You are on page 1of 5

Tugas Mata Kuliah

Analisis Pembangunan Hutan Berkelanjutan

SEBUAH TEROBOSAN DALAM MENATA KEMBALI KONSEP


PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

OLEH :

ARDITYO HENDI P.

NIM : 09 / 295564 / PKT / 914

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2010
I. Pendahuluan

I. 1 Latar Belakang

Program HTR telah ditetapkan dalam PP No. 6 Tahun 2007. Program ini sangat erat
kaitannya dengan urusan kawasan hutan dalam hal ini hutan produksi. Terdapat tiga fungsi yang
harus dijalankan oleh Departemen Kehutanan dalam bentuk proses transformasi pembangunan
kehutanan melalui program HTR adalah : (1) transfer of knowledge dan authority tentang fungsi
kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan sebagaimana Pola Tata Guna Hutan Kesepakatan
(TGHK) kepada para pihak terkait, (2) transfer of science and technology di bidang pengelolaan
tanaman hutan kepada para pihak dan (3) peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan
dalam arti yang luas. Peran inovatif tanaman hutan dalam jangka menengah (5 - 10 tahun) dan
jangka panjang (diatas 10 tahun) memberikan makna dan fungsi komprehensif bagi upaya
mengembalikan fungsi kawasan hutan berupa manfaat langsung (tangible benefits) seperti hasil
hutan kayu dan non kayu, dan manfaat tidak langsung (intangible benefits) seperti pemulihan
kesuburan tanah dan keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan penyeimbang iklim, cuaca
dan kesehatan udara. Pembangunan HTR terkait dengan pembangunan sektor lainnya dan
peningkatan kesejahteraan rakyat.

Kebijakan pengelolaan hutan produksi biasanya dimulai dari luasan besar (puluhan dan
ratusan ribu hektar) dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan kayu dengan elemen kegiatan
pokoknya penebangan. Sebaliknya pembangunan HTR merupakan proses penguatan
kelembagaan kehutanan baru bagi para rimbawan yang dimulai dari luasan kecil (satu-dua
hektar) dengan kegiatan pokoknya menanam tanaman hutan untuk mencapai luasan besar
didasarkan pada pengalaman menanami kembali hutan oleh masyarakat. Penanaman kembali
kawasan hutan produksi oleh masyarakat merupakan budaya baru dalam manajemen hutan yang
melibatkan masyarakat secara langsung. Program HTR yang bersifat multi-sektor, multi-pihak
dan multi-strata pemerintahan memiliki kerangka kelembagaan yang luas dan meliputi berbagai
bidang untuk memperkuat forestry governance secara nasional. Pengalaman kelembagaan
kehutanan dalam hal budaya menanam selama ini sudah lama dirintis melalui program
penghijauan dan reboisasi (tahun 1970-an), rehabilitasi, konservasi, sengonisasi (1980-an),
GERHAN dan gerakan-gerakan penanaman lainnya sehingga merupakan modal sosial penting
bagi keberhasilan HTR.

Program HTR akan dikembangkan pada kawasan hutan produksi, maka gambaran perihal
keberadaan dan kondisi kawasan hutan produksi pada saat ini menjadi sangat penting.
Berdasarkan Statistik Kehutanan Indonesia 2007 diperoleh keterangan bahwa jumlah kawasan
hutan produksi seluas 57.526.095,69 hektar atau 57,53 juta hektar yang terdiri dari kawasan
hutan produksi tetap seluas 27,65 juta hektar, kawasan hutan produksi terbatas seluas 16,20 juta
hektar dan kawasan hutan produksi konversi seluas 13,67 juta hektar. Menurut proyeksi
Direktorat Jendral Bina Produksi Kehutanan (2007), program hutan tanaman rakyat akan
dialokasikan pada lahan yang tidak dibebani izin definitive atau sementara seluas 5,4 juta hektar
dari total luasan 12,3 juta hektar. Jika masih diperlukan tambahan areal masih terdapat sisa lahan
yang tidak dibebani izin definitive tersebut seluas 3,3 juta hektar. Program pembangunan HTR
yang akan dilaksanakan pada tingkat petani memerlukan kepastian areal HTR yang jelas dan
baik (clear and clean). Areal tersebut bias merupakan areal kawasan hutan yang tidak produktif
atau dapat pula merupakan areal yang sudah terlebih dahulu digarap oleh masyarakat setempat
seperti ex. areal HPH atau ex. areal HTI.

B. Permasalahan

Kebijakan dan peraturan di bidang kehutanan yang berorientasi konvensional pada


”Timber Management” (walaupun telah mengalami perubahan dari sistem pemerintahan
sentralistik ke desentralistik), diyakini menjadi salah satu pemicu lajunya deforestasi dan
munculnya konflik terhadap pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Sebenarnya dalam setiap
perjanjian kehutanan yang ditanda tangani sebelum ijin konsesi hutan diberikan, tercantum
ketentuan bahwa setiap pemegang konsesi hutan dibebani misi sosial untuk memperhatikan
kepentingan dan kehidupan masyarakat lokal/tradisional di sekitar areal kerja. Kewajiban sosial
ini telah didesain bagi pemegang HPH dan HPHTI berupa Bina Desa Hutan dan Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Sebagian besar pemegang konsesi hutan terlihat tidak
sungguh-sungguh melaksanakan kewajiban sosialnya. Kewajiban sosial tersebut lebih banyak
dimanfaatkan untuk ”Show Window”, karena lebih menekankan pada bantuan-bantuan
perangkat keras bukan dalam arti pemberdayaan masyarakat. Oleh karenanya, harapan dampak
dari kegiatan pengusahaan hutan bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat tidak terlihat secara
berkelanjutan.

Demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik yang tinggal di dalam maupun di


sekitar kawasan hutan, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan telah melakukan
berbagai upaya untuk memberikan akses kepada masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
hutan, seperti program hutan kemasyarakatan, program hutan rakyat, program social forestry,
dan sebagainya. Pada awal tahun 2007, terdapat suatu program baru yang dinamakan Hutan
Tanaman Rakyat atau disebut HTR. Di samping untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
program ini juga mempunyai tujuan untuk mengatasi kekurangan pasokan bahan baku kayu serta
merehabilitasi kawasan hutan produksi yang rusak. Salah satu model yang akan dikembangkan
dalam program HTR adalah pola kemitraan. Hingga kini, pola kemitraan dalam pengusahaan
atau pemanfaatan hutan belum banyak dilakukan oleh pemerintah maupun pengusaha. Walaupun
terdapat sebagian perusahaan yang telah melakukan pola kemitraan dalam pembangunan hutan
tanaman industri dan perhutani, namun upaya tersebut belum menempatkan masyarakat sebagai
mitra yang sejajar. Mereka sering berada pada posisi yang lemah, khususnya akses untuk
mengetahui kebutuhan bahan baku (input) produksi, jumlah hasil produksi, maupun penentuan
harga jual. Akibatnya, sistem bagi hasil yang mereka peroleh dari kerjasama tersebut sering
kurang menguntungkan bagi masyarakat.

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat desa serta kondisi iklim
dan geografisnya.
2. Untuk mencari dan menetapkan pola kemitraan yang tepat, guna pembangunan hutan tanaman
rakyat.
3. Untuk mencari sistem pola kerjasama, permodalan dan sistem bagi hasil yang adil antara
masyarakat dengan perusahaan dalam pembangunan hutan tanaman rakyat.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk menumbuhkan rasa memiliki dan kesetaraan serta keadilan dalam pengelolaan hutan
melalui pola kemitraan.
2. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin kelestarian pengusahaan serta
fungsi sumberdaya hutan.
3. Untuk memberikan masukan kepada Departemen Kehutanan mengenai pola kemitraan yang
sesuai didalam pengelolaan hutan tanaman rakyat

You might also like