You are on page 1of 4

11 Fakta Mengenai Pramoedya Ananta Toer

Submitted by team e-penulis on Sen, 27/03/2006 - 12:14pm

Penulis : Ary Cahya Utomo dari berbagai sumber

Satu-satunya penulis Indonesia yang pernah berkali-kali menjadi kandidat pemenang Nobel Sastra.
Seorang penulis yang begitu dihargai di luar negeri namun justru dianiaya oleh pemerintah di
negerinya sendiri. Itulah Pramoedya Ananta Toer (biasa disebut Pram saja) yang bulan ini
merayakan ulang tahunnya yang ke 81 tahun. Apa saja yang bisa kita pelajari dari kehidupan
sastrawan yang karyanya, kata banyak orang, adalah 'bacaan wajib' bagi setiap orang Indonesia
yang ingin menjadi penulis ini? Simak saja beberapa hal berikut:

1. Pendidikan
Sebagai putra sulung tokoh Institut Boedi Oetomo, Pram kecil malah tidak begitu cemerlang dalam
pelajaran di sekolahnya. Tiga kali tak naik kelas di Sekolah Dasar, membuat ayahnya menganggap
dirinya sebagai anak bodoh. Akibatnya, setelah lulus Sekolah Dasar yang dijalaninya di bawah
pengajaran keras ayahnya sendiri, sang ayah, Pak Mastoer, menolak mendaftarkannya ke MULO
(setingkat SLTP). Ia pun melanjutkan pendidikan di sekolah telegraf (Radio Vakschool) Surabaya
atas biaya ibunya. Biaya pas-pasan selama bersekolah di Surabaya juga hampir membuat Pram gagal
di ujian praktik. Ketika itu, tanpa mempunyai peralatan, ia tetap mengikuti ujian tersebut namun
dengan cara hanya berpura-pura sibuk di samping murid yang terpandai. Walau begitu, secara
umum nilai-nilai Pram cukup baik dan ia pun lulus dari sekolah meski karena meletusnya perang
dunia II di Asia, ijazahnya yang dikirim dari Bandung tak pernah ia terima.

2. Asmara
Kisah asmara Pram juga tidak lepas dari pengaruh realitas kemiskinan yang bahkan masih jamak
menghinggapi kehidupan para penulis dan seniman masa kini. Perkawinan pertamanya berakhir
dengan perceraian dan diusirnya Pram dari rumah mertuanya karena hasil yang ia peroleh dari
menulis yang belum menentu tak dapat menafkahi keluarganya. Sementara ia masih hidup tak
menentu, suatu hari, meski tak memiliki uang sepeser pun, ia mengunjungi sebuah pameran buku
pertama di Indonesia dan melihat salah seorang wanita penjaga stan yang menarik perhatiannya. Ia
pun nekad datang dan berkenalan dengan wanita yang ternyata bernama Maemunah tersebut.
Setiap hari ia berlama-lama menemani Maemunah duduk di stan itu layaknya seorang penjaga.
Bahkan sampai ketika Presiden Soekarno juga mengunjungi dan melihat gadisnya tersebut, dengan
bercanda ia gambarkan adegan itu sebagai "buaya kedahuluan buaya." Keteguhan dan
pendekatannya pun membawa hasil, Maemunah terbukti adalah istri yang selalu tetap setia
mendampinginya dalam segala suka duka mereka sampai sekarang.
3. Penjara
Penjara adalah tempat yang cukup akrab dengan kehidupan Pram. Dalam tiga periode (zaman
Belanda, Orde Lama dan Orde Baru), ia selalu sempat mencicipi penjara. Alasannya pun beragam,
mulai dari keterlibatannya dalam pasukan pejuang kemerdekaan pada zaman penjajahan Belanda,
masalah bukunya "Hoa Kiau di Indonesia" yang merupakan pembelaan terhadap nasib kaum
Tionghoa di Indonesia namun tidak disukai pemerintah Orde Lama, sampai akibat tuduhan terlibat
dalam Gerakan 30 September 1965 oleh rezim Orde Baru yang dijalani tanpa melewati proses
peradilan. Namun justru di dalam penjara itulah, lahir beberapa karyanya, termasuk masterpiece
"Tetralogi Buru" dan juga roman "Arus Balik".

4. Tetralogi Buru
"Tetralogi Buru" (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) adalah karya
yang ia buat selama masa pembuangan di Pulau Buru. Seri novel yang mengisahkan tentang Minke,
yang pada dasarnya adalah kisah hidup seorang jurnalis pribumi Indonesia pertama R.M. Tirto Adi
Soerjo, itu pada awalnya dikisahkan secara lisan kepada sesama tahanan di Buru karena tidak
adanya fasilitas alat tulis. Titik terang mulai muncul 10 tahun kemudian saat Pram yang selalu
berada di bawah sorotan dunia internasional (yang karenanya membuat ia tidak mengalami siksaan
seberat tahanan lain, meski gendang telinganya tetap rusak akibat siksaan aparat) mendapat
sebuah mesin tik kiriman penulis Prancis Jean Paul Sartre. Namun, mesin tik yang masih baru itu
sendiri tak pernah sampai ke tangannya, Angkatan Darat malah menggantinya dengan mesin tik
bobrok, yang pitanya harus dibuat sendiri oleh para tahanan itu dengan bahan seadanya. Karya
Tetralogi Buru juga hampir saja tak dapat diselamatkan seperti banyak karya-karya Pram lainnya
yang dibakar oleh tentara. Tetapi jasa-jasa orang asing seperti seorang pastor Jerman dan seorang
warganegara Australia bernama Max Lane yang berhasil menyelundupkan keluar dan akhirnya
menerbitkan Tetralogi Buru itu di luar negeri. Tak heran jika Pram pernah berkata, "Karya saya
sudah diterjemahkan ke dalam 36 bahasa, tapi saya tidak pernah dihargai di dalam negeri
Indonesia."

5. Pandangan dan Ideologi


Berbeda dengan pemerintah Orde Baru yang menudingnya sebagai komunis, Pram sendiri mengaku
bahwa ia tak pernah memihak ideologi apapun. Ia selalu mengatakan bahwa ia hanya berpihak pada
keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Pramisme, demikian katanya jika ditanya tentang ideologi
yang dianutnya. Walau demikian, dalam berbagai kesempatan, ia sering mengatakan bahwa salah
seorang tokoh yang paling ia kagumi adalah Bung Karno. Meski begitu, Bung Karno sendiri tidak
begitu menyukai Pram. Bermula ketika Pram menghadap Bung Karno untuk membicarakan
mengenai hidup para seniman, Pram mengatakan bahwa akan baik jika diadakan konferensi
pengarang Asia Afrika. Usul itu disambut oleh Presiden dan ia pun lantas menunjuk Pram sebagai
ketua panitianya. Pram menolak dan mengatakan kalau saat ini ia masih terlalu sibuk. Penolakan
ini membuat Bung Karno marah. Sejak itu Bung Karno pun tak pernah menyukainya, ia menganggap
Pram sebagai sosok yang angkuh.

6. Sejarah
Dalam banyak tulisannya seperti novel "Arok Dedes", "Tetralogi Buru", "Di Tepi Kali Bekasi", "Jalan
Raya Pos Jalan Daendels", dll., Pram terbukti sebagai seorang sejarawan handal yang menawarkan
cara pandang sejarah yang berbeda. Sementara sejarah yang ada selama ini menurutnya hanyalah
sejarah para penguasa dan peperangan, ia pun selalu berusaha memotret dan menggali sejarah dari
sudut pandang rakyat dan kaum jelata. Saat ini, ketika kesehatan membuatnya tak dapat menulis
lagi, kegiatannya adalah mengumpulkan kliping untuk proyek ensiklopedia Nusantara yang tebalnya
bahkan telah mencapai 4 meter! Proyek itu sendiri rencananya akan mulai dikerjakan dengan uang
honor yang akan diterima jika ia menerima penghargaan Nobel.

7. Nobel
Selain berkali-kali dinominasikan untuk meraih penghargaan Nobel Sastra, sampai saat ini, telah
berbagai penghargaan ia terima dari banyak penjuru dunia. Dari penghargaan Ramon Magsaysay di
Filipina yang sempat menimbulkan polemik di Indonesia sampai Pablo Neruda Award di Chili.
Mengenai belum berhasilnya ia merebut Nobel Sastra itu, seorang tokoh sastra Indonesia pernah
mengatakan bahwa sebenarnya dulu Pram pernah hampir dapat meraih penghargaan tersebut,
sebelum seorang tokoh yang berpengaruh di Indonesia mendatangi juri-juri penilai nobel tersebut
dan membisikkan kalimat "Pramoedya is ...."

8. Reputasi Internasional
Sekitar 200 buku Pram telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa: dari Yunani, Spanyol,
Belanda, Jerman, Korea, Jepang, Turki, sampai bahasa Malayalam -- suatu bahasa etnis di India.
Dari pameran sampul karya Pram yang baru-baru ini diadakan di Teater Kecil Taman Ismail
Marzuki, Jakarta, banyak sampul depan terjemahan ini memakai aksara non-Latin, seperti aksara
Thailand, Turki, Jepang, Korea, Rusia. Dari semua ini, terjemahan novel Pram ke bahasa Rusia
memang paling awal. Sebelum karya berjudul "Sekali Peristiwa di Banten Selatan", pada tahun 1957
misalnya telah terbit edisi Moskwa untuk karya berjudul "Cerita dari Blora", dan kemudian pada
1959 terbit "Cerita dari Blora" dalam bahasa Turkmengozidat, Ashkabad. Tahun 1962 juga terbit
"Na Brehu Reky Bekasi", yang merupakan edisi Chek untuk "Di Tepi Kali Bekasi.

9. Panjang Umur
Apa resep rahasia panjang umur menurut Pram? Sering tersenyum, atur pernafasan, makan bawang
putih dan minum anggur merah, demikian yang selalu dikatakan Pram di berbagai kesempatan.
Sebelum terkena serangan stroke pada tahun 2000, karena terpengaruh kebiasaannya selama
berada di Pulau Buru, Pram selalu menghabiskan waktu dan menjaga kesehatannya dengan
mencangkul. Sedikit bergurau waktu itu ia mengatakan bahwa mungkin ia tak akan hidup sampai
selama ini jika tak menjalani kamp kerja paksa di Buru. Namun di luar semuanya, memang tak ada
yang tahu nasib dan umur seseorang selain Penciptanya.

10. Film
Meski beberapa karyanya terdahulu telah difilmkan di beberapa negara asing, walau masih
cenderung ke film non-komersil dan peredarannya dilarang di Indonesia. Berita terakhir
mengabarkan bahwa beberapa karya utama Pram seperti "Tetralogi Buru" serta beberapa karyanya
seperti "Gadis Pantai", "Mangir", dll. telah disetujui untuk difilmkan atas kerjasama beberapa sineas
dan rumah produksi lokal dengan biaya miliaran rupiah. Jumlah ini sendiri adalah tawaran paling
rendah, karena sebelumnya ia bahkan telah menolak sutradara tenar Amerika Oliver Stone yang
kabarnya berani membeli hak memfilmkan "Bumi Manusia" sekitar US$ 1,5 juta (sekitar 15 miliar
rupiah). Menurut putrinya, Astuti Ananta Toer, Pram menginginkan orang Indonesia yang menjadi
produsernya.

11. Kabar Terakhir


Di usianya yang ke 81 tahun, Pram dikabarkan sedang sakit. "Bapak sakit karena sedih mendengar
berita berbagai bencana yang menimpa di Indonesia," kata keluarganya. Kesehatannya berangsur
membaik setelah rombongan cucunya datang ke kediamannya di Bojong membawa gitar dan organ.
Pram kini memang selalu menunggu dengan harap kedatangan

Cindy, Vicky, Aditya, Angga, Cynthia, Rofa, dan Gitra -- para cucunya dari generasi MTV. Pram,
yang pada dasarnya seorang penyendiri itu, kangen mendengar para cucunya yang berusia SMP
sampai SMA itu bernyanyi riang apa saja -- dan karenanya selalu bangkit daya hidupnya. "Pram suka
banget dinyanyikan itu, lho, lagu Amor, amor, juga Ave Maria. Pernah cucu-cucu menyanyikan lagu
Peter Pan, Pram tidak ngerti, tapi ia seneng banget," kata Titik putrinya.

You might also like