You are on page 1of 5

Biografi Tokoh Sastra (Asrul Sani)

Seniman Pelopor Angkatan '45

Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain dikenal lewat Sajak Tiga Menguak
Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin meninggal dunia hari Minggu 11
Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di kediamannya di Jln. Attahiriah,
Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman kelahiran Rao,
Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus menurun sejak
menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun sebelumnya.

Dia adalah pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika


Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik
bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang
mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga Menguak Takdir” yang
kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga bukan
hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka”, malahan didaulat
menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.

Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul Sani tak kurang menyumbangkan
delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dari Ibu”. Sejak puisi “Anak Laut”
yang dimuat di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948 hingga terbitnya antologi “Tiga
Menguak Takdir” tadi, Asrul Sani tak kurang menghasilkan 19 puisi dan lima
buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit hingga ke tahun 1959 ia
antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya puisi, dua diantaranya
dimuat dalam “Tiga Menguak Takdir”, lalu enam buah cerpen, enam
terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya Asrul Sani
antara lain dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.

Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut bertanggungjawab untuk


menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun lebih dari itu, mereka
adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Adalah
tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya bermodalkan bambu runcing.
Namun ketika para “nurani bangsa” itu mensintesakan keinginan kuat bebas
merdeka menjadi jargon-jargon “merdeka atau mati” dan semacamnya, maka,
siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani.

Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun 1945-an itu Asrul Sani yang
pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer sewaktu
sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan telah menyatukan
visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar Rakjat Djakarta.
Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara Pelajar,
menerbitkan suratkabar “Suara Bogor”, redaktur majalah kebudayaan “Gema
Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan majalah “Siasat”,
dan menjadi wartawan pada majalah “Zenith”.

Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat usianya masih 23 tahun, Asrul Sani
sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan pemikiran kebudayaannya yang
sangat monumental berupa “Surat Kepercayaan Gelanggang”, yang isinya
adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan Indonesia. Isinya, antara
lain berbunyi, ‘kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan
kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari
kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami adalah kumpulan
campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan dapat
dilahirkan’.

Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera Barat 10 Juni 1927 sebagai
anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair adalah juga penulis cerita
pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama kenamaan dunia, penulis
skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara panggung dan film. Bahkan,
sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma kursi parlemen sejak
tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama, dan berlanjut hingga
tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal itu semua
terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena keterpanggilan jiwa
sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran hewan pada
Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari Universitas
Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955 hingga 1957
Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh pendidikan
dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California.

Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang berbenturan dalam diri Asrul.
Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju Jakarta belajar di Sekolah
Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia (di kemudian
hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat pindah ke Fakultas
Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh titel dokter
hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi batin
Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa
kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman
Sam Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke
Negeri Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama.

Selain karena pendekatan akademis dan romatisme kehidupan pertanian di


desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin menguat pada dirinya
setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh lain perfilman. Bahkan,
keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang
melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor, seperti Teguh
Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet Rahardjo
Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.

Film pertama yang disutradarai Asrul Sani adalah “Titian Serambut Dibelah
Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah
film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih sebagai film terbaik pada
Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah
“Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar Kawat
Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”, dan
lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping beberapa
kali masuk nomibasasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika
dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali
memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia
pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.

Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11 Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB
dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani (56 tahun) istrinya meninggal
dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia meninggal setelah digantikan
popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan dibaringkan. Sebagaimana
kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan detik kematiannya,
usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu kepalanya terangkat, dan
sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia masih sempat
mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan sinetron.

Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga putri serta enam cucu, serta istri
pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan istri kedua Mutiara Sani
Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul enam bulan lalu, hingga
pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan Asrul Sani mulai
menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah
Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang adalah
raja adat di daerahnya.

Selama hidupnya Asrul Sani hanya mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra.
Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI
pada tahun 2000 lalu, dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya untuk hanya dimakamkan di Tempat
Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan dengan alasan, sambil
bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya, ‘masak sampai detik
terakhir, kita masih mau diatur negara’.

Meski sudah mulai mengalami kemunduran kesehatan dalam jangka waktu


lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis sebuah pidato kebudayaan,
yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar doktor kehormatan
honoris causa dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani bangsa itu telah pergi.
Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh berkembang seturut
zamannya.
Seniman Yang Disegani
Setibanya di Jakarta, Asrul memilih besekolah di Taman Siswa. Di kelas ia duduk
sebangku dengan Pramoedya Ananta Toer. Dan di luar sekolah ia bergaul dengan
beberapa seniman ternama seperti; Chairil Anwar, Rivai Apin, Cornel Simandjuntak, dan
beberapa lagi lainnya. Masa itu revolusi sedang bergejolak. Asrul bahkan sempat ikut
Lasykar Rakyat Jakarta, dan masuk tentara. Ia bergabung dengan Pasukan 001 sampai
pada puncak revolusi ketika dicetuskannya proklamasi PRRI (Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia).

Usai Revolusi, tentara Jepang masuk ke tanan air dan menutup semua sekolah kecuali
beberapa perguruan tinggi. Asrul Sani memilih melanjutkan pendidikannya ke Sekolah
Dokter Hewan di Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor). Satu-satunya sekolah yang
luput dari kebijakan tentara Jepang menutup sarana pendidikan saat itu. Asrul rupanya
tak betah berkutat dengan kuda dan jenis hewan lainnya. Ia justru tekun mempelajari
berbagai jenis alat musik. Dalam tempo yang singkat, ia berhasil menguasai berbagai
instrumen musik seperti biola dan klarinet. Selain itu, ia juga pandai bernyanyi. Asrul
memang dikenal sebagai anak yang serba bisa.

Pada akhir pendudukan Jepang, Asrul Sani mulai dikenal sebagai sastrawan. Diawali
dengan menulis puisi yang kemudian dipublikasikan pada harian-harian di Jakarta yang
terbit di masa itu. Karir Asrur Sani di dunia kesenian semakin menanjak. Bukan hanya
puisi yang ditulisnya, cerpen dan esainya kemudian bertebaran di media-media cetak. Ia
berhasil membawa namanya menjadi salah satu sastrawan yang disegani. Berikut
penggalan salah satu puisi, “Surat Dari Ibu”

karya Asrul Sani:


Pergi ke laut lepas, anakku sayang
Pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.
Jika bayang telah pudar
Dan elang laut pulang ke sarang
Angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
Dan nahkoda sudah tahu pedoman,
Boleh engkau datang padaku!

Di kalangan para seniman yang sering berkumpul di kawasan Senen, Asrul dikenal
berwawasan luas, cerdas, juga selalu berbicara tegas dengan bahasa yang elegan dan
bersahaja. Pada setiap debat dalam komunitasnya atau di forum-forum, Asrul selalu
tampil memukau dan membuat orang yang mendengarnya terkagum-kagum akan
kecerdasannya. Bahkan tak jarang orang-orang sekitarnya terpingkal-pingkal mendengar
kritiknya yang pedas dan kadang jenaka hingga membuat lawan debatnya tak mampu
bersuara

You might also like