Professional Documents
Culture Documents
A. Pendahuluan
Obligasi berasal dari bahasa Belanda yaitu “Obligatie” yang dalam bahasa Indonesia
disebut dengan “obligasi” yang berarti kontrak. Dalam Keppres No. 775/KMK 001/1982
disebutkan bahwa obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan hutang atas pinjaman
uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga
tahun dengan menjanjikan imbalan bunga yang jumlah serta saat pembayarannya telah
ditentukan terlebih dahulu oleh emiten.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa obligasi adalah surat hutang yang
dikeluarkan oleh emiten (bisa berupa badan hukum atau perusahaan, bisa juga dari
pemerintah) yang memerlukan dana segar untuk kebutuhan operasional maupun ekspansi
dalam memajukan investasi yang di dalamnya terdapat pernyataan atau janji untuk membayar
kembali pokok hutang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo
pembayaran. Ketentuan lain dapat juga dicantumkan dalam obligasi tersebut seperti misalnya
identitas pemegang obligasi, pembatasan-pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan
oleh penerbit dan lain-lain.
Semenjak ada konvergensi pendapat bahwa bunga adalah riba, maka instrumen-
instrumen yang mempunyai komponen bunga (interest-bearing instruments) keluar dari daftar
investasi halal. Karena itu, dimunculkanlah alternatif yang dinamakan obligasi syariah.
Menariknya, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN- MUI/IX/2002 memberikan
pertimbangan awal bahwa obligasi yang selama ini (konvensional) didefinisikan masih belum
sesuai dengan syariah. Merujuk kepada Fatwa tersebut, yang dimaksud dengan obligasi
syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang
dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk
membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil /margin /fee, serta
membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Sedangkan menurut Heru Sudarsono, obligasi syariah bukan merupakan hutang
berbunga tetap sebagaimana yang terdapat dalam obligasi konvensional, tetapi lebih
merupakan penyerta dana yang didasarkan pada prinsip bagi hasil. Transaksinya bukan akad
hutang piutang melainkan penyertaan. Obligasi sejenis ini lazim dinamakan muqaradhah
bond atau mudharabah bond. Dalam bentuknya yang sederhana obligasi syariah diterbitkan
oleh sebuah perusahaan atau emiten sebagai pengelola (mudharib) dan dibeli oleh investor
(shahib maal).
Dalam Islam, istilah obligasi lebih dikenal dengan istilah “sukuk” yang memiliki arti
sama dengan sertifikat atau note. Mungkin penggunaan istilah "obligasi syariah" itu sendiri
awalnya dianggap kontradiktif. Sebab kata obligasi sudah menjadi kata yang tak lepas dari
bunga sehingga agak susah untuk di-syariah-kan. Yang perlu digaris bawahi disini, yang
dimaksud obligasi syariah adalah “surat berharga jangka panjang” bukan “surat hutang jangka
panjang”.
B. Bentuk-Bentuk Obligasi Syariah
Obligasi syariah dapat diterbitkan dengan menggunakan prinsip mudharabah,
musyarakah, ijarah, istisna’, salam dan murabahah. Tetapi diantara prinsip-prinsip instrumen
obligasi tersebut yang paling banyak dipergunakan di Indonesia adalah obligasi dengan
insturmen prinsip mudharabah dan ijarah.
1. Obligasi Syariah Mudharabah
Obligasi syariah mudharabah sekarang ini telah memiliki pedoman khusus dengan
disahkannya Fatwa No: 33/DSN-MUI/ IX/2002. Disebutkan dalam fatwa tersebut, bahwa
obligasi syariah mudharabah adalah obligasi syariah yang menggunakan akad mudharabah.
Selain telah mempunyai pedoman khusus, terdapat beberapa alasan lain yang mendasari
pemilihan struktur mudharabah, di antaranya adalah:
a) Obligasi syariah mudharabah merupakan bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk
investasi dalam jumlah besar dan jangka waktu yang relatif panjang.
b) Obligasi syariah mudharabah dapat digunakan untuk pendanaan umum (general
financing), seperti pendanaan modal kerja ataupun capital expenditure.
c) Mudharabah merupakan percampuran kerjasama antara modal dan jasa (kegiatan
usaha), sehingga membuat strukturnya memungkinkan untuk tidak memerlukan jaminan
(collateral) atas aset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang menggunakan
dasar akad jual beli yang mensyaratkan jaminan atas aset yang didanai.
d) Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan struktur murabahah dan Bai bi-
thaman Ajil menjadi mudharabah dan ijarah.
Adapun ketentuan atau mekanisme obligasi syariah mudharabah adalah :
i. Kontrak atau akad mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan.
ii. Rasio atau presentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen
pendapatan (revenue sharing) atau keuntungan (profit sharing). Namun berdasarkan
fatwa No. 15/DSN-MUI/IX/2000 bahwa yang lebih maslahat adalah penggunaan
revenue sharing.
iii. Nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara konstan, meningkat, ataupun menurun dengan
mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal
kontrak.
iv. Pendapatan bagi hasil merupakan jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi
hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi
syariah. Bagi hasil yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang
obligasi syariah dengan pendapatan / keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya
tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.
v. Pembagian hasil pendapatan atau keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan,
semesteran, kwartalan, maupun bulanan).
vi. Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten,
maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.
Produk obligasi mudharabah juga dapat dikonversi menjadi saham setelah dalam
jangka waktu tertentu dengan persetujuan pemiliknya. Sehingga pemilik surat ini berubah
menjadi musyarrik muaqqat (mitra kerjasama kontemporer) bagi perusahaan.
Adapun ketentuan-ketentuan yang berlaku berkaitan dengan konversi obligasi
mudharabah menjadi saham adalah:
a) Wajib menjaga kaidah-kaidah yang ditetapkan untuk pertambahan modal sesuai dengan
undang-undang negara tempat perusahaan yang mengeluarkan obligasi.
b) Wajib menjaga keseimbangan keuangan dengan sumber-sumbernya, baik dari dalam
maupun dari luar.
c) Tanggal dan syarat-syarat konversi menjadi saham harus dijelaskan, serta jangka waktu
yang mana pemilik surat obligasi tersebut meminta untuk mengkonversikan ke dalam
saham.
d) Wajib menjelaskan kadar batas maksimal pengeluaran bagi saham yang baru jika ada.
e) Penjelasan tanggal pengembalian harga obligasi dalam kondisi tidak dikonversikan ke
dalam saham.
2. Obligasi Ijarah
Obligasi Ijarah adalah obligasi syariah berdasarkan akad ijarah. Akad ijarah adalah
suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Artinya, pemilik harta
memberikan hak untuk memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan
sementara atau peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada
pemilik objek. Ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak sepenuhnya sama. Dalam akad ijarah
disertai dengan adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan.
Ketentuan akad ijarah sebagai berikut :
Objeknya dapat berupa barang maupun berupa jasa.
Manfaat dan nilai dari objek diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak.
Ruang lingkup dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
Penyewa harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan.
Penyewa harus menjaga objek agar manfaat yang diberikan oleh objek tetap terjaga.
Pemberi sewa haruslah pemilik mutlak.
Secara teknis, obligasi ijarah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Investor dapat bertindak sebagai penyewa (musta’jir). Sedangkan emiten dapat
bertindak sebagai wakil investor. Dan property owner, dapat bertindak sebagai orang
yang menyewakan (mu’jir). Dengan demikian, ada dua kali transaksi dalam hal ini;
transaksi pertama terjadi antara investor dengan emiten, dimana investor mewakilkan
dirinya kepada emiten dengan akad wakalah, untuk melakukan transaksi sewa menyewa
dengan akad ijarah. Selanjutnya, transaksi terjadi antara emiten (sebagai wakil investor)
dengan property owner (sebagai orang yang menyewakan) untuk melakukan transaksi
sewa menyewa (ijarah).
2. Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali objek
sewa tersebut kepada emiten. Atas dasar transaksi sewa menyewa tersebut, maka
diterbitkanlah surat berharga jangka panjang (Obligasi Syariah Ijarah), dimana atas
penerbitan obligasi tersebut, emiten wajib membayar pendapatan kepada investor
berupa fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Penerapan akad Ijarah secara praktis dapat kita lihat pada Matahari Departemen Store.
Perusahaan ritel ini mengeluarkan Obligasi Ijarah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan
untuk menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah, dimana Matahari bertindak sebagai
wakil untuk melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang obligasi).
Kemudian ruang usaha tersebut disewakan kepada Cilandak Town Square di Jakarta. Atas
manfaat penyewaan tersebut berarti Matahari harus melakukan pembayaran sewa (fee ijarah)
dan dana obligasi kepada pemiliknya (pemegang obligasi). Fee ijarah dibayarkan setiap tiga
bulan, sedangkan dana obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi.
Ringkasan perbandingan antara obligasi dan sukuk:
Konvensional Mudharabah Ijarah
Akad (Transaksi) Tidak Ada Mudharabah Ijarah (Sewa/Lease)
Sifat Surat Hutang Investasi Investasi
Harga Penawaran 100% 100% 100%
Saat Jatuh Tempo 100% 100% 100%
Kupon Bunga Bagi Hasil Imbalan/Fee
Return Float/Tetap Indikatif berdasarkan Ditentukan
Pendapatan sebelumnya
Fatwa DSN Tidak Ada No.33/DSN-MUI No:41/DSN-MUI
/IX/2002 /III/2004
Jenis Investor Konvensional Syariah/Konvensional Syariah/Konvensional
Daftar Pustaka
Dr. Muhammad Firdaus, dkk. Konsep Dasar Obligasi Syariah, Renaisan,2005.
Heru Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ekonosia-FH UII, Yogyakarta,
2007.
http://bolaeropa.kompas.com/kompas-cetak/0306/04/finansial/347914.htm
http://www.sebi.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=338&Itemid=33
http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/eureka/2004/0423/eur1.html
Nurul Huda, Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, tahun 2007.