Professional Documents
Culture Documents
oleh:
FERDINAND T. ANDI LOLO, SH, LL.M, Ph.D1
PENDAHULUAN
Pada 22 Oktober 2010 telah disahkan dan diberlakukan Undang-undang
Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang yang menggantikan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003. Undang-
undang ini merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk mengakomodasi
perkembangan kebutuhan penegakan hukum dan menyesuaikan praktek-praktek
pencegahan dan penindakan tindak pidana pencucian uang nasional dengan
praktek-praktek yang berlaku sesuai dengan standar internasional.
1
Analis dan Penyidik pada Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (PPTPK) Kejaksaan Agung
RI; Penuntut Umum pada Kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; Instruktur pada Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Kejaksaan RI, Jakarta; Pengajar pada Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 1
F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
dilapangan hijau. Dengan diberlakukannya undang-undang anti pencucian uang
yang baru, pemerintah sebagai “pelatih” menerapkan strategi yang lebih agresif. Jika
dahulu striker (penyerang) hanya dibebankan kepada POLRI maka sekarang, sang
“pelatih” memasukkan lebih banyak striker lagi. Setiap penyidik pada tindak pidana
asal (predicate crime), dengan undang-undang ini, memiliki kewenangan menjadi
penyidik tindak pidana turutannya, yaitu pencucian uang. Striker POLRI akan
bekerja bahu membahu dengan striker-striker lain seperti Kejaksaan, KPK, dan Para
Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari instansi-instansi terkait.
Hukum Pidana formil yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No.8 tahun 1981
atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana2 membatasi
pejabat yang dapat melakukan penyidikan yaitu Pejabat Polisi Negara RI dan
pejabat Pegawai negeri sipil di instansi tertentu yang menjalankan fungsi
penyidikan.3
Pejabat Kejaksaan tidak termasuk kedalam salah satu dari dua kategori
tersebut, karena Jaksa bukanlah polisi dan Jaksa juga bukan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS). Namun, Undang-undang ini tidak secara limitatif memberikan
kewenangan kepada kedua pejabat tersebut diatas. Pada bagian lain, yaitu pada
ketentuan peralihan, KUHAP masih memberikan wewenang kepada Jaksa untuk
melakukan penyidikan4 tindak pidana tertentu5, walaupun wewenang ini hanya
2
Vide Pasal 285 KUHAP.
3
KUHAP, Pasal 1 angka 1: Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan Penyidik adalah pejabat polisi
negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil [PPNS] tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan; Menurut Pasal 6 ayat (1) Penyidik adalah: a. pejabat polisi
negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
4
PP 27/1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bab VII Penyidikan terhadap
Tindak Pidana Tertentu, Pasal 17: Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh
UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 3
F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
bersifat sementara saja, karena akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.6
Selain tindak pidana korupsi, masih ada lagi kewenangan penyidikan yang
dimiliki oleh Jaksa, yaitu kewenangan penyidikan atas dugaan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat. Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi manusia
memberikan wewenang kepada Jaksa Agung secara ex officio untuk melakukan
penyidikan atas dugaan pelanggaran hak azasi manusia yang berat.8
penyidik [vide pasal 6 ayat (1) KUHAP], jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Fungsi penyidikan Jaksa diperkuat lagi dalam UU 16/2004 Pasal 30 ayat (1)
huruf d: Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
5
Penjelasan KUHAP Pasal 284 ayat (2) huruf b, tindak pidana tertentu adalah tindak pidana ekonomi (UU No.7
Drt tahun 1955) dan UU No.3 tahun 1971).
6
Pasal 284 ayat (2) KUHAP: Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap
semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan
dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
7
Pasal 26 UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi [tindak pidana tertentu] dilakukan
berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku [KUHAP] kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Untuk Jaksa selaku penyidik berlaku pasal 284 ayat (2) KUHAP juncto Pasal 17 PP 27/1983; Lebih lanjut
kewenangan Penyidikan Jaksa diatur dalam UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI Pasal Pasal 2 ayat 1: Kejaksaan
Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang. Yang dimaksud dengan “kewenangan lain” antara lain adalah penyidikan atas
tindak pidana tertentu sebagaimana termaktub pada Pasal 30 ayat (1) huruf d: Dibidang pidana, Kejaksaan
mempunyai tugas dan wewenang ...[d]... melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang. Pengertian “tindak pidana tertentu” adalah sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal
284 ayat (2) huruf b KUHAP, yang salah satunya adalah tindak pidana Korupsi. Wewenang Polisi selaku
penyidik diatur didalam KUHAP Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6 ayat (1). Wewenang anggota KPK selaku penyidik
diatur dalam UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Pasal 45.
8
UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 21 ayat (1) mengatur: Penyidikan perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 4
F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
Kejaksaan yang menjalankan tugas pokok dan fungsinya untuk memimpin dan
mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang institusi Kejaksaan. 9 Selanjutnya,
Kejaksaan (institusi atau lembaganya) menurut undang-undang ini adalah lembaga
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka dalam dua
bidang, yaitu bidang penuntutan dan dibidang lain dimana Kejaksaan diberikan
wewenang untuk itu.10 Bidang lain yang dimaksud disini adalah bidang diluar
penuntutan (pidana umum dan pidana khusus), seperti penyidikan untuk tindak
pidana tertentu (sebagaimana telah dijelaskan diatas), bidang perdata dan tata
usaha negara dan bidang ketertiban dan ketentraman umum.11
9
UU 16/2004, Pasal 18 ayat (1): Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang
memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan.
10
UU 16.2004 Pasal 2 ayat (1): Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini
disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang; Pasal 2 ayat (2): Kekuasaan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
11
UU 16/2004, Pasal 30.
12
UU 16/2004 Pasal 2 ayat (3): Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak
terpisahkan.
13
UU 16/2004, Pasal 8 ayat 92): Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan atas
nama negara bertanggung jawab menurut saluran hierarki.
UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 5
F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
[yang diatur dalam undang-undang pengadilan hak asasi manusia] dapat
didelegasikan kepada jaksa-jaksa dibawahnya.
Salah satu tindak pidana yang merupakan tindak pidana asal (predicate
crime) dari tindak pidana pencucian uang didalam undang-undang tersebut adalah
korupsi.14 Selanjutnya, undang-undang ini, pada Pasal 74, mengatur bahwa
Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana
asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-
undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.
14
UU 8/2010, Pasal 2 ayat (1) huruf a: Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yangdiperoleh dari tindak
pidana: [a] korupsi.
UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 6
F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
Manfaat Penambahan “Striker”
Pasal ini merupakan salah satu dari beberapa terobosan baru yang dimuat
oleh undang ini. Banyak manfaat yang bisa dirasakan dengan adanya pasal ini.
Pertama: penanganan perkara menjadi lebih ekfektif dan efisien, karena tindak
pidana asal (predicate crime) dan tindak pidana turutannya (yaitu pencucian uang)
ditangani secara terintegrasi ditangan satu instansi penyidik. Bandingkan dengan
sebelumnya dimana kedua tindak pidana tersebut ditangani oleh dua instansi yang
berbeda dengan sistem birokrasi penanganan perkara yang berbeda. Sistem
penanganan yang terdahulu jelas tidak mengacu kepada prinsip peradilan pidana
kita yang [seharusnya] cepat dan murah (speedy and inexpensive criminal justice
system).
15
UU 8/2010, Pasal 2 ayat (1): korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja;
penyelundupan migran; bidang perbankan; bidang pasar modal; bidang perasuransian; kepabeanan; cukai;
perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan;
pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; bidang perpajakan; bidang kehutanan; bidang lingkungan hidup; bidang
kelautan dan perikanan; tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Fungsi penyidikan tindak pidana pencucian uang adalah fungsi yang baru
bagi Kejaksaan. Saat ini masih belum ada sosialisasi internal Kejaksaan mengenai
implementasi undang-undang ini dan implikasinya bagi pelaksanaan tugas jaksa.
Tantangan dan mungkin juga hambatan riel saat ini adalah belum siapnya sumber
daya manusia Kejaksaan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menangani
perkara-perkara pencucian uang.
Dalam dunia kerja jaksa, tantangan dan / hambatan yang serupa juga terjadi.
Sudah ada standard operating procedure (SOP) yang baku dan seragam dalam
penanganan tindak pidana korupsi bagi jaksa-jaksa yang bertugas di seluruh wilayah
Indonesia. Disamping itu, jaksa-jaksa yunior bisa menjadikan jaksa-jaksa senior
sebagai tempat bertanya dan menimba ilmu, karena jam terbang mereka yang
sudah tinggi dalam menangani berbagai jenis tindak pidana korupsi. Tidak demikian
halnya dalam penanganan tindak pidana pencucian uang. Dalam konteks
penyidikan, tidak ada senioritas karena semua jaksa, dengan perkecualian bagi
mereka yang diperbantukan di PPATK, jam terbangnya masih rendah dalam hal
penanganan tindak pidana pencucian uang ditingkat penyidikan. Belum ada SOP
dan tidak ada tempat bertanya.
Selain kapasitas dan kapasitas sumber daya manusia Kejaksaan yang masih
terbatas, tantangan dan / hambatan yang lain adalah masalah teknis yuridis
Kita ambil satu contoh, yaitu teknis penyitaan. KUHAP menganut asas in
Persona, yaitu yang dianggap jahat adalah orangnya (pelakunya atau personnya).
Sedangkan dalam tindak pidana pencucian uang, penyitaan akan lebih efektif
dilakukan bila memakai asas In rem, yaitu yang dianggap jahat adalah barangnya.
Bila mengacu kepada KUHAP maka banyak hasil dari transaksi keuangan yang
mencurigakan tidak dapat disita. KUHAP membatasi upaya penyidikan hanya
kepada benda-benda atau tagihan yang dikaitkan dengan tersangka dan tindak
pidana yang dilakukan oleh tersangka (vide Pasal 39 KUHAP). Para tersangka
tindak pidana pencucian uang pada umumnya adalah pelaku-pelaku yang memiliki
intelegensi tinggi, mempunyai akses politik, hukum dan keuangan dan dibantu
dengan orang-orang yang ahli dibidangnya. Mereka akan selalu berupaya
memutuskan rantai yang dapat mengkaitkan mereka dengan hasil tindak pidana dan
dengan tindak pidananya. Berbagai cara dapat dilakukan seperti menyamarkan aset
dengan menggunakan nama atau bantuan pihak lain, memecahkan kemudian
mereingtegrasi aset, dan masih banyak lagi.
Contoh lainnya adalah teknis pemblokiran. Pada Pasal 71 ayat (1) huruf a
undang-undang memberi wewenang kepada Penyidik (berarti Kejaksaan juga
memiliki wewenang) untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui
atau patut diketahui merupakan hasil tindak pidana dari setiap orang yang telah
dilaporkan oleh PPATK. Sebagaimana dilembaga penyidikan lainnya, ada 2 fase
dalam proses penyidikan, yaitu fase penyidikan awal (preliminary investigation) atau
yang lebih dikenal didalam KUHAP sebagai “Penyelidikan” dan fase penyidikan
lanjutan (investigation) yang lebih dikenal didalam KUHAP sebagai “Penyidikan.”
Pada fase penyelidikan, unit penyidikan suatu instansi hanya berfungsi untuk
mengumpulkan data dan keterangan (data and information gathering/collection)
untuk memetakan persangkaan atau dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana,
mengumpulkan minimal dua alat bukti yang saling berkaitan dan mendukung
persangkaan atau dugaan telah terjadinya tindak pidana dan mengidentifikasi
pelakunya.
Di fase ini, unit penyidikan hanya memiliki wewenang yang sangat terbatas.
Pengumpulan data dan keterangan hanya dapat dilakukan dari pihak-pihak yang
dimintai keterangan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan secara sukarela
(voluntary consent) dari yang bersangkutan. Wewenang yang sangat sempit ini
karena dibatasi oleh KUHAP yang mengadopsi prinsip asas praduga tidak bersalah
Secara teknis yuridis, produk PPATK bukan produk hukum oleh karena itu
Kejaksaan tidak dapat serta merta melakukan upaya paksa hukum berdasarkan
produk non yuridis (bukan pro justitia). Selain itu untuk melakukan tindakan hukum,
terutama upaya paksa, instansi penyidik harus berdasarkan pada analisis yuridis
sementara melakukan analisis yuridis tidak berada didalam domain fungsi PPATK.
Analisis yang dilaporkan PPATK adalah analisis keuangan (finansial) yang
berpotensi mempunyai implikasi tindak pidana tetapi bukan analisis yuridis.
Bila tidak ada kerjasama dan koordinasi yang baik, serta dukungan yang
hanya setengah hati dari pemerintah maka striker-striker yang diharapkan dapat
tercipta dan bertambah oleh undang-undang ini hanya akan menjadi macan kertas,
dan hal itu jelas tidak sesuai dengan tekad kita semua untuk menjaga stabilitas
ekonomi dan mempertahankan integritas finansial Indonesia.