You are on page 1of 8

BERPIKIR KRITIS (CRITICAL THINKING) DALAM PROFESI DOKTER

Cholis Abrori
Fakultas Kedokteran Universitas Jember

Pendahuluan
Dokter merupakan profesi yang memberikan pelayanaan kesehatan dengan
menerapkan prinsip-prinsip ilmiah sesuai dengan jangkauan teknologi terkini kepada
pasien. Penerapan prinsip ilmiah dalam memberikan pelayanan kesehatan tentunya
memerlukan dasar pengetahuan yang kuat dan pengalaman, sehingga keputusan
klinis yang dihasilkan adalah yang terbaik untuk pasien. Pada saat memberikan
pelayanan, seorang dokter dihadapkan pada masalah pasien yang harus
ditindaklanjuti dengan pengelolaan yang tepat dengan berpikir secara komprehensif
dari seluruh pengetahuan yang dimiliki dan melakukan telaah terhadap seluruh data
yang diperoleh dari pasien.
Clinical reasoning skills sebenarnya merupakan salah satu ketrampilan yang
sangat diperlukan untuk dimiliki oleh dokter. Kompetensi ini digunakan dalam
mengelola pasien. Setiap keputusan klinis harus didasarkan pada alasan-alasan yang
dapat diterima akal dengan didasarkan pada pola pikir evidence-based medicine.
Perkembangan teknologi selain memberikan nilai tambah, kadang-kadang juga
memberikan dampak yang merugikan. Disini seorang dokter harus mampu berpikir
secara kritis dan menggunakan ketrampilan clinical reasoning yang dimiliki untuk
memberikan keputusan terbaik untuk pasien.
Berbagai penelitian telah dilakukan dan menyatakan betapa pentingnya
clinical reasoning skills untuk seorang dokter. Seorang dokter dapat menyelesaikan
masalah, membuat suatu keputusan, dan membuat pertimbangan medis dengan
menerapkan langkah-langkah berpikir dengan berbagai metode yang telah
digunakan selama ini. Berpikir kritis dilakukan setiap orang untuk mendapatkan
pemahaman, melakukan evaluasi, serta dalam menyelesaikan masalah. Seorang
dokter dalam menghadapi pasien juga melakukan langkah-langkah tersebut.
Permasalahannya apakah dengan langkah-langkah yang dilakukan tersebut seorang
dokter bisa dikatakan berpikir kritis.
Dalam tulisan ini dilakukan telaah terhadap clinical reasoning dan critical
thinking, bagaimana hubungan kedua kompetensi tersebut, dan bagaimana
kepentingannya bagi seorang dokter.

Berpikir Kritis
Berpikir kritis atau critical thinking menurut Cotton (1991) juga dikenal
dengan tihnking skills, berpikir kreatif, berpikir tingkat tinggi (high-order thinking).
Dalam berpikir kritis terdapat dua dimensi penting, yaitu kerangka berpikir dan
pekerjaan mental yang spesifik.
Michael Seriven dan Richard Paul, seperti yang dikutip oleh Jenicekc (2006)
mengatakan bahwa berpikir kritis adalah sebuah proses intelektual dengan
melakukan pembuatan konsep, penerapan, melakukan sintesis dan atau
mengevaluasi informasi yang diperoleh dari observasi, pengalaman, refleksi,
pemikiran, atau komunikasi sebagai dasar untuk meyakini dan melakukan suatu
tindakan. Digambarkan bahwa berpikir kritis tidak cukup hanya logis, tetapi terdiri

1
atas proses yang lebih luas dalam bidang kedokteran, antara lain melibatkan
persepsi, bahasa, emosi, pertimbangan biostatistik dan epidemiologis, bukti ilmiah
terbaik, pengetahuan klinis dan kesehatan masyarakat, sikap, dan ketrampilan.
Pendapat ini senada dengan yang disampaikan oleh Abraham (2004) yang
menerapkan strategi membangun critical thinking mahasiswa melalui pembelajaran
fisiologi.
Schafersman (1991) mengatakan berpikir kritis adalah berpikir berdasarkan
pengetahuan yang sesuai dan dapat dipercaya, atau cara berpikir yang beralasan,
dapat digambarkan, bertanggung jawab dan mahir. Dalam pengertian ini seorang
dikatakan berpikir kritis bila menanyakan suatu hal dan mencari informasi dengan
tepat. Kemudian informasi tersebut digunakan untuk menyelesaikan masalah dan
mengelolanya secara logis, efisien, dan kreatif, sehingga dapat membuat kesimpulan
yang dapat diterima akal. Selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dengan tepat berdasarkan analisis informasi
dan pengetahuan yang dimilikinya.
Fisher (2001) mengutip pendapat John Dewey, menjelaskan bahwa critical
thinking adalah pertimbangan aktif dan tepat serta berhati-hati atas keyakinan dan
keilmuan untuk mendukung kesimpulan. Pendapat lain yang dikutip oleh Fisher
adalah menurut Ennis, critical thinking adalah kegiatan berifkir yang beralasan dan
reflektif yang menitikberatkan pada apa yang dipercaya dan apa yang akan
dikerjakan. Kedua pendapat ini tampaknya menempatkan critical thinking pada satu
proses berpikir yang dilakukan secara hati-hati dengan alasan yang dapat diterima
dengan akal.
Mendefinisikan higher-order thinking secara pasti memang agak sulit,
mskipun tidak sesulit untuk memiliki atau menerapkannya. Resnick (1990)
mempertimbangkan beberapa hal tentang hal tersebut dalam beberapa uraian
berikut ini.
• Berpikir kritis adalah non-algorithmic yang merupakan bagian dari kegiatan
yang sangat spesifik dalam tingkatan lanjut dalam berpikir.
• Berpikir kritis cenderung menjadi kompleks.
• Berpikir kritis sering berupa pemecahan berbagai solusi, yang masing-masing
mempertimbangkan cost-benefit.
• Berpikir kritis melibatkan perbedaan pendapat dan interpretasi
• Berpikir kritis melibatkan penerapan berbagai macam kriteria yang seringkali
menimbulkan konflik dengan yang lain
• Berpikir kritis sering melibatkan ketidakpastian.
• Berpikir kritis berarti pengaturan sendiri dalam proses berpikir
Tidak semua orang yang mempunyai banyak pengetahuan atau seseorang
yang pandai mampu malakukan proses berpikir kritis. Orang yang sangat pandai
kadang-kadang berpikir tidak rasional atau malah berpikir tidak logis. Sedangkan
berpikir kritis merupakan suatu ketrampilan yang menggunakan pengetahuan dan
intelgensi untuk mendapatkan obyektivitas dan pandangan yang dapat diterima
secara akal. Dengan demikian seseorang akan mampu mengambil keputusan terbaik
dalam menyelesaikan suatu masalah.
Facione (1996) berdasarkan The APA Concensus Definition, menyatakan
berpikir kritis sebagai keputusan yang disertai tujuan dan dikerjakan sendiri,
merupakan hasil dari kegiatan interpretasi, analisis, evaluasi, dan inferensi, serta
penjelasan dari pertimbangan yang didasarkan pada bukti, konsep, metodologi,
kriteriologi dan kontekstual. Proses tersebut melandasi keputusan yang akan diambil
oleh seseorang. Selanjutnya Facione (2004) menjelaskan bahwa berpikir kritis

2
sebagai cognitive skill, didalamnya terdapat kegiatan interpretasi, analisis, evaluasi,
inferensi, penjelasan, serta pengelolaan diri.
• Interpretasi adalah kemampuan untuk memahami dan menjelaskan
pengertian dari situasi, pengalaman, kejadian, data, keputusa, konvensi,
kepercayaan, aturan, prosedur dan kriteria.
• Analisis adalah mengidentifikasi hubungan dari beberapa pernyataan
pertanyaan, konsep, deskripsi, dan berbagai model yang dipergunakan untuk
merefleksikan pemikiran, pandangan, kepercayaan, keputusan, alasan,
informasi dan opini. Mengevaluasi ide dan pendapat orang lain, mendeteksi
argumen dan menganalisis argumen merupakan bagian dari analisis.
• Evaluasi adalah kemampuan untuk menguji kebenaran pernyataan yang
digunakan untuk menyampaikan pemikiran, persepsi, pandangan, keputusan,
alasan, serta opini. Evaluasi juga merupakan kemampuan untuk menguji
hubungan berbagai pernyataan, deskripsi, pertanyaan, dan bentuk lain yang
dipakai dalam merefleksikan pemikiran.
• Inferensi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan memilih elem yang
dibutuhkan untuk menyusun simpulan yang memiliki alasan, untuk menduka
dan menegakkan diagnosis, untuk mempertimbangkan informasi apa sajakan
yang dibutuhkan dan untuk memutuskan konsekuensi yang harus diambil
dari data, informasi, pernyataan, kejadian, prinsip, opini, konsep dan lain
sebagainya.
• Kemampuan menjelaskan adalah kemampuan menyatakan hasil pemikiran,
penjelaskan alasan berdasarkan pertimbangan bukti, konsep metodologi,
kriteriologi dan konteks. Termasuk dalam ketrampilan ini adalah kemampuan
menyampaikan hasil, menjelaskan prosedur, dan mempresentasikan
argumen.
• Self regulation adalah kemampuan seseorang untuk mengatur sendiri dalam
berpikir. Dengan kemampuan ini seseorang akan selalu memeriksa ulang
hasil berpikirnya untuk kemudian diperbaiki sehingga menghasilkan
keputusan yang lebih baik.
Berpikir kritis sebernarnya merupakan proses melibatkan integrasi
pengalaman pribadi, pelatihan, dan skill disertai dengan alasan dalam mengambil
keputusan untuk menjelaskan kebenaran sebuah informasi. Atau dengan kata lain
merupakan aktivitas mengidentifikasi suatu permasalahan dengan menggunakan
pengalaman sebelumnya dan mencari hubungan antara permasalahan tersebut dan
memecahkannya pada situasi yang berbeda.
Dari sudut pedagogik menurut Philips (2004) secara umum terdapat empat
konsep yang berbeda dalam hal berpikir kritis: berpikir kritis sebagai ketrampilan
generik, berpikir kritis sebagai ketrampilan yang melekat (embeded), berpikir kritis
sebagai komponen dari ketrampilan belajar sepanjang hayat, dan berpikir kritis
untuk menjadi kritis.

Ciri-ciri Pemikir Kritis


Seseorang yang berpikiran kritis memiliki karakter khusus yang dapat
diidentifikasi dengan melihat bagaimana seseorang tersebut dalam menyikapi
sebuah masalah, informasi atau argumen. Nickerson (1987) berpendapat bahwa
otoritas pada berpikir kritis, menandai seorang pemikir kritis dalam pengetahuan,
kemampuan, sikap, dan kebiasaan dalam bertindak. Seorang pemikir kritis memiliki
karakteristik berikut
• Menggunakan bukti ilmiah dengan baik dan berimbang

3
• Mengelola pikiran dan menyampaikannya secara konsiten dan jelas
• Membedakan sesuatu secara logis dan inferens
• Menangguhkan keputusan bila terdapat kurang bukti yang mendukung
• Mengerti perbedaan antara memberi alasan dan mencari alasan
• Berusaha mengantisipasi kemungkinan konsekuensi alternatif pilihan
• Memahami pendapat berdasarkan derajat kepercayaan
• Mencari kemiripan dan analogi pada keadaan yang tidak jelas
• Mampu belajar secara mandiri dan tidak mudah putus asa dalam
mengerjakan sesuatu
• Menerapkan teknik problem-solving
• Dapat menyampaikan struktur informal dengan jalan pikiran formal
• Dapat memberi argumen secara lisan bila terdapat ketidaksesuaian
• Membiasakan meragukan pendapat sendiri dan berusaha memahaminya
• Peka terhadap perbedaan antara kebenaran dan intensitas
• Menyadari bahwa kemampuan memahami sesuatu adalah terbatas
• Mengakui kemungkinan pendapatnya sendiri keliru

Seorang yang berpikiran kritis menurut Carrol (2004) memiliki karakteristik


berikut adalah seseorang yang
• Berpikiran terbuka
• Skeptis
• Rendah hati
• Berpikiran bebas
• Memiliki motivasi tinggi

Sedangkan menurut Ferret (1996) seseorang dapat menjadi pemikir kritis bila
memiliki karakteristik berikut:
• Menanyakan sesuatu yang berhubungan
• Menilai pernyataan dan argumen
• Dapat memperbaiki kekeliruan pemahaman atau informasi
• Memiliki rasa ingin tahu
• Tertarik untuk mencari solusi baru
• Dapat menjelaskan sebuah kriteria untuk menganalisis pendapat
• Ingin menguji kepercayaan, asumsi, dan pendapat dan membandingkannya
dengan bukti yang ada
• Mendengarkan orang lain dengan baik dan dapat memberikan umpan balik
• Mengetahui bahwa berpikir kritis adalah proses sepanjang hayat dari
instrospeksi diri
• Mengambil keputusan setelah seluruh fakta dikumpulkan dan
dipertimbangkan

4
• Mencari bukti ilmiah untuk mendukung asumsi dan keyakinan
• Dapat memperbaiki pendapatnya bila menemukan fakta baru
• Mencari bukti
• Menguji masalah secara terbuka
• Dapat menolak informasi bila tidak benar atau tidak relevan

Langkah-langkah dalam Berpikir Kritis


Facione (2004) mengemukakan 6 langkah dalam berpikir efektif dan
problem-solving, yaitu
1. Identifikasi masalah
2. Menetapkan/mendefinisikan keadaan/konteks
3. Mengusulkan beberapa alternatif pilihan
4. Menganalisis pilihan untuk mendapatkan yang terbaik
5. Membuat daftar alasan secara jelas
6. Melakukan koreksi diri
Lynch dan Wolcott (2001) mengemukakan langkah-langkah yang lebih
sederhana dalam berpikir kritis. Ada empat langkah yang dikemukakan sebagai
berikut:
1. Mengidentifikasi masalah, informasi relevan dan sesuatu yang belum jelas
2. Melakukan eksplorasi terhadap interpretasi dan hubungannya
3. Membuat prioritas alternatif penyelesaian dan mengkomunikasikan
kesimpulan
4. Mengintegrasikan, memonitor, dan memperbaiki strategi untuk
menyelesaikan kembali permasalahan.
Dari kedua pendapat diatas, tampak sebenarnya hampir sama. Setiap
langkah dalam berpikir kritis selalu dimulai dengan mengidentifikasi permasalahan.
Setelah ditetapkan permasalahan selanjutnya dilakukan eksplorasi terhadap
permasalahan tersebut dan dicari kemungkinan alternatif pemecahannya.
Selanjutnya dari fakta yang ada dan dengan didasarkan pemikiran yang mendalam
kemudian ditetapkan suatu keputusan. Selanjutnya keputusan tersebut selalu
dimonitor dan diperbaiki sesuai dengan kebutuhan.

Berpikir kritis dalam Clinical Reasoning


Dalam menjalankan tugas profesional di bidang kedokteran, seorang dokter
dituntut untuk dapat mengambil keputusan klinis yang terbaik. Keputusan tesebut
harus dilakukan dengan clinical reasoning yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan. Ketika keputusan dibuat, dokter memerlukan suatu
pemahaman dari “building block” dari pemikirannya dalam upaya memberikan
penjelasan dan mencari perbedaan-perbedaan nilai maupun pendapat yang mungkin
terjadi. Grove (2002) berpendapat bahwa clinical reasoning adalah proses kognitif
yang terjadi pada saat berbagai informasi yang diterima oleh dokter melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, diintegrasikan dengan pengetahuan dan pengalaman
yang telah dimiliki sebelumnya, kemudian digunakan untuk mengambil keputusan
klinis dengan membuat diagnosis dan menatalaksana masalah pasien.

5
Clinical reasoning dibagi menjadi forward dan backward clinical reasoning
menurut Beullens (2005). Forward clinical reasoning adalah proses untuk
menetapkan hipotesi berdasarkan informasi yang telah ada. Sedangkan backward
clinical reasoning adalah mengungkapkan data berdasarkan hipotesis. Sebagai
contoh, jika seorang dokter menyatakan bahwa pasien memiliki tekanan darah yang
tinggi melebihi normal dan menarik hipotesis bahwa pasien menderita hipertensi,
maka dokter telah melakukan forward clinical reasoning. Sebaliknya bila dokter
menyatakan karena pasien menderita hipertensi, maka pasien memiliki tekanan
darah yang tinggi melebihi normal.
Dalam forward clinical reasoning, seorang dokter dalam menegakkan
diagnosis atau hipotesis setidaknya melakukan langkah menginterpretasi,
menganalisis, dan mengevaluasi data, yang kemudian menarik kesimpulan dengan
mengambil keputusan diagnosis. Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik sesorang
dokter memperoleh informasi tentang pasien, kemudian melakukan analisis dengan
mencari hubungan dari data-data yang telah diperoleh, selanjutnya bila diperlukan
pemeriksaan penunjang diagnosis. Evaluasi atas diagnosis yang telah dibuat
dilakukan dengan mencari informasi penting yang telah dimilikinya untuk
dipergunakan dalam menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan, serta
membuat simpulan keputusan klinis dengan membuat diagnosis dan menetapkan
pengelolaan penyakit pasien. Selanjutnya dokter akan memberikan penjelasan
kepada pasien tentang penyakit dan pengelolaannya secara logis. Seluruh langkah
yang dilakukan dokter tersebut sebenarnya merupakan langkah seorang yang
berpikiran kritis.
Pada backward clinical reasoning terjadi yang sebaliknya. Pemikiran dimulai
dari penetapan hipotesis terlebih dahulu, setelah itu baru dilakukan pengumpulan
bukti-bukti dari tanda dan gejala yang terdapat pada pasien. Langkah ini bisa saja
dilakukan, akan tetapi karena tidak didasarkan pada telaah fakta yang ada maka
hipotesis atau diagnosis yang ditetapkan dapat keliru. Metode ini lebih
mengedepankan intuisi dibanding berpikir kritis dan lebih sering dilakukan oleh
pemula.
Clinical reasoning menggunakan metode forward lebih akurat dibanding
metode backward (Beullens, 2005). Berbeda dengan riset yang dikemukakan
Norman (2005) menunjukkan bahwa pada pada diagnosis EKG tidak ada perbedaan
ketepatan penggunaan metode forward dan backward, bahkan metode yang paling
baik digunakan adalah metode gabungan yang dimulai dari metode backward.
Menurut Eva (2004) clinical reasoning juga dibedakan menjadi analitik dan
non analitik. Proses analitik merupakan aktivitas penalaran dengan melakukan
analisis secara cermat untuk mengetahui hubungan antara tanda dan gejala dengan
diagnosis yang ditegakkan. Sehingga pada proses analitik ini harus difahami
hubungan sebab-akibat antara tanda dan gejala dengan diagnosis. Sedangkan
proses clinical reasoning yang non analitik tidak membutuhkan penalaran sama
sekali yang sering dikenal dengan pattern recognition (pengenalan tanda). Dengan
menggunakan pengalaman sebelumnya, ketika seorang dokter menemukan gejala
atau tanda yang sama dia akan mengambil keputusan yang sama dengan yang
pernah dilakukan.
Bila dikaji lebih jauh maka clinical reasoning yang dilakukan secara backward
dan non analitik sebenarnya bukan merupakan kegiatan problem solving dan
reasoning. Dalam model tersebut tidak dilakukan proses berpikir secara kritis.
Selama dokter mempunyai pengalaman dan mampu mengingat tanda dan gejala
penyakit serta kemungkinan diagnosisnya, maka diagnosis dapat diputuskan. Apa
yang dilakukan oleh para dokter sebenarnya bukanlan problem solving, karena
hanya mengingat apa yang telah dilakukan kemudian diulangi ketika mendapatkan
hal yang sama.

6
Menurut Kee dan Bickle (2005) terdapat tiga jenis clinical reasoning,yaitu
probabilistik, kausal, dan berdasarkan aturan. Probabilistik artinya seorang dokter
mampu mengapresiasikan informasi dalam bentuk tanda dan gejala sehingga dapat
mengambil keputusan klinis. Dengan clinical reasoning jenis kausal membutuhkan
pemahaman anatomi dan fisiologi. Sedangkan yang berdasarkan aturan, seorang
dokter membutuhkan pengenalan tanda untuk mengambil keputusan klinis. Dalam
menghadapi permasalahan seorang pasien, seringkali kita menghadapi persoalan
yang sangat bervariasi karena pada dasarnya setiap individu itu berbeda. Penerapan
pengenalan tanda tidak selalu bisa dilakukan mengingat perbedaan antarindividu
tersebut. Untuk itu proses berpikir kritis dalam clinical reasoning tetap dibutuhkan.
Seorang dokter pemula masih memiliki pengalaman yang terbatas dalam
menyelesaikan masalah seorang pasien. Pengenalan tanda tidak selalu membuahkan
hasil karena memang seringkali belum pernah menemui tanda tersebut. Untuk itu
problem solving dengan berpikir kritis perlu dilakukan oleh dokter yang masih
pemula. Semakin banyak kasus yang ditemui dan dipelajari, maka semakin banyak
tanda yang akan dikenali, dan ini akan mempermudah penerapan pengenalan tanda.
Sayangnya seoran dokter yang sudah berpengalaman akhirnya lebih menggunakan
pengenalan tanda dibandingkan berpikir kritis. Hal tersebut dapat dimaklumi karena
seorang dokter ketika menjalankan profesinya terkadang dituntut untuk cepat
bertindak dan dibatasi oleh waktu, sehingga pengenalan tanda akhirnya menjadi
pilihan, khususnya untuk seorang yang sudah berpengalaman.
.
Penutup
Sebagai seorang dokter seharusnya melakukan clinical reasoning secara
cermat dengan menggunakan penalaran dan berpikir kritis dalam menyelesaikan
masalah pasien. Penerapan pengenalan tanda masih mungkin akan tetapi harus
dilakukan secara hati-hati karena resiko terjadi kesalahan dalam mengambil
keputusan klinis lebih besar. Variasi antarindividu juga menjadi hal yang sangat
penting untuk diingat, sehingga proses berpikir secara kritis tetap diperlukan untuk
menghasilkan keputusan yang tepat.

KEPUSTAKAAN
Abraham, R.R, Sharmila Torke, S. U., and Ramnarayan K. (2004). Cliniclly oriented
physiology teach: strategy for developing critical-thinking skills in
undergraduate medical students. Adv. Physiol. Educ. 28: 3.
Beullens JS, and Van Damme B, 2005. Do extended matching multiple choice
questions measure clinical reasoning?, Medical Education, 39:410-17
Carrol RT, 2000. Becoming a critical thinker – A guide for the new millennium,
Pearson Custom Publishing.
Cotton, K. 1991. "Teaching Thinking Skills." Retrieved December, 27th 2005, 2005,
from www.nwrel.org/scpd/sirs/6/cu11.html.
Eva KW. 2004. What every teacher needs to know about clinical reasoning, Medical
Education, 39:98-106
Facione NC, Facioine PA. 1996. Externalizing the critical thinking in knowledge
development and clinical judgment. Nursing Outlook, 44, 129-36
Facione NC. 2004. Critical thinking, what it is and why it counts. California Academic
Press.
Fisher, Alec, 2001. Critical thinking and introduction, UK: Cambridge University
Press.

7
Groves M, Scott I, Alexander H. 2002. Assessing clinical reasoning: a method to
monitor its development in a PBL curriculum, Medical Teacher, 24:5, 507-15.
Jenicek, M. 2006. A Physician's self-paced Guide to Critical Thinking. United States of
America, American Medical Association.
Lynch CL. and Wokcot SK. 2001. Helping your students develop critical thinking
skills, Idea Paper, vol. 37
Kee, F dan Bickle I. 2004. Critical thinking and critical appraisal: the chicken and the
egg?, QMJ, 97:418-27
Nickerson, R. S., Perkins, D. N., & Smith, E. E. 1985. The Teaching of Thinking.
Erlbaum.
Norman G. 2005 Research in clinical reasoning: past history and current trends,
Medical Education, 39:418-27
Philips V. and Bond C., 2004. Undergraduates’ experiences of critical thinking, Higher
Education Research & Development, 23:3
Resnick, L. 1990. Instsruction and the cultivation of thinking In. N. Entwistle (Ed.),
Handbook of educational ideas and practices (pp. 694-707). London: Routledge.
Schafersman, Steven D. 1991. An introduction to critical thinking.

You might also like