You are on page 1of 23

BAB III

DASAR TEORI

3.1 Kriteria Keruntuhan


Keruntuhan (failure) adalah suatu proses dimana material berubah dari satu
perilaku menjadi kondisi perilaku yang lain. Kriteria keruntuhan merupakan
hubungan tegangan dan regangan yang memberi sifat terjadinya keruntuhan batuan
dan ditentukan berdasarkan hasil-hasil percobaan (eksperimen). Untuk membahas
kriteria keruntuhan dikenal dua metode yaitu cara analitik dan cara empirik.
Metode analitik meliputi :
1. Kriteria keruntuhan Mohr – Coulomb
2. Kriteria keruntuhan Tresca
3. Kriteria keruntuhan Drucker – Prager
4. Kriteria keruntuhan Von Mises
5. Kriteria keruntuhan Griffith
Metode empirik meliputi :
1. Kriteria Bieniawski
2. Kriteria Protodyakonov
3. Kriteria Hoek dan Brown
Sedangkan dalam penelitian kali ini kriteria keruntuhan yang digunakan adalah
kriteria keruntuhan Mohr – Coulomb.

3.1.1 Teori Mohr


Teori Mohr menganggap bahwa :
- Untuk suatu keadaan tegangan σ1 > σ2 > σ3, (intermediate stress) tidak
mempengaruhi failure batuan,
- Kuat tarik tidak sama dengan kuat tekan.
Teori ini didasarkan pada hipotesis bahwa tegangan normal dan tegangan
geser yang bekerja pada permukaan rupture memainkan peranan pada proses failure
batuan. Untuk beberapa bidang rupture dimana tegangan normal sama besarnya,
maka bidang yang paling lemah adalah bidang yang mempunyai tegangan geser
paling besar sehingga kriteria Mohr dapat ditulis sebagai berikut :

13
τ = f(σ) ………………………………………………………………….(1)
Untuk keadaan tegangan σ1 > σ2 > σ3 yang diposisikan pada bidang (τ ,σ),
terlihat bahwa lingkaran Mohr (σ1, σ3) mempengaruhi kriteria failure. Failure terjadi
jika lingkaran Mohr menyinggung kurva Mohr (kurva intrinsik) dan lingkaran
tersebut disebut lingkaran failure (lihat gambar 3.1).

Gambar 3.1
Kriteria Mohr

Kurva Mohr merupakan envelope dari lingkaran-lingkaran Mohr pada saat


failure. Kurva ini tidak dapat dinyatakan dengan sebuah rumus yang sederhana,
melainkan didapat dari hasil percobaan dengan menggambarkan envelope dari
beberapa lingkaran Mohr pada saat failure, pada berbagai kondisi tegangan. Kriteria
Mohr juga dapat digunakan untuk mempelajari kekuatan geser (shear strength) di
dalam patahan, kekar atau jenis-jenis diskontinuitas lainnya.

3.1.2 Kriteria Keruntuhan Mohr Coulomb


Keruntuhan geser suatu batuan tergantung pada kohesi material dan besarnya
tegangan normal yang bekerja pada dinding keruntuhan tersebut. Oleh karena itu
kriteria Mohr – Coulomb didefinisikan sebagai berikut :

τ = C + σ tan ø ……………………………………………………………(2)

Dengan :
τ = tegangan geser
σ = tegangan normal
C = kohesi

14
tan ø = koefisien geser dalam dari batuan
Berdasarkan Gambar 3.2 tegangan geser dinyatakan dalam rumus :
τ = C + σ tan ø
………………………………………………………….(3)

a
Ø
R
Ø

Gambar 3.2
Selubung Kekuatan Mohr – Coulomb

Dalam sumbu kartesian x dan y :

…….…………………………………………………..(4)

dan menurut Mohr :

……………………………………………………(5)

……………………………………………… (6)

Dalam sumbu kartesian x dan y :

....................................................................(7)

Faktor keamanan (safety factor) dengan menggunakan kriteria Mohr –


Coulomb berdasarkan jarak dari titik pusat lingkaran Mohr ke garis kekuatan batuan

15
(kurva intrinsik) dibagi dengan jari-jari lingkaran Mohr (lihat gambar 3.2). Faktor
keamanan (F) ini menyatakan perbandingan keadaan kekuatan batuan terhadap
tegangan yang bekerja pada batuan tersebut.

Dimana :

……….……………………………………………………………………(8)

………………………………………………………….(9)
Jika : F > 1 aman ; F < 1 runtuh ; F = 1 kritis

3.2 Klasifikasi Massa Batuan

Klasifikasi massa batuan adalah salah satu metode pendekatan yang dapat
digunakan untuk desain lubang bukaan bawah tanah. Selain klasifikasi massa batuan,
masih ada metode pendekatan lain yaitu metode observasi dan metode analitik untuk
merumuskan keseluruhan desain yang sesuai dengan tujuan dan kondisi geologi di
suatu daerah.
Tujuan dari adanya klasifikasi massa batuan adalah sebagai berikut (Bieniawski,
1989):

1. Mengidentifikasi parameter terpenting yang mempengaruhi perilaku dari


setiap massa batuan.
2. Membagi berbagai massa batuan ke dalam kelompok yang memiliki perilaku
yang sama.
3. Memberikan pengertian dasar tentang karakteristik dari setiap kelas massa
batuan
4. Menghubungkan pengalaman-pengalaman tentang kondisi batuan pada suatu
lokasi kepada kondisi dan pengalaman yang ditemukan di lokasi lain.
5. Untuk mendapatkan data kuantitatif dan petunjuk untuk desain rekayasa.
6. Menyediakan sebuah dasar umum dalam komunikasi di antara engineer dan
geologist.

16
Terdapat enam klasifikasi massa batuan yang biasa digunakan untuk keperluan
desain rekayasa batuan. Rock load classification diusulkan oleh Terzaghi, stand up
time classification yang diusulkan oleh Stini dan Lauffer, Rock Quality Designation
(RQD) Index yang diusulkan oleh Deere dan kawan-kawan, Rock Structure Rating
(RSR) Concept diusulkan oleh Wickham dan kawan-kawan, Rock Mass Rating
(RMR) System oleh Bieniawski dan Q-System oleh Barton dan kawan-kawan
(Bieniawski, 1989).

3.2.1 Konsep Terzaghi


Terzaghi mengklasifikasikan batuan berdasarkan dari beban yang
diterima oleh penyangga kerangka baja (steel arches), sebagai fungsi dari lebar dan
tinggi lubang bukaan (lihat Gambar 3.3)

Gambar 3.3
Konsep Tinggi Runtuh Terzaghi
3.2.2 Konsep Geomekanik (Rock Mass Rating Systems)
Klasifikasi massa batuan diperlukan dalam suatu rancangan terowongan
pada tambang bawah tanah, dimana perhitungan sifat-sifat teknis dari massa batuan
menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Untuk mencapai hal tersebut, deskripsi
secara kualitatif dinilai tidak mencukupi untuk dipergunakan dalam pehitungan
rancangan sehingga kemudian harus dikembangkan secara kuantitatif dalam bentuk

17
nilai (bobot) tertentu. Salah satu sistem klasifikasi massa batuan yang umum
digunakan saat ini adalah klasifikasi geomekanika atau dikenal juga dengan sistem
RMR (Rock Mass Rating). Sistem ini telah dikembangkan dan dimodifikasi oleh
Bieniawski selama tahun 1972-1973 sehingga dapat memenuhi standar dan prosedur
internasional.

RMR merupakan hasil total penjumlahan dari pembobotan yang dilakukan


untuk setiap parameternya. Terdapat 6 parameter yang digunakan untuk klasifikasi
ini, yaitu :

1) Kuat Tekan Uniaksial


2) Rock Quality Designation (RQD)
3) Spasi Diskontinuitas
4) Kondisi Diskontinuitas
5) Orientasi Diskontinuitas
6) Kondisi Air Tanah
Setiap parameter RMR memiliki nilai pembobotan yang dibuat berdasar
pengalaman dan database di berbagai lokasi tambang. Setiap parameter akan
mendistribusikan massa batuan ke dalam lima kelas. Bobot dari semua parameter
dijumlahkan untuk memperoleh bobot total massa batuan. Selanjutnya pengaruh
orientasi kekar dan kemiringan akan mengkoreksi bobot total sehingga diperoleh
bobot terkoreksi. Dalam menerapkan sistem RMR ini, massa batuan dibagi menjadi
bagian-bagian berdasarkan struktur geologi dan tiap bagian akan diklasifikasikan
secara terpisah. Batas antara bagian pada umumnya berupa struktur geologi mayor
atau perubahan dari jenis batuan (Wattimena, 2006). Parameter-parameter yang
digunakan dalam klasifikasi geomekanika, dijelaskan sebagai berikut :
1. Kuat Tekan Batuan Utuh
Ada dua cara untuk mendapatkan kuat tekan batuan utuh yaitu pengujian di
lapangan dengan point load test dan pengujian di laboratorium menggunakan
Uniaxial Compressive Strength Test (UCS).
a) Point Load Test
Uji Point Load dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan batuan
secara tidak langsung di lapangan. Dari uji point load didapat: indeks point load

18
(Is) dan kuat tekan σc. Conto batuan yang digunakan adalah batuan berbentuk
silinder dengan diameter = 50 mm(NX = 54 m) dan tidak beraturan.
Is = F/D2 ……………………………………………………….(10)
Is(50)= k (F/D2 ) dimana k = (D/50) x 0.45 …………………..(11)
Keterangan :
Is = Point load strength index (index franklin)
P = Beban maksimum sampai perconto pecah
D = Jarak antara dua konus penekan
Pada conto batuan yang berbentuk tidak beraturan, nilai Index Strength (Is)
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
P
D2
Is = e ............................................................................................................(4.1)

4 WD
De2 =
π .....................................................................................................(4.2)
0 , 45
De
F= ( )
50 ....................................................................................................(4.3)

Is(50 )= IsxF ...................................................................................................(4.4)

Dengan :

Is(50) = Point load strength index (indeks Franklin)

P = Beban maksimum sampai contoh pecah, kN

D = Jarak antara dua konus penekan (tebal contoh), mm

W = Panjang percontoh batuan, mm


De = Diameter ekuivalen, mm
Hubungan antara kuat tekan dengan index Franklin menurut Bieniawski (1975)
untuk diameter 50 mm adalah
σc = 18 – 23 Is ………………………………………………...(12)
sedangkan untuk diameter lainnya:
σc = (14 + 0.175 D) x Is ………………………………………(13)

19
b) Uniaxial Compressive Strength Test
Prinsip yang digunakan pada uji ini adalah mengetahui kekuatan batuan
setelah memperoleh gaya dari satu arah (uniaxial). Akibat dari tekanan yang
diberikan, contoh batuan akan menunjukkan perilaku sebagai reaksi atas
tegangan yang diberikan dialaminya. Contoh batuan uji berupa silinder dengan
ukuran 2 < (L/D) < 2.5. Dari hasil uji kuat tekan ini, dapat digambarkan kurva
tegangan-regangan untuk setiap contoh seperti ditunjukkan pada kurva Gambar
3.4.

Gambar 3.4
Kurva Tegangan-Regangan
(Kramadibrata, 2004)

2. Rock Quality Designation (RQD)


Rock quality designation (RQD) dikembangkan oleh Deere dan kawan-kawan
(1967) untuk memperoleh perkiraan secara kuantitatif terhadap massa batuan
berdasar hasil inti pengeboran. RQD didefinisikan sebagai persentase dari
bagian inti yang utuh dengan panjang lebih dari 10mm, dalam panjang satu run
pengeboran seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.5.

Σxi
RQD = x 100 % ………………………………………..(14)
L

20
Keterangan :
xi : inti pengeboran dengan panjang > 10 cm
1. L : panjang total pengeboran (m)

Gambar 3.5
Prosedur pengukuran dan perhitungan RQD
(After Deere, 1989)

Saat data lubang bor tidak tersedia, Preist dan Hudson (1976) membuat
suatu formula untuk menghitung nilai RQD berdasarkan data pengukuran kekar.
Priest dan Hudson mengindikasikan bahwa frekuensi bidang diskontinu dapat
diketahui nilainya dengan pendekatan berdasarkan distribusi eksponensial
bernilai negatif (lihat Gambar 3.6).
Dengan menggunakan distribusi eksponensial bernilai negatif daripada
nilai spasi bidang diskontinu, hubungan antara teori RQD dengan rata – rata
jumlah kekar permeter dapat diketahui, yaitu dengan persamaan sebagai berikut :
RQD = 100e-0.1λ(0.1λ+1) ……………………….(15)
Keterangan :
λ = Rata – rata jumlah kekar per meter

21
Gambar 3.6
Histogram Spasi Bidang Diskontinu
3. Spasi Diskontinuitas
Kekar pada massa batuan cenderung akan memperburuk karakteristik
mekanik massa batuan bergantung pada frekuensi atau jarak serta orientasinya.
Jarak antar kekar adalah jarak tegak lurus antar 2 kekar berurutan sepanjang
garis pengukuran kekar (scan line) yang dibuat sembarangan seperti yang
terlihat pada Gambar 3.7.

Gambar 3.7
Prosedur Pengukuran Kekar
(Kramadibrata, 1997)

Berikut adalah persamaan untuk menghitung jarak antar kekar (Priest, 1985) :
(θi +θi+1) ………………………………………………………………….
di+i+1 = Ji+i+1 cos (16)
2
Cos Ѳ = cos ( αn – αs) cos βn cos βs + sin βn sin βs…………………….(17)

αd < 180 αn = αd + 180…………………………………………………(18)

αd > 180 αn = αd – 180………………………………………………….(19)

22
βn = 90 - βd…………………………………………………………..(20)

Keterangan :
di+i+1 = jarak sebenarnya antara dua kekar yang berurutan dalam satu set (m)
Ji+i+1 = jarak semu antara dua kekar yang berurutan dalam satu set (m)
Θ = sudut normal
αn = arah dip dari garis normal
βn = dip dari garis normal
αd = arah dip dari kekar
βd = dip dari kekar
αs = arah dip scan line
βs = dip dari scan line

Untuk mengurangi bias pada saat pengukuran, misal dikarenakan ada kekar yang
landai berimpit dengan bentangan garis, maka diberikan faktor bobot : W = 1/cosθ.
Klasifikasi spasi kekar menurut Deere, dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1
Pemerian Spasi Kekar (ISRM suggested methods)

4. Kondisi Bidang Diskontinu


Untuk memeriksa kondisi bidang diskontinu pada batuan, ada beberapa hal
yang diamati yaitu :
a. Pemisahan
Pemisahan adalah lebar celah kekar pada pada bidang diskontinu. Deskripsi
pemisahan dapat dilihat pada Tabel 3.2.
b. Kemenerusan

23
Kemenerusan bidang diskontinu dapat diukur secara kasar dengan mengamati
panjang kemenerusan bidang pada batuan yang tersingkap. Deskripsi
kemenerusan dapat dilihat pada Tabel 3.3.
c. Tingkat Pelapukan

Seberapa besar tingkat pelapukan yang dialami oleh batuan dapat ditentukan
dengan melihat perubahan warna pada butir batuan dengan bantuan alat palu
geologi. Deskripsi tingkat pelapukan dapat dilihat pada Tabel 3.4
d. Kekasaran
Kekasaran permukaan bidang diskontinu akan mempengaruhi kemungkinan
tergelincirnya suatu blok batuan. Kekasaran dapat dilihat dengan mengamati
permukaan bidang diskontinu, (Tabel 3.5).
e. Material Pengisi
Rekahan bidang lemah mungkin sekali untk diisi oleh material lain seperti :
kuarsa, lanau, kalsit dan lain-lain. Keberadaan material pengisi akan
memberikan pengaruh terhadap kuat geser dari bidang diskontinuitas.

Tabel 3.2
Pemerian Pemisahan Kekar (ISRM suggested methods)

Tabel 3.3
Klasifikasi Kemenerusan Menurut ISRM (1978)

24
Tabel 3.4
Pemerian Tingkat Pelapukan Batuan (ISRM suggested methods)

Tabel 3.5
Kekasaran permukaan bidang geser (Barton and Brandis, 1990)

25
5. Kondisi Air Tanah
Kondisi air tanah ditentukan dengan mengamati atap dan dinding teowongan
secara visual, dan selanjutnya dapat dinyatakan dengan keadaan umum : kering,
lembab, air menetes atau air mengalir.

6. Orientasi Bidang Diskontinu


Arah umum bidang diskontinu merupakan kedudukan relatif dari bidang
diskontinu terhadap sumbu lintasan terowongan. Orientasi bidang diskontinu
dianggap menguntungkan jika berarah tegak lurus terhadap sumbu terowongan.
Dan akan memberikan kerugian jika berarah sejajar terhadap arah sumbu
terowongan. Arah umum biasa dinyatakan dengan strike/dip atau dip/dip
direction. Setiap arah dan kemiringan orientasi bidang diskontinu seperti yang
dapat dilihat pada Gambar 3.6, mempunyai bobot pada penentuan klasifikasi
massa batuan yang dapat dilihat pada Tabel 3.7.

Tabel 3.6
Pembobotan Orientasi Ketidakmenerusan

Arah jurus memotong sumbu terowongan


Arah jurus searah sumbu Kemiringan 00-200
terowongan tidak memperhatikan
Maju searah kemiringan Maju melawan kemiringan kemiringan
450-900 200-450 450-900 200-450 450-900 200 -450
Sangat Menguntungkan Sedang Tidak Sangat Tidak Sedang Tidak
menguntungkan Menguntungkan menguntungkan menguntungkan

26
Orientasi jurus dan kemiringan Sangat Menguntungkan Sedang Tidak Sangat tidak
Menguntungkan Mengutungkan menguntungkan

Pembobotan Terowongan 0 -2 -5 -10 -12


Pondasi 0 -2 -7 -15 -25
Lereng 0 -2 -25 -50 -60

a. Strike bidang diskontinu tegak lurus dengan b. Strike bidang diskontinu tegak lurus dengan
sumbu terowongan dengan arah dip melawan sumbu terowongan dengan arah dip melawan
arah penggalian sebesar 45 – 90° arah penggalian sebesar 20 – 45°

c. Strike bidang diskontinu tegak lurus dengan d. Strike bidang diskontinu tegak lurus dengan
sumbu terowongan dengan arah dip searah sumbu terowongan dengan arah dip searah
penggalian sebesar 45 – 90° penggalian sebesar 20 – 45°

e. Strike bidang diskontinu sejajar dengan sumbu f. Strike bidang diskontinu sejajar dengan sumbu
terowongan dengan arah dip searah penggalian terowongan dengan arah dip searah penggalian
sebesar 45 – 90° sebesar 20 – 45°

g. Strike bidang diskontinu sejajar dengan sumbu


terowongan dengan arah dip searah penggalian
sebesar 0 – 20°

27
Gambar 3.8
Orientasi Bidang Diskontinu Pada Terowongan
Untuk memperoleh gambaran awal mengenai kondisi batuan dengan RMR
sistem, berikut ini adalah langkah-langkah yang harus ditempuh :
1. Menghitung nilai bobot total batuan dari 5 parameter awal sehingga
diperoleh nilai RMR dasar.
2. Memberikan penilaian dan pembobotan dari kedudukan sumbu terowongan
terhadap jurus dan kemiringan dari bidang-bidang diskontinu.
3. Menentukan nilai RMR terkoreksi dengan cara menjumlahkan bobot RMR
dari langkah pertama dan bobot dari langkah kedua.
4. Memasukan pengaruh peledakan, keberadaan sesar mayor, tegangan insitu
serta perubahan tegangan untuk mendapatkan nilai RMR termodifikasi.
5. Menentukan rekomendasi penyangga dari nilai RMR termodifikasi.
6. Menentukan stand up time dan span maksimum dengan Grafik stand up time
vs span (lihat Gambar 3.9)

28
Gambar 3.9
Grafik Hubungan Stand – Up Time vs Span
3.2.3 Hubungan antara RMR dan Q-System
Ada dua persamaan yang dapat menunjukan hubungan anatara RMR dan
Q-system :
1. Bieniawski (1976), RMR = 9 In Q + 44……………………………..(21)
Persamaan (14) diperoleh berdasarkan studi kasus dari 111 terowongan sipil
2. Abad, et al (1983) RMR = 10.5 In Q +42 ………………………….(22)
Persaman (15) diperoleh berdasarkan studi kasus pada 187 tambang batubara di
Spanyol.

3.3 Filling Material


Filling Slurry (lumpur filing) yang dipakai pada kegiatan Back Filling berasal
dari bahan tailing waste atau ore yang tidak terkonsentrat lagi kemudian diolah
sedemikian rupa menjadi material pengisi yang sesuai dengan standar yang telah
ditentukan. Kegiatan Back Filling adalah kegiatan pengisian material (filling

29
material) kedalam rongga hasil penambangan dengan maksud agar kegiatan
produksi dapat dimulai kembali. Filling Material yang dipakai dalam kegiatan Back
Filling memiliki standar uji yang layak untuk dipakai. Berdasarkan Klasifikasinya
Filling Material terbagi menjadi :

 Well classified tailing : ukuran -10 mikron 4%


 Partially classified tailing : ukuran -10 mikron 5-10 %
 Poorly classified tailing : ukuran- 10 mikron > 10%
Berdasarkan standar material filling yang digunakan sebagai pondasi akses alat
muat (LHD 3m3) pada kegiatan penambangan, kemampuan daya dukung yang
diperbolehkan sebesar 2,375 kg/cm2. Daya dukung yang tidak sesuai dengan standar
dapat mengakibatkan pondasi pada akses menurun dan membahayakan aktivitas alat
muat.

3.4 Kestabilan Pada Pillar


Pillar pada tambang bawah tanah merupakan daerah yang dibatasi oleh
massa batuan penggalian minimal pada dua sisinya, batuan sengaja tidak ditambang
untuk dijadikan penyangga bagi suatu lubang bukaan. Berdasarkan kegunaannya,
pillar dapat di kategorikan menjadi tiga ( 3 ), yaitu :
1. Pillar Penyangga ( Pillar Support )
Pillar penyangga inii di terapkan pada kondisi dimana penyangga utama atap
dibuat dalam bentuk pillar sistem yang tersusun secara baik, contohnya adalah
tambang room pillar. Pillar ini biasanya sederhana dan membutuhkan biaya yang
sedikit.
2. Pillar Pengaman ( Protective )
Pillar ini digunakan untuk mengamankan struktur permukaan di atasnya, lubang
bukaan tambang bawah tanah, dan untuk memisahkan daerah tambang satu
dengan lainnya. Tujuan pembuatan pillar ini untuk memastikan integritas dari
struktur yang hendak diamakan. oleh karena itu factor tegangan dan perpindahan
akibat pembuatan lubang bukaan sangat dipeerhatikan, khususnya pada bagian

30
yang berhubungan langsung dengan pillar yang akn dibuat. Salah satu kategori
pillar pengaman adalah pillar untuk penghalang atau pembatas air.
3. Pillar pengontrol ( Control )
Pillar ini banyak terdapat pada tambang yang sangat dalam dengan badan bijih
berbentuk tabular dan sering terjadi ledakan batuan ( rock burst ) berdasarkan
waktu. rock burst merupakan pembebsan energi scara mendadak yang tersimpan
di massa batuan ( Salamon, 1983 ). energi akan terbebaskan selama aktivitas
penambangan dan bagian dari energi tersebut tersimpan di massa batuan sekitar
penambangan.
Berdasarkan posisinya pillar dibagi menjadi 3, yaitu pillar yang berada
diantara dua penggalian (sill pillar), pillar yang berada di dalam penggalian (post
pillar) dan pillar yang berada diantara penggalian dan permukaan (Surface Crown
Pillar).
Pada penelitian kali ini kondisi sill pillar berada diantara stope L500 dan
bekas stope L600 yang telah diisi oleh filling material. Filling material akan terus
bertambah seiring kemajuan penggalian pada L600. Sill pillar ini berfungsi menahan
beban filling seperti yang terlihat pada Gambar 3.10. Untuk menentukan tebal Sill
Pillar yang aman sesuai batas faktor keamanan 1,5 analisis kestabilan Sill Pillar
menggunakan 2 metode, yaitu metode analitik dan metode empirik.

31
Gambar 3.10
Kondisi Sill Pillar

3.4.1 Metode Analitik


Penggalian satu atau lebih lubang bukaan bawah tanah akan mengakibatkan
perubahan distribusi tegangan terutama di sekitar dan di dekat lubang bukaan
tersebut, sampai tercapai keseimbangan baru. Besar tegangan yang terjadi di sekitar
lubang bukaan dapat dihitung secara analitik. Metode analitik dikembangkan
berdasarkan model – model matematika dengan berbagai idealisasi. Perhitungan
untuk memperoleh pendekatan terhadap penentuan tebal pillar menggunakan prinsip
kesetimbangan batas, faktor keamanan pada sill pillar dihasilkan dari perbandingan
antara gaya penahan dengan gaya penggerak. Yang termasuk gaya penahan pada sill
pillar yaitu kuat geser pada pilar dan gaya tarik – menarik antar partikel pada filling
(cohesi), sedangkan yang menjadi gaya penggerak adalah gaya geser yang dihasilkan
oleh filling dan pilar itu sendiri. Potensi longsoran yang terjadi pada sill pillar adalah
longsoran sliding, karna pilar mendapat gaya vertikal yang dihasilkan oleh filling
material. Gaya yang bekerja pada sill pillar dapat dilihat pada Gambar 3.11.

32
Gambar 3.11
Gaya pada sill pillar

Berdasarkan gaya yang terdistribusi pada daerah pilar maka dapat ditentukan
faktor keamanan berdasarkan perbandingan gaya penahan dengan gaya penggerak
sebagai berikut :
τ 2 . L+c 1. L+c 2. L filling
FK = …………………………………..(23)
mvein . gsin α +mfilling . gsinα

3.4.2 Metode Empirik


Metode empirik yang digunakan yaitu dengan Pillar Stability Graph (Grafik
Kestabilan Pilar) yang dibuat oleh Lunder (1994) kemudian dimodifikasi oleh Mah
(1995). Lunder melakukan percobaan pada beberapa pillar di Red Lake Mine dan
Cambell Mine, Placer Dome, hasil percobaan dimodifikasi oleh Mah agar grafik
Pillar Stability Graph dapat diaplikasikan pada sill pillar.
Dalam menentukan faktor keamanan, Grafik Kestabilan Pilar terdiri dari dua
bagian yaitu geometri pilar dan kekuatan batuan. Bagian geometri pilar merupakan
nilai perbandingan antara tebal pilar dan tinggi pilar, sedangkan bagian kekuatan
batuan merupakan nilai perbandingan beban pilar dan kuat tekan batuan. Beban pilar

33
dan kuat tekan batuan didapatkan dari pengujian sampel batuan yang diambil pada
bagian tengah pilar. Dua faktor utama ini ditampilkan dalam Grafik Pillar Stability
Graph (Grafik Kestabilan Pilar) untuk mengetahui nilai Faktor Keamanan.
Nilai beban pillar diketahui dengan pendekatan rumus yang telah dibuat oleh
Hedley dan Grant’s (1972), yaitu :

γ . H cos2 (α )+ σ h sin 2 (α )
σ p= ………………………………………....……
1−R
(24)
Keterangan :
σp = Beban Pilar (MPa)
g = Bobot isi batuan (MN/m3)
α = Kemiringan pilar
σh = Tegangan horizontal (MPa)
H = Kedalaman pilar dari permukaan (m)
R = Extraction ratio

Extraction ratio adalah nilai yang menunjukkan hubungan antara luas pilar
pada stope dengan luas kemajuan penggalian. Rumus extraction ratio adalah sebagai
berikut :

( w+r ) . ( l+r ) −( w .l)


R= ……………………………………………………(25)
( w+ r ) .(l+ r)

Keterangan :
R = Extraction ratio
w = Tebal pilar (m)
r = Lebar bukaan (m)
l = Panjang pilar (m)

Setelah parameter – parameter diketahui (Beban Pilar, Kuat Tekan, Tinggi


Pilar dan Lebar Pilar), kemudian diplotkan ke dalam Grafik Pillar Stability Graph

34
(Grafik Kestabilan Pilar) (Lunder,1997) untuk mengetahui nilai faktor
keamanan.Grafik dapat dilihat pada Gambar 3.12.

Gambar 3.12
Pillar Stability Graph (Grafik Kestabilan Pilar)
Lunder, 1997

35

You might also like