You are on page 1of 8

Filosofi Dokter Keluarga

Dokter Keluarga (DK), sebetulnya adalah dokter praktek umum, hanya dalam prakteknya
menggunakan pendekatan kedokteran keluarga.

Pendekatan kedokteran keluarga itu prinsip pokoknya ada 4:

 pelayanan yang bersifat personal (invidual) bukan keluarga,

 pelayanan yang bersifat primer artinya hanya melayani sebatas dokter pelayanan
primer,

 komprehensif artinya DK sebagai Dokter praktek umum melayani 4 ranah pelayanan


yaitu promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

 Lalu yang ke empat adalah kontinyu, ini yang sering dilupakan para dokter prakter
umum padahal hal tersebut sangat penting, the continuity of care atau kesinambungan
pelayanan.

Jangan sampai seseorang itu dilayani oleh banyak dokter, sehingga mengulang pelayanan
lagi, pemeriksaan lagi, obatnya jadi double-double dan seterusnya. Demikian pula DK akan
mengontrol, dalam tanda kutip tindakan spesialistis, mana yang perlu dan mana yang tidak.

Tanpa ada penerapan konsep DK Askes akan rugi, kebobolan terus karena tidak ada gate
keeper-nya. Akhirnya pengeluaran yang dilakukan bersifat kuratif, padahal kalau mau
menghemat biaya harus bagaimana supaya peserta jangan sakit. Bukan bagaimana mengobati
setelah sakit. Tidak ada gunanya. Kuratif itu ibaratnya mau menggarami laut, tidak bisa.

Jadi filosofi DK sebagai dokter praktek umum memiliki filosofi dengan pelayanan personal
primary continue comprehensive. Jadi memandang manusia seutuhnya sebagai makhluk bio
psycho social.

Bagaimana dengan fenomena di Indonesia, seseorang sakit lalu lari ke RS dengan


dokter spesialis langsung?

Sebetulnya dokter di Puskesmas harusnya menerapkan fungsi sebagai DK. Sehingga kalau
merujuk pasien ke RS itu alasannya jelas. Mengapa dirujuk, apa alasannya, apa gunanya
dirujuk, selain itu pasien juga harus tahu. Dan sebetulnya pihak Askes yang ingin rembuist
juga berhak bertanya, mengapa pasien itu dirujuk. Padahal misalnya itu masih tergolong
pelayanan primer. Disitu sebenarnya fungsi Askes.

Di Indonesia memang dokter di Puskesmas belum menerapkan fungsi DK, karena masih
terbentur oleh sistem. Yang kedua terbentur pada dokternya sendiri yang belum menguasai
prinsip pelayanan DK. Sistem itu begini, sebenarnya sudah ada bahwa pelayanan kedokteran
itu terdiri dari pelayanan primer, sekunder, dan tersier. Sistem yang ada di program Depkes
juga menyebutkan Puskesmas itu hanya melayani Unit Kesehatan Masyarakat (UKM),
namun yang terjadi Unit Kesehtan Personal (UKP)-nya tidak terlayani.Terlayani sih terlayani,
tapi tidak manfaatnya kurang terasa. Konsep itu yang seharusnnya ada, namun dilapangan
kenyataannya tidak seperti itu. PDKI menghendaki UKM dan UKP berjalan di sebagaimana
mestinya, bagaimana UKP adalah bagian dari UKM, dan bisa dikatakan Puskesmas adalah
klinik DK. Selain peranannya sebagai UKM.

Namun yang terjadi, malah Puskesmas menjadi UKP, namun UKP-nya tidak berjalan
maksimal karena terbentur fungsi Puskesmas sesungguhnya. Contohnya kontrol terhadap
pasien tersebut tidak terjadi, karena misalnya dokternya ganti-ganti, atau dokternya sibuk
memberikan penyuluhan kesehatan. Padahal kebanyakaan masyarakat kita lari ke Puskesmas
jika sakit.

The continuity of care itu kan tujuannya agar semua orang terdaftar, memiliki rekam medis
masing-masing. Sehingga dengan rekam medis yang bagus, bisa diaudit, bisa
dipertanggungjawabkan, dan keuntungannya terhadap pasien mempunyai rekam medis
masing-masing. Jadi DK dan PDKI misalnya duduk bersama membuat rekam medis standar
yang bisa baik untuk Askes, untuk dokter praktek umumnya, dan baik untuk Dinkes, dan
pesertanya. Dengan begitu akan ada data demografi, data biologi, dan yang ketiga data klinis.
Ketiga data ini nanti akan sangat bermanfaat untuk memperhitungkan misalnya cakupan
asuransi, estimasi biaya yang dikeluarkan Dinkes untuk meningkatkan derajat kesehatan, dan
sebagainya. Manfaatnya sangat besar.

Pelayanan primer dilakukan oleh dokter praktek umum dengan menerapkan prinsip
pelayanan DK. Jika dokter praktek umum tanpa penerapan prinsip DK Askes akan rugi. Mau
tidak mau, Askes memerlukan DK untuk mengontrol biaya sehingga tidak terlalu tinggi.

The continuity of care ini juga akan meminimalisir perilaku peserta yang windows shopping,
akhirnya malah peserta tidak mendapat manfaat yang sebenarnya. Rekam medisnya akan
semakin tidak jelas, tidak ada tanggung jawab dari dokter, sehingga peserta tidak bisa
menuntut jika terjadi apa-apa, dan sebagainya.

Lalu bagaimana dengan kompetensi DK?

PDKI bergerak atas dasar 4 pilar professionalism:

 pilar yang pertama adalah perilaku,

 kedua ilmu,

 ketiga skill, dan

 keempat adalah kinerja.

 Kinerja itu artinya mengerjakan secara benar dan baik, dan produktif. Dari semua
keilmuan sama, tapi untuk perilaku dan kinerja ini yang perlu diasah.

Kalau dari institusi pendidikan apakah ada dukungan?

PDKI sebetulnya adalah organisasi yang memelas, karena upaya ini berkembang secara
bottom up. Dari bawah ke atas. Jadi bukan top down, atau dengan kata lain dari Depkes.
Kami sudah membuat kurikulum fakultas kedokteran (FK) saat ini, keluarannya atau output-
nya dokter praktek umum yang mampu menerapkan prinsip-prinsip DK. Jadi, begitu lulus
FK, dokter praktek umum ini akan mampu menjadi DK. Sesuai dengan apa yang diharapkan
oleh Askes sebetulnya. Mereka yang kurikulum 2005 ke atas akan begitu semua. Baru mulai
2005, kira-kira untuk lulusan 2011-2012.

Semua FK di Indonesia, berhasil menyusup kurikulum. Kita bergerilya mulai dari situ.
Sekarang ini kita sedang bergerilya lagi, membujuk baik RS maupun institusi pendidikan
(FK), untuk mendirikan departement of family medicine. Kalau di RS itu tempat gatekeeper-
nya, kalau di FK itu tempat pendidikannya. Akhir tahun ini kira-kira sudah dimulai, yang
sambutannya positif saat ini UGM dan UNS.

Setiap dokter memang seharusnya paham apa yang dimaksud dengan konsep dokter keluarga
itu sendiri. Karena kenyataannya sekarang banyak dokter yang tidak jelas juntrungannya.
Untuk itu PDKI giat melakukan pelatihan dan penataran.

Yang diperlukan di klinik DK itu juga sama dengan di klinik lain. Yang berbeda hanya
pendekatannya. Kita juga akan memberikan pendidikan, misalnya cara menghitung kapitasi,
karena memang menurut survey yang dilakukan Askes sebanyak 41 persen DK di Askes
tidak memahami apa itu kapitasi. Bagaimana menghitung break event point juga diajarkan.

Jika semua dokter menjadi DK bagaimana dengan peran dokter spesialis?

Konsep DK ini sebenarnya sangat menguntungkan semua pihak. Buat spesialis,


pengembangan spesialis, juga sangat menguntungkan. Dari segi keilmuan, DK adalah
spesialis pelayanan primer, dokter spesialis mata, dokter spesialis anak, adalah dokter
spesialis pelayanan sekunder atau bisa dikatakan tempat rujukan. Tetapi yang terjadi, karena
kelemahan sistem, dokter spesialis umumnya praktek pelayanan primer. Contohnya dokter
spesialis obgyn banyak yang melakukan tindakan bersalinan normal. Padahal bidan saja bisa.

Askes bisa berperan lebih galak menyikapi fenomena ini. Misalnya Askes tidak akan me-
reimbust jika paserta langsung ke spesialis, tanpa ada surat rujukan, kecuali emergency. Siapa
yang menentukan hal ini, ya tentu DK.

Di Negara ini, kita menghadapi triple bourden, yang pertama adalah penyakit infeksi, agenda
yang belum terselesaikan, misalnya ISPA, maalnutrisi, angka kematian masih tinggi. Lalu
munculnmya penyakit baru, DBD, HIV, avian flu, flu babi, itu yang lebih berat. Lalu yang
ketiga adalah munculnya penyakit lama, TBC, malaria, kusta. Nah dimana fungsinya, karena
dokter praktek umum tidak diberdayakan untuk mengatasi itu. IMR (Infant MortalityRrate)
dan  MMR (Maternal Mortality Rate) tidak bisa diturunkan hanya mengandalkan dokter
obgyn dan dokter anak. Harus dokter praktek umum yang turun tangan.

Misalnya vaksinasi harus dengan dokter praktek umum, buat apa ke spesialis. Capek-capek
dan mahal-mahal sekolah spesialis hanya untuk vaksinasi. Nah jika dokter praktek umum
mengembangkan pelayanan primer, spesialis tidak direcoki masalah primer, dia bisa
mengembangkan pelayanan sekunder yang lebih baik, maka penyelesaian masalah sekunder
akan lebih baik.

Lalu bagimana dengan legalisasinya?

Di SKN (Sistem Kesehatan Nasional) sudah ada. Secara politis, kalau kita menunggu tidak
akan selesai. Kita kembangkan saja, toh tidak melawan hukum. Nama DK sendiri sebenarnya
hanya istilah dan bisa disebut sebagai dokter praktek umum karena sifat prakteknya tidak
dibatasi oleh golongan usia, jenis kelamin, penyakit, maupun organ. Disebut DK karena
pendekatannya karena menggunakan prisip DK dan  sisebut dokter pelayanan primer karena
kewenangannya sebatas pelayanan primer.

Bagaimana dengan pemahaman masyarakat itu sendiri?

Inilah yang menjadi tantangan untuk si Dokter. Si dokter juga harus professional serta kreatif
karena yang dibutuhkan adalah kepercayaan pada si dokter. Pasien akan percaya jika kita bisa
menunjukkan prinsip kita. Memang membina kepercayaan itu tidak mudah, namun bisa
dipercepat. Misalnya membuat seminar gratis untuk peserta, lalu si dokter-dokter junior ini
menjelaskan hal-hal yang kecil, misalnya bagaimana cara menyimpan obat, dan sebagainya.
Itu semua diberikan secara bertahap tapi oleh dokter yang masih muda sehingga pasien lama-
lama akan kenal.

Dokter juga harus memberikan kemudahan-kemudahan pasien untuk mengakses pelayanan


kesehatan. Ini balik lagi ke perilaku si dokter.

Pesan Untuk Askes ?

Untuk itu Kerja sama yang lebih erat dalam pengembangan DK ini. Peserta Askes, berobatlah
kepda dokter yang sama sampai dokter tersebut bilang anda harus pindah. Nah untuk
dokternya, bagaimana caranya agar pasien terus percaya pada anda. Sebenarnya pasien juga
harus diatur, kalau tidak akan abuse.
4 MACAM SISTEM RUJUKAN UPAYA KESEHATAN yang ideal

Salah satu bentuk pelaksanaan dan pengembangan upaya kesehatan dalam Sistem kesehatan
Nasional (SKN) adalah rujukan upaya kesehatan. Untuk mendapatkan mutu pelayanan yang
lebih terjamin, berhasil guna (efektif) dan berdaya guna (efesien), perlu adanya jenjang
pembagian tugas diantara unit-unit pelayanan kesehatan melalui suatu tatanan sistem rujukan.

Dalam pengertiannya, sistem rujukan upaya kesehatan adalah suatu tatanan kesehatan yang
memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbal balik atas timbulnya
masalah dari suatu kasus atau masalah kesehatan masyarakat, baik secara vertikal maupun
horizontal, kepada yang berwenang dan dilakukan secara rasional.

Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari  : rujukan internal dan rujukan
eksternal.

 Rujukan Internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di
dalam institusi tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas pembantu) ke
puskesmas induk
 Rujukan Eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang
pelayanan kesehatan, baik horizontal  (dari puskesmas rawat jalan ke puskesmas
rawat inap) maupun vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah).

Menurut lingkup pelayanannya, sistem rujukan terdiri dari : rujukan Medik dan rujukan
Kesehatan.

 Rujukan Medik adalah rujukan pelayanan yang terutama meliputi upaya


penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Misalnya, merujuk pasien
puskesmas dengan penyakit kronis (jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus) ke
rumah sakit umum daerah.
 Rujukan Kesehatan adalah rujukan pelayanan yang umumnya berkaitan dengan
upaya peningkatan promosi kesehatan (promotif) dan pencegahan (preventif).
Contohnya, merujuk pasien dengan masalah gizi ke klinik konsultasi gizi (pojok gizi
puskesmas), atau pasien dengan masalah kesehatan kerja ke klinik sanitasi puskesmas
(pos Unit Kesehatan Kerja).
Konsep managed care

Sebagai asuransi kesehatan yang menerapkan pola managed care, pelayanan yang berikan PT
Askes (Persero) tidak hanya bersifat kuratif (pengobatan) namun juga memperhatikan aspek
promotif, preventif, dan rehabilitatif. Sistem managed care dalam penyelanggaraan asuransi
kesehatan ini juga mengintegrasikan sistem finansial dan sistem pelayanan kesehatan dengan
unsur-unsur seleksi dan standarisasi provider, program peningkatan mutu dan utilization
review yang berkesinambungan.

Karena adanya seleksi provider dan program peningkatan mutu serta melihat permasalahan
yang kerap muncul dalam ranah pelayanan RJTP seperti yang telah dipaparkan, DK dianggap
mampu secara optimal menerapkan fungsi gate keeper di RJTP.

Pilar dari managed care adalah gate keeper, sedangkan gatekeeper dalam managed care
didefinisikan sebagai dokter yang berwenang mengatur pelayanan kesehatan bagi peserta,
sekaligus bertanggung jawab dalam rujukan pelayanan kesehatan lanjutan apabila dibutuhkan
peserta. Jika hal ini terintegrasi dengan baik, maka mutu pelayanan yang diberikan oleh pihak
asuransi melalui provider-nya akan terus meningkat dan peserta akan menerima manfaat
sebesar-besarnya.

DK Askes diharapkan memiliki peran sebagai gatekeeper dan menajer pelayanan kesehatan
karena dokter adalah primary care provider, tempat kontak pertama pasien (difasilitasi/sistem
pelayanan kesehatan) untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi. Selain
itu DK Askes juga memiliki karakteristik melayani peserta sebagai anggota keluarga,
hubungan antara dokter dan pasien akan semakin optimal, adanya home visit sehingga dokter
mengerti benar bagaimana kondisi lingkungan peserta, serta akan ada rekam medis masing-
masing peserta dalam family folder yang apik.

“Untuk itu ipihak penyelenggara, PT Askes (Persero) senantiasa memperhatikan berbagai


aspek mengenai penyelanggaraan program ini. Diantaranya sistem kapitasi, hak dan
kewajiban antara kedua belah pihak, evaluasi kinerja kinerja serta mutu dari DK itu sendiri, “
ungkap Togar.

Togar juga menambahkan, dalam aktivitasnya DK Askes juga akan melakukan usaha
promosi dan edukasi tentang kesehatan secara lebih personal. Kemudian pelayanan akan
lebih terbuka, 24 jam dan bisa pertelepon. Dengan demikian akan banyak benefit yang
diperoleh peserta. Konsep DK yang sebenarnya dan lebih komprehensif, yang paling
mendasar ia harus mengenal semua peserta dan keluarganya, juga perilakunya. Dengan
begitu peran DK akan luar biasa efektifnya.
KONSEP MANAGED CARE DALAM ASURANSI KESEHATAN

Managed Care adalah salah satu jenis Produk Asuransi Kesehatan yang mengintegrasikan
pembiayaan dan penyediaan perawatan kesehatan dalam suatu sistem yang mengelola biaya,
memberikan kemudahan akses pada seluruh pesertanya sehingga pembiayaan tersebut
menjadi efisien dan efektif / tepat sasaran. Tentu saja tanpa meninggalkan standard pelayanan
medis yang berlaku.

Pelaksanaan integrasi pembiayaan dan pelayanan kesehatan tersebut dapat dilakukan dengan
cara-cara sebagai berikut:

1. Membuat kesepakatan dengan Penyedia Pelayanan Kesehatan untuk melaksanakan


serangkaian jasa pelayanan kesehatan yang komprehensif bagi seluruh tertanggung.
2. Membuat patokan / standar dalam seleksi Pemberi Pelayanan Kesehatan
3. Penekanan pada hal yang bersifat preventif, sehingga meminimalisir pengobatan pada
tingkat lanjut yang berbiaya tinggi
4. Pemberian insentif bagi Penyedia Pelayanan Kesehatan untuk turut serta
mengendalikan biaya dan agar memberikan pelayanan medis yang tidak
overtreatment.

Beberapa Langkah aplikatif dalam Managed care dalam hal ini antara lain:

1. Asuradur membuat kontrak dengan "Beberapa" Penyedia Pelayanan Kesehatan


(Klinik atau RS) yang dipilih, serta merujuk seluruh peserta untuk berobat pada
provider yang ditunjuk.
2. Asuradur melakukan negosiasi tarif pelayanan dengan pihak provider, serta
menciptakan batasan / formularium obat yang dapat digunakan dalam pengobatan
tertanggung.
3. Memberlakukan Risk Sharing dengan Provider yang ditunjuk tersebut. Caranya
adalah dengan menerapkan berbagai metode pembayaran atas jasa pelayanan
kesehatan yang mendorong provider untuk memberikan pelayanan yang efektif dan
efisien. salah satu metodenya adalah dengan metode pembiayaan dengan sistem
KAPITASI.

Dalam Managed care, umumnya layanan yang diberikan bersifat komprehensif, sehingga
paling tidak mencakup pelayanan-pelayanan sebagai berikut:

1. Pelayanan Tingkat Primer


a. Rawat jalan oleh dokter umum / keluarga, dokter gigi, bidan praktek, klinik
dan puskesmas
2. Pelayanan Tingkat Sekunder
a. Rawat jalan spesialistik di klinik spesialis, dokter praktek spesialis atau rumah
sakit
2. Pelayanan Tingkat Tersier

a. Rawat inap spesialistik di rumah sakit


2. Upaya promotif

a. penyuluhan kesehatan
b. perbaikan gizi
2. Preventif

a. imunisasi
b. kesehatan lingkungan
c. kesehatan ibu dan anak
d. keluarga berencana
2. Kuratif

a. Pengobatan dan penyembuhan penyakit


2. Rehabilitatif

a. pemulihan cacat dll


2. Gawat darurat
3. Pelayanan penunjang diagnostic (laboratorium, radiology, dsb)

You might also like