You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setelah bergabung dengan Indonesia tahun 1969, Irian Barat mulai dikenal
dengan nama Irian Jaya, sekarang Papua Barat. Hubungan antara Indonesia
dengan wilayah yang dihuni oleh penduduk ras Melanesia tidak serta merta
membawa hubungan yang baik seperti yang dibayangkan semua orang. Hubungan
harmonis diantara keduanya terbilang sangat singkat. Berbagai bentuk konflik
antara penduduk asli Irian Jaya dengan pemerintah Indonesia semakin hari
semakin meruncing, bahkan hubungan panas diantara keduanya sudah dimulai
pada tanggal 26 Juli 1965. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai factor, antara
lain factor ekonomi, politik, dan social-budaya. Masyarakat di ujung paling timur
kepulauan Indonesia ini beranggapan bahwa mereka menjadi budak di tanah
mereka sendiri.

Pada dasarnya tanah Papua yang luas dan unik ini, di dalam nya
menyimpan kekayaan alam yang sangat melimpah. Dengan kekayaan yang besar
ini, rakyat Papua seharusnya mereka dapat survive dengan sangat layak, akan
tetapi anggapan tersebut tidak seperti keadaan pada waktu sekarang. Tambang –
tambang emas dan kekayaan alam lainnya dikelola oleh orang luar Papua, bahkan
owner mesin mesin pendulang kekayaan alam ini adalah orang – orang asing
( Amerika dan sekutu). Rakyat Papua semakin hari semakin merasa terpinggirkan
dari tanahnya sendiri, berbagai tindakan ketidak adilan menyelimuti setiap benak
mereka, sebenarnya mereka menaruh harapan kepada pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah mereka yang diberikan otonomi khusus yang luas. Akan tetapi,
kebijakan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah kenyataannya belum
secara utuh memberikan manfaat yang nyata bagi segi kehidupan ekonomi,
politik, maupun social budaya. Pemerintah seakan- akan pro kepada para

1
kapitalisme yang kuat secara financial. Sekali lagi harapan rakyat Papua untuk
berdiri sendiri secara mandiri dan tercukupi segala kebutuhannya terpaksa harus
mengubur dalam- dalam harapan tersebut.

Rasa ketidak adilan inilah yang menyulut berbagai bentuk tindakan-


tindakan menyimpang bahkan tindakan anrkisme massa. Berbagai konflik d tanah
Papua akhirnya pecah tak terelakan lagi. Organisasi –organisasi kekerasan mulai
bermunculan, kebanyakan organisasi ini menyerukan kemerdekaan tanah Papua.
Jumlah mereka mungkin tak sebesar pasukan tentara republic Indonesia, akan
tetapi mereka terus bergerilya dari daerah satu ke daerah lain untuk menebar terror
terror baru di berbagai tempat di Papua. Hal ini lah yang menyebabkan suatu
proses disintegrasi bangsa, apabila gerakan- gerakan ini tidak diredam dan
diselesaikan, niscaya dampak buruk lepasnya Papua dari NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia) akan terlihat nyata, dan bukan tidak mungkin jumlah gerakan
gerakan penyeru kemerdekaan Papua akan bertambah besar dari hari ke hari
apabila bentuk ketidakadilan terus membelenggu rakyat Papua.

B. Rumusan Masalah
1. Siapakah tokoh utama di peta konflik Papua dan bagaimanakah bentuk
gerakan-gerakannya?
2. Apakah penyebab-penyebab utama dari konflik Papua?
3. Upaya- upaya apa sajakah yang digunakan pemerintah untuk
penyelessaian konflik di Papua sejak masa Reformasi?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan


bagaimanakah sebenarnya suatu bentuk disintegrasi bangsa yang terjadi di papua.
Mulai dari tokoh-tokoh yang terlibat dalam konflik tersebut, penyebab utama
konflik, sampai upaya-upaya mengenai bentuk penyelesaian pertikaian/ konflik
yang terjadi di Papua menggunakan tinjauan teoritis.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Tokoh Utama di Peta konflk Papua

Dengan ditetapkannya Resolusi PBB No. 2504 (XXIV) pada 19 November


1969, yang merupakan hasil yang sah dari Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat)
yang digelar di Papua pada bulan Juli-Agustus 1969, maka Irian Barat (Iran Barat;
Irian Jaya; Papua) menjadi bagian dari NKRI secara sah menurut hukum
Internasional. Akan tetapi bergabungnya Papua ke Indonesia ini tidak serta merta
menjamin suatu keadaan yang kondusif di Papua yang memang sejak dari dulu
sudah terjadi konflik. Benturan dan konflik yang terjadi antara pemerintah
Indonesia dan penduduk asli Irian Barat yang sebenarnya sudah di mulai sejak
tahun 1965. Kala itu, sekelompok orang dari suku Arfak menyerang barak
pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di manokwari, yang mnewaskan tiga orang
dari Batalyon 571. Semenjak penyerangan itulah muncul suatu gerakan-gerakan
separatis kemersekaan Papua yang kemudian oleh public dikenal dengan sebutan
OPM (Organisai Papua Merdeka). Kegiatan OPM tersebut berlangsung hingga
kini dan hanya punya satu tujuan, yaitu kemerdekaan Papua. Gerakan ini dipimpin
oleh Sersan Mayor Parmenas Ferry Awom, yang merupakan bekas angora
Batalyon Sukarelawan Papua (PVK atau Papoea Vrijwillingers Korp ) ciptaan
Belanda.

Benih dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebenarnya adalah gerakan


perlawanan suku Amungme di Abepura terhadap pemerintah pusat karena
kebijakan pemerintah yang mengizinkan PT. Freeport Indonesia untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi besar-besaran di tanah Papua. Terhitung sejak tahun
1965 sampai sekarang mereka mampu bertahan dan bergerilya dengan sisten
sporadic dalam gerakan militer yang melibatkan masyrakat awam. TNI memamng

3
mampu meredam serta menumpas gerakan sporadic ini secara berkala, namun
mereka (TNI) sebenarnya tidak mampu menumpas OPM itu sndiri. OPM
memiliki basis di kalangan masyarakat lauas yang cukup kuat, sehingga
perlindungan dari masyarakat inilah yang sebenarnya menjadi benteng
perlindungan OPM yang paling kuat.

Selain OPM, perjuangan yang menyerukan kemerdekaaan Papua juga di


kibarkan melalui sebuah badan yang bernama Presidium Dewan Papua (PDP),
yang dibentuk pada tahun 1999. Gerakan ini dipimpin oleh Theys Eulai. Gelagat
PDP sebenarnya tak kalah mengkhawatirkan sebagai mana yang dilakukan oleh
OPM. Mereka (PDP) berhasil menggalang dukungan untuk terwujudnya perayaan
kemerdekaan Papua, pengibaran bendera bintang kejora, dan yang paling penting
lagi telah merebut hati pemerintahan pusat dibawah kepemimpinan KH
Abdurrahman Wahid.

2. Penyebab Utama Konflik di Papua

Di tanah Papua, baik OPM maupun PDP tetap pada tekadnya


memperjuangkan satu tujuan , yaitu memerdekakan diri dari Indonesia. Tujuan
mereka disinyalir pemerintah Indonesia antara lain mencakup bebrapa hal pokok,
antara lain :

2.1. Kekecewaan Ekonomi

Sejak berintegrasi dengan Indonesia, rakyat Papua merasa terpinggirkan


secara ekonomi, kekayaan alam Papua yang berlimpah tidak pernah dirasakan
manfaatnya secara langsung. Ketika pertama kali bergabung dengan Indonesia
kekayaan alam di Papua langsung ditarik ke Jakarta untuk membenahi keadaan
perekonomian nasional yang pada saat itu sedang mengalami kemerosotan
ekonomi yang pada saat itu terjadi tingkat inflasi yang mencapai 250 %. Dengan
bantuan kekayaan Papua lah keadaan ekonomi Indonesia semakin membaik, akan
tetapi keadaan yang terus membaik ini tidak pula merubah kebijakan yang
diberlakukan di Papua. Kekayaan alam Papua terus diserap ke pemerintah pusat
tanpa pengembalian ke Papua dalam jumlah yang seharusnya.

4
Disaat pemerintahan Orde Baru, beberapa kebijakan ekonomi pemerintah
dianggap sebagai kebijakan yang paling membawa kekecewaan secara ekonomis
oleh rakyat Papua. Pertama, kebijakan pemerintah mengenai transmigrasi.
Kebijakan ini secara kasat mata memang dianggap berhasil oleh beberapa
kalangan. Kebijakan ini memang memajukan sebagian daerah di Papua, karena
setelah kebijakan ini dilaksanakan lokasi transmigrasi tumbuh menjadi pusat-pusat
ekonomi. Pemerintah pun mulai membangun sarana dan prasarana, seperti
infrastruktur jalan, dan sarana public seperti tempat ibadah, puskesmas, serta
fasilitas pendidikan. Namun fasilitas-fasilitas yang mulai dibangun tersebut hanya
terjadi di wilayah transmigrasi saja, yang mayoritasnya adalah penduduk
pendatang di Papua. Penduduk local tetap berada pada kondisi yang
memprihatinkan dengan keadaan ekonomi mereka semakin memburuk, serta
tanpa ada fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai. Kedua adalah
mengenai HPH (Hak Pengelolaan Hutan) yang kebijakannya hanya
menguntungkan para pemilik modal dari luar Papua untuk mengelola hutan di
kawasan tempat tinggal mereka. Hutan yang dulunya mereka gunakan untuk
menyambung hidup, maupun sarana spiritual, kini pengelolaannya sudah berada
di tangan lain. Masyarakat setempat kembali menjalani hidup semakin miskin.
Kemudian factor ekonomi yang lain adalah berdirinya PT. Freeport. Sejak awal
berdirinya PT. Freeport di Papua, sebenarnya telah menuai berbagai protes dari
kalangan masyarakat sekitar. Alasan masyarakat Papua ini melakukan protes
dikarenakan cara-cara/ proses pembangunan proyek yang merugikan rakyat
Papua, sampai kebijakan-kebijakan setelah proyek Freeport ini berlangsung. Hal
ini mendukung rakyat Papua yang merasa sangat kecewa terhadap PT. Freeport
dan Pemerintah, akhirnya berpaling ke OPM. Dengan isu – isu inilah seakan-akan
OPM semakin merasa kuat di Papua. Rakyat Papua mendukung OPM denagn
berbagai cara, antara lain dengan bergabung langsung di lapangan untuk
melakukan aksi-aksi/ gerakan-gerakan fisik, penyebaran pamphlet, menghadiri
rapat OPM serta menyediakan tempat tinggal bagi OPM, menyediakan bahan
makanan, sampai pakaian para OPM.

5
2.2. Peminggiran Sosial Budaya

Salah satu imbas dari adanya program transmigrasi Papua terkesan sebagai
“pemusnahan etnik Papua”. Sikap pemerintah yang lebih memperhatikan warga
transmigrannya membuat warga asli Papua semakin terpinggirkan. Upaya ini
sering dianggap sebagai tindakan/ upaya untuk memusnahkan etnik Papua di masa
mendatang. The Institute for Human Rights and Advocacy, dalam sebuah
penelitian yang dilakukannya menemukan bahwa kebijakan transmigrasi yang
digelar Pemerintah Indonesia menyebabkan krisis identitas bagi rakyat Papua.
Oleh karena itu, mereka akhirnya berpegang pada identitas etnisitas Melanesia
dan Agama Kristen, yang pada akhirnya menjadikan kedua hal tersebut sebagai
landasan upaya separatism yang mereka usung.

2.3. Diskriminasi Politik dan Hukum

Selama bertahun tahun, sejak ber integrasinya Papua dengan Indonesia,


rakyat Papua masih merasakan diskriminasi politik dan hukum sebagai akibat dari
implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tanpa mempertimbangkan
elemen-elemen putra daerah. Wujud dari diskriminasi ini adalah mendominasinya
etnis non-Papua dalam jajaran birokrasi Papua. Selain itu, represifnya militer
membuat rakyat Papua meras tertekan dan terkucilkan. Upaya penuntutan hak
oleh rakyat Papua dijawab dengan tindakan militer. Bahkan, pemerintah Indonesia
menerapkan Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua dengan dalih untuk
memberantas OPM, dimana tentara Indonesia justru melakukan banyak tindakan
pembunuhan, penculikan, atau tindakan kekerasan lainnya yang menimbulkan
ingatan traumatis dan kekecewaan dalam benak rakyat Papua.

3. Upaya – Upaya Penyelesaikan Konflik Papua sejak masa Reformasi

Ketika Orde Baru berkuasa, beberapa bentuk penyelesaian konflik di


Papua kebanyakan diselesaikan dengan pendekatan militer dan ekonomi yang
dipusatkan secara terpusat tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat local.
Pada pasca Reformasi, terlihat ada pergeseran dalam kebijakan pemerintah pusat.

6
Diantara kebijakan tersebut adalah penghapusan DOM dan diberikannya otonomi
khusus untuk Papua. Pasca penghapusan DOM, peristiwa berdarah tetap muncul
di bumi Papua. Dua diantaranya yang mendapatkan perhatian besar adalah kasus
Timika dan Abepura. Kasus Timika yang melibatkan pembunuhan 3 pegawai
Freeport tanggal 31 Agustus 2001 yang membahas keterlibatan Amerika serikat
dalam konflik Papua. Konflik ini berhasil diredam dengan tanpa campur tangan
AS (Amerika Serikat) terlalu jauh.

Kasus Abepuara terjadi pada tanggal 7 Desember 2000 yang diawali


dengan penyerangan Markas Polsek Abepura oleh 15 orang dengan senjata tajam.
Akibat penyerangan tersebut, Brigadir (Pol) Petrus Epaa tewas dan tiga polisi
lainnya luka-luka. Setelah kejadian, petugas kepolisian melakukan penyisiran di
enam lokasi yang di duga menjadi tempat persenbunyian pelaku. Pada masa
pemerintahan Preside Abdurrahman Wahid, pendekatan resolusi konflik yang
diambil cenderung memilih pendekatan yang lebih liberal dan social. Pendekatan
resolusi dari sisi social digunakan sebagai upaya non-koersif untuk mengatasi rasa
diskriminatif yang selama ini dirasakan oleh rakyat papua. Langkah pertama dari
presiden Wahid tersebut adalah mengubah nama Papua yang sebelumnya bernama
Irian Jaya yang resmi dikeluarkan pada bulan Januari 2000. Sejak 1 Januari 2002,
Pemerintah Daerah (Pemda) Papua secara resmi telah mengumumkan
pemberlakuan otonomi khusus, walau belum ada satu peraturan daerah (Perda)
mengatur realisasi otonomi khusus tersebut. Dengan adanya kebijakan tersebut,
maka nama Provinsi Papua sudah wajib digunakan secara resmi dalam surat
menyurat, dokumentasi, pembukuan, pemberian nama instansi, lembaga, yayasan,
atau acara resmi maupun non- resmi lain dalam proses pengadilan, seminar, dialog
resmi, surat dinas, pemasangan papan reklame, berbagai kegiatan di perguruan
tinggi, dan seterusnya.

Langkah resolusi konflik yang diambil Presiden Abdurrahman Wahid bisa


dikatakan sangat akomodatif dan diusahakan tanpa adanya kekerasan sekalipun.
Selain kebijakan tersebut di atas, Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 1
Januari 2000, meminta maaf kepada rakyat Papua atas pelanggaran HAM (Hak

7
Asasi Manusia) yang dilakuakan TNI. Presiden juga mengijinkan pengibaran
bendera Bintang Kejora di Papua dan dilaksanakannya Kongres Papua pada bulan
Mei 2000 dan bahkan menyumbangkan dana sebesar 1 milyar rupiah. Selain itu
Presiden juga sempat menemui Theys pada bulan Mei 2001, yang dalam kongres
Papua diklaim sebagai Pemimpin Besar Resolusi Papua. Pada masa Presiden
Megawati, pemfokusan pada pendekatan pemberian otonomi khusus pada Papua
dengan menetapkan UU No. 21/ 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Selain
itu pemerintah pusat juga melakukan beberapa kali pendekatan untuk mencegah
pengembalian Otonomi Khusus oleh rakyat Papua, yang mereka anggap terlalu
lamban dalam pelaksanaanya. Salah satu pendekatan pencegahan tersebut dengan
mengadakan pertemuan dengan wakil dari DPRD Papua yang dihadiri langsung
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tanah Papua yang elok dan luas pada dasarnya merupakan daya tarik
tersendiri bagi suatu pulau, dengan tertanam berbagai kekayaan alamnya yang
eksotis serta didukung oleh kekayaan bawah tanah yang bernilai ekonomis sangat
tinggi menjadikan Papua sebagai tanah sempurna. Akan tetapi kekayaan yang
melimpah ini tak dapat dimanfaatkan lebih lanjut dan berguna. Hal ini
dikarenakan kondisi masyarakat Papua yang tertinggal. Seiring bergabungnya
Papua menjadi bagian dari NKRI tidak seutuhnya membawa kemaslahatan bagi
rakyat Papua itu sendiri, justru sebaliknya, masyarakat Papua masih merasa
terdiskriminatif dari adanya kebijakan – kebijakan pembangunan pemerintah
pusat. Dengan keadaan inilah timbulah berbagai gerakan-gerakan sparatis yang
menyerukan kemerdekaan Papua atas Indonesia, berbagai factor pendorong dari
segi ekonomi, politik dan hukum, social-budaya menambah semangat para
gerakan sparatis ini untuk terus bergerilya menyerukan kemerdekaan papua. Akan
tetapi dalam hal ini, pemerintah pusat tidak pula tinggal diam, berbagai cara dan
pendekatan digunakan untuk meredam, menumpas, bahkan upaya pencegahan
untuk mengendalikan gerakan-gerakan sparatis ini, yang bertujuan untuk
menjadikan Papua kembali kondusif.

B. Saran

Timbulnya gerakan gerakan sparatis di Papua sesungguhnya bisa dijadikan


suatu cermin diri bagi pemerintah Indonesia untuk tidak lagi menganak tirikan
tanah Papua. Pemerintah haruslah lebih perhatian dan memberi rasa adil dan aman
untuk masyarakat Papua. Berbagai hal sebenarnya lebih bisa dilakukan
Pemerintah pusat untuk bisa mengembalikan rasa kenasionalisme rakyat Papua.
Salah satunya dengan mengembangkan daerah Papua sesuai potensi alam yang
dimiliki di setiap daerah di Papua. Dengan pengembangan potensi ini, masyarakat

9
asli Papua harus bertindak secara aktif untuk meningkatkan taraf hidupnya,
dengan kata lain tidak hanya sebagai penonton. Selain itu tingkat pendidikan dan
kesehatan haruslah tetap menjadi prioritas bagi kebijakan –kebijakan yang akan
diimplementasikan di Papua. Karena dengan pendidikan dan rohani jasmani yang
kuat, secara langsung dan tak langsung akan membuat rakyat Papua semakin
tegak berdiri.

10

You might also like