Professional Documents
Culture Documents
http://jeratbudaya.blogspot.com/2009/07/bila-kah-antropologi-dan-sastra-
bertemu.html
Buku ini merupakan kumpulan esai yang membicarakan petika dan politik
teks etnografi dalam konteks sensibilitas pasca-modern. Di dalam buku yang
menjadi pionir bagi kajian metaetnografi ini dimuat tulisan-tulisan Mary
Louis Pratt, Vincent Crapanzano, Stephen Tyler, renato Rosaldo, dsb.
Di dalam buku ini Geertz mencoba melihat secara kritis teks-teks Levi-
Strauss, Evans-Pritchard, Malinowski, dan Ruth Benedict. Sebagai titik
berangkatnya Geertz merumuskan dua buah pertanyaan yang diilhami oleh
Barthes dan Foucault: (1) Bagaimanakah “fungsi-pengarang” muncul di
dalam teks? (2) Apakah yang dikarang oleh pengarang? Pertanyaan pertama
berkisar tentang konstruksi identitas kepengarangan; pertanyaan kedua
tentang wacana yang terkait dengan identitas kepengarangan tersebut.
2
Salah satu sebab terjadinya perubahan dan perluasan di dalam teori-teori
sastra mutakhir, menurut Cohen , adalah berkat pengaruh dari disiplin-
disiplin di luar sastra. Teori-teori sastra beserta segenap komponennya tidak
hanya telah mempengaruhi dan memebri alternatif bagi konsepsi-konsepsi
disiplin-disiplin lain seperti psikoanalisis, sejarah, sosiologi, dan antropologi,
melainkan juga sebaliknya. Sebagai sebuah disiplin yang selama ini suntuk
menongkrongi kebudayaan, adalah masuk akal apabila antropologi turut
berpengaruh terhadap atau ikut nimbrung melakukan studi-studi sastra. Kita
tahu bahwa dalam konsep abstrak yang disebut sebagai “kebudayaan” itu –
apapun definisi yang dipaksakan orang kepadanya – adalah sebuah payung
besar yang bisa merangkum apa saja, merengkuh segala sesuatu,
sepanjang ia bermakna atau bisa diberi makna oleh manusia. Kiranya tak
ada seorang pun yang ragu bahwa “sastra” juga berada di bawah payung
besar itu. Kajian antropologis terhadap sastra – atau, singkatnya,
antropologi sastra – di Indonesia memang tidak sepopuler sosiologi sastra
yang sudah merupakan mata kuliah tersendiri di fakultas-fakultas sastra.
Antropologi sastra pun sejauh ini nyaris tidak pernah dilirik baik oleh para
ahli antropologi maupun, terlebih lagi, pakar-pakar ilmu sastra di Indonesia.
Padahal, lewat penelusuran atas dimensi-dimensi dan implikasi-implikasi
antropologis teks-teks sastra atau, singkatnya, dengan mengembangkan
antropologi sastra sebagai paradigma penelitian, mungkin kita tak cuma bisa
menemukan model-model interpretasi tertentu, melainkan juga dapat
memperoleh kemungkinan jawaban atas pertanyaan, misalnya, mengapa
kita (masih) memerlukan fiksi.
Memang, di dalam disiplin antropologi, pengkajian atas sumber-sumber
literer seperti mitos-mitos, dongeng-dongeng, riwayat hidup, dan jenis-jenis
sastra lisan lainnya merupakan suatu praktik yang sudah secara umum
berterima (acceptable). Adalah suatu hal yang lumrah pula apabila, dalam
kasus masyarakat-masyarakat yang telah melek-huruf, ahli-ahli antropologi
beralih kepada sumber-sumber tertulis seperti berita-berita di surat kabar
atau karya-karya sastra. Tak heran kalau novel-novel pun diperlakukan pula
sebagai sumber data antropologis; teks-teks sastra diperlakukan, tak lebih,
sebagai dokumen kultural. Kajian-kajian antropologis semacam ini selalu
mengasumsikan bahwa persepsi-persepsi pengarang terhadap dunia –
terhadap alam, terhadap relasi-relasi sosial – telah terbentuk oleh
lingkungan budayanya.
Di samping kajian antropologis konevensional ini, dikenal pula bidang studi
yang disbeut oleh Marcus dan Fischer sebagai poetika etnografis
(ethnography poetics). Bidang studi ini berupaya untuk menemukan cara-
cara yang khas secara kultural untuk membaca cerita-cerita lisan warga
setempat (indigenous peoples) sebagai sebentuk karya sastra. Beberapa
kajian poetika etnografis mengembangkan cara pembacaan formalis
terhadap cerita-cerita lisan dengan memanfaatkan sistem notasi tertentu
untuk mencatat dimensi-dimensi afektif, kinestetik, dan aspek-aspek
performatifnya yang lain. Beberapa kajian yang lain mencoba membuat
interpretasi atas cerita-cerita lisan itu dengan kerangka hermeneutik atau
semiotik. Semuanya sama-sama menghasilkan terjemahan-terjemahan teks
lisan yang sesungguhnya sangat terikat pada konteks performatifnya, di
samping dibayang-bayangi pula oleh persoalan ketepatan pengalih-bahasaan
dari yang lisan ke tulisan. Sekedar contoh yang relatif mudah diakses oleh
kita adalah karya Clifford Geertz, berjudul “Art as a Cultural System,” yang
mengulas posisi syair berbahasa Arab di dalam amsyarakat tradisional di
Maroko. Dengan ulasannya ini Geertz sekaligus hendak mempertahankan
argumennya, yaitu bahwa hubungan antara seni dan kehidupan kolektif
berada di dalam lapisan semiotis (semiotic plane). Bisa dibaca pula tulisan
James J. Fox yang sudah sempat disinggung di muka. Dia secara lebih
konvensional menguraikan sebagian isi dari teks-teks syair (nyanyian) epik
yang dikumpulkannya di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, dalam upayanya
untuk menjelajahi “imajinasi puitis.” Selain sastra lisan milik warga yang
diperoleh di lapangan, terdapat pula se-abreg karya sastra kontemporer dari
berbagai masyarakat melek-huruf di muka bumi yang juga menarik bagi
studi petika etnografis untuk dijadikan objek analisis yang
mengkombinasikan metode etnografi dan kritik sastra. Teks-teks sastra
tertulis ini tdak hanya mengungkapkan berbagai pengalaman warga
setempat yang tidak tersedia di dalam sarana-sarana ekspresi lain,
melainkan juga membentuk komentar-komentar indigenous sebagai
semacam autoetnografi yang secara khusus bersangkutan dengan
representasi pengalaman mereka.
Walaupun mungkin antropologi sastra di Indonesia bukanlah sosok yang
jelas jejak-jejaknya, itu pun kalau diandaikan bahwa ia pernah
melangkahkan kakinya, berikut ini akan didaftarkan seadanya beberapa
karangan yang sedikit-banyak telah berupaya mengkaji sastra, khususnya
sastra Indonesia “modern” dan sastra “Barat”, dengan perspektif
antropologis. (Sekali lagi, pengurutan pustaka dilakukan dengan mengikuti
angka tahun terbit).
Tulisan ini merupakan sempalan dari buku Levi-Strauss, The Origin of Table
Manners, volume ketiga dari seri Mithologiques. Di sini Levi-Strauss
mencoba menemukan kesejajaran konstruksi plot di antara mitos-mitos
Indian Amerika dan novel-novel serial di dalam masyarakat industrial.
Karya terjemahan ini membuktikan bahwa teks sastra tidak hanya memiliki
satu kemungkinan interpretasi. Dengan cara membacakan Hamlet di
hadapan sekelompok sukubangsa yang hidup di pedalaman Afrika,
Bohhanan bukan saja membantah anggapan bahwa karya Shakespeare itu
mengandung nilai-nilai yang universal, melainkan sekaligus meragukan
universalitas kebudayaan manusia pada umumnya.
6. Fox, Robin. “The Virgin and the Godfather: Kinship versus the State in
Greek Tragedy and After,” dalam paul Benson (ed.) Anthropology and
Literature. Urbana & Chicago: University of Illinois Press, 1993. Hal. 107-
150.
Di dalam esai ini Fox menempatkan teks Antigone karya Sophocles, sebuah
tragedi klasik Yunani dari abad ke-5 (dikarang pertama kali pada tahun 440
SM), di dalam konteks tematik yang lebih luas, yakni di sekitar transisi
evolusioner dari tribalisme ke arah formasi negara, konflik di antara
kelompok-kelompok kekerabatan dan negara.
Sebagian dari isi buku ini menganalisis puisi naratif Rendra yang berjudul
“Nyanyian Angsa” dengan memanfaatkan pendekatan struktural Levi-
Strauss dan pendekatan simbolik Victor Turner. Di bagian-bagian lain dari
buku ini juga dipinjam beberapa gagasan Geertz untuk menerangi cerpen
Umar Kayam, “Sri Sumarah.”