You are on page 1of 12

Myastenia gravis

Myasthenia Gravis adalah salah satu kelainan immun bawaan yang cukup langka. Di
Amerika prevalensi penyakit ini adalah 2 dari setiap 1.000.000 penduduk. Myastenia gravis
disebabkan oleh kerusakan pada transmisi neuromuscular karena adanya gangguan mediasi
antibody di reseptor nikotinic asetilkolin (AChR) yang berada di neuromuscular junction.
Penyakit ini biasanya menunjukkan karakteristik yang khas, yaitu kelemahan pada otot
rangka yang biasanya juga disertai nyeri ketika menggerakkan otot. Dicurigai kondisi ini
disebabkan karena kelainan immunologis yang menyerang otot.

Anatomi dan Fisiologi Neuro Muscular Junction


Di bagian terminal dari saraf motorik terdapat sebuah pembesaran yang biasa disebut
bouton terminale atau terminal bulb. Terminal Bulb ini memiliki membran yang disebut juga
membran pre-synaptic, struktu ini bersama dengan membran post-synpatic (pada sel
otot) dan  celah synaptic (celah antara 2 membran)membentuk Neuro Muscular
Junction.

Membran Pre-Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam bentuk


vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated Channel akan
teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium. Influx ini
akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan
mengalami docking pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang
terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah synaptic.

ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) yang
terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan-lekukan pada
membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-
masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang
siap untuk mengikat ACh.

Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium pada
sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan
mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini
mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot
tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan
karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi.
ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim
Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah
synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali
masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini
dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan
mengakibatkan kontraksi terus menerus.

Patofisiologi Myasthenia Gravis

Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline


Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan  Acetyl Choline(ACh)  yang tetap dilepaskan
dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-
synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu.

Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di


dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak
membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun 2006, anti-AChR bodies ditemukan pada
80%-90% pasien Myasthenia Gravis. Percobaan lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan
Immunoglobulin G (IgG) dari pasien penderita Myasthenia Gravis dapat mengakibatkan
gejala-gejala Myasthenic pada mencit tersebut, ini menujukkan bahwa faktor immunologis
memainkan peranan penting dalam etiology penyakit ini.

Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan


toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui. Sampai saat ini, Myasthenia
Gravis dianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang
memproduksi anti-AChR bodies. Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang
diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis penyakit Myasthenia
Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penderita Myasthenic mengalami hiperplasia
thymic dan thymoma.
Gejala Klinis Myasthenia Gravis

Myasthenia Gravis ditandai dengan kelemahan pada otot, yang memburuk ketika digerakkan
dan membaik ketika beristirahat. Karakteristik yang lain adalah sebagai berikut :

Kelemahan otot ekstra okular (Extra Ocular Muscle) atau biasa disebut Ptosis. Kondisi ini
terjadi pada lebih dari 50% pasien. Gejala ini seringkali menjadi gejala awal dr Myasthenia
Gravis, walaupun hal ini masih belum diketahui penyebabnya.Kelemahan otot menjalar ke
otot-otot okular, fascial dan otot-otot bulbar dalam rentang minggu sampai bulan.Pada kasus
tertentu kelemahan EOM bisa tetap bertahan selama bertahun-tahun.

Berikut adalah klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory
Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :

Klasifikasi Gejala klinik


Class I Kelemahan otot okular
Gangguan menutup mata
Otot lain masih normal
Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular
Otot okular meningkat kelemahannya
Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas
Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan
Juga mempengaruhi ekstrimitas
Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler
Meningkatnya kelemahan pada otot okuler
Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas
Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan
Juga mempengaruhi ekstrimitas
Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler
Kelemahan berat pada otot okuler
Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas
Sedikit pengaruh pada otot-otot oropharyngeal
Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan
oropharyngeal
Juga mempengruhi otot-otot ekstrimitas
Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus
post-operative)

Diagnosa

1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan
terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi
anartris dan afonis.

2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama


kelamaan akantimbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada
ptosis, maka penderitadisuruh beristirahat.Kemudian tampak bahwa suaranya akan
kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.

Beberapa test yang akan dilakukan adalah:

1.   Tes Tensilon
Enzim acetylcholinesterase memecah acetylcholine setelah otot distimulasi, mencegah
terjadinya perpanjangan respon otot terhadap suatu rangsangan saraf tunggal.
Edrophonium adalah obat yang menghalangi pemecahan asetilkolin dan
meningkatkan jumlah asetilkolin di Neuro Muscular Junction (NMJ) sehingga dapat
meningkatkan kemampuan otot dalam berkontraksi

Uji ini dengan cara menyuntikan 2 mg tensilom secara intravena, bila tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg secara intavena. Segera sesudah tensilon
disuntikkan hendaknya diperhatikan otot – otot yang leman seperti misalnya kelopak
mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang
lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas epsilon ini sangat
singkat. Pada kasus MG, kelemahan otot akan membaik dalam 1 menit. Pemeriksaan
tensilon paling efektif jika terdapat kelemahan yang mudah terlihat, dan kurang
berguna pada keluhan yang samar atau berfluktuasi. Efek samping dari tes ini adalah
ritme jantung abnormal sementara.

2. Tes prostigmin

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1.5 mg prostigmin methylsulfat secara


intramuskular ( bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala – gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

3. Uji kinin

Diberikan 3 tablet kina masing – masing 200mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet
lagi ( masing – masing 200mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus dan lain lain akan bertambah
berat. Untuk uji ini sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala gejala
miastenia gravis tidak bertambah berat.

Test laboratorium
1. Anti asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapt hasil yang positif pada 74% pasien, 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita miastenia gravis okular murni
menunjukkan hasil tes antiasetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien
timoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positif anti AchR antibody.
Rata0 rata titer antibody pada pemeriksaan anti asetilkolin reseptor antibody, yang
dilakukan oleh tidall
Osserman Class Mean antibody titer Percent positive
Remission 0.79 24
I (ocular only) 2.17 55
IIA (mild generalisasi) 49.8 80
IIB (moderate generalized) 57.9 100
III (acute severe) 78.5 100
IV (chronic severe) 205.3 89

2. Antistriated muscle antibody


Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam
usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa timoma dengan usia lebih dari 40 tahun,
anti SM Ab menunjukkan hasil positif.

3. Anti muscle specific kinase antibody

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti AchR Ab
negatif, menunjukkan hasil yang positif untuk anti MuSK Ab.

4. Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody
yang berikatan dalam pola cross striational pada otot rangka dan otot jantung
penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien timoma dengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu
kecurigaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan miastenia
gravis.
Tes Elektrocardiostik
Tes otot dan syaraf kemungkinan dibutuhkan bilamana diagnosa lainnya tidak jelas.
Tes ini meliputi Repetitive Nerve Stimulation (RNS) dan Single Fiber
Electromyography (SFEMG) SFEMG adalah alat tes diagnosa yang paling sensitif
(Hal ini berarti semua kasus myasthenia gravis dapat dideteksi melalui tes ini). RNS
pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumalah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi. SFEMG merupakan
pemeriksaan dengan menggunakan jarum single fiber, yang memiliki permukaan kecil
untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter
(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada
motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya efek
defek transmisi pada neuromuscular junction berupa peningktan jitter dan fiber
density yang normal.
CT Chest
Sekitar 15% pasien myasthenia gravis memiliki thymoma (pembengkakan kelenjar
thymus) CT scan pada dada bagian atas biasanya dilakukan untuk memeriksa apakah
anda terkena myasthenia gravis atau tidak
Tes Fungsi Paru-paru
Tes bernafas dilakukan kepada pasien myasthenia gravis dengan kelemahan otot-otot
pernafasan

Anonim.2000.myastenia gravis.http://www.medcert.com/myasthenia-gravis/.01 may 2011


Anonim.myastenia gravis empat.http://multiline-jatimbali.blogspot.com/2009/12/myasthenia-
gravis-empat.html.01 may 2011
howard, J.F. Myastenia gravis, a summary.
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myastenia_gravis/detail_myastenia_gravis.htm. 01
may2011.
ngoerah,I.G.N.G, dasar dasar ilmu penyakit saraf. Airlangga university press. Halaman 301
-305.1991.
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah pachymeninx
atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea dan
piamater.
1. Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan suatu lapisan
dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi otak
umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk menyediakan
ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan
dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak.
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk
periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam tulang itu sendiri;
lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis.Septa kuat yang berasal darinya membentang
jauh ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua hemispherium terdapat invaginasi yang disebut
falx cerebri. Ia melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke
protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli
yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa
sehingga masing-masing hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli
terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa craniii posterior.
Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan pinggir atas os petrosus
dan processus clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii,
tempat lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam
dalam dua lamina dura.

2. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah
dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium
subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan
dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman
padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam sinus-sinus
venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi arachnoidea). Sebagian
besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae lateralis.
Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi. Pada orang
lanjut usia villi tersebut menyusup ke dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi
ke dalam vena diploe.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang secara relative
sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut menjadi
jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut cisterna
arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini
berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid
umum.
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid di antara
medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini bersinambung dengan rongga
subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek ventral dari pons
mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah cerebrum terdapat rongga yang
lebar di antara ke dua lobus temporalis. Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di
ats chiasma opticum, cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna
interpeduncularis di antara peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis,
dan temporalis dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvii).

3. Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi permukaan otak
dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak.
Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di
tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung
dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus
choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel
keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.
Werner Kahle, Atlas Berwarna & Teks Anatomi Manusia : Sistem Syaraf dan Alat-alat
Sensoris. Jilid 3, edisi 6 yang direvisi, Penerbit Hippocrates, Jakarta, 2000 : 262-271.
Werner Spalteholtz, Hand atlas of Human anatomy, seventh edition in English, J.B.
Lippincott Company.
Pemeriksaan penunjang untuk cephalgia dan epilepsi
Epilepsi
Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, ureum dalam darah.
Kejang dapat mudah timbul pada kondisi hipoglikemia, hipokalemia, hipomagnesemia,
hiponatremia, hipertnatremia, hiperbilirubinemia, uremia. Penting pula diperiksa darah
karena alkalosis mungkin pula disertai kejang.
Pemeriksaan cairan otak dpat mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya,
toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukimia yang mnyerang orak, metastasis tumor ganas,
adanya perdarahan otak atau perdarahan subarachnoid.
Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan faal hati mengingat bahwa obat – obat diberikan
dalam jangka panjang serta mengalami metabolisme di hepar.
Pemeriksaan elektroensefalografi
Pemeriksaan ini adalah untuk merekam aktivitas listrik serebral. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan cara menempatkan 20-25 elektrodapada kulit kepala, kemudian aktivitas listrik yang
ditangkap oleh setiap elektroda tersebut diamplifikasi dan diubah menjadi informasi digital
sehingga dpat dibaca. Rekaman EEG dilakukan pada saat pasien bangun dengan mata terbuka
dan mata tertutup, dan dilakukan aktivasi berupa stimuli fotik(dengan cahaya pada berbagai
frekuensi), hiperventilasi dan stimuli sesuai pencetus ( pada epilepsi reflek). Persiapan pasien
sebelum rekaman adalah : kurang tidur, serta keramas sebersih mungkin mengingat elektroda
dipasang pada kulit kepala. Pada bangkitan epileptik akan dijumpai gelombang epileptiform
berupa:
 Gelombang paku (spike)
 Gelombang runcing (sharp)
 Gelombang paku – lambat ( spike- wave)
Kekurangan rekaman EEG adalah : bahwa EEG biasanya dilakukan di luar serangan ( EEG
interiktal). Kelaianan epileptiform pada EEG iteriktal hanya dijumpai pada sekitar 29 – 38%.
Unutk mempertinggi kemungkinan mendapatkan gambaran epileptiform pada EEG interiktal,
sebaiknya dilakukan EEG ulangan dalam 24 – 48 jam setelah bangkitan, atau dialkukan video
EEG monitoring ambulatory.
Indikasi pemeriksaan EEG :
 Membantu menegakkan diagnosis epilepsi
 Menentukkan prognosis pada kasus tertentu misalnya pada kasus koma
 Membantu menentukkan letak fokus
Pemeriksaan pencitraan otak ( brain Imaging)
Pemeriksaan CT scan dan MRI pada kasus epilepsi dilakukan atas indikasi. Khususnya pada
kasus dengan bangkitan parsial/ parsial umum sekunder atau yang diduga disebabkan oleh
lesi struktural di otak ( tumor, terdapat defisit neurologis/ fungsi kognitif yang memburuk,
deteriorasi bangkitan( frekuensi dan derajat bangkitan)).
Dibandingkan dengan Ctscan, MRI merupakan prosedur pilihan untuk epilepsi karena
sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi. MRI dapat mendeteksi sklerosis hipokampus,
disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma.

Dedeh, S.J dan Haryono. 2006. Kapita selekta Sistem syaraf bab: epilepsi. FKUKM.

Pemeriksaan cephalgia
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu mendiagnosa nyeri kepala seperti :
1. Foto Rongten kepela
2. EEG
3. CT-SCAN,MRI
4. Arteriografi, Brain Scan Nuklir
5. Pemeriksaan laboratorium ( darah,LED)
6. lumbal punksi
7. Pemeriksaaan psikologi (jarang dilakukan).

You might also like