You are on page 1of 5

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH

Pembangunan demi pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterahkan rakyat dan menggerakkan
perekonomian rakyat menjadi bahan utama kampanye pasangan Calon Presiden Susilo Bambang
Yudoyono dan Jusuf Kalla pada tahun 2004 kemaren, tetapi yang terjadi adalah antara Harapan dan
kenyataan tetaplah tidak dapat berjalan dengan sinkron. Istilah keren hukumnya adalah Das Sollen dan
Das Sein belum tentu dapat dijalankan dengan baik. Peraturan demi peraturan dilahirkan pasangan ini
demi mulusnya strategi ekonomi untuk menggerakkan roda perekonomian bangsa Indonesia yang masih
terpuruk karena krisis berkelanjutan dari tahun 1997 sampai sekarang. Pada tahun pertama masa
pemerintahannya Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengeluarkan Peraturan Presiden mengenai
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang dikenal dengan Perpres Nomer 36 Tahun 2005 untuk
menggantikan Keppres No. 55 Tahun 2003 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Undang-undang
untuk Kepentingan Umum sebagai Peraturan pelaksana Undang-undang.

Berita di situs Wahli menyatakan Diawal tahun 2005, tepatnya, 17-18 Januari 2005, diadakan Indonesia
Infrastructure Summit 2005, bertempat di Shangri-La Hotel, Jakarta. Pertemuan ini diakhiri dengan
penandatanganan Declaration of Action on Developing Infrastructure and Public Private Partnerships,
The Jakarta Infrastructure Summit 2005, oleh Aburizal Bakrie [Menteri Koordinator Perekonomian],
Jemal-ud-din Kassum [Vice President World Bank], Shamshad Akhtar [Director General Southeast Asia
Department Asian Development Bank], M. Hidayat [Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia], dan
delegasi 19 negara lainnya. Dalam Infrastruktur Summit 2005, Pemerintah Indonesia menyatakan
membutuhkan dana untuk pembangunan dan peningkatan infrastruktur sebesar Rp1.305 triliun. Akibat
besarnya dana yang dibutuhkan tersebut, pemerintah mengundang investor domestik dan luar negeri
untuk mencari sumber pembiayaan. Sementara itu, pada tahap pertama, Pemerintah Indonesia telah
menawarkan 91 proyek senilai Rp 205,5 triliun kepada para investor itu, sekaligus berjanji akan
mengeluarkan 14 peraturan serta ketentuan untuk mendukung kelancaran investasi yang ditanamkan dan
selang 3 bulan, pada tanggal 3 Mei 2005, Pemerintah meluncurkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 36
Tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Kontan
saja, pelbagai protes dilayangkan seiring terbitnya perpres ini. Protes ini bukan tanpa alasan. Mereka
beranggapan bahwa peraturan presiden ini mencerminkan sikap pemerintah yang represif dan otoriter.
Bayangkan, secara paksa, pemerintah dapat mencabut hak atas tanah milik rakyat, dengan
mengatasnamakan kepentingan umum [Perpres No. 36 Tahun 2005, Bab II Pengadaan Tanah, Pasal 2,
bagian (b)]. Selain itu, latar belakang ditetapkannya perpres ini, karena pemerintah sudah terlanjur
membuat komitmen pada Infrastructur Summit 2005, yang lebih berpihak pada kaum pemodal (investor)
ketimbang kepentingan umum (rakyat). Sejumlah kalangan bahkan menyebut Pemerintahan sekarang ini
lebih buruk daripada Rejim Orde Baru yang ditumbangkan rakyat dan mahasiswa tahun 1998 kemaren.
Indikatornya sangat jelas bahwa Pemerintah ingin memuluskan sejumlah proyek Infrastruktur seperti
pembangunan Jalan Tol bagi kepentingan menggerakkan roda perekonomian nasional tetapi banyak
kalangan akademisi dan praktisi menilai arah kebijakan reformasi agraria yang dijanjikan Presiden Susilo
Bambang Yudoyono saat kampanye telah lenyap dan yang tinggal hanyalah janji kosong semata.
Setelah 1 tahun kemudian Presiden Susilo mengganti Perpres No. 36 Tahun 2005 dengan Perpres No. 65
Tahun 2006.

Berita di Kompas bahwa Peraturan Presiden Perubahan atas Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Perpres No 65/2006) terbit 5 Juni
2006. Sama dengan peraturan presiden (perpres) sebelumnya, Perpres No 65/2006 tidak disertai dengan
Naskah Akademis sehingga tidak dapat diperoleh kejelasan tentang falsafah, orientasi, dan prinsip dasar
yang melandasinya. Komentar dibuat dengan catatan, materi dalam perpres harus dimuat dalam undang-
undang.
Baca juga berita terakhir Koran Jawa pos 15 Juli 2007, bahwa Pembangunan proyek tol Waru-Juanda
belum menemukan titik terang karena terlalu mengambang maka Pemprov Jatim berencana menggunakan
Perpres No. 65 Tahun 2006 sebagai senjata pamungkasnya bila proses musyawarah dengan warga
mengenai ganti rugi harga tanah menemui jalan buntu.

Adapun Perpres yang baru ini juga menyimpan potensi masalah yang cukup mengkhawatirkan yaitu :

1. Definisi Kepentingan Umum yang belum juga tuntas.

Pembatasan kepentingan umum dalam dua hal, pembangunan itu dilaksanakan pemerintah/pemda, yang
selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki pemerintah/pemda. Perpres terdahulu tidak memberi pembatasan
sama sekali. Dibandingkan Keppres No 55/1993, perpres ini memperluas pembatasan kepentingan umum
dengan memuat kata "atau akan" dimiliki oleh pemerintah/pemda, serta menghapus kata "tidak digunakan
untuk mencari keuntungan". Mudah ditebak, perpres ini utamanya dimaksudkan untuk menjadi landasan
hukum kemitraan antara pemerintah dan swasta, khususnya dalam proyek- proyek pembangunan
infrastruktur yang pendanaannya sulit dipenuhi pemerintah sendiri. Keikutsertaan swasta dapat berupa
dana pengadaan tanah maupun pengusahaannya, misalnya melalui BOT atau KSO. Pemilikannya baru
dapat dinikmati pemerintah setelah berakhirnya perjanjian kerja sama operasi, umumnya setelah 30 tahun.

Pengurangan pembangunan untuk kepentingan umum dari 21 menjadi 7 jenis menimbulkan pertanyaan,
apakah yang menjadi dasar pengurangan itu? Bagaimana jika pemerintah/pemda akan membangun
puskesmas/ rumah sakit umum, tempat pendidikan atau sekolah, lembaga pemasyarakatan atau rumah
tahanan, kantor pemerintah/pemda, pasar umum/tradisional? Apakah pemerintah/pemda harus
memperoleh tanah dengan cara jual beli? Perlu direnungkan, khususnya hak untuk memperoleh
pendidikan dan pelayanan kesehatan adalah hak dasar yang dijamin UUD 1945 dan merupakan kewajiban
pemerintah untuk memenuhinya.

2. Penitipan Ganti rugi ke Pengadilan Negeri bila proses musyawarah mengenai harga tanah tidak selesai.
Masalah utamanya adalah mekanisme penitipan ganti rugi kepada Pengadilan Negeri, permasalahan
penitipan uang ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri (PN) bila lokasi pembangunan tidak dapat
dipindahkan, namun musyawarah tidak mencapai hasil setelah berlangsung 120 hari kalender
(sebelumnya 90 hari) dalam Pasal 10. Perlu ditegaskan, penerapan lembaga penawaran pembayaran yang
diikuti dengan penitipan pada PN yang diatur dalam Pasal 1404 KUH Perdata keliru diterapkan dalam
perpres ini.
Pengadaan tanah adalah perbuatan pemerintah/pemda yang termasuk dalam ranah hukum administrasi,
sedangkan lembaga penawaran pembayaran dalam Pasal 1404 KUH Perdata mengatur hubungan hukum
keperdataan di antara para pihak. Selain keliru menerapkan konsep dan terkesan memaksakan kehendak
sepihak, Pasal 10 ini tidak final. Sepanjang masyarakat tetap keberatan dengan ganti kerugian, meski
ganti kerugian sudah dititipkan kepada Pengadilan Negeri, tetap terbuka kemungkinan proses pengusulan
pencabutan hak atas tanah melalui Pasal 18 perpres ini, sesuai UU No 20/1961 tentang Pencabutan Hak
atas Tanah yang merupakan pelaksanaan amanat Pasal 18 UUPA. Pencabutan hak baru dapat ditempuh
jika semua upaya musyawarah gagal dan merupakan upaya terakhir yang dimungkinkan oleh hukum.
Mungkin dengan penetapan jangka waktu 120 hari diharapkan dapat dicegah berlarutnya proses
musyawarah sekaligus menimbulkan tekanan psikis pada masyarakat yang enggan berhubungan dengan
lembaga peradilan. Secara hukum, Pasal 10 perpres ini tidak relevan karena tanpa menitipkan ganti
kerugian pada Pengadilan Negeri, sudah ada jalan keluar yang diatur dalam UU No 20/1961.

Berawal dari latar belakang diatas maka Penelitian Hukum ini sangatlah diperlukan oleh masyarakat agar
dapat memberikan pedoman bagi masyarakat yang terkena dampak dari Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum dan kepada pihak lain khususnya Pemerintah dan Wakil rakyat agar dapat
mengetahui permasalahan yang ada pada Perpres ini karean dalam penelitian ini akan menguraikan secara
lugas dan tuntas sampai selesai tentang Proses tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum. Penelitian Hukum ini karena keterbatasan dana dan tenaga serta waktu maka
hanya mengambil batasan permasalahan pada Perpres No. 65 Tahun 2006 dan Perpres No. 36 Tahun 2005
sehingga penelitian pada secara yurispridensi putusan Pengadilan dan penelitian kajian contoh kasus di
lapangan yang terbaru dan secara langsung tidak dapat dilakukan.

2. RUMUSAN MASALAH

Berawal dari latar belakang diatas maka melalui penelitian ini dapat diketahui permasalahan yang terjadi
dan melakukan tinjauan yuridis normatif yaitu :

Bagaimanakah tata cara yang dilakukan untuk pengadaan tanah demi kepentingan umum?

3. TUJUAN PENELITIAN HUKUM

Penelitian Hukum ini bertujuan untuk memaparkan dan menganalisis hukum positif yang berkaitan
Proses Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta tata cara untuk
pengdaan tanah yang dilakukan oleh pemerintah.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Tata Cara Pengadan Tanah oleh Negara

Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi
kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda – benda yang berkaitan
dengan tanah. Pengadaan tanah dapat dilakukan oleh pihak swasta dan pemerintah.

Dalam hal pengadaan tanah oleh pihak swasta, maka cara – cara yang dilakukan adalah melalui jual –
beli, tukar – menukar, atau cara lain yang disepakati oleh pihak – pihak yang bersangkutan, yang dapat
dilakukan secara langsung antara pihak yang berkepentingan (misalnya: antara pengembang dengan
pemegang hak) dengan pemberian ganti kerugian yang besar atau jenisnya ditentukan dalam musyawarah.

Sedangkan dalam hal pengadaan tanah oleh pemerintah atau pemerintah daerah untuk pelaksanaan
pembangunan demi kepentingan umum dapat dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah, atau juga dengan pencabutan hak atas tanah.

Menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, bahwa pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditegaskan sebagai
berikut :

“Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan Pembangunan
untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah
yang telah ditetapkan lebih dahulu”

Selanjutnya mengacu pada Pasal 4 ayat 2 Undang – Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk :

a. Mengetahui rencana tata ruang;

b. Berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang;

c. Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan
kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.

Pengadaan tanah untuk pelaksanaan pembangunan demi kepentingan umum dilakukan melalui
musyawarah dengan tujuan memperoleh kesepakatan mengenai pelaksanaan pembangunan di lokasi yang
ditentukan, beserta bentuk dan besar ganti kerugian.
Proses musyawarah yang dilakukan oleh panitia pembebasan tanah dan pemegang hak ditujukan untuk
memastikan bahwa pemegang hak memperoleh ganti kerugian yang layak terhadap tanahnya. Ganti
kerugian itu dapat berupa uang, tanah pengganti (ruilslag), pemukiman kembali (relokasi) atau
pembangunan fasilitas umum yang bermanfaat bagi masyarakat setempat.

Di satu sisi proses pengadaan tanah bukanlah hal yang mudah dan sederhana, untuk itu diperlukan tim
pengadaan tanah. Susunan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten atau Kota terdiri sebagai berikut:

a. Sekretaris Daerah sebagai ketua merangkap anggota.

b. Pejabat dari unsur perangkat daerah setingkat eselon II sebagai wakil ketua merangkap anggota.

c. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai sekretaris
merangkap anggota.

d. Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan tanah


atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota.

Susunan Panitia Pengadaan Tanah Provinsi terdiri sebagai berikut:

a. Sekretaris Daerah sebagai ketua merangkap anggota.

b. Pejabat daerah di Provinsi yang ditunjuk setingkat eselon II sebagai wakil ketua merangkap
anggota.

c. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai
sekretaris merangkap anggota.

d. Kepala Dinas/Kantor/Badan di Provinsi yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan tanah atau
pejabat yang ditunjuk sebagai Anggota.

Faktor penunjang keberhasilan dalam pengadaan tanah , baik oleh pihak swasta maupun pihak pemerintah
yang memerlukan pengadaan tanah tersebut adalah keahlian dalam memperoleh informasi mengenai
kondisi psikologis dari pemegang hak, latar belakang dan nilai historikal tanah tersebut agar dapat
melakukan pendekatan serta memperhitungkan ganti kerugian yang sesuai dan wajar kepada para
pemegang hak yang bersangkutan.

You might also like