengan Kejadian Burn Out

42
Hasil uji menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna dengan nilai p = 0,973
(p>0,05), walaupun gambaran prosentase sumber daya terbatas mempunyai prosentase
lebih besar 3,8% dibandingkan dengan sumber daya yang cukup tersedia 1,5%.

BAB VI
PEMBAHASAN

Dalam bab ini, penulis akan melakukan pembahasan berdasarkan penelitian


yang telah dilakukan berdasarkan variabel yang ada pada kerangka konsep

43
dimana variabel independen yaitu personal, keluarga dan lingkungan kerja
variabel dependen yaitu burn out dan yang telah diuji dan dianalisa secara
univariat dan bivariat.

A. KETERBATASAN PENELITI
Jenis penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan cross sectional
dimana variabel independen dan variabel dependen dikumpulkan dalam waktu
bersamaan. Penelitian ini dilakukan analisis

B. HASIL PENELITIAN

Pembahasan hasil penelitian akan diuraikan untuk setiap karakteristik pada variabel
independen dan dependen

1. Karakteristik Personal
a. Umur Perawat Pelaksana
Hasil univariat menggambarkan jumlah responden kelompok umur 26
tahun sampai 33 tahun yaitu sebanyak 47,9% dan kelompok umur 34-41
tahun 41%. Hasil analisa bivariat menunjukkan tidak ada hubungan yang
bermakna antara umur dengan kejadian burn out. Gambaraan hasil analisis
ini bertentangan dengan pendapat Borman (1993) bahwa faktor personal
yang menyebabkan burn out antara lain adalah umur.
Namun demikian jika diamati analisa berdasarkan prosentase diperoleh
responden pada usia 26-33 tahun mengalami burn out 2,6% diikuti usia 34-
41 tahun (2,4%) , umur 42-44 dan ≥ 50 tidak mengalami burn out (0%).
Gambaran hasil analisis prosentase ini juga tidak sesuai dengan hasil
penelitian bahwa kejadian burn out meningkat dengan bertambahnya umur
(Laipalla,1999).

b. Pendidikan Perawat Pelaksana


Sebagian besar responden (53%) adalah berpendidikan D III Keperawatan

44
dan SPKR/SPR 44,2%. Dari hasil analisis bivariat menggambarkan bahwa
pendidikan DIII Keperawatan mengalami burn out 3,4%, sedangkan
S1,SPR/SPR,Bidan tidak mengalami burn out (0%).
Gambaran prosentase ini bertentangan dengan hasil penelitian bahwa
meningkat pendidikan perawat merupakan faktor mencegah terjadinya burn
out ( Laipalla,1999). Dan hasil analisa bivariat juga menggambarkan tidak
adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dan kejadian
burn out. Hasil ini bertentangan dengan pendapat Borman (1999)
menyatakan bahwa faktor personal yang menyebabkan burn out antara lain
pendidikan.

c. Pengalaman Kerja Perawat Pelaksana


Hasil analisis univariat dapat disimpulkan bahwa prosentase lama kerja
perawat yang terbesar adalah lama kerja 5-12 tahun (52,8%), kemudian
lama kerja 13-20 tahun yaitu 24,5%.
Dari hasil analisis bivariat yang mengalami burn out paling tinggi adalah
lama kerja 13-20 tahun 2,5% tidak jauh beda dengan lama kerja 5-12 tahun
yaitu 2,3%.
Gambaran kondisi ini sesuai dengan penelitian Laipalla (1999) bahwa
penagalamn kerja yang pendek akan menurunkan kejadian burn out. Dan
lama kerja 21-28 tahun dan ≥ 29 tahun tidak terjadi burn out . Hal ini
sesuia dengan pendapat Robbins (1998) mengatakan pengalaman
merupakan guru yang terbaik juga faktor yang menyebabkan stres akan
turun.
Hasil penelitian bivariat tidak terdapat hubungan yang bermakna antar
penagalaman kerja dengan kejadian burn out, hal ini bertentangan dengan
pendapat Borman (1993) bahwa faktor personal yang menyebabkan burn
out antara lain adalah pengalaman kerja.

d. Pola Koping Perawat Pelaksana

45
Dari hasil analisis univariat dapat disimpulkan bahwa kemampuan koping
perawat yang beresiko lebih kecil dari koping yang tidak beresiko.
Hasil analisis bivariat menunjukkan pola koping yang beresiko sudah
mengalami burn out lebih besar dibandingkan dengan pola koping yang
tidak beresiko, dari analisis hubungan tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara pola koping dengan kejadian burn out.
Hasil analisis ini tidak sesuai dengan pernyataan Borman (1993) yang
mengatakan bahwa faktor personal yang menyebabkan burn out antara lain
adalah pola koping yang dimiliki seseorang.

2. Karakteristik Keluarga
a. Konflik Peran
Hasil penelitianunivariat meberi gambaran bahwa 6,1% responden
mengalami konflik peran yang beresiko terhadap kejadian burn out dan
tidak beresiko 93,9%.
Analisa bivariat menunjukkan konflik peran yang tidak beresiko lebih
besar dibandingkan yang beresiko mengalami burn out. Juga dari analisis
hubungan konflik dengan kejadian burn out menunjukkan tidak hubungan
yang bermakna diantara kedua variabel.
Hasil analisis ini tidak sesuai dengan penelitian Biddle dan Thomas (1996)
yang mengatakan perawat dalam posisi sebagai ibu mempunyai peran
sebagai ibu rumah tangga, pengasuh anak, pengaggung jawab kesehatan
keluarga, memasak.
Menurut Friedman (1998) istri yang bekerja selalu mengalami perasaan
bersalah karena waktu yang tidak cukup untuk anak dan untuk pelaksanaan
fungsi-fungsi tradisional sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga.

b. Tuntutan Keluarga
Hasil penelitian menunjukkan prosentase faktor tuntutan keluarga yang
beresiko 4,3% dan yang tidak beresiko 95,7%. Dari prosentase ini ternyata
tuntutan keluarga yang beresiko mengalami burn out tidak ada (0%) dan

46
yang tidak beresiko 2,0%. Hasil analisa hubungan tuntutan keluarga
dengan kejadian burn out tidak ada hubungan yang bermakna.
Hasil ini bertolak belakang dengan berbagai pendapat yang menyatakan
Friedmen (1998) menyatakan bahwa banyak peran untuk setiap posisi,
maka diperlukan untuk menanggung semua beban peran tersebut, seperti
peran pengasuh anak, saat ini menjadi tanggung jawab bersama bagi posisi
ayah dan ibu.
Keluarga yaitu pasangan suami istri harus menganaliosa bahwa ada
keuntungan tambahan bila istri bekerja, keuntungan tersebut dapat berupa
peningkatan pendapatan keluarga jika istri bekerja, beban pada kondisi
suami menjadi cemas karena peran atau kekuatannya berkurang
(Cronkita,1997).

3. Karakteristik Lingkungan Kerja


a. Beban Kerja
Hasil analisa univariat menggambarkan 83,4% beban kerja tidak beresiko
dan 16,6% beresiko mengalami burn out. Dan dari hasil analisis bivariat
beban kerja berlebihan mengalami burn out lebih besar dari beban kerja
tidak beresiko. Hasil dari analisis hubungan beban kerja dengan kejadian
burn out menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna.
Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan pendapat yang mengatakan
bahwa beban kerja yang berlebihan dapat menyebabkan stres kerja yang
selanjutnya dapat terjadi burn out (Robbins, 1998, Tappen,1998).
Beban kerja berlebihan jika bekerja lebih dari 40 jam tiap minggu dan
sistem shift kerja lebih banyak menimbulkan stres.
Marelli (1997) melayani banayk pasien, beban kerja yang tinggi dapat
menyebabkan burn out.

b. Sifat Pekerjaan
Hasil penelitian menggambarkan prosentase berdasarkan sifat pekerjaan
beresiko 8,0% dan yang tidak beresiko 92,0%.

47
Dan dari hasil prosentase sifat pekerjaan beresiko yang sudah mengalami
burn out lebih besar dari sifat pekerjaan yang tidak beresiko. Analisis
hubungan sifat pekerjaan dengan kejadian burn out menunjukkan ada
hubungan yang bermakna.
Hasil analisis tersebut sesuai dengan pendapat Tappen (1998) beberapa
faktor yang berhubungan dengan burn out diantaranya sifat pekerjaan
melayani manusia, jadwal dan jenis pekerjaan yang relativ sama setiap
hari.
Swanburg,(1999) menyatakan penyebab stres tinggi dan
dapat menimbulkan burn out pada perawat antara lain adalah berinteraksi
dengan anggota staf lain, pengunjung dan dokter.
Menurut Marelli (1997) berhubungan dengan klien yang sulit, pekerjaan
yang rutin dapat menyebabkan burn out.

c. Kepemimpinan
Hasil penelitian univariat menggambarkan variabel kepemimipinan yang
Beresiko terjadi burn out 7,4% lebih kecil dari yang tidak beresiko yaitu
92,6%. Dari prosentase analisa bivariat terdapat kepemimpinan yang
tidak beresiko mengalami burn out lebih besar dari pada yang beresiko
mengalami burn out.
Analisis hubungan antara kepemimpinan dengan kejadian burn out
Menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna.
Hasil ini bertentangan dengan pernyataan Marelli,(1997) dan Tappen
(1998) bahwa sumber stres kerja antar lain kepemimpinan yaitu cara
bagaimana menajer berhubungan dengan stafnya, khususnya jika tidak
realistik, tidak perhatian dan tidak wajar.
Menurut Swanburg (1999) menyatakan beberapa pemimpin menciptakan
budaya kerja penuh tekanan, takut dan cemas, membangun tekanan tidak
realistik, pengawasan terlalu ketat dan rutin terhadap pegawai yang tidak
baik.

48
d. Hubungan Interpersonal
Hasil analisis univariat tentang hubungan interpersonal menggambarkan
bahwa terdapat 84,0% tidak beresiko lebih besar dari pada yang beresiko
mengalami burn out 16,0%. Dari prosentase ini terdapat hubungan
interpersonal beresiko sudah mengalami burn out lebih besar dari
hubungan interpersonal yang tidak beresiko.
Hasil analisis hubungan antara hubungan interpersonal dengan
kejadian burn out menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna.
Gambaran hasil analisis ini bertentangan dengan pendapat Robbins
(1998) yang menyatakan tuntutan-tuntutan interpersonal adalah tekanan-
tekanan yang ditimbulkan oleh orang lain. Dukungan sosial yang kurang
dari kolega dan kurangnya hubungan interpersonal akan menyebabkan
stres. Marelli (1997) menyatakan bersifat negatif terhadap sebagian staf
dapat menyebabkan burn out. Namun demikian secara prosentase
hubungan interpersonal cenderung beresiko terhadap kejadian burn out
perlu perhatian, karena perawat berperan sebagai pemberi pelayanan.
perawat bertanggung jawab membantu klien meningkatkan, memelihara
dan mempertahankan kesehatan juga melindungi hak pasien dengan
menjaga privacy, menyimpan informasi-informasi yang berhubungan
dengan klien (Craven and Himle,1996).

e. Sistem Penghargaan
Dari hasil analisis univariat varabel sistem penghargaan memberikan
gambaran beresiko terhadap kejadian burn out 27,0% lebih kecil dari yang
tidak beresiko yaitu 73,0%. Dari prosentasi ini terdapat sistem
penghargaan yang beresiko lebih besar dari sistem penghargaan yang tidak
beresiko.
Analisis hubungan anatar sistem penghargaan dengan kejadian burn out
menunjukkan tidak ada hubungan yang makna.
Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan beberapa pendapat yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara sistem penghargaan dengan

49
kejadian burn out.
Menurut Wandelt et al (19981), penyebab utama ketidakpuasan kerja bagi
perawat adalah kurangnya sistem penghargaan/reward.
Tappen (1998), sistem penghargaan yaitu cara bagaimana setiap perawat
mendapat penghargaan dan hukuman, dan penghargaan yang diberikan
dalam bentuk insentif semakin banyak yang bisa dihasilkan semakin besar
imbalan yang akan diterima, terutama jika tidak wajar akan menyebabkan
burn out.

f. Sumber Daya
Hasil analisis terhadap responden sumber daya diperoleh gambaran 16,0%
beresiko dan 84,0% tidak beresiko terhadap kejadian burn out. Dari
prosentase ini terdapat sumber daya beresiko mengalami burn out lebih
besar dari yang tidak beresiko. Analisis hubungan sumber daya dengan
kejadian burn out menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna.
Hasil penelitian ini bertentang dengan pernyataan yang mengatakan bahwa
Salah satu menyebabkan stres adalah keterbatasan fasilitas dan saran serta
finansial (Tappen,1998).
Menurut Marelli (1997) keterbatasan jumlah perawat yang akhirnya
menyebabkan burn out. Namun demikian sacara prosentase, sumber daya
terbatas cenderung beresiko terhadap kejadian burn out.

4. Kejadian Burn Out


Berdasarkan hasil dari analisis univariat, dapat disimpulkan bahwa 98,2%
perawat pelaksana tidak mengalami burn out, dengan kata lain 20,2% berada
pada tahap masih memiliki harapan tinggi dan idealisme kerja, 63,8% belum
mengalami burn out tetapi sudah memiliki gejala-gejala yaitu mulai pesimis
dan ketidak puasan kerja awal, dan 1,8% berada pada tahap burn out.
Kondisi ini tidak jauh beda dengan hasil penelitian di 2 rumah sakit Finish di
Finlandia, dengan sampel 723 perawat terdapat setengah dari jumlah perawat

50
tersebut memperlihatkan indikasi frustasi atau burn out.(Koivula, Paunonen
dan Laippala,1999).
Kondisi yang meunjang terjadinya burn out pada perawat pelaksana di RS
PGI Cikini adalah sifat pekerjaan.
Sesuai dengan pendapat Tappen (1998) beberapa faktor yang berhubungan
dengan burn out diantaranya sifat pekerjaan melayani manusia, jadwal dan
jenis pekerjaan yang relativ sama setiap hari.
Swanburg,(1999) menyatakan penyebab stres tinggi dan dapat menimbulkan
burn out pada perawat antara lain adalah berinteraksi dengan anggota staf
lain, pengunjung dan dokter.
Menurut Marelli (1997) berhubungan dengan klien yang sulit, pekerjaan
yang rutin dapat menyebabkan burn out.
Berdasarkan paparan tersebut diatas, maka perawat pelaksana di rumah sakit
yang bertanggung jawab meberikan asuhan keperawatan langsung kepada
pasien juga berperan sebagai pendidik, menajer administrator dan supervisor
(Chetty,1997) cenderung atau beresiko mengalami burn out.
Dampak burn out sperti stres, burn out adalah reaksi yang berkepanjangan
dan kesukaran yang menghabiskan energi. Stres kerja tidak hanya
berpengaruh terhadap individu misalnya kepuasan kerja, kesehatan mental,
ketegangan, ketidak hadiran, dan sering juga dihubungkan dengan kinerja
tetapi juga terhadap organisasi yaitu terjadinya diorganisasi, penurunan
produktivitas dan penurunan keuntungan dan jika ini terjadi maka mutu
pelayanan keperawatan akan menurun, akibatnya rumah sakit tidak mampu
merebut jasa pelayanan kesehatan.

51

You might also like