Professional Documents
Culture Documents
DASAR TEORI
13
τ = f(σ) ………………………………………………………………….(1)
Untuk keadaan tegangan σ1 > σ2 > σ3 yang diposisikan pada bidang (τ ,σ),
terlihat bahwa lingkaran Mohr (σ1, σ3) mempengaruhi kriteria failure. Failure terjadi
jika lingkaran Mohr menyinggung kurva Mohr (kurva intrinsik) dan lingkaran
tersebut disebut lingkaran failure (lihat gambar 3.1).
Gambar 3.1
Kriteria Mohr
τ = C + σ tan ø ……………………………………………………………(2)
Dengan :
τ = tegangan geser
σ = tegangan normal
C = kohesi
14
tan ø = koefisien geser dalam dari batuan
Berdasarkan Gambar 3.2 tegangan geser dinyatakan dalam rumus :
τ = C + σ tan ø
………………………………………………………….(3)
a
Ø
R
Ø
Gambar 3.2
Selubung Kekuatan Mohr – Coulomb
…….…………………………………………………..(4)
……………………………………………………(5)
……………………………………………… (6)
....................................................................(7)
15
(kurva intrinsik) dibagi dengan jari-jari lingkaran Mohr (lihat gambar 3.2). Faktor
keamanan (F) ini menyatakan perbandingan keadaan kekuatan batuan terhadap
tegangan yang bekerja pada batuan tersebut.
Dimana :
……….……………………………………………………………………(8)
………………………………………………………….(9)
Jika : F > 1 aman ; F < 1 runtuh ; F = 1 kritis
Klasifikasi massa batuan adalah salah satu metode pendekatan yang dapat
digunakan untuk desain lubang bukaan bawah tanah. Selain klasifikasi massa batuan,
masih ada metode pendekatan lain yaitu metode observasi dan metode analitik untuk
merumuskan keseluruhan desain yang sesuai dengan tujuan dan kondisi geologi di
suatu daerah.
Tujuan dari adanya klasifikasi massa batuan adalah sebagai berikut (Bieniawski,
1989):
16
Terdapat enam klasifikasi massa batuan yang biasa digunakan untuk keperluan
desain rekayasa batuan. Rock load classification diusulkan oleh Terzaghi, stand up
time classification yang diusulkan oleh Stini dan Lauffer, Rock Quality Designation
(RQD) Index yang diusulkan oleh Deere dan kawan-kawan, Rock Structure Rating
(RSR) Concept diusulkan oleh Wickham dan kawan-kawan, Rock Mass Rating
(RMR) System oleh Bieniawski dan Q-System oleh Barton dan kawan-kawan
(Bieniawski, 1989).
Gambar 3.3
Konsep Tinggi Runtuh Terzaghi
3.2.2 Konsep Geomekanik (Rock Mass Rating Systems)
Klasifikasi massa batuan diperlukan dalam suatu rancangan terowongan
pada tambang bawah tanah, dimana perhitungan sifat-sifat teknis dari massa batuan
menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Untuk mencapai hal tersebut, deskripsi
secara kualitatif dinilai tidak mencukupi untuk dipergunakan dalam pehitungan
rancangan sehingga kemudian harus dikembangkan secara kuantitatif dalam bentuk
17
nilai (bobot) tertentu. Salah satu sistem klasifikasi massa batuan yang umum
digunakan saat ini adalah klasifikasi geomekanika atau dikenal juga dengan sistem
RMR (Rock Mass Rating). Sistem ini telah dikembangkan dan dimodifikasi oleh
Bieniawski selama tahun 1972-1973 sehingga dapat memenuhi standar dan prosedur
internasional.
18
(Is) dan kuat tekan σc. Conto batuan yang digunakan adalah batuan berbentuk
silinder dengan diameter = 50 mm(NX = 54 m) dan tidak beraturan.
Is = F/D2 ……………………………………………………….(10)
Is(50)= k (F/D2 ) dimana k = (D/50) x 0.45 …………………..(11)
Keterangan :
Is = Point load strength index (index franklin)
P = Beban maksimum sampai perconto pecah
D = Jarak antara dua konus penekan
Pada conto batuan yang berbentuk tidak beraturan, nilai Index Strength (Is)
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
P
D2
Is = e ............................................................................................................(4.1)
4 WD
De2 =
π .....................................................................................................(4.2)
0 , 45
De
F= ( )
50 ....................................................................................................(4.3)
Dengan :
19
b) Uniaxial Compressive Strength Test
Prinsip yang digunakan pada uji ini adalah mengetahui kekuatan batuan
setelah memperoleh gaya dari satu arah (uniaxial). Akibat dari tekanan yang
diberikan, contoh batuan akan menunjukkan perilaku sebagai reaksi atas
tegangan yang diberikan dialaminya. Contoh batuan uji berupa silinder dengan
ukuran 2 < (L/D) < 2.5. Dari hasil uji kuat tekan ini, dapat digambarkan kurva
tegangan-regangan untuk setiap contoh seperti ditunjukkan pada kurva Gambar
3.4.
Gambar 3.4
Kurva Tegangan-Regangan
(Kramadibrata, 2004)
Σxi
RQD = x 100 % ………………………………………..(14)
L
20
Keterangan :
xi : inti pengeboran dengan panjang > 10 cm
1. L : panjang total pengeboran (m)
Gambar 3.5
Prosedur pengukuran dan perhitungan RQD
(After Deere, 1989)
Saat data lubang bor tidak tersedia, Preist dan Hudson (1976) membuat
suatu formula untuk menghitung nilai RQD berdasarkan data pengukuran kekar.
Priest dan Hudson mengindikasikan bahwa frekuensi bidang diskontinu dapat
diketahui nilainya dengan pendekatan berdasarkan distribusi eksponensial
bernilai negatif (lihat Gambar 3.6).
Dengan menggunakan distribusi eksponensial bernilai negatif daripada
nilai spasi bidang diskontinu, hubungan antara teori RQD dengan rata – rata
jumlah kekar permeter dapat diketahui, yaitu dengan persamaan sebagai berikut :
RQD = 100e-0.1λ(0.1λ+1) ……………………….(15)
Keterangan :
λ = Rata – rata jumlah kekar per meter
21
Gambar 3.6
Histogram Spasi Bidang Diskontinu
3. Spasi Diskontinuitas
Kekar pada massa batuan cenderung akan memperburuk karakteristik
mekanik massa batuan bergantung pada frekuensi atau jarak serta orientasinya.
Jarak antar kekar adalah jarak tegak lurus antar 2 kekar berurutan sepanjang
garis pengukuran kekar (scan line) yang dibuat sembarangan seperti yang
terlihat pada Gambar 3.7.
Gambar 3.7
Prosedur Pengukuran Kekar
(Kramadibrata, 1997)
Berikut adalah persamaan untuk menghitung jarak antar kekar (Priest, 1985) :
(θi +θi+1) ………………………………………………………………….
di+i+1 = Ji+i+1 cos (16)
2
Cos Ѳ = cos ( αn – αs) cos βn cos βs + sin βn sin βs…………………….(17)
22
βn = 90 - βd…………………………………………………………..(20)
Keterangan :
di+i+1 = jarak sebenarnya antara dua kekar yang berurutan dalam satu set (m)
Ji+i+1 = jarak semu antara dua kekar yang berurutan dalam satu set (m)
Θ = sudut normal
αn = arah dip dari garis normal
βn = dip dari garis normal
αd = arah dip dari kekar
βd = dip dari kekar
αs = arah dip scan line
βs = dip dari scan line
Untuk mengurangi bias pada saat pengukuran, misal dikarenakan ada kekar yang
landai berimpit dengan bentangan garis, maka diberikan faktor bobot : W = 1/cosθ.
Klasifikasi spasi kekar menurut Deere, dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1
Pemerian Spasi Kekar (ISRM suggested methods)
23
Kemenerusan bidang diskontinu dapat diukur secara kasar dengan mengamati
panjang kemenerusan bidang pada batuan yang tersingkap. Deskripsi
kemenerusan dapat dilihat pada Tabel 3.3.
c. Tingkat Pelapukan
Seberapa besar tingkat pelapukan yang dialami oleh batuan dapat ditentukan
dengan melihat perubahan warna pada butir batuan dengan bantuan alat palu
geologi. Deskripsi tingkat pelapukan dapat dilihat pada Tabel 3.4
d. Kekasaran
Kekasaran permukaan bidang diskontinu akan mempengaruhi kemungkinan
tergelincirnya suatu blok batuan. Kekasaran dapat dilihat dengan mengamati
permukaan bidang diskontinu, (Tabel 3.5).
e. Material Pengisi
Rekahan bidang lemah mungkin sekali untk diisi oleh material lain seperti :
kuarsa, lanau, kalsit dan lain-lain. Keberadaan material pengisi akan
memberikan pengaruh terhadap kuat geser dari bidang diskontinuitas.
Tabel 3.2
Pemerian Pemisahan Kekar (ISRM suggested methods)
Tabel 3.3
Klasifikasi Kemenerusan Menurut ISRM (1978)
24
Tabel 3.4
Pemerian Tingkat Pelapukan Batuan (ISRM suggested methods)
Tabel 3.5
Kekasaran permukaan bidang geser (Barton and Brandis, 1990)
25
5. Kondisi Air Tanah
Kondisi air tanah ditentukan dengan mengamati atap dan dinding teowongan
secara visual, dan selanjutnya dapat dinyatakan dengan keadaan umum : kering,
lembab, air menetes atau air mengalir.
Tabel 3.6
Pembobotan Orientasi Ketidakmenerusan
26
Orientasi jurus dan kemiringan Sangat Menguntungkan Sedang Tidak Sangat tidak
Menguntungkan Mengutungkan menguntungkan
a. Strike bidang diskontinu tegak lurus dengan b. Strike bidang diskontinu tegak lurus dengan
sumbu terowongan dengan arah dip melawan sumbu terowongan dengan arah dip melawan
arah penggalian sebesar 45 – 90° arah penggalian sebesar 20 – 45°
c. Strike bidang diskontinu tegak lurus dengan d. Strike bidang diskontinu tegak lurus dengan
sumbu terowongan dengan arah dip searah sumbu terowongan dengan arah dip searah
penggalian sebesar 45 – 90° penggalian sebesar 20 – 45°
e. Strike bidang diskontinu sejajar dengan sumbu f. Strike bidang diskontinu sejajar dengan sumbu
terowongan dengan arah dip searah penggalian terowongan dengan arah dip searah penggalian
sebesar 45 – 90° sebesar 20 – 45°
27
Gambar 3.8
Orientasi Bidang Diskontinu Pada Terowongan
Untuk memperoleh gambaran awal mengenai kondisi batuan dengan RMR
sistem, berikut ini adalah langkah-langkah yang harus ditempuh :
1. Menghitung nilai bobot total batuan dari 5 parameter awal sehingga
diperoleh nilai RMR dasar.
2. Memberikan penilaian dan pembobotan dari kedudukan sumbu terowongan
terhadap jurus dan kemiringan dari bidang-bidang diskontinu.
3. Menentukan nilai RMR terkoreksi dengan cara menjumlahkan bobot RMR
dari langkah pertama dan bobot dari langkah kedua.
4. Memasukan pengaruh peledakan, keberadaan sesar mayor, tegangan insitu
serta perubahan tegangan untuk mendapatkan nilai RMR termodifikasi.
5. Menentukan rekomendasi penyangga dari nilai RMR termodifikasi.
6. Menentukan stand up time dan span maksimum dengan Grafik stand up time
vs span (lihat Gambar 3.9)
28
Gambar 3.9
Grafik Hubungan Stand – Up Time vs Span
3.2.3 Hubungan antara RMR dan Q-System
Ada dua persamaan yang dapat menunjukan hubungan anatara RMR dan
Q-system :
1. Bieniawski (1976), RMR = 9 In Q + 44……………………………..(21)
Persamaan (14) diperoleh berdasarkan studi kasus dari 111 terowongan sipil
2. Abad, et al (1983) RMR = 10.5 In Q +42 ………………………….(22)
Persaman (15) diperoleh berdasarkan studi kasus pada 187 tambang batubara di
Spanyol.
29
material) kedalam rongga hasil penambangan dengan maksud agar kegiatan
produksi dapat dimulai kembali. Filling Material yang dipakai dalam kegiatan Back
Filling memiliki standar uji yang layak untuk dipakai. Berdasarkan Klasifikasinya
Filling Material terbagi menjadi :
30
yang berhubungan langsung dengan pillar yang akn dibuat. Salah satu kategori
pillar pengaman adalah pillar untuk penghalang atau pembatas air.
3. Pillar pengontrol ( Control )
Pillar ini banyak terdapat pada tambang yang sangat dalam dengan badan bijih
berbentuk tabular dan sering terjadi ledakan batuan ( rock burst ) berdasarkan
waktu. rock burst merupakan pembebsan energi scara mendadak yang tersimpan
di massa batuan ( Salamon, 1983 ). energi akan terbebaskan selama aktivitas
penambangan dan bagian dari energi tersebut tersimpan di massa batuan sekitar
penambangan.
Berdasarkan posisinya pillar dibagi menjadi 3, yaitu pillar yang berada
diantara dua penggalian (sill pillar), pillar yang berada di dalam penggalian (post
pillar) dan pillar yang berada diantara penggalian dan permukaan (Surface Crown
Pillar).
Pada penelitian kali ini kondisi sill pillar berada diantara stope L500 dan
bekas stope L600 yang telah diisi oleh filling material. Filling material akan terus
bertambah seiring kemajuan penggalian pada L600. Sill pillar ini berfungsi menahan
beban filling seperti yang terlihat pada Gambar 3.10. Untuk menentukan tebal Sill
Pillar yang aman sesuai batas faktor keamanan 1,5 analisis kestabilan Sill Pillar
menggunakan 2 metode, yaitu metode analitik dan metode empirik.
31
Gambar 3.10
Kondisi Sill Pillar
32
Gambar 3.11
Gaya pada sill pillar
Berdasarkan gaya yang terdistribusi pada daerah pilar maka dapat ditentukan
faktor keamanan berdasarkan perbandingan gaya penahan dengan gaya penggerak
sebagai berikut :
τ 2 . L+c 1. L+c 2. L filling
FK = …………………………………..(23)
mvein . gsin α +mfilling . gsinα
33
dan kuat tekan batuan didapatkan dari pengujian sampel batuan yang diambil pada
bagian tengah pilar. Dua faktor utama ini ditampilkan dalam Grafik Pillar Stability
Graph (Grafik Kestabilan Pilar) untuk mengetahui nilai Faktor Keamanan.
Nilai beban pillar diketahui dengan pendekatan rumus yang telah dibuat oleh
Hedley dan Grant’s (1972), yaitu :
γ . H cos2 (α )+ σ h sin 2 (α )
σ p= ………………………………………....……
1−R
(24)
Keterangan :
σp = Beban Pilar (MPa)
g = Bobot isi batuan (MN/m3)
α = Kemiringan pilar
σh = Tegangan horizontal (MPa)
H = Kedalaman pilar dari permukaan (m)
R = Extraction ratio
Extraction ratio adalah nilai yang menunjukkan hubungan antara luas pilar
pada stope dengan luas kemajuan penggalian. Rumus extraction ratio adalah sebagai
berikut :
Keterangan :
R = Extraction ratio
w = Tebal pilar (m)
r = Lebar bukaan (m)
l = Panjang pilar (m)
34
(Grafik Kestabilan Pilar) (Lunder,1997) untuk mengetahui nilai faktor
keamanan.Grafik dapat dilihat pada Gambar 3.12.
Gambar 3.12
Pillar Stability Graph (Grafik Kestabilan Pilar)
Lunder, 1997
35