Professional Documents
Culture Documents
Seiring dengan makin jauhnya zaman dari masa kenabian shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka semakin banyak pula kesesatan dan bid’ah yang tersebar di tengah
kaum muslimin[1], sehingga indahnya sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan kebenaran makin asing dalam pandangan mereka. Bahkan lebih dari
pada itu, mereka menganggap perbuatan-perbuatan bid’ah yang telah tersebar
sebagai kebenaran yang tidak boleh ditinggalkan, dan sebaliknya jika ada
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dihidupkan dan diamalkan
kembali, mereka akan mengingkarinya dan memandangnya sebagai perbuatan
buruk.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau pada saat ini tidak sedikit kaum
muslimin yang terpengaruh dengan propaganda tersebut, sehingga banyak di
antara mereka yang lebih giat dan semangat mengamalkan berbagai bentuk
zikir, wirid maupun shalawat bid’ah yang diajarkan para tokoh tersebut
daripada mempelajari dan mengerjakan amalan yang bersumber dari petunjuk
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.
Tentu saja ini termasuk tipu daya setan untuk memalingkan manusia dari jalan
Allah Ta’ala yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan
(dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain
saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)”
(QS al-An’aam:112).
Bahkan setan berusaha menghiasi perbuatan-perbuatan bid’ah dan sesat tersebut
sehingga terlihat indah dan baik di mata manusia, dengan mengesankan bahwa
dengan mengerjakan amalan bid’ah tersebut hati menjadi tenang dan semua
kesusahan yang dihadapi akan teratasi (??!!). Pernyataan-pernyataan seperti ini
sangat sering terdengar dari para pengikut ajaran-ajaran bid’ah tersebut, sebagai
bukti kuatnya cengkraman tipu daya setan dalam diri mereka. Allah Ta’ala
berfirman,
“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia
menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak
diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya”
(QS Faathir:8).
Setiap orang yang beriman kepada Allah Ta’ala wajib meyakini bahwa sumber
ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang hakiki adalah dengan berzikir
kepada kepada Allah Ta’ala, membaca al-Qur’an, berdoa kepada-Nya dengan
menyebut nama-nama-Nya yang maha Indah, dan mengamalkan ketaatan
kepada-Nya.
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir
(mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi
tenteram” (QS ar-Ra’du:28).
Artinya: dengan berzikir kepada Allah Ta’ala segala kegalauan dan kegundahan
dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan
kesenangan[3].
Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan
kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berzikir kepada Allah Ta’ala[4].
Salah seorang ulama salaf berkata, “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta
dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka
belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”. Maka ada yang
bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?” Ulama ini
menjawab, “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri
kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika
berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya”[5].
Inilah makna ucapan yang masyhur dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –
semoga Allah Ta’ala merahmatinya – , “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah
(surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia
tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti”[6].
Makna “surga di dunia” dalam ucapan beliau ini adalah kecintaan (yang utuh)
dan ma’rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allah Ta’ala (dengan
memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan cara baik dan benar) serta
selalu berzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai
(ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan
(mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah
diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan (kecintaan dan keridhaan) Allah
Ta’ala satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak
seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya yang
sekaligus merupakan qurratul ‘ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-
orang yang mencintai dan mengenal Allah I[7].
Demikian pula jalan keluar dan penyelesaian terbaik dari semua masalah yang
dihadapi seorang manusia adalah dengan bertakwa kepada Allah Ta’ala,
sebagaimana dalam firman-Nya,
Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan
menegakkan semua amal ibadah, serta menjauhi semua perbuatan yang
diharamkan dan dibenci oleh Allah Ta’ala[8].
Adapun semua bentuk zikir, wirid maupun shalawat yang tidak bersumber dari
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun banyak tersebar di
masyarakat muslim, maka semua itu adalah amalan buruk dan tidak mungkin
akan mendatangkan ketenangan yang hakiki bagi hati dan jiwa manusia, apalagi
menjadi sumber penghilang kesusahan mereka. Karena semua perbuatan
tersebut termasuk bid’ah[10] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah
bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam
neraka”[11].
Hanya amalan ibadah yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa membersihkan hati dan
mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, yang
dengan itulah hati dan jiwa manusia akan merasakan ketenangan dan
ketentraman.
“Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan
mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan
(jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur-an) dan Al
Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu,
mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali ‘Imraan:164).
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu (al-
Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS Yuunus:57).
“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia
menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak
diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya”
(QS Faathir:8).
Artinya: setan menghiasi perbuatan mereka yang buruk dan rusak, serta
mengesankannya baik dalam pandangan mata mereka[14].
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan
(dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain
saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)”
(QS al-An’aam:112).
Padahal semua ini justru merupakan bukti nyata kuatnya kedudukan dan tipu
daya setan bersarang dalam diri mereka. Karena bagaimana mungkin setan akan
membiarkan manusia merasakan ketenangan iman dan tidak membisikkan was-
was dalam hatinya?
Jawabnya: jelas rumah pertama yang akan ditujunya, karena rumah itulah yang
bisa dicuri harta bendanya. Adapun rumah yang pertama, maka akan “aman”
dari gangguannya karena tidak ada hartanya, bahkan mungkin rumah tersebut
merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan tempat tinggal dan sarangnya.
Demikinlah keadaan hati manusia, hati yang dipenuhi tauhid dan keimanan
yang kokoh kepada Allah Ta’ala, karena selalu mengamalkan petunjuk-Nya,
akan selalu diintai dan digoda setan untuk dicuri keimanannya, sebagaimana
rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan didatangi pencuri.
Oleh karena itu, dalam sebuah hadits shahih, ketika salah seorang sahabat
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku membisikkan (dalam) diriku dengan sesuatu (yang buruk
dari godaan setan), yang sungguh jika aku jatuh dari langit (ke bumi) lebih aku
sukai dari pada mengucapkan/melakukan keburukan tersebut. Maka beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah maha besar, Allah maha besar,
Allah maha besar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan
menjadi was-was (bisikan dalam jiwa)”[17].
Dalam memahami hadits yang mulia ini ada dua pendapat dari para ulama:
Adapun hati yang rusak dan kosong dari keimanan karena jauh dari petunjuk
Allah Ta’ala, maka hati yang gelap ini terkesan “tenang” dan “aman” dari
godaan setan, karena hati ini telah dikuasai oleh setan, dan tidak mungkin
“pencuri akan mengganggu dan merampok di sarangnya sendiri”.
Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, ketika ada yang mengatakan kepada beliau, “Sesungguhnya orang-
orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu bisikan-bisikan (setan)
dalam shalat mereka”. Abdullah bin ‘Abbas menjawab, “Apa yang dapat
dikerjakan oleh setan pada hati yang telah hancur berantakan?”[20].
Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kaum muslimin untuk
meyakini indahnya memahami dan mengamalkan petunjuk Allah dan Rasul-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang hanya dengan itulah seorang hamba bisa
meraih kebahagiaan dan ketenangan jiwa yang hakiki dalam kehidupannya.
Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang
mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[21] hidup bagimu”
(QS al-Anfaal:24).
Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata, “(Ayat ini
menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat (indah) hanyalah didapatkan
dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia
tidak akan merasakan kehidupan (yang bahagia dan indah)…Maka kehidupan
baik (bahagia) yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan
Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin”[22].
Sebagai penutup, akan kami kutip nasehat Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
yang berbunyi,
Wassalam Alaikum