You are on page 1of 10

BILA(-KAH) ANTROPOLOGI DAN SASTRA BERTEMU

Ditulis oleh: Kris Budiman

http://jeratbudaya.blogspot.com/2009/07/bila-kah-antropologi-dan-sastra-
bertemu.html

… interdiciplinary work is not peaceful operation;


it begins effectively when the solidarity of the old disciplines
breaks down.

Roland Barthes (1979)

“Apa khabar antropologi di Indonesia?” bertanya seorang teman lama dari


Jakarta, seorang penyair kurus dan botak yang pernah menulis sajak
“Antropologi dari Kaleng-kaleng Coca-cola”.
“Apabila Anda ingin tahu berita terkini tentang keadaan antropologi di
Indonesia,” jawab saya bagaikan seorang penyiar berita di televisi,
“saksikanlah Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, buku suntingan
Masinambow.”
“Kok gitu?”
“Lha iya. Di samping masih terbilang lumayan baru –- terbit 1997, dua
tahun lalu --, di dalamnya juga terkumpul dua puluh lebih nama ahli
antropologi berbangsa Indonesia, kecuali James Fox. Kamu bisa lihat sendiri,
pentolan-pentolan antropologi di Indonesia kumpul bareng di situ. Kalau
boleh saya menyebut beberapa nama besar: Parsudi Suparlan, James
Danandjaja, T.O. Ihromi, Amri Marzali, P.M. Laksono, Sjafri Sairin, Heddy
Shri Ahimsa Putra … Representatif deh,” saya berusaha meyakinkannya,
meskipun saya sendiri agak ragu.
“Pokoknya, kalau cuma kepingin tahu kondisi terkini antropologi di
Indonesia, buku ini sanggup memberikan gambaran yang tidak begitu
meleset.“ Saya mengeluarkan buku dari dalam tas. “Coba periksa daftar
isinya saja. Kira-kira separuhnya mengangkat persoalan pembangunan dan
tetek-bengek di sekitar itu: IDT, PHT, peranan wanita … Soal-soal lain –
taruhlah yang lebih filosofis semacam landasan epistemologis antropologi –
cuma diangkat oleh satu-dua orang saja. Kalau kita pinjam bahasa
sloganisme ala Orde Baru, barangkali sebagian besar dari isi buku ini cocok
diberi tema: ’Dengan Mengenang Jasa-jasa Koentjaraningrat, Kita
Tingkatkan Peranan Antropolog Indonesia dalam Pembangunan Nasional’
atau” ….”
“Nah kan mulai muncul sinisnya.”
“Tunggu, jangan menyela. Aku sekarang mau mengajak kamu menghitung-
hitung ada berapa karangan yang membicarakan kesenian.”
“Adakah dia yang menimbang susastra?.”
Dari pertanyaan terakhir tampak sekali bahwa teman saya memang tipikal
seorang penyair, setidak-tidaknya seorang yang peduli terhadap sastra.
“Sabar sedikit dong,” sahut saya yang mulai kehilangan sabar. “Di buku
setebal 389 halaman ini cuma ada tiga orang yang menulis tentang seni:
Rahayu Supanggah, I Gusti Ngurah Bagus, dan James Fox. Ingat, yang
terakhir ini guru besar antropologi dari Australia. Bukan orang kita.”
“Kalau P.M. Laksono ini nulis apa?”
“Lho, kamu kenal toh sama Pak Laksono? Pak Laksono sebenarnya juga
menyentil kesenian wayang wong dan pentas dangdut di Purawisata. Jadi,
oke-lah, semuanya ada empat orang: tiga antropolog Indonesia, plus satu
Australia. Rahayu Supanggah membicarakan perkembangan studi
etnomusikologi Indonesia; I Gusti Ngurah Bagus soal visi kreativitas Sanggar
Dewata Indonesia. Satu-satunya yang mengangkat topik sastra justru James
Fox. Dia membicarakan syair nyanyian penduduk Pulau Rote.”
“Sastra Indonesia modern?”
“Wah, untuk yang satu ini sih jangan terlalu berharap.”
“Padahal, setahuku, Koentjaraningrat itu juga seniman lho!”
“Bukan cuma itu.” Saya segera menimpali, sambil bernafsu pamer
kemampuan menghafal nama-nama, “Levi-Strauss itu, selain tulisannya
nyastra sekali, seorang musisi yang sangat berbakat. Lono Simatupang juga
pemusik yang gemar bikin musikalisasi puisi. Terus masih ada lagi sederet
antropolog yang penyair, misalnya Dell Hymes, Ruth Benedict, Edward
Sapir, Paul Friedrich, Stanley Diamond, Dennis Tedlock, …”
“Kata Faruk, Kris Budiman juga sastrawan, sastrawan gagal …”
“Sialan!”
***
Baiklah, untuk selanjutnya makalah ini akan mencoba menelusuri titik-titik
pertemuan antara antropologi dan sastra. Penelusuran itu akan dilakukan
melalui dua jalur. Pertama, penelusuran akan menuju kepada persentuhan
antara antropologi kontemporer dan teori-teori sastra: bagaimana wacana
antropologi kontemporer itu kerasukan pendekatan-pendakatan literer. Jalur
ini pun dapat dibedakan lebih lanjut menjadi dua cabang: (1) pendekatan-
pendekatan antropologi yang mengadopsi teori-teori sastra; dan (2)
pendekatan literer terhadap teks-teks antropologi. Kedua, penelusuran akan
mengarah kepada beberapa kemungkinan kajian antropologis terhadap
sastra: sesuatu yang barangkali -–kalau mengikuti analogi dengan sosiologi
sastra, psikologi sastra, dst. – dapat kita beri nama sebagai antropologi
sastra.
1
Sebagaimana pernah diungkap oleh Clifford Geertz , di dalam wacana-
wacana ilmu sosial mutakhir telah terjadi gejala percampuran genre yang
dahsyat. Destabilisasi genre ini, antara lain, semakin merebak berkat
munculnya analogi-analogi baru di dalam retorika analitis, kiasan-kiasan dan
citraan-citraan eksplanasi (imageries of explanation) di dalam ilmu-ilmu
sosial. Telah dimaklumi bahwa teori-teori sosial dapat berkembang, antara
lain, karena cara berpikir analogis, sebuah “seeing-as” comprehension, dan
analogi-analogi yang bersumber dari humaniora pun semakin mengemuka
belakangan ini: kehidupan sosial kini semakin cenderung dianalogikan
sebagai sebuah permainan, drama, atau teks; kebudayaan dipandang
sebagai gramatika, teater, teks ….
Gelagat yang diesbut Geertz sebagai “refigurasi pemikiran sosial” ini
sesungguhnya sudah mulai menggeliat sejak tahun 1950-an dan 1960-an,
yakni ketika teori-teori general di dalam antropologi dicoba dirumuskan
dengan meminjam model lingusitik, yang pada waktu itu masih dianggap
mampu atau dapat menjanjikan sebuah kerangka deskripsi formal dan ketat
(rigorous). Periode yang, antara lain, telah menghasilkan strukuturalisme
dan etnosains di dalam antropologi ini kemudian dikenal sebagai “linguistic
turn” di dalam ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi, pada dasawarsa 1970-an dan
1980-an muncullah berbagai reaksi ketidak-puasan terhadap model
linguistik sehingga upaya-upaya untuk mengkonseptualisasikan berbagai
pendekatan alternatif pun terasa semakin mendesak . Maka, pada
dasawarsa inilah apa yang kemudian disebut sebagai “interpretive turn”
mencuat ke permukaan arus ilmu-ilmu sosial. Munculnya pendekatan
interpretif atau hermeneutik di dalam ilmu-ilmu sosial ini telah berhasil
mengubah fokus perhatian dan pemahaman kita akan kehidupan sosial:
masyarakat tidak lagi diumpamakan sebagai organisme – atau kadang-
kadang mesin --, melainkan sebagai sesuatu yang tersusun atas simbol-
simbol yang keberagaman maknanya mesti kita rengkuh apabila ingin
memahaminya . Dengan itu pula semakin terbuka pintu masuk bagi
perkembangan teoretis di bidang kritik sastra dan interpretasi, yang
menggantikan posisi linguistik, sebagai sumber gagasan baru bagi teori dan
metode antropologi. Ahli-ahli antropologi pun akhirnya berbondong
mengadopsi orientasi kritik sastra terhadap “teks”.
Merebaknya kecenderungan ini, menurut penjelasan Marcus dan Fischer ,
dilatar-belakangi oleh dua hal. Pertama, adanya trend intelektual yang lebih
luas di luar antropologi yang memalingkan diri dari teori-teori sosial general
ke dalam diskusi-diskusi tentang masalah interpretasi dan pemerian realitas
sosial berinspirasi kritik sastra. Kedua, tumbuhnya kesadaran bahwa
etnografi, yakni produk penelitian-penelitian antropologi, tidak lain adalah
teks yang bersifat (semi-)literer. Begitulah, akhirnya tiba juga giliran bagi
antropologi untuk menyadari bahwa fenomena kultural perlu lebih dipahami
sebagai sistem dan praktik pemaknaan, walaupun pada waktu-waktu yang
lalu kesadaran semacam ini masih berupa sesuatu yang samar, bahkan
segala sesuatu yang berbau sastra di pandang alergis.
Kini saatnya bagi “literary turn” atau “tekstual turn” di dalam antropologi.
Misalnya saja, penulis-penulis yang berpengaruh seperti Clifford Geertz,
Victor Turner, mary Douglas, C. Levi-Strauss, dan Edmund Leach, untuk
menyebut beberapa nama, telah menunjukkan perhatian yang besar
terhadap teori-teori sastra, bahkan dengan caranya masing-masing mereka
telah mengaburkan batas-batas yang memisahkan antara wacana ilmiah dan
sastra melalui praktik-praktik penulisan etnografi yang diwarnai dengan
kesadaran literer tinggi . Dengan caranya masing-masing mereka telah ikut
membantah anggapan bahwa teks-teks antropologis yang “baik dan benar”
adalah teks-teks yang datar (plain), harfiah, tanpa pretensi; teks-teks
etnografi seakan-akan tidak memerlukan apresiasi, apalagi close reading,
sebagaimana layaknya teks-teks sastra. Bagi mereka, dimensi-dimensi
retoris dan naratif dari wacana antropologi justru tampak lebih dekat dengan
wacana sastra daripada wacana saintifik. “Etnografi cenderung lebih mirip
dengan roman daripada laporan-laporan laboratorium,“ kata Geertz.
Kesadaran literer ini, pada sisi yang lain, ikut membuahkan dampak
signifikan terhadap begaimana ahli-ahli antropologi memandang aktivitasnya
sendiri, yakni menulis karya-karya etnografi. Maka, tampil jugalah ke
permukaan apa yang bisa dinamakan sebagai metaetnografi
(metaethnography), yakni sebuah pendekatan kritis-literer terhadap teks-
teks etnografi, sebagaimana halnya kritik sastra terhadap teks-teks sastra .
Nama-nama seperti dan kerangka pemikiran dari Northorp Frye, Kenneth
Burke, Hayden White, Roland Barthes, Raymond Williams, Jacques Derrida,
Michel Foucault, dsb., pun kemudian banyak dijadikan sebagai sumber
acuan alternatif untuk mempersoalkan teks-teks etnografi itu sendiri,
memepertanyakan tekstualitasnya sendiri. Dengan adanya kecenderungan
terakhir ini, antropologi pun mendapatkan posisinya sebagai sebuah ilmu
kritis (critical science) dalam pengertian seperti yang diajukan oleh Barthes ,
yakni sebagai sebuah ilmu yang sanggup mempertanyakan wacananya
sendiri.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh karangan metaetnografi
dengan anotasi alakadarnya. (Pengurutan pustaka dilakukan dengan
berpedoman pada angka tahun terbit).
1. Clifford, James & George E. Marcus (ed.) Writing Culture: The Poetics and
Politics of Ethnography. Berkeley: University of California Press, 1986.

Buku ini merupakan kumpulan esai yang membicarakan petika dan politik
teks etnografi dalam konteks sensibilitas pasca-modern. Di dalam buku yang
menjadi pionir bagi kajian metaetnografi ini dimuat tulisan-tulisan Mary
Louis Pratt, Vincent Crapanzano, Stephen Tyler, renato Rosaldo, dsb.

2. Bruner, Edward M. “Ethnography as Narrative,” dalam Victor W. Turner &


Edward M. Bruner (ed.), The Anthropology of Experience. Urbana & Chicago:
University of Illinois Press, 1986. Hal. 139-155.

Di dalam esainya ini Bruner menganalisis teks-teks antropologis tentang


suku-suku Indian Amerika dengan menerapkan sebuah kerangka analisis
naratif. Tesisnya adalah bahwa etnografi dituntun oleh suatu struktur naratif
yang implisit, sebuah cerita yang dikisahkan tentang orang-oranag lain.

3. Marcus, George E. & Dick Cushman. “Ethnography as Texts,” Annual


Review of Anthropolohy, vol. 11, 1982. Hal. 25-69.

Di sini Marcus dan Cushman membicarakan topik-topik, antara lain, tentang


realisme etnografis sebagai sebuah konvensi genre dan reaksi terhadapnya,
dimensi-dimensi retoris dan naratif teks etnografi, serta kecenderungan
eksperimental di dalam penulisan etnografi mutakhir. Topik yang terakhir ini
sebelumnya telah didiskusikan lebih panjang-lebar di dalam Marcus &
Fischer (1986).

4. Clifford, James. Predicament of Culture: Twentieth Century Ethnography,


Literature, and Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press,
1988

Clifford memfokuskan kritiknya pada strategi-strategi penulisan dan


representasi autoritas etnografis serta berupaya untuk menunjukkan bahwa
teks-teks etnografi merupakan orkestrasi dari pertukaran multivokal yang
lahir di tengah situasi-situasi politis.

5. Geertz, Clifford. Works and Lives: The Anthropology as Author. Stanford,


California: Stanford University Press, 1988.

Di dalam buku ini Geertz mencoba melihat secara kritis teks-teks Levi-
Strauss, Evans-Pritchard, Malinowski, dan Ruth Benedict. Sebagai titik
berangkatnya Geertz merumuskan dua buah pertanyaan yang diilhami oleh
Barthes dan Foucault: (1) Bagaimanakah “fungsi-pengarang” muncul di
dalam teks? (2) Apakah yang dikarang oleh pengarang? Pertanyaan pertama
berkisar tentang konstruksi identitas kepengarangan; pertanyaan kedua
tentang wacana yang terkait dengan identitas kepengarangan tersebut.

6. Manganaro, Marc (ed.). Modernist Anthropology: From Fieldwork to Text.


Princeton New Jersey: Princeton University Press, 1990.

Tujuan utama buku ini adalah untuk memahami dimensi-dimensi diskursif


dan politis teks-teks antropologis modernis yang dimulai kira-kira semenjak
1920 (Malinowski) dan berakhir pada tahun 1975 (dengan munculnya
antropologi pasca-modern). Batas-batas angka tahun ini separuhnya
bertumpang-tindih dengan konsensus tradisional tentang periode
modernisme di dalam sastra Eropa (1900-1945)

2
Salah satu sebab terjadinya perubahan dan perluasan di dalam teori-teori
sastra mutakhir, menurut Cohen , adalah berkat pengaruh dari disiplin-
disiplin di luar sastra. Teori-teori sastra beserta segenap komponennya tidak
hanya telah mempengaruhi dan memebri alternatif bagi konsepsi-konsepsi
disiplin-disiplin lain seperti psikoanalisis, sejarah, sosiologi, dan antropologi,
melainkan juga sebaliknya. Sebagai sebuah disiplin yang selama ini suntuk
menongkrongi kebudayaan, adalah masuk akal apabila antropologi turut
berpengaruh terhadap atau ikut nimbrung melakukan studi-studi sastra. Kita
tahu bahwa dalam konsep abstrak yang disebut sebagai “kebudayaan” itu –
apapun definisi yang dipaksakan orang kepadanya – adalah sebuah payung
besar yang bisa merangkum apa saja, merengkuh segala sesuatu,
sepanjang ia bermakna atau bisa diberi makna oleh manusia. Kiranya tak
ada seorang pun yang ragu bahwa “sastra” juga berada di bawah payung
besar itu. Kajian antropologis terhadap sastra – atau, singkatnya,
antropologi sastra – di Indonesia memang tidak sepopuler sosiologi sastra
yang sudah merupakan mata kuliah tersendiri di fakultas-fakultas sastra.
Antropologi sastra pun sejauh ini nyaris tidak pernah dilirik baik oleh para
ahli antropologi maupun, terlebih lagi, pakar-pakar ilmu sastra di Indonesia.
Padahal, lewat penelusuran atas dimensi-dimensi dan implikasi-implikasi
antropologis teks-teks sastra atau, singkatnya, dengan mengembangkan
antropologi sastra sebagai paradigma penelitian, mungkin kita tak cuma bisa
menemukan model-model interpretasi tertentu, melainkan juga dapat
memperoleh kemungkinan jawaban atas pertanyaan, misalnya, mengapa
kita (masih) memerlukan fiksi.
Memang, di dalam disiplin antropologi, pengkajian atas sumber-sumber
literer seperti mitos-mitos, dongeng-dongeng, riwayat hidup, dan jenis-jenis
sastra lisan lainnya merupakan suatu praktik yang sudah secara umum
berterima (acceptable). Adalah suatu hal yang lumrah pula apabila, dalam
kasus masyarakat-masyarakat yang telah melek-huruf, ahli-ahli antropologi
beralih kepada sumber-sumber tertulis seperti berita-berita di surat kabar
atau karya-karya sastra. Tak heran kalau novel-novel pun diperlakukan pula
sebagai sumber data antropologis; teks-teks sastra diperlakukan, tak lebih,
sebagai dokumen kultural. Kajian-kajian antropologis semacam ini selalu
mengasumsikan bahwa persepsi-persepsi pengarang terhadap dunia –
terhadap alam, terhadap relasi-relasi sosial – telah terbentuk oleh
lingkungan budayanya.
Di samping kajian antropologis konevensional ini, dikenal pula bidang studi
yang disbeut oleh Marcus dan Fischer sebagai poetika etnografis
(ethnography poetics). Bidang studi ini berupaya untuk menemukan cara-
cara yang khas secara kultural untuk membaca cerita-cerita lisan warga
setempat (indigenous peoples) sebagai sebentuk karya sastra. Beberapa
kajian poetika etnografis mengembangkan cara pembacaan formalis
terhadap cerita-cerita lisan dengan memanfaatkan sistem notasi tertentu
untuk mencatat dimensi-dimensi afektif, kinestetik, dan aspek-aspek
performatifnya yang lain. Beberapa kajian yang lain mencoba membuat
interpretasi atas cerita-cerita lisan itu dengan kerangka hermeneutik atau
semiotik. Semuanya sama-sama menghasilkan terjemahan-terjemahan teks
lisan yang sesungguhnya sangat terikat pada konteks performatifnya, di
samping dibayang-bayangi pula oleh persoalan ketepatan pengalih-bahasaan
dari yang lisan ke tulisan. Sekedar contoh yang relatif mudah diakses oleh
kita adalah karya Clifford Geertz, berjudul “Art as a Cultural System,” yang
mengulas posisi syair berbahasa Arab di dalam amsyarakat tradisional di
Maroko. Dengan ulasannya ini Geertz sekaligus hendak mempertahankan
argumennya, yaitu bahwa hubungan antara seni dan kehidupan kolektif
berada di dalam lapisan semiotis (semiotic plane). Bisa dibaca pula tulisan
James J. Fox yang sudah sempat disinggung di muka. Dia secara lebih
konvensional menguraikan sebagian isi dari teks-teks syair (nyanyian) epik
yang dikumpulkannya di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, dalam upayanya
untuk menjelajahi “imajinasi puitis.” Selain sastra lisan milik warga yang
diperoleh di lapangan, terdapat pula se-abreg karya sastra kontemporer dari
berbagai masyarakat melek-huruf di muka bumi yang juga menarik bagi
studi petika etnografis untuk dijadikan objek analisis yang
mengkombinasikan metode etnografi dan kritik sastra. Teks-teks sastra
tertulis ini tdak hanya mengungkapkan berbagai pengalaman warga
setempat yang tidak tersedia di dalam sarana-sarana ekspresi lain,
melainkan juga membentuk komentar-komentar indigenous sebagai
semacam autoetnografi yang secara khusus bersangkutan dengan
representasi pengalaman mereka.
Walaupun mungkin antropologi sastra di Indonesia bukanlah sosok yang
jelas jejak-jejaknya, itu pun kalau diandaikan bahwa ia pernah
melangkahkan kakinya, berikut ini akan didaftarkan seadanya beberapa
karangan yang sedikit-banyak telah berupaya mengkaji sastra, khususnya
sastra Indonesia “modern” dan sastra “Barat”, dengan perspektif
antropologis. (Sekali lagi, pengurutan pustaka dilakukan dengan mengikuti
angka tahun terbit).

1. Levi-Strauss, Claude. “From Cyclical Structure in Myth to Serial Romance


in Modern Fiction,” dalam Elizabeth & Tom Burns (ed.), Sociology of
Literature and Drama. Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books, 1973. Hal
207-213.

Tulisan ini merupakan sempalan dari buku Levi-Strauss, The Origin of Table
Manners, volume ketiga dari seri Mithologiques. Di sini Levi-Strauss
mencoba menemukan kesejajaran konstruksi plot di antara mitos-mitos
Indian Amerika dan novel-novel serial di dalam masyarakat industrial.

2. Mulder, Niels. Jawa-Thailand: Beberapa Perbandingan Sosial Budaya.


Yogyakarta: Gadjah Mada university Press, 1983. Hal. 78-107.

Di dalam Bab VI buku ini Mulder membuat studi perbandingan, “latihan


dalam ilmu hermeneutika” (hal. 81), mengenai makna hubungan antara
individu dan masyarakat sebagaimana terungkapkan lewat karya-karya
pengarang Thailand dan Jawa. Pengarang-pengarang Indonesia-Jawa yang
karyanya diulas secara cukup panjang adalah Pramoedya Ananta Toer,
Kuntowijoyo, dan Umar Kayam.

3. Bohannan, Laura. “Shakespeare di Pedalaman Afrika,” dalam Parsudi


Suparlan (ed.), Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: Rajawali
Pers, 1984. Hal. 187-208.

Karya terjemahan ini membuktikan bahwa teks sastra tidak hanya memiliki
satu kemungkinan interpretasi. Dengan cara membacakan Hamlet di
hadapan sekelompok sukubangsa yang hidup di pedalaman Afrika,
Bohhanan bukan saja membantah anggapan bahwa karya Shakespeare itu
mengandung nilai-nilai yang universal, melainkan sekaligus meragukan
universalitas kebudayaan manusia pada umumnya.

4. Gorfain, Phyllis. “Play and the Problem of Knowing in Hamlet : An


Excursion onto Interpretive Anthropology,” dalam Victor W. Turner & Edward
M. Bruner (ed.), The Anthropology of Experience. Urbana & Chicago:
University of Illinois Press, 1986. Hal. 207-238

Di dalam tulisan ini Gorfain sekaligus hendak menunjukkan bagaimana teori


antropologi dapat memecahkan beberapa “teka-teki” yang muncul dalam
penafsiran atas Hamlet serta relevansi teks fiksional ini bagi persoalan
refleksivitas dan interpretasi di dalam antropologi.

5. Postel-Coster, Els. “The Image of Women in Minangkabau Fiction,” dalam


Elsbeth Lochler-Scholten & Anke Niehof (ed.), Indonesian Women in Focus.
Dordrecht: Foris Publications, 1987. Hal. 225-239.

Postel-Coster mencoba merunut beberapa kategori kultural yang


diasosiasikan dengan perempuan dan lelaki di dalam struktur sosial
Minangkabau. Sumber datanya yang utama adalah novel-novel sebelum
perang yang berfokus pada kehidupan keluarga, antara lain karya Hamka,
Noer Soetan Iskandar, Abdul Moeis, Marah Roesli, dan Selasih

6. Fox, Robin. “The Virgin and the Godfather: Kinship versus the State in
Greek Tragedy and After,” dalam paul Benson (ed.) Anthropology and
Literature. Urbana & Chicago: University of Illinois Press, 1993. Hal. 107-
150.

Di dalam esai ini Fox menempatkan teks Antigone karya Sophocles, sebuah
tragedi klasik Yunani dari abad ke-5 (dikarang pertama kali pada tahun 440
SM), di dalam konteks tematik yang lebih luas, yakni di sekitar transisi
evolusioner dari tribalisme ke arah formasi negara, konflik di antara
kelompok-kelompok kekerabatan dan negara.

7. Budiman, Kris. Wacana Sastra dan Ideologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


1994.

Sebagian dari isi buku ini menganalisis puisi naratif Rendra yang berjudul
“Nyanyian Angsa” dengan memanfaatkan pendekatan struktural Levi-
Strauss dan pendekatan simbolik Victor Turner. Di bagian-bagian lain dari
buku ini juga dipinjam beberapa gagasan Geertz untuk menerangi cerpen
Umar Kayam, “Sri Sumarah.”

8. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. “Levi-Strauss, Orang-orang PKI, Nalar Jawa,


dan Sosok Umar Kayam – Telaah Struktural-Hermeneutik Dongeng
Etnografis dari Umar Kayam,” dalam Aprinus Salam (ed.), Umar Kayam dan
Jaring Semiotik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Hal. 40-92.

Di dalam tulisan ini Ahimsa-Putra menganalisis secara panjang-lebar sosok


dan posisi kultural Umar Kayam serta karya-karyanya, terutama “Sri
Sumarah,” “Bawuk,” dan Para Priyayi, melalui kaca mata strukturalisme
Levi-Strauss dan simbolisme ritual Victor Turner, serta “diilhami” pula oleh
pendekatan hermeneutik Geertz.

You might also like