You are on page 1of 50

I.

PENDAHULUAN

1.1. Tanah Mineral Masam dan Penyebarannya

Tanah mineral masam banyak dijumpai di wilayah beriklim tropika basah, termasuk Indonesia.
Luas areal tanah bereaksi asam seperti podsolik, ultisol, oxisols dan spodosol, masing-masing
sekitar 47,5, 18,4, 5,0 dan 56,4 juta ha atau seluruhnya sekitar 67% dari luas total tanah di
Indonesia (Nursyamsi et al, 1996). Luasnya tanah
masam tersebut sebenarnya mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan usaha
pertanian, tetapi sampai sekarang masih belum dapat dimanfaatkan secara maksimal mengingat
beberapa kendala yang terdapat pada tanah masam.Tanah ordo lain yang bersifat masam adalah
inseptisol dan entisol.

Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalarn tanah tersebut. Bila
kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi maka tanah akan bereaksi asam. Sebaliknya,
bila kepekatan ion hidrogen terIalu rendah maka tanah akan bereaksi basa. Pada kondisi ini kadar
kation OH- lebih tinggi dari ion H+.

Tanah masam adalah tanah dengan pH rendah karena kandungan H+ yang tinggi. Pada tanah
masam lahan kering banyak ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam karena dengan air ion
tersebut dapat menghasilkan H+. Dalarn keadaan tertentu, yaitu apabila tercapai kcjenuhan ion
Al3+ tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida ,dengan demikian dapat menimbulkan variasi
kemasaman tanah (Yulianti, 2007).

Di daerah rawa-tawa, tanah masam umumnya disebabkan oleh kandungan asam sulfat yang
tinggi. Di daerah ini sering ditemukan tanah sulfat masam karena mengandung, lapisan cat clay
yang menjadi sangat masarn bila rawa dikeringkan akibat sulfida menjadi sulfat.

Kebanyakan partikel lempung berinteraksi dengan ion H+. Lempung jenuh hidrogen mengalami
dekomposisi spontan. Ion hidrogen menerobos lapisan oktahedral dan menggantikan atom Al.
Aluminium yang dilepaskan kemudian dijerap oleh kompleks lempung dan suatu kompleks
lempung-Al-H terbentuk dengan cepat ion. Al3+ dapat terhidrolisis dan menghasilkan ion H.

Reaksi tersebut menyumbang pada peningkatan konsentrasi ion H+ dalam tanah. Sumber
keasaman atau yang berperan dalam menentukan keasaman pada tanah gambut adalah pirit
(senyawa sulfur) dan asam-asam organik. Tingkat keasaman gambut mempunyai kisaran yang
sangat lebar. Keasaman tanah gambut cendrung semakin tinggi jika gambut semakin tebal.
Asam-asam organik yang tanah gambut terdiri dari atas asam humat, asam fulvat, dan asam
humin. Pengaruh pirit yaitu pada oksida pirit yang akan menimbulkan keasaman tanah hingga
mencapai pH 2 - 3. Pada keadaan ini hampir tidak ada tanaman budidaya yang dapat tumbuh
baik. Selain menjadi penghambat pertumbuhan tanaman, pirit menyebabkan terjadinya karatan
(corrosion) sehingga mempercepat kerusakan alat-alat pertanian yang terbuat dari logam.

Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kemasaman (reaksi tanah) aktif dan
potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas
dalam larutan tanah. Reaksi tanah inilah yang diukur pada pemakaiannya sehari-hari. Reaksi
tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks
koloid tanah maupun yang terdapat dalam larutan (Hanafiah, 2007).

Selanjutnya dijelaskan juga oleh Hanafiah (2007) bahwa sejumlah senyawa menyumbang pada
pengembangan reaksi tanah yang asam atau basa. Asam-asam organik dan anorganik, yang
dihasilkan oleh penguraian bahan organik tanah , merupakan konstituen tanah yang umum dapat
mempengaruhi kemasaman tanah. Respirasi akar tanaman menghasilkan C02 yang akan
membentuk H2CO3 dalam air. Air merupakan sumber lain dari sejumlah kecil ion H+. Suatu
bagian yang besar dari ion-ion H+ yang dapat dipertukarkan.

H
H---Lempung ---> Lempung + 3 H+
H

Ion-ion H+ tertukarkan tersebut berdisosiasi menjadi ion-ion H+ bebas. Dcrajat ionisasi dan
disosiasi ke dalam larutan tanah menentukan khuluk kemasaman tanah. Ion-ion H+ yang dapat
dipertukarkan merupakan penyebab terbentuknya kemasaman tanah potensial atau cadangan.
Besaran dari kemasaman potensial ini dapat ditentukan dengan titrasi tanah. Ion-ion H+ bebas
menciptakan kemasaman aktif. Kemasaman aktif diukur dan dinyatakan sebagai pH tanah. Tipe
kemasaman inilah yang sangat menentukan dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman.

Ada beberapa alat ukur reaksi tanah yang dapat digunakan. Alat yang murah ialah kertas lakmus
yang bentuknya berupa gulungan kertas kecil memanjang. Alat lain yang harganya sedikit mahal
tetapi dapat dipakai berulang kali dengan hasil pengukuran lebih terjamin adalah pH tester dan
soil tester.

Pemakaian kertas lakmus sangat mudah, caranya yaitu : mengambil tanah lapisan dalam, lalu
larutkan dengan air murni (aquadest) dalam wadah. Biarkan tanahnya terendam di dasar wadah
sehingga airnya menjadi bening kembali. Setelah bening, air tersebut dipindahkan ke wadah lain
secara hati-hati agar tidak keruh. Selanjutnya, ambil sedikit kertas lakmus dan celupkan ka dalam
air tersebut. Dalam beberapa saat kertas lakmus akan berubah warna. Cocokan warna pada kertas
lakmus dengan skala yang ada pada kemasan kertas lakmus. Skala tersebut telah dilengkapi
dengan angka pH masing-masing Warna. Angka pH tanah tersebut adalah angka dari warna pada
kemasan yang cocok dengan warna kertas lakmus Misalnya, angka yang cocok adalah 6 maka
pH-nya 6.

Pemakaian soil tester untuk mendapat pH tanah agak berbeda dengan kertas lakmus. Bentuknya
seperti pahat dan berukuran pendek. Oleh karena berbentuk padatan, ada bagian yang runcing.
Bagian runcing inilah yang ditancapkan ke tanah hingga pada batas yang dianjurkan. Setelah
ditancapkan, sekitar tiga menit kernudian jarum skala yang terletak di bagian atas alat ini akan
bergerak. Angka yang ditunjukkan jarum tersebut merupakan pH dari tanah tersebut.

Pemakaian pH tester lebih sederhana dan soil tester penggunaannya untuk megukur nilai pH
tanah di lahan yang tidak terlalu luas, sekitar 1-2 ha. Walaupun demikian, alat ini masih bisa
diandalkan. Bagian yang menunjukkan angka pH berbentuk kotak dengan jarum penunjuk
angka. Bagian kotak tersebut dihubungkan dengan besi sepanjang 25 cm yang ujungnya runcing
dan dilapisi logam elektroda. Besi inilah vang ditancapkan ke tanah. Jumlah besi bisa 1-2 buah.

Penetapan pH tanah sekarang ini dilakukan dengan elektroda kaca. Elektroda ini terdiri dari
suatu bola kaca tipis yang berisi HCL. encer, dan di dalamnya disisipkan kawat Ag-AgCl, yang
berfungsi sebagai elektrodanya dengan tegangan (voltase) tetap. Pada waktu bola kaca tersebut
itu dicelupkan ke dalam suatu larutan, timbul suatu perbedaan antara larutan di dalam bola dan
larutan tanah di luar bola kaca. Sebelum pengukuran pH dilakukan, kedua elektroda
pertama-tama harus dimasukkan ke dalam suatu larutan yang diketahui pH-nya (misalnya
konsentrasi ion H+ = 1 g/L). Kegiatan ini disebut pembakuan elektroda dan petunjuk pH (pH
meter).

Dalam pengukuran pH, elektroda acuan dan elektroda indikator dicelupkan ke dalam suspensi
tanah yang heterogen yang terdiri atas partikel-partikel padat terdispersi dalam suatu larutan
aquadest. Jika partikel-partikel padat dibiarkan mengendap, pH dapat diukur dalam cairan
supernatant atau dalam endapan (sedimen). Penempatan pasangan elektroda dalam supernatant
biasanya memberikan bacaan pH yang lebih tinggi dari pada penempatan dalam sedimen.
Perbedaan dalam bacaan pH ini disebut pengaruh suspensi. Pengadukan suspensi tanah sebelum
pengukuran tidak akan memecahkan masalah tersebut, karena prosedur ini memberikan bacaan
yang tidak stabil (Hanafiah, 2007).

Jenis tanah masam diantaranya terdapat pada tanah ordo Ultisol. Ultisol dibentuk oleh proses
pelapukan dan pembentukan tanah yang sangat intensif karena berlangsung dalam lingkungan
iklim tropika dan subtropika yang bersuhu panas dan bercurah hujan tinggi dengan vegetasi
klimaksnya hutan rimba. Dalam lingkungan semacam ini reaksi hidrolisis dan asidolisis serta
proses pelindian (leaching) terpacu sangat cepat dan kuat. Asidolisis berlangsung kuat karena air
infiltrasi dan perkolasi mengambil CO2 hasil mineralisasi bahan organik berupa serasah hutan
dan hasil pernafasan akar tumbuhan hutan (Yulnafatmawita, 2008).

Pelapukan masam tanah membebaskan basa dari mineral tanah secara cepat apabila didukung
dengan daya lindi yang kuat maka akan terbentuk tanah yang miskin hara dan Al Fe serta Mn
yang tinggi dapat meracun tanaman. Persoalan akan bertambah berat jika bahan induk tanah
sudah bersifat masam kondisi inilah yang dijumpai di Sumatera.

Tanah ultisol memiliki ciri-ciri sebagai berikut ;


1. pH rendah
2. Kejenuhan Al , Fe dan Mn tinggi
3. Daya jerap terhadap fosfat kuat
4. Kejenuhan basa rendah ; kadar Cu rendah dalam tanah yang berasal dari bahan induk masam
(feksil) atau batuan pasir, Zn cukup namun tereluviasi.
5. Kadar bahan organik rendah dan kadar N rendah
6. Daya simpan air terbatas
7. Kedalaman efektif terbatas
8. Derajat agregasi rendah dan kemantapan agregat lemah baik pada lahan berlereng maupun
datar.
Kerentanan terhadap erosi membuat tanah akan semakin cepat berkurang kesuburannya terutama
pada lapisan atas dan akan terakumulasi di bagian yang lebih rendah (Notohadiprawiro, 2006).

Kekahatan fosfor merupakan salah satu kendala terpenting bagi usaha tani di lahan masam. Hal
ini karena sebagian besar koloid dan mineral tanah yang terkandung dalam tanah Ultisol
mempunyai kemampuan menyemat fosfat cukup tinggi, sehingga sebagian besar fosfat dalam
keadaan tersemat oleh Al dan Fe, tidak tersedia bagi tanaman maupun biota tanah (Hasanudin
dan Ganggo, 2004).

Menurut Subandi (2007) Tanah Ultisol umumnya mempunyai pH rendah yang menyebabkan
kandunganAl, Fe, danMn terlarut tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Jenis tanah ini
biasanya miskin unsur hara esensial makro seperti N, P, K, Ca, dan Mg; unsur hara mikro Zn,
Mo, Cu, dan B, serta bahan organik. Meskipun secara umum tanah Ultisol atau Podsolik Merah
Kuning banyak mengandung Al dapat ditukar (Al-dd) (20-70%), namun hasil
penelitianmenunjukkan bahwa beberapa contoh tanah tersebut mengandung Al-dd relatif rendah
(< 20%). Tanah di KP. Kayu Agung, Indralaya, dan Prabumulih Sumatera Selatan, misalnya,
mempunyai kejenuhan Al-dd berturut-turut 11,08%, 1,01%, dan 17,26%, di Jawa Barat 13,40%
dan 11 dari 28 contoh tanah lapisan atas yang berasal dari Lampung Tengah jugamemiliki
kejenuhanAl-dd yang rendah .

Tekstur tanah ultisol bervariasi, berkisar dari pasiran (sandy) sampai dengan lempungan (clayey)
.Fraksi lempung tanah ini umumnya didominasi oleh mineral silikat tipe 1:1 serta oksida dan
hidroksida Fe danAl , sehingga fraksi lempung tergolong beraktivitas rendah dan dayamemegang
lengas juga rendah. Karena umumnya memiliki kandungan bahan organik rendah dan fraksi
lempungnya beraktivitas rendah maka kapasitas tukar kation tanah (KTK) tanah Podsolik juga
rendah, sehingga relatif kurang kuatmemegang hara tanaman dan karenanya unsur haramudah
tercuci. Tanah Podsolik atau Ultisol termasuk tanah bermuatan terubahkan (variable charge),
sehingga nilai KTK dapat berubah bergantung nilai pH-nya, peningkatan pH akan diikuti oleh
peningkatan KTK ,lebih mampu mengikat hara K dan tidak mudah tercuci.

Ultisols (ultimus-selesai) adalah tanah-tanah yang berwarna kuning merah dan telah mengalami
pencucian yang sudah lanjut. Dikenal luas sebagai podsolik merah kuning. Tanah-tanah ini
mendominasi lahan kering yang ada di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Total luas adalah sekitar
45.79 juta ha atau 24.3 % dari lahan Indonesia dan menyebar di Kalimantan Timur (10.04 juta
ha), Irian Jaya (7.62 juta), Kalimantan Barat (5.71 juta), Kalimantan Tengah (4.81 juta), dan
Riau (2.27 juta ha).

Tanah Oxisols (oxide, oksida) adalah tanah-tanah yang telah mengalami pencucian yang intensif
dan miskin hara, tinggi kandungan AL dan Fe. Seperti halnya Ultisols, mereka mendominasi
lahan kering dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Tanah-tanah ini sudah tua. Total luas
tanah ini sekitar 14.11 juta ha atau 7.5% dari total lahan Indonesia dan menyebar di Sumatera
Selatan (2.82 juta ha), Irian Jaya (2.41 juta), Kalimantan Tengah (2.06 juta), Kalimantan Barat
(1.79 juta), Jambi (1.14 juta), dan Lampung (1.01 juta ha).
Spodosol merupakan tanah mineral yang mempunyai horizon spodik, suatu horizon dalam
dengan akumulasi bahan organic, dan oksidasi aluminium (Al) dengan atau tanpa oksidasi besi
(Fe). Horizon iluvial ini dijumpai dibawah horizon eluviasi, biasanya suatu horizon albik
(berwarna merah muda, dengan demikian memadai bila disebut abu kayu). Umumnya terbentuk
diwilayah iklim humid, dibawah vegetasi hutan basah dan berkembang dari bahan endapan dan
batuan sediment kaya kuarsa yang dipercepat oleh adanya vegetasi yang menghasilkan serasah
asam. Senyawa – senyawa organic tercuci kebawah bersama air perkolasi sehingga tanah
permukaan menjadi berwarna terang, sedang horizon bawah menjadi berwarna gelap karena
terjadinya selaput organic pada butir-butir tanah.

Species tumbuhan yang berkadar ion-ion logam rendah, seperti pinus, kelihatannya merangsang
pertumbuhan spodosol. Dengan membusuknya daun-daun yang rendah kadar ion logamnya,
kemasaman tinggi akan terbentuk. Air perkolasi membawa asam-asam itu kebagian profil tanah
yang lenig dalam. Horizon atas hancur karena pencucian intensif oleh asam. Sebagian besar
mineral, dipindahkan kebagian lebih dalam. Oksida aluminium dan besi serta bahan organic akan
diendapkan di horizon bagian bawah, sehingga menghasilkan profil spodosol yang menarik.

Mengikuti definisi kuantitatif taksonomi tanah, tanah diklasifikasi sebagai spodosol, apabila
memiliki horizon dengan semua sifat berikut : i. Tersementasi dengan kelembaban minimum 10
cm; ii. Terletak langsung dibawah horizon albik, pada 50 % atau lebih dari setiap pedonnya; iii.
Batas atas berada dalam kedalaman <50 cm, apabila kelas besar butirnya berlempung kasar,
skeletal berlempung, atau lebih halus atau <200 cm. Apabila kelas besar butirnya berpasir, dan;
iv. Batas bawah pada kedalaman 25 cm atau lebih, dari permukaan tanah. Dalam hal ini
Spodosol mencakup Tanah-tanah yang disebut : Podzol dan Podzol Air Tanah.

Spodosol adalah Tanah – tanah yang secara unik berkembang dari endapan pasir kuarsa, dan/atau
batu sedimen berupa batu pasir kuarsa. Vegetasi alami yang tumbuh biasanya spesifik jenisnya.
Yaitu vegetasi yang mampu berkembang subur di Tanah masam, seperti kantung Semar dan
Paku-pakuan.

Banyak tanah dari timur laut amerika serikat, termsuk bagian utara michigan dan winconsin yang
dulunya digolongkan sebagai podsol, podsolik coklat dan podsol air tanah termasuk dalam
spodosol. Sebagian dari mereka adalah orthod, suatu spodosol umum. Akan tetapi beberapa
adalah aquod, karena tanah ini selama musim tertentu jenuh dengan air dan mempunyai ciri-ciri
yang berasosiasi dengan kebasahan, seperti akumulasi bahan organik yang tinggi, becak-becak
pada horizon albik dan terbentuknya semacam lapisan keras (duripan) pada horizon albik.
Daerah-daerah dari aquod adalah Florida.

Di Indonesia sendiri penyebaran endapan pasir dan batu pasir kuarsa yang secara geologis sangat
luas, terdapat di kalimantan tengah, serta setempat-setempat di kalimantan barat dan kalimantan
timur. Di pulau lain nampaknya tidak luas penyebaranya dan setempat – setempat terdapat
disulawesi dan sumatra. Landform – nya dimasukkan sebagai dataran tektonik. Lanscape luas
tanah spodosol seluruhnya diperkirakan 2,16 juta ha atau 1,1 % wilayah dataran indonesia.
Penyebaranya paling luas terdapat di kalimantan tengah sekitar 1,51 juta ha, kemudian
dikalimantan barat 0,42 juta dan kalimantan Timur 0,15 juta ha. Di silawesi tengah, tengah,
selatan dan tenggara dipearkirakan terdapat antara 11-25 ribu ha (Himatan, 2006).
Dari empat sub-ordo dalam kelompok spodosol, yang sering kali dibuka untuk pertanian adalah
Haplorthods yaitu spodosol yang terbentuk diwilayah beriklim basah, dengan curah hujan tunggi
dan rezim kelembaban tanah udik dan aquods yaitu spodosol basah atau jenuh air dengan
drainase sangat terhambat dan sering kali mempunyai permukaan air tanah berada dekat dengan
permukaan tanah.

Data dari analisis tanah dari beberapa pedon Spodosol dari kalimantan tengah dan kalimantan
barat menunjukkan bahwa, Spodosol termasuk tanah dengan kelas besar butir berpasir, dengan
kandungan fraksi pasir tinggi (65-96 %). Reaksi tanah menunjukkan masam ekstrem sampai
sangat masam (pH 3,3 – 4,9) di seluruh lapisan tanah, cenderung menaik kelapisan bawah. Pada
permukaan tanah, bisasanya terdapat lapisan bahan organik (Oi dan Oe) tipis (5-10) cm dan
dibawahnya terdapat Horizon Al dengan kandungan bahan organik termasuk sedang sampai
tinggi (3,1 – 9,5)%. Langsung dibawah horizon ini terdapat horizon E, berwarna putih dan putih
kekelabuan, dengan kandungan bahan organik dangat rendah (0,2 – 0,95) %. Rasio C/N
tergolong tinggi (16-35).

Kandungan P dan K-potensial di lapisan atas dan dilapisan bawah, sangat rendah sampai rendah.
Jumlah basa-basa dapat ditukar termasuk sangat rendah (0,2-1,2 cmol (+)/kg tanah). Kandungan
kedua unsur hara ini dilapisan serasah, selalu lebih tinggi dari pada lapisan bawah yang berpasir.
KTK tanah sebagian besar sangat rendah dilapisan pasir, dan agak tinggi sampai tinggi pada
lapisan serasah dan di horizon Bs (sesquioksida). KB semuanya sangat rendah sampai. Potensi
Kesuburan alami Spodosol dengan demikian disimpulkan sangat rendah sampai rendah
penggunaan tanah (Himatan, 2006)

1.2. Tinjauan Umum Kesuburan Tanah

Sebagai sumberdaya alam untuk budidaya tanaman, tanah mempunyai dua fungsi, yaitu : (1)
sebagai sumber penyedia unsur hara dan air, dan (2) tempat akar berjangkar. Salah satu atau
kedua fungsi ini dapat menurun, bahkan hilang.

Hilangnya fungsi inilah yang menyebabkan produkvitas tanah menurun menjadi Tanah Marjinal.
Dengan demikian, Tanah Marjinal untuk budidaya tanaman merupakan tanah yang mempunyai
sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi yang tidak optimal untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman.
Kalau tanah ini diusahakan untuk budidaya tanaman memerlukan masukan teknologi, sehingga
menambah biaya produksi. Selain itu, tanah ini juga tidak mempunyai fungsi ekologis yang baik
terhadap lingkungan.

Tanah Marjinal dapat terbentuk secara alami dan antropogenik (ulah manusia). Secara alami
(pengaruh lingkungan) yang disebabkan proses pembentukan tanah terhambat atau tanah yang
terbentuk tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Misalnya, bahan induk yang keras dan asam,
kekurangan air, suhu yang dingin/membeku, tergenang dan akumulasi bahan gambut, fraksi
tanah yang dihasilkan didominasi oleh pasir, pengaruh salinisasi/penggaraman.

Tanah Marjinal yang dimaksudkan adalah tanah yang terbentuk secara alami, bukan tanah yang
menjadi marjinal karena antropogenik. Dari 12 ordo tanah di dunia (Alfisols, Andisols, Aridisols,
Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols, Mollisols, Oxisols, Spodosols, Ultisol, dan Vertisols)
yang tergolong Tanah Marjinal antara lain adalah : Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols,
Inceptisols, dan Ultisols.

Secara antropogenik adalah karena ulah manusia yang memanfaatkan sumberdaya alam yang
tidak terkendali, sehingga terjadi kerusakan ekosistem. Misalnya, deforestasi dan degradasi
hutan, eksploitasi deposit bahan tambang, terungkapnya unsur atau senyawa beracun bagi
tanaman, pengeringan ekstrem pada tanah gambut, serta kebakaran. Deforestasi dan degradasi
hutan menyebabkan terjadinya erosi yang dipercepat dan punahnya organisme yang berperan
dalam pembentukan tanah T = ƒ (i, b, r, o, w).

Aliran permukaan yang berasal dari curah hujan akan mengikis lapisan permukaan yang
merupakan bagian tersubur dari tanah. Fraksi tanah yang dahulu diangkut adalah yang halus dan
ringan yaitu liat dan humus. Kedua fraksi ini sangat berperan dalam menentukan kesuburan
tanah, karena merupakan kompleks petukaran ion dan penahan unsur hara. Dalam sedimen yang
terangkut pada peristiwa erosi terdapat juga berbagai unsur hara dan bahan organik. Oleh karena
itu, tanah yang mengalami erosi akan menurun produktivitasnya menjadi tanah marjinal yang
kalau erosi selanjutnya tidak dikendalikan, tanah tersebut akan menjadi lahan kritis.

Luas lahan kritis di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat, sejalan dengan semakin
mengganasnya deforestasi dan degradasi hutan serta belum diterapkannya teknologi konservasi
tanah yang memadai, terutama pada areal budidaya tanaman pada lahan berlereng. Dari hasil
survei Direktorat Kehutanan tahun 1985 pada 75 DAS (sebagian dari jumlah DAS di Indonesia)
jumlah lahan kritis telah mencapai 16 juta ha dan meningkat 2,5 % / tahun. Sedangkan dari
laporan Suranggajiwa (1975) luas lahan kritis pada seluruh DAS di Indonesia mencapai 30 juta
ha dan meningkat 2 % / tahun. Dapat diprediksi betapa luasnya lahan kritis di Indonesia saat ini.

Produktivitas tanah merupakan kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tertentu
suatu tanaman dibawah suatu sistem pengelolaan tanah tertentu. Suatu tanah atau lahan dapat
menghasilkan suatu produk tanaman yang baik dan menguntungkan maka tanah dikatakan
produktif. Produktivitas tanah merupakan perwujudan darifaktor tanah dan non tanah yang
mempengaruhi hasil tanaman.

Tanah produktif harus mempuyai kesuburan yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.
Akan tetapi tanah subur tidak selalu berarti produktif. Tanah subur akan produktif jika dikelaola
dengan tepat, menggunakan jenis tanaman dan teknik pengelolaan yang sesuai. Kesuburan tanah
adalah kemampuan atau kualitas suatu tanah menyediakan unsur hara tanaman dalam jumlah
yang mencukupi kebutuhan tanaman, dalam bentuk senyawa-senyawa yang dapat dimanfaatkan
tanaman dan dalam perimbangan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman tertentu dengan
didukung oleh faktor pertumbuhan lainnya (Yuwono dan Rosmarkam 2008).

Tanah yang sehat akan memberikan sumbangan yang besar tehadap kualitas tanah. Kualitas
tanah dapat sebagai sifat atau atribut inherent tanah yang dapat digambarkan dari sifat-sifat tanah
atau hasil observasi tidak langsung, dan sebagai kemampuan tanah untuk menampakkan fungsi-
fungsi produktivitas lingkungan dan kesehatan.

Winarso (2005) menjelaskan bahwa pengukuran kualitas tanah merupakan dasar untuk penilaian
keberlanjutan pengelolaan tanah yang dapat diandalkan untuk masa-masa yang akan datang,
karena dapat dipakai sebagai alat untuk menilai pengaruh pengelolaan lahan. Pada umumnya
proses degradasi tanah dalam sistem pertanian dapat disebabkan oleh erosi, pemadatan,
penurunan ketersediaan hara atau penurunan kesuburan, kehilangan bahan organik tanah dan lain
lain.

Aryantha (2002) menjelaskan ada tiga konsep untuk memperbaiki kesuburan tanah yaitu yang
berwawasan lingkungan atau berkelanjutan adalah Low External Input Agriculture (LEIA) dan
Low Ezternal Input Sustainable Agriculture (LEISA), dan pertanian modren yang tergantung
dengan bahan kimia adalah High External Input Agriculture (HEIA)

LEIA adalah sistem yang memanfaatkan sumberdaya lokal yang sangat intensif dengan sedikit
atau sama sekali tidak menggunakan masukan dari luar sehingga tidak terjadi kerusakan
sumberdaya alam. Pendauran hara di dalam usahatani dengan sumber-sumber yang berasal dari
luar usaha tani. Kegiatan ini berguna untuk menambahkan hara kepada tanah dari luar usaha tani.
Bahan-bahan yang digunakan: sampah, kompos, limbah, dll. Pendauran hara di dalam usaha tani
dengan sumber-sumber yang berasal dari usaha tani itu sendiri. Pendauran ini dapat dilewatkan
dengan ternak atau pengembalian sisa-sisa biomassa hasil panen. Cara ini tidak menambahkan
hara kepada tanah, tetapi hanya mengembalikan hara yang tidak terangkut ke luar bersama
dengan hasil panen . Pendauran hara di dalam petak pertanaman. Kegiatan ini biasanya
melibatkan tanaman legum (cover crop) untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan N pada
tanaman pokok.

HEIA adalah Merupakan sistem pertanian yang menggunakan masukan dari luar (secara
berlebihan). Umumnya berupa bahan-bahan agrokimia konvensional yang memang disengaja
dibuat untuk input produksi. Sistem ini sangat tergantung senyawa kimia sintetis (pupuk,
pestisida, zat pengatur tumbuh). Dapat berpengaruh buruh pada keseimbangan lingkungan dan
kesehatan manusia .

LEISA adalah Pertanian dengan masukan rendah tetapi mengoptimalkan pemanfaatan


sumberdaya alam (tanah, air, tumbuhan dan hewan), manusia (tenaga, pengetahuan dan
keterampilan) yang tersedia ditempat dan layak secara ekonomis, mantap secara ekologis, adil
secara sosial dan sesuai dengan budaya lokal. Ciri-ciri sitem ini (a) berusaha mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya lokal dengan mengkombinasikan berbagai komponen sistem usahatani
(tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia) sehingga saling melengkapi dan memberikan
efek sinergi yang luar biasa,(b) berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal
dengan mengkombinasikan berbagai komponen sistem usahatani (tanaman, hewan, tanah, air,
iklim dan manusia) sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang luar biasa.

Prinsip dasar LEISA adalah menjamin kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman,
khususnya dengan mengelola bahan organik dan meningkatkan kehidupan mikroorganisme di
dalam tanah (soil regenerator), mengoptimalkan ketersediaan dan menyeimbangkan aliran unsur
hara, khususnya melalui penambatan Nitrogen, pendaur ulangan unsur hara dan pemanfaatan
pupuk luar sebagai pelengkap,, meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara
dan air dengan pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air dan pengendalian erosi, saling
melengkapi dan sinergi dalam penggunaan sumberdaya genetik yang mencakup penggabungan
dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat keanekaragaman fungisonal tinggi .

1.3. Kualitas dan Karekteristik Lahan

Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau attribute yang bersifat kompleks dari sebidang
lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan ( performance) yang berpengaruh terhadap
kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik
lahan (land characteristics ). Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung
di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik lahan (FAO, 1976).

Sitorus (1985) menjelaskan ada empat kelompok kualitas lahan utama : (a) Kualitas lahan
ekologis yang berhubungan dengan kebutuhan tumbuhan seperti ketersediaan air, oksigen, unsur
hara dan radiasi (b) Kualitas yang berhubungan dengan kualitas pengelolaan normal, seperti
kemungkinan untuk mekanisasi pertanian (c) Kualitas yang berhubungan dengan kemungkinan
perubahan, seperti respon terhadap pemupukan, kemungkinan untuk irigasi dan lain-lain (d)
Kualitas konservasi yang berhubungan dengan erosi.

Karakteristik lahan yang erat kaitannya untuk keperluan evaluasi lahan dapat dikelompokkan ke
dalam 3 faktor utama, yaitu topografi, tanah dan iklim. Karakteristik lahan tersebut terutama
topografi dan tanah) merupakan unsur pembentuk satuan peta tanah (Ritung,2003).

Topografi yang dipertimbangkan dalam evaluasi lahan adalah bentuk wilayah


(relief) atau lereng dan ketinggian tempat di atas permukaan laut. Relief erat hubungannya
dengan faktor pengelolaan lahan dan bahaya erosi. Sedangkan faktor ketinggian tempat di atas
permukaan laut berkaitan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang berhubungan dengan
temperatur udara dan radiasi matahari.

Ketinggian tempat diukur dari permukaan laut (dpl) sebagai titik nol. Dalam kaitannya dengan
tanaman, secara umum sering dibedakan antara dataran rendah (<700> 700 m dpl.). Namun
dalam kesesuaian tanaman terhadap ketinggian tempat berkaitan erat dengan temperatur dan
radiasi matahari. Semakin tinggi tempat di atas permukaan laut, maka temperatur semakin
menurun. Demikian pula dengan radiasi matahari cenderung menurun dengan semakin tinggi
dari permukaan laut. Ketinggian tempat dapat dikelaskan sesuai kebutuhan tanaman. Misalnya
tanaman teh dan kina lebih sesuai pada daerah dingin atau daerah dataran tinggi. Sedangkan
tanaman karet, sawit, dan kelapa lebih sesuai di daerah dataran rendah.

Iklim sebagai salah satu faktor lingkungan fisik yang sangat penting dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman. Bebrapa unsur iklim yang penting adalah curah hujan, suhu, dan
kelembaban. Di daerah tropika umumnya radiasi tinggi pada musim kemarau dan rendah pada
musim penghujan. Namun demikian mengingat sifat saling berkaitan antara unsur iklim satu
dengan yang lainnya, maka dalam uraian iklim ini akan diuraikan unsur-unsur iklim yang yang
berkaitan dengan pertumbuhan tanaman.

Tanaman kina dan kopi, misalnya, menyukai dataran tinggi atau suhu rendah, sedangkan karet,
kelapa sawit dan kelapa sesuai untuk dataran rendah. Pada daerah yang data suhu udaranya tidak
tersedia, suhu udara diperkirakan berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut. Semakin
tinggi tempat, semakin rendah suhu udara rata-ratanya dan hubungan ini dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Braak (1928): 26,3 C (0,01 x elevasi dalam meter x 0,6 C) Suhu udara rata-
rata di tepi pantai berkisar antara 25-27 C.

Data curah hujan diperoleh dari hasil pengukuran stasiun penakar hujan yang
ditempatkan pada suatu lokasi yang dianggap dapat mewakili suatu wilayah tertentu. Pengukuran
curah hujan dapat dilakukan secara manual dan otomatis. Secara manual biasanya dicatat
besarnya jumlah curah hujan yang terjadi selama 1(satu) hari, yang kemudian dijumlahkan
menjadi bulanan dan seterusnya tahunan. Sedangkan secara otomatis menggunakan alat-alat
khusus yang dapat mencatat kejadian hujan setiap periode tertentu, misalnya setiap menit, setiap
jam, dan seterusnya.

Untuk keperluan penilaian kesesuaian lahan biasanya dinyatakan dalam jumlah curah hujan
tahunan, jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah. Oldeman (1975) mengelompokkan
wilayah berdasarkan jumlah bulan basah dan bulan kering berturut-turut. Bulan basah adalah
bulan yang mempunyai curah hujan >200 mm, sedangkan bulan kering mempunyai curah hujan
<100 mm. Kriteria ini lebih diperuntukkan bagi tanaman pangan, terutama untuk padi.

Berdasarkan kriteria tersebut Oldeman (1975) membagi zone agroklimat kedalam 5 kelas utama
(A, B, C, D dan E). Sedangkan Schmidt & Ferguson (1951) membuat klasifikasi iklim
berdasarkan curah hujan yang berbeda, yakni bulan basah (>100 mm) dan bulan kering (<60
mm). Kriteria yang terakhir lebih bersifat umum untuk pertanian dan biasanya digunakan untuk
penilaian tanaman tahunan.

Faktor tanah dalam evaluasi kesesuaian lahan ditentukan oleh beberapa sifat atau karakteristik
tanah di antaranya jenis tanah, drainase tanah, tekstur, kedalaman tanah dan retensi hara (pH,
KTK), serta beberapa sifat lainnya diantaranya alkalinitas, bahaya erosi, dan banjir/genangan.
Data jenis tanah dapat di lihat melalui peta satuan lahan khusus jenis tanah, seperti contoh peta
jenis tanah propinsi Jambi Kabupaten Muaro Jambi.

Drainase tanah menunjukkan kecepatan meresapnya air dari tanah atau keadaan tanah yang
menunjukkan lamanya dan seringnya jenuh air. Kelas drainase tanah disajikan pada Tabel 5.
Kelas drainase tanah yang sesuai untuk sebagian besar tanaman, terutama tanaman tahunan atau
perkebunan berada pada kelas 3 dan 4. Drainase tanah kelas 1 dan 2 serta kelas 5, 6 dan 7 kurang
sesuai untuk tanaman tahunan karena kelas 1 dan 2 sangat mudah meloloskan air, sedangkan
kelas 5, 6 dan 7 sering jenuh air dan kekurangan oksigen.

Tekstur merupakan komposisi partikel tanah halus (diameter 2 mm) yaitu pasir, debu dan liat.
Tekstur dapat ditentukan di lapangan seperti disajikan pada Tabel 4, atau berdasarkan data hasil
analisis di laboratorium dan menggunakan segitiga tekstur . Pengelompokan kelas tekstur adalah:
Halus (h) : Liat berpasir, liat, liat berdebu. Agak halus (ah) : Lempung berliat, lempung liat
berpasir, lempung liat berdebu. Sedang (s) : Lempung berpasir sangat halus, lempung,
lempungberdebu, debu. Agak kasar (ak) : Lempung berpasir. Kasar (k) : Pasir, pasir berlempung.
Sangat halus (sh) : Liat (tipe mineral liat 2:1).

Bahan kasar adalah persentasi kerikil, kerakal atau batuan pada setiap lapisan
tanah, dibedakan menjadi: sedikit : <> 60 %. Ketebalan gambut, dibedakan menjadi: tipis : <>
400 cm.

Karakteristik Kelas Drainase Tanah

1. Cepat (excessively drained):


Tanah mempunyai konduktivitas hidrolik tinggi sampai sangat tinggi dan dayamenahan air
rendah. Tanah demikian tidak cocok untuk tanaman tanpa irigasi.Ciri yang dapat diketahui di
lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpabercak atau karatan besi dan aluminium serta
warna gley (reduksi).

2. Agak cepat (somewhat excessively drained):


Tanah mempunyai konduktivitas hidrolik tinggi dan daya menahan air rendah.Tanah demikian
hanya cocok untuk sebagian tanaman kalau tanpa irigasi. Ciri yang dapat diketahui di lapangan,
yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi dan aluminium serta warna gley
(reduksi).

3. Baik (well drained):


Tanah mempunyai konduktivitas hidrolik sedang dan daya menahan air sedang, lembab, tapi
tidak cukup basah dekat permukaan. Tanah demikian cocok untuk berbagai tanaman. Ciri yang
dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi
dan/atau mangan serta warna gley (reduksi) pada lapisan 0 sampai 100 cm.

4. Agak baik (moderately well drained):


Tanah mempunyai konduktivitas hidrolik sedang sampai agak rendah dan daya menahan air (pori
air tersedia) rendah, tanah basah dekat permukaan. Tanah demikian cocok untuk berbagai
tanaman. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak
atau karatan besi dan/atau mangan serta warna gley (reduksi) pada lapisan 0 sampai 50 cm.

5. Agak terhambat (somewhat poorly drained):


Tanah mempunyai konduktivitas hidrolik agak rendah dan daya menahan air (pori air tersedia)
rendah sampai sangat rendah, tanah basah sampai ke permukaan. Tanah demikian cocok untuk
padi sawah dan sebagian kecil tanaman lainnya. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu
tanah berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi dan/atau mangan serta warna
gley(reduksi) pada lapisan 0 sampai 25 cm.

6. Terhambat (poorly drained):


Tanah mempunyai konduktivitas hidrolik rendah dan daya menahan air (pori air tersedia) rendah
sampai sangat rendah, tanah basah untuk waktu yang ke cukup lama sampai permukaan. Tanah
kemikian cocok untuk padi sawah dan sebagian kecil tanaman lainnya. Ciri yang dapat diketahui
di lapangan, yaitu tanah mempunyai warna gley (reduksi) dan bercak atau karatan besidan/atau
mangan sedikit pada lapisan sampai permukaan.

7. Sangat terhambat (very poorly drained):


Tanah dengan konduktivitas hidrolik sangat rendah dan daya menahan air (pori air tersedia)
sangat rendah, tanah basah secara permanen dan tergenang untuk waktu yang cukup lama sampai
ke permukaan. Tanah demikian cocok untuk padi sawah dan sebagian kecil tanaman lainnya.
Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah mempunyai warna gley (reduksi) permanen
sampai pada lapisan permukaan.

Tingkat bahaya erosi dapat diprediksi berdasarkan kondisi lapangan, yaitu dengan cara
memperhatikan adanya erosi lembar permukaan (sheet erosion), erosi alur (rill erosion), dan
erosi parit (gully erosion). Pendekatan lain untuk memprediksi tingkat bahaya erosi yang relatif
lebih mudah dilakukan adalah dengan memperhatikan permukaan tanah yang hilang (rata-rata)
pertahun, dibandingkan tanah yang tidak tererosi yang dicirikan oleh masih adanya horizon A.
Horizon A biasanya dicirikan oleh warna gelap karena relative mengandung bahan organik yang
lebih tinggi.

Pustaka:

Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1) Dasar-
Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, (3) Teknologi Pupuk Hayati, dan (4) Pengelolaan
Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri & Program Pascasarjana Unsri.
http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

II. Permasalahan Pada Tanah Mineral Masam

Tanah masam di Indonesia memiliki ciri-ciri tekstur lempungan, struktur gumpal, permeabilitas
rendah, stabilitas agregat baik, pH rendah, KPK rendah, aras N, P, Ca, Mg sangat rendah,
vegetasi alami alang-alang (Imperata cylindrica) dan hutan (Hardjowigeno, 1993), fraksi
lempung didominasi oleh mineral-mineral bermuatan terubahkan seperti kaolinit, gibsit dan atau
goetit (Ismail et al., 1993). Tanah ini di Indonesia terbentuk di daerah yang bercurah hujan tinggi
(2500-3000 mm per tahun), topografi berombak hingga berbukit dengan ketinggian 50-350 mm
di atas muka air laut, batuan induk granit, abu vulkan atau andesit .

Pengelolaan tanah-tanah mineral masam untuk kepentingan pertanian menghadapi kendala pH


yang rendah, keracunan Al, Mn, dan/atau Fe, serta kekahatan unsur-unsur hara penting seperti N,
P, Ca, dan atau Mg dan Mo . Upaya untuk mengatasi persoalan kesuburan tanah-tanah masam
adalah dengan mengkombinasikan antara praktek usaha tani dengan penerapan bioteknologi
tanah yang menekankan pada komponen mengamankan suplai N di dalam sistem tanah-tanaman
dengan pengayaan fiksasi N2 secara biologis (Notohadiprawiro, 1990). Teknologi ini mencakup
segala upaya untuk memanipulasi jasad renik dalam tanah dan proses metabolik mereka untuk
mengoptimumkan produktivitas pertanaman.

Lahan kering tergolong suboptimal karena tanahnya kurang subur, bereaksi masam, mengandung
Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Lahan masam pada
umumnya miskin bahan organik dan hara makro N, P, K, Ca, dan Mg. Pemberian bahan
ameliorasi kapur, bahan organik, dan pemupukan N, P, dan K merupakan kunci untuk
memperbaiki kesuburan lahan kering masam.

Usaha pertanian di tanah Ultisol akan menghadapi sejumlah permasalahan.Tanah Ultisol


umumnya mempunyai pH rendah yang menyebabkan kandunganAl, Fe, dan Mn terlarut tinggi
sehingga dapat meracuni tanaman. Jenis tanah ini biasanya miskin unsur hara esensial makro
seperti N, P, K, Ca, dan Mg; unsur hara mikro Zn, Mo, Cu, dan B, serta bahan organik .
Meskipun secara umum tanah Ultisol atau Podsolik Merah Kuning banyak mengandung Al dapat
ditukar (Al-dd) (20-70%), namun hasil penelitianmenunjukkan bahwa beberapa contoh tanah
tersebut mengandung Al-dd relatif rendah (< 20%).

Tanah di KP. Kayu Agung, Indralaya, dan Prabumulih Sumatera Selatan, misalnya, mempunyai
kejenuhan Al-dd berturut-turut 11,08%, 1,01%, dan 17,26% di Jawa Barat 13,40% dan 11 dari
28 contoh tanah lapisan atas yang berasal dari Lampung Tengah jugamemiliki kejenuhanAl-dd
yang rendah (Taufiq et al. 2003).

Tekstur tanah ultisol bervariasi, berkisar dari pasiran (sandy) sampai dengan lempungan
(clayey). Fraksi lempung tanah ini umumnya didominasi oleh mineral silikat tipe 1:1 serta oksida
dan hidroksida Fe danAl, sehingga fraksi lempung tergolong beraktivitas rendah dan
dayamemegang lengas juga rendah. Karena umumnya memiliki kandungan bahan organik
rendah dan fraksi lempungnya beraktivitas rendah maka kapasitas tukar kation tanah (KTK)
tanah Podsolik juga rendah, sehingga relatif kurang kuatmemegang hara tanaman dan karenanya
unsur haramudah tercuci. Tanah Podsolik atau Ultisol termasuk tanah bermuatan terubahkan
(variable charge), sehingga nilai KTK dapat berubah bergantung nilai pH-nya, peningkatan pH
akan diikuti oleh peningkatan KTK, lebih mampu mengikat hara K dan tidak mudah tercuci
(Subandi, 2007).

Memperhatikan permasalahan yang dihadapi pada lahan kering masam seperti yang disebutkan
di depan, maka dalam pengelolaannya untuk pertanaman, secara teknis, terdapat dua pendekatan
pokok yakni pemilihan jenis komoditas atau varietas yang adaptif serta perbaikan kesuburan
tanah dengan ameliorasi dan pemupukan.
Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar dan tersebar di
Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara (Soebagyo,et al.,
2004; Hidayat dan Mulyani, 2005). Salah satu ordo tanah yang cukup luas penyebarannya adalah
Ultisols. Ditinjau dari luasnya, Ultisol mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan
pertanian lahan kering. Namun demikian, pemanfaatan lahan ini menghadapi kendala
karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman terutama tanaman pangan bila
tidak dikelola dengan baik. Beberapa kendala sifat fisik tanah yang sering dijumpai antara lain
adalah kemantapan agregat yang rendah, tanah mudah menjadi padat dan permeabilitas tanah
yang lambat.

Pada umumnya lahan kering masam didominasi oleh tanah Ultisol, yang dicirikan oleh kapasitas
tukar kation (KTK) dan kemampuan memegang/menyimpan air yang rendah, tetapi kadar Al dan
Mn tinggi. Oleh karena itu, kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kadar
bahan organik pada lapisan atas, dan bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin hara dan
bahan organik. Di samping itu, kekahatan fosfor merupakan salah satu kendala terpenting bagi
usaha tani di lahan masam. Hal ini karena sebagian besar koloid dan mineral tanah yang
terkandung dalam tanah Ultisol mempunyai kemampuan menyemat fosfat cukup tinggi, sehingga
sebagian besar fosfat dalam keadaan tersemat oleh Al dan Fe, tidak tersedia bagi tanaman
maupun biota tanah (Notohadiprawiro, 2006).

Kendala pengembangan lahan Podzolik Merah Kuning beriklim basah dengan topograsi
bergelombang cukup kompleks. Kesalahan dalam pengelolaan merupakan penyebab degradasi
lahan yang mendasar. Di daerah tropika basah yang topografinya bervariasi dari datar,
bergelombang hingga bergunung, erosi tanah merupakan salah satu penyebab degradasi lahan
yang dominan disamping penyebab lain seperti pencucian hara dan akumulasi unsur-unsur
beracun.

Lahan kering Podzolik Merah Kuning beriklim basah didominasi oleh tanah masam PMK
dengan bahan induk yang miskin unsur hara (Partohardjono et al, 1994). Oleh karena itu lahan
ini tergolong lahan marginal yang tingkat produktivitasnya rendah. Kesuburan tanah ini secara
alamiah sangat tergantung pada lapisan atas yang kaya bahan organik tetapi bersifat labil. Kalau
lahan ini diolah untuk budidaya, kandungan bahan organik yang memadai, produktivitas lahan
cepat pula menurun dan akhirnya menjadi lahan kritis.

Tanaman yang dibudidayakan pada lahan kering PMK yang krits tidak mampu berproduksi
secara optimal jika dikelola secara konvensional (Hakim et al, 1997). Sedangkan pembuatan
teras dan galengan memerlukan biaya yang tinggi dan petani tidak memiliki cukup biaya.

Sifat kimia dan fisika tanah PMK yang jelek merupakan kendala misalnya tanah yang bereaksi
masam sampai sangat masam. Kandungan dan kejenuhan aluminiumnya tinggi yang dapat
meracuni tanaman dan daya fiksasi yang tinggi terhadap Phospor.

Kandungan bahan organik, KTK dan kejenuhan basahnya umumnya rendah. Mineral liat
umumnya didominasi oleh kaolinit yang tidak banyak memberikan sumbangan terhadap
kesuburan tanah serta sebagian besar tanah ini mempunyai kapasitas memegang air yang rendah
dan peka terhadap erosi (Arief dan Irman, 1997). Dampak langsung dari wilayah yang
mengalami erosi adalah terjadinya suatu areal yang secara bertahap menjadi tandus dengan
konsekuensi penduduk yang tinggal disekitarnya akan menjadi miskin (Pandang dan Subandi,
1997).

Mineral Kaolin telah lama dikenal akan reaktivitasnya terhadap fosfat, karena kaolin merupakan
mineral lempung yang merajai terutama pada tanah-tanah mineral masam seperti Ultisols,
Alfisols dan Oxisols maka reaktivitasnya terhadap fosfat perlu dipertimbangkan sebagai landasan
pengelolaan P pada tanah-tanah ini. Wild (1950) melakukan penelitian tentang reaksi fosfat
dengan lempung alumino-silikat dan berkesimpulan bahwa montmorillonit dan kaolinit menjerap
P dalam jumlah yang hampir sama apabila ukuran partikelnya serupa. Ia mengusulkan dua
mekanisme retensi P oleh mineral-mineral lempung, yaitu pertukaran ion fosfat dengan gugus
hidroksil pada lapisan gibbsite dan/atau sebagai anion tertukarkan yang mengimbangi muatan
positif hasil protonasi ion. Muljadi et al. (1966) berkesimpulan bahwa isotherm retensi P adalah
sama untuk kaolinit, gibbsite dan pseudoboehmite, perbedaannya adalah pada jumlah tapak
retensi.

Oksida-oksida besi dan aluminium maupun lempung aluminosilikat, yang merupakan komponen
utama fraksi lempung tanah-tanah mineral masam, mampu menjerap P. Meskipun demikian
perlu disadari bahwa terdapat perbedaan kekuatan ikatan retensi yang bersumber pada perbedaan
sifat ikatan antara anion fosfat dengan oksida-oksida besi dan lempung alumino silikat.
Perbedaan ini akan menimbulkan perilaku dan tanggapan yang berbeda terhadap perlakuan
pemberian fosfat ke dalam tanah sebagai pupuk. Dalam hubungan ini nisbah antara oksida besi
dan lempung silikat perlu dipertimbangkan sebagai dasar pengelolaan P terutama pada tanah-
tanah mineral masam. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kemampuan retensi P dari
kaolin dan oksida-oksida besi yang diperoleh dari tanah-tanah mineral masam di Indonesia.

Tanaman kedelai mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan di tanah Ultisol
asal dibarengi dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Umumnya tanah tersebut
mempunyai pH yang sangat masam hingga agak masam, yaitu sekitar 4.1-5.5, jumlah basa-basa
dapat ditukar tergolong rendah hingga sedang dengan komplek adsorpsi didominasi oleh Al, dan
hanya sedikit mengandung kation Ca dan Mg. Kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa
(KB) lapisan atas tanah umumnya rendah hingga sedang (Subagyo et al., 2000).

Kekahatan kalium merupakan kendala yang sangat penting dan sering terjadi di tanah Ultisol.
Masalah tersebut erat kaitannya dengan bahan induk tanah yang miskin K, hara kalium yang
mudah tercuci karena KTK tanah rendah, dan curah hujan yang tinggi di daerah tropika basah
sehingga K banyak yang tercuci. Upaya untuk meningkatkan produksi kedelai di tanah masam
dapat dilakukan melalui pengelolaan tanaman yang sesuai dan manipulasi tanah yang tepat.
Pemupukan kalium memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan produksi
kedelai di tanah Ultisol. Hara kalium merupakan hara makro bagi tanaman yang dibutuhkan
dalam jumlah banyak setelah N dan P (Nursyamsi,2006)

Pustaka:
Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1) Dasar-
Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, (3) Teknologi Pupuk Hayati, dan (4) Pengelolaan
Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri & Program Pascasarjana Unsri.
http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

III. Perkembangan Penelitian Tanah Mineral Masam

Hasil penelitian Arimurti et al (2006) menunjukkan bahwa tanah tersebut mempunyai sifat yang
sangat masam (pH 4,2), hal ini dapat disebabkan tanah tersebut mempunyai kapasitas tukar
kation yang tinggi dan mempunyai kejenuhan basa rendah dan bereaksi masam (Sanchez, 1976).
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa tanah ini mempunyai sifat berikut: C tinggi, N sangat
rendah, P tersedia dan P total yang sangat rendah.

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa perlakuan bakteri pelarut fosfat (BPF) mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman jagung pada tanah masam, yang tampak pada parameter tinggi tanaman
10 dan 45 HST, berat basah trubus, berat kering trubus, berat basah akar, berat kering akar, luas
daun serta kadar P trubus. Perlakuan dengan pupuk P ternyata mampu meningkatkan
pertumbuhan hanya pada parameter tinggi tanaman 10 dan 17 HST serta kadar P trubus.
Perlakuan masing-masing SP-36 maupun rock fosfat sama baiknya dalam meningkatkan tinggi
tanaman 10 dan 17 HST serta kadar P trubus. Perlakuan kombinasi pupuk P dengan BPF dapat
meningkatkan pertumbuhan yang tampak pada parameter berat kering trubus. Semua kombinasi
perlakuan jenis pupuk P dengan BPF sama baiknya dalam meningkatkan berat kering trubus
pada tanah masam.

Hasanudin (2003) melakukan penelitian tentang ketersediaan dan serapan P pada tanaman
jagung di tanah ultisol melalui inokulasi mikoriza dan pemberian bahan organik. Terlihat bahwa
ketersediaan P dan serapan P meningkat dengan perlakuan tersebut diikuti pula peningkatan pada
ketersediaan N serta hasil tanaman jagung.

Hasil penelitian Joy (2005) bahwa pada tanah masam terjadi penurunan kandungan Al-dd tanah
dan peningkatan kandungan P-tersedia tanah dipengaruhi oleh interaksi antara takaran P-alam
dengan jenis kapur, sedangkan peningkatan nilai pH tanah dipengaruhi oleh efek mandiri P-alam
dan jenis kapur. Pengapuran dengan dolomit meningkatkan pH tanah lebih tinggi dibandingkan
pengapuran dengan kalsit. Secara umum, semakin tinggi takaran P-alam, semakin tinggi pula
nilai pH tanah.

Peningkatan takaran P- alam akan menurunkan kandungan Al-dd tanah, terutama jika
dikombinasikan dengan kapur, baik kalsit maupun dolomit. Efek peningkatan takaran P-alam
juga berpengaruh terhadap peningkatan kandungan Ptersedia tanah pada setiap level pengapuran.
Meningkatnya nilai pH tanah menyebabkan penurunan kandungan Al-dd tanah sedangkan
penurunan nilai Al-dd tanah akan meningkatkan kandungan P-tersedia tanah.

Penelitian Siradz (2003) memperlihatkan bahwa baik mineral lempung golongan kaolin maupun
oksida-oksida besi mampu menjerap P. Kapasitas retensi P dari oksida-oksida besi sekitar 10 kali
lipat lebih besar dari kaolin, tetapi keberadaan kaolin di dalam tanah-tanah mineral masam
sekitar 18 kali lipat dibandingkan dengan oksida besi. Oleh karena itu sebenarnya jumlah P yang
dijerap oleh kaolin jauh lebih besar dibandingkan dengan oksida-oksida besi.

Tanah Latosol merupakan tanah yang telah mengalami pelapukan yang intensif, bereaksi asam
dan terjadi pencucian yang kuat terutama basabasa K, Ca dan Mg. Kendala lain untuk budidaya
pertanian adalah kekurangan unsur hara P akibat terjadinya fiksasi oleh mineral lempung kaolinit
dan ion-ion Fe dan A1 akibat pH yang rendah. Hasil penelitian Sumaryo dan Suryono (2000)
tentang pengaruh pupuk P dan Dolomit pada hasil tanaman kacang tanah di tanah latosol
menunjukkan bahwa pengaruh sangat nyata dari dosis pupuk dolomit pada semua parameter
yang diamati dikarenakan pemberian dolomit dapat menambah unsur hara Ca dan Mg yang di
dalam tanah Latosol sangat rendah sampai rendah serta dimungkinkan dapat memperbaiki sifat
fisik dan kimia tanah.

Ultisol merupakan tanah terluas dari seluruh lahan kering yang ada di Propinsi Jambi yang
mempunyai potensi besar untuk untuk dijadikan lahan pertanian produktif yang berkelanjutan
dan menunjang program ketahan pangan nasional. Salah satu kendala adalah permeabilitas tanah
yang lambat. Penelitian Junedi (2008) menunjukkan bahwa untuk memperbaiki permeabilitas
tanah dapat dilakukan dengan penambahan kompos jerami padi saja, kapur saja maupun
diberikan secara bersama-sama.

Pemberian kompos jerami padi 20 ton-1 ha masih mampu meningkatan permeabilitas tanah,
demikian pula dengan pemberian kapur sampai 2xAldd. Akan tetapi jika kompos jerami padi
diberikan bersama sama dengan kapur maka pemberian 10 ton-1 hakompos jerami padi dan
1xAldd kapur sudah mampu meningkatkan permeabilitas tanah.

Penelitian Bertam et al (2005) pada tanah masam di Bengkulu dengan seri tanah Kandanglimun
Bengkulu yang memiliki pH sangat masam, kadar bahan organik rendah sampai sedang, kadar N
total rendah, kadar P tersedia sangat rendah, Ca tertukar rendah, Mg dan K tertukar rendah ,
KTK rendah dan tekstur silt loam . Diberi perlakuan dengan inokulasi mikoriza dan rhizobia
indigeneus pada beberapa varietas kedelai , memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan
kesuburan tanah yang ditandai dengan meningkatnya N total, P tersedia, KTK , pH meningkat ke
arah netral, serta terjadi peningkatan pertumbuhan dan produksi kedelai jika dibandingkan
dengan kontrol.

Hasil penelitian Wulandari (2001) pada tanah ultisol menjelaskan bahwa inokulasi bakteri
pelarut fosfat jenis Pseudomonas diminuta dan Pseudomonas cepaceae yang diikuti dengan
pemberian pupuk fosfat dapat meningkatkan ketersediaan fosfat dan meningkatkan produksi
tanaman kedelai serta meningkatkan efisiensi pupuk P yang digunakan. Pelarutan fosfat oleh
Pseudomonas didahului dengan sekresi asam-asam organik, diantaranya asam sitrat, glutamat,
suksinat, laktat, oksalat, glioksilat, malat, fumarat. Hasil sekresi tersebut akan berfungsi sebagai
katalisator, pengkelat dan memungkinkan asam-asam organik tersebut membentuk senyawa
kompleks dengan kationkation Ca2+, Mg2+, Fe2+, dan Al3+ sehingga terjadi pelarutan fosfat
menjadi bentuk tersedia yang dapat diserap oleh tanaman.

Hasanudin dan Gonggo (2004) meneliti tentang pemanfaatan mikrobia pelarut fosfat dan
mikoriza untuk perbaikan fosfor tersedia, serapan fosfor tanah ultisol dan hasil jagung. Dari hasil
penelitiannya terdapat pengaruh tunggal dan interaksi dari pemberian mikrobia pelarut fosfat dan
mikoriza terhadap serapan P dan hasil jagung. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan mikrobia
pelarut fosfat 15 ml tanaman-1 dan mikoriza 20 g tanaman-1 terhadap serapan P dan hasil jagung
masing-masing sebesar 0,3881 ppm dan 280,15 g tanaman-1.

Noor (2003) meneliti tentang pengaruh fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan
pupuk kandang terhadap P tersedia dan pertumbuhan kedelai pada ultisol. Dari hasil
penelitiannya di dapat bahwa fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk
kandang mampu meningkatkan P tersedia tanah , jumlah dan bobot kering bintil akar dan bobot
kering tanaman kedelai. Pemberian bakteri pelarut fosfat dan pupuk kandang secara sendiri-
sendiri maupun kombinasinya meningkatkan P tersedia berturut-turut 26%, 34% dan 48%
dibandingkan dengan kontrol. Kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang
meningkatkan bobot kering tanaman kedelai 29% dibandingkan kontrol.

Widawati dan Suliasih (2005) meneliti tentang Augmentasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)
Potensial sebagai Pemacu Pertumbuhan Caysin (Brasica caventis Oed.) di Tanah Marginal
dengan pH rendah. Dari hasil penelitiannya didapat bahwa Empat isolat BPF jenis Bacillus
pantotheticus, Klebsiella aerogenes, Chromobacterium lividum dan B. Megaterium sebagai
inokulan padat, mampu memacu pertumbuhan tanaman caysin. Inokulan yang berisi 4 isolat BPF
jenis Bacillus pantotheticus, Klebsiella aerogenes, Chromobacterium lividum, dan B.
megaterium merupakan inokulan terbaik sebagai biofertilizer dan menghasilkan berat daun segar
1 tanaman terbesar dari 4 tanaman perpot (g), berat daun segar 4 tanaman per pot, dan berat
tanaman segar seluruh tanaman per pot (daun + batang + akar) sebesar 139,22 g, 575,48 g, dan
606,42 g atau ada kenaikan 877,67%; 903,63%; 930,63 dari tanaman kontrol 3/R = tanaman
tanpa pupuk/inokulan; 354,67%; 208,30%; 217,23% dari tanaman kontrol 2/Q = tanaman dengan
pupuk kompos; dan 61,81%; 203,75%; 207,84% dari tanaman kontrol 1/P = tanaman dipupuk
kimia. Ada kenaikan pada tanaman segar seluruh tanaman per pot (daun + batang + akar) sebesar
32,87% dari tanaman yang diinokulasi dengan isolat BPF tunggal maupun campuran 2-3 isolat
BPF.

Penelitian Sudirja et al (2006) menunjukkan bahwa respon pemberian kompos kulit buah kakao,
kascing, dan pupuk kandang ayam berpengaruh terhadap pH tanah. Semakin besar dosis
perlakuan pupuk organik yang diberikan, maka pH tanah pun semakin meningkat. Sejalan
dengan pemikiran Sufiadi (1999), pemberian bahan organik dengan dosis yang meningkat akan
meningkatkan pelepasan kation ke dalam larutan tanah, sehingga cukup untuk meningkatkan pH
dan akibatnya muatan permukaan negatif menjadi lebih besar.

Pustaka:

Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1) Dasar-
Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, (3) Teknologi Pupuk Hayati, dan (4) Pengelolaan
Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri & Program Pascasarjana Unsri.
http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.
(Bagian 4 dari 5 Tulisan)

IV. Pengelolaan Kesuburan Tanah Mineral

4.1. Pemakaian Pupuk Organik dan Anorganik

Sumber pupuk organik dapat berasal dari kotoran hewan, bahan tanaman dan limbah, misalnya ;
pupuk kandang, hijauan tanaman rerumputan, semak ,perdu dan pohon, limbah pertanaman dan
limbah agroindustri. Tanah yang dibenahi dengan pupuk organik mempunyai struktur yang baik
dan sifat menahan air yang lebih besar dari pada tanah yang kandungan bahan orgaiknya rendah.

Pada umumnya pupuk organik mengandung hara makro yang rendah, tetapi mengandung hara
mikro yang cukup sangat diperlukan oleh tanaman, sebagai bahan pembenah tanah pupuk
organik dapat mencegah erosi, mencegah pengerakan permukaan tanah (crusting)dan retakan
tanah, mempertahankan kelengasan tanah .

Karekteristik umum yang dimiliki oleh pupuk organik adalah :


1. Kandungan hara rendah. Kandungan hara pupuk organik pada umumnya rendah tetapi
bervariasi tergantung jenis bahan dasarnya.
2. Ketersediaan unsur hara lambat. Hara yang berasal dari bahan organik diperlukan untuk
kegiatan mikrobia tanah untuk dirubah dari bentuk organik komplek yang tidak dapat
dimanfaatkan tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik yang sederhana yang
dapat diabsorpsi oleh tanaman.
3. Penggunaan pupuk organik sebaiknya harus diikuti dengan pupuk anorganik yang lebih cepat
tersedia untuk menutupi kekurangan hara dari pupuk organik .

Pupuk kandang merupakan hasil samping yang cukup penting dari budidaya hewan peliharaan
baik unggas maupun non unggas, terdiri dari kotoran padat dan cair dari hewan ternak yang
bercampur sisa makanan, dapat menambah unsur hara dalam tanah . Pemberian pupuk kandang
selain dapat menambah tersedianya unsur hara, juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah.
Beberapa sifat fisik tanah yang dapat dipengaruhi pupuk kandang antara lain kemantapan
agregat, bobot volume, total ruang pori, plastisitas dan daya pegang air.

Kandungan unsur hara pupuk kandang akan berbeda dengan berbedanya jenis dan wujud bahan
pupuk kandang .

Pemupukan yang dianjurkan pada budidaya tanaman jagung , untuk pupuk organic ( pupuk
kandang / kompos ) 20 ton / ha. Sedangkan untuk pupuk an organik : Urea 300 kg / ha, TSP 100
kg / ha, KCI 50 kg / ha. Pupuk dasar diberikan sebelum tanam atau bersamaan tanam sejumlah
20 ton / ha pupuk organic, 100 kg / ha Urea, 100 kg TSP, dan 50 kg / ha KCl dengan membuat
larikan atau ditugalkan kemudian ditutup kembali dengan tanah dengan jarak 10 cm dari garis
tanam / lubang tanam. Pupuk susulan diberikan 3 minggu setelah tanam berupa Urea 100 kg / ha,
diteruskan pupuk susulan kedua pada tanaman berumur 5 minggu sejumlah 100 kg Urea / ha
(Dinas Pertanian Jember,2007).
Hasil penelitian Mayadewi (2007) pupuk kandang ayam meningkatkan pertumbuhan hasil
tanaman jagung manis sebesar 47,03% bila dokombinasikan dengan jarak tanam 50 x 40 cm.

Barus (2005) menjelaskan bahwa efisiensi penggunan pupuk dapat ditingkatkan dengan
melakukan serangkaian uji tanah untuk suatu sistem hara-tanah-tanaman. Pada dasarnya tahapan
kegiatan uji tanah meliputi ; (1) Pengambilan contoh tanah yang mewakili lokasi berdasarkan
hasil survey terdahulu, (2) Analisa kimia tanah di laboratorium dengan metode yang tepat dan
teruji, (3) Interpretasi hasil analisis dan (4) Rekomendasi pemupukan.

Hasil penelitian Hasanudin et al (2007) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang pada
berbagai dosis mampu menurunkan Al-dd sekaligus meningkatkan pH tanah walaupun
peningkatan pH tanah tidak sedrastis penurunan Al-dd. Peningkatan pH diikuti dengan
peningkatan P tersedia tanah .

Pemberian bahan organik pada tanah masam dapat meningkatkan serapan P dan hasil tanaman
jagung karena setelah bahan organik terdecomposisi akan menghasilkan beberapa unsur hara
seperti N, P dan K serta menghasilkan asam humat dan fulvat yang memegang peranan penting
dalam pengikatan Fe dan Al yang larut dalam tanah sehingga ketersediaan P akan meningkat
(Hasanudin, 2003).

Seperti halnya pupuk organik, pemakaian pupuk anorganik hanya diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan minimum hara tertentu seperti N, P, dan K, sehingga diberkan pada takaran yang
rendah. Pupuk N (urea) untuk tanaman legum diperlukan sebagi stater sehingga diberikan pada
saat tanam dengan takaran 15-20 kg/ha, sedangkan untuk tanaman nonlegum takarannya lebih
tinggi. Pemakaian pupuk P (P-alam) minimal 60 kg P/ha untuk dua musim tanam, demikian pula
pupuk KCl dengan takaran 60-90 kg/ha. Takaran pupuk anorganik secara tepat perlu diteliti lebih
lanjut. Pengapuran mungkin diperlukan, tetapi hanya sebatas memenuhi kebutuhan tanaman,
bukan untuk meningkatkan pHtanah maupun mengurangi kadar Al tanah.

Pemupukan P juga memegang peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi
tanaman. Fosfor berperan pada berbagai aktivitas metabolisme tanaman dan merupakan
komponen klorofil. Sebagian besar hara P dari pupuk P yang diberikan difiksasi di dalam tanah
sehingga hanya 10-20% pupuk P yang diberikan diserap tanaman. Oleh sebab itu pemberian
yang etrus menerus dalam jumlah berlebih akan terakumulasi dalam tanah dan dapat merubah
status P tanah dari rendah ke tinggi sehingga tanaman tidak lagi tanggap terhadap pemupukan P
(Barus, 2005).

Pemberian pupuk P yaitu pupuk SP36 dan pupuk Rock fosfat mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman jagung terlihat darai parameter tinggi tanaman 10 dan 17 hari setelah
tanam serta kadar P trubus (Arimurti et al , 2006).

4.2. Pengapuran

Salah satu kegiatan reklamasi lahan untuk memperbaiki atau memulihkan kembali tanah –tanah
yang tidak subur agar secara optimal dapat mendukung pertumbuhan tanaman adalah dengan
penambahan amelioran seperti pemberian kapur pertanian. Secara tidak langsung kapur dapat
mengurangi keracunan Al, meningkatkan ketersediaan P, meningkatkan pH tanah dan secara
langsung kapur dapat meningkatkan ketersediaan hara Ca.

Pengapuran ditekankan kepada penggunaan kapur biasa CaCO3 , seterusnya tanah masih perlu
terus dipupuk. Pengapuran hendaknya dipandang hanya untuk menetralisasikan tanah secara
cepat dan seterusnya jangan tergantung lagi pada banyaknya kapur, walaupun kualitas lahan
cepat menurun kembali. Kapur dapat menetralisir Al melalui ion OH- membentuk Al(OH)3 tidak
aktif yang dihasilkan dari pelepasan CO32- yang selanjutnya Al menjadi tidak larut dan Al-dd
semakin berkurang (Hasanudin et al, 2007). Selanjutnya dijelaskan juga bahwa untuk
meningkatkan pH tanah dari 4,6 menjadi 5,8 diperlukan dosis kapur 2x Al-dd.

Kapur berfungsi memantapkan stabilitas tanah, tetapi daya kerjanya lebih cepat dari pada kerja
bahan organik. Kelemahannya adalah bila tanah berkualitas rendah, yang ditandai dengan tingkat
kesuburan rendah, maka dengan pengapuran saja hanya memungkinkan pertumbuhan tanaman
yang normal. Sebaliknya penggunaan bahan organik tanpa didahului dengan pengapuran
menghasilkan pemantapan stabilitas tanah secara lambat, tetapi dampak positifnya berlangsung
jangka panjang. Oleh karena itu pengapuran pada tanah masam sebaiknya diikuti dengan
pemberian pupuk organik agar stabilitas tanah terjaga dan pertumbuhan serta produksi tanaman
akan terjamin (Kuswandi,1993).

4.3. Pupuk Hayati Penyedia Hara Tanaman

Mikrobia tanah yang menguntungkan dapat dikategorikan sebagai biofertilizer atau pupuk
hayati. Menurut Yuwono (2006) secara garis besar fungsi menguntungkan tersebut dapat dibagi
menjadi beberapa :
1. Penyedia hara
2. Peningkat ketersediaan hara
3. Pengontrol organisme pengganggu tanaman
4. Pengurai bahan organik dan pembentuk humus
5. Pemantap agregat tanah
6. Perombak persenyawaan agrokimia

Beberapa mikroorganisme tanah seperti Rhizobium, Azospirillum dan Azootobacter, Mikoriza,


Bakteri pelarut fosfat, bila dimanfaatkan secara tepat dalam system pertanian akan membawa
pengaruh yang positif baik bagi ketersediaan hara yang dibutuhkan tanaman, lingkungan edapik,
maupun upaya pengendalian beberapa jenis penyakit. Sehingga akan dapat diperoleh
pertumbuhan dan produksi tanaman yang optimal dan hasil panen yang lebih sehat.
Mikroorganisme tersebut sering disebut sebagai biofertilizer atau pupuk hayati (Sutanto, 2002).

Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri pelarut fospat dapat meningkatkan
ketersediaan P di dalam tanah dan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P serta dapat
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Penggunaan pupuk hayati berupa inokulan
bakteri fospat dengan tanpa pemberian pupuk TSP dapat meningkatkan hasil jagung yang setara
dengan pemberian TSP (Prihartini, 2003).
Hasil penelitian Arimurti et al (2006) pada perlakuan bakteri pelarut fosfat (BPF) mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung pada tanah masam, yang tampak pada parameter
tinggi tanaman 10 dan 45 HST, berat basah trubus, berat kering trubus, berat basah akar, berat
kering akar, luas daun serta kadar P trubus. Pemberian BPF P. putida sama baiknya dengan P.
Aeruginosa atau gabungan keduanya dalam meningkatkan tinggi tanaman 10 dan 45 HST. Untuk
meningkatkan berat basah, berat kering trubus dan akar paling baik menggunakan P. putida.

Asosiasi simbiotik anatara jamur dan sistem perakaran tanaman tinggi diistilahkan dengan
mikoriza. Dalam fenomena ini jamur menginfeksi dan mengkoloni akar tanpa menimbulkan
nekrosis sebagaimana biasa terjadi pada infeksi jamur patogen, dan mendapat pasokan nutrisi
secara teratur dari tanaman. Asosiasi ini akan dapat meningkatan ketersediaan hara P dan lainnya
serta meningkatkan serapannya. MVA membantu pertumbuhan tanaman dengan memperbaiki
ketersediaan hara fosfor dan melindungi perakaran dari serangan patogen (Hadiyanto dan
Hairiyah, 2007).

Hasil penelitian Hasanudin dan Gonggo (2004) menjelaskan pemberian inokulasi mikrobia
pelarut fosfat 15 ml tanaman-1 dan inokulasi mikoriza 20 g tanaman-1 dapat meningkatkan
serapan P dan hasil jagung.

Rhizobium yang berasosiasi dengan tanaman legum mampu menfiksasi 100-300 Kg N/Ha dalam
satu musim tanam dan meninggalkan sejumlah N untuk tanaman berikutnya. Permasalahan yang
perlu diperhatikan adalah efisiesnsi inokulan Rhizobium untuk tanaman tertentu. Rhizobium
mampu mencukupi 80% kebutuhan nitrogen tanaman legum dan meningkatkan produksi antara
10-25%. Tanggapan tanaman sangat bervariasi tergantung pada kondisi tanah dan efektifitas
populasi asli (Sutanto, 2002).

Kenaikan hasil tanaman setelah diinokulasi Azotobacter terjadi pada tanaman jagung, cantel,
padi, bawang putih, tomat, terong dan kubis. Apabila Azotobacter dan Azospirillum diinokulasi
secara bersama-sama, maka Azospirillum lebih efektif dalam meningkatkan hasil tanaman.
Azospirillum menyebabkan kenaikan hasil cukup besar pada tanaman jagung, gandum dan cantel
(Sutanto, 2002).

Selanjutnya dijelaskan juga oleh Tim Peneliti Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
(2008) bahwa pemakaian pupuk hayati pada lahan kering masam sebaiknya yang telah terbukti
dapat menjalankan fungsi ekologis, merupakan mikroba hasil seleksi yang benar-benar unggul
dalam membantu pertumbuhan tanaman.

Pupuk hayati meliputi bakteri penambat N, mikroba pelarut fosfat, dan cendawan mikoriza
arbuskula. Bakteri penambat N2. Bakteri ini mencakup bakteri yang membentuk bintil akar,
bersimbiose dengan tanaman legum, dan bakteri penambat N yang hidup bebas di dalam tanah.
Oleh karena itu, budi daya tanaman legum (kacang-kacangan) dapat menggunakan Rhizobium
spp. Namun, perlu diperhatikan bahwa hubungan antara tanaman legum dan Rhizobium bersifat
sangat spesifik, artinya satu spesies Rhizobium hanya dapat bersimbiose dengan spesies legum
tertentu. Oleh karena itu, penggunaan Rhizobium sp. harus disesuaikan dengan spesies legum
yang akan dibudidayakan. Bakteri penambat N yang hidup bebas seperti Azotobacter,
Azospirillum, dan Beijerinckia dapat digunakan pada tanaman dari famili Gramineae (rumput-
rumputan) seperti padi, jagung, dan sorgum.

Mikroba pelarut fosfat. Telah banyak dihasilkan pupuk hayati yang mengandung mikroba pelarut
fosfat. Mikroba ini ada yang hidup bebas di dalam tanah atau hidup di daerah perakaran
(rhizobakteri). Mikroba tersebut dapat menghasilkan senyawa organik yang dapat melarutkan P-
tanah, sehingga ketersediaan P bagi tanaman meningkat dan mengurangi takaran penggunaan
pupuk P.

Cendawan mikoriza arbuskula (CMA). CMA merupakan suatu bentuk asosiasi cendawan dengan
akar tanaman tingkat tinggi. Kemampuan asosiasi tanaman- CMA ini memungkinkan tanaman
memperoleh hara dan air yang cukup pada kondisi lingkungan yang miskin unsur hara dan
kering, perlindungan terhadap patogen tanah maupun unsur beracun, dan secara tidak langsung
melalui perbaikan struktur tanah.

Hal ini dimungkinkan karena CMA mempunyai kemampuan menyerap hara dan air lebih tinggi
dibanding akar tanaman. Keunggulan kemampuan CMA dalam pengambilan hara, terutama hara
yang bersifat tidak mobil seperti P, Zn, dan Cu, disebabkan CMA memiliki struktur hifa yang
mampu menjelajah daerah di antara partikel tanah, melampaui jarak yang dapat dicapai akar
(rambut akar), kecepatan translokasi hara enam kali kecepatan rambut akar, dan nilai ambang
batas konsentrasi hara yang dapat diserap CMA lebih rendah (setengah ambang batas konsentrasi
hara yang dapat diserap akar). CMA secara tidak langsung juga dapat meningkatkan ketersediaan
P-tanah melalui produksi enzim fosfatase oleh akartanaman. CMA juga berperan dalam
membantu pemenuhan kebutuhan air pada saat kekeringan karena bertambahnya luas permukaan
penyerapan air oleh hifa eksternal.

Satu spesies CMA dapat berasosiasi dengan berbagai tanaman sehingga satu macam CMA dapat
digunakan untuk berbagai jenis tanaman. Pada saat ini telah dihasilkan berbagai inokulan
CMA,umumnya dari spesies Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora.

4.4. Teknik Pengelolaan Tanah

Apabila dihadapkan pada kondisi tanah masam, ketersediaan hara rendah, bahan organik tanah
rendah, dan tanah memiliki slope tertentu serta berada pada daerah dengan intensitas hujan
tinggi, maka secara teknik pengolahan tanah yang dilakukan harus berprinsip peningkatan
kesuburan tanah dan adanya pelaksanaan konservasi tanah dan air.

Pada prinsipnya untuk meningkatkan atau mempertahankan kemampuan tanah dapat dilakukan
teknik pengelolaan tanah secara mekanik dan vegetatif. Secara mekanik pembuatan teras
misalnya teras gulud, teras bangku atau teras individu dan pembuatan saluran drainase.
Sedangkan secara vegetatif adalah penerapan pola tanam yang menutup permukaan tanah
sepanjang tahun baik dengan hijauan maupun vegetasi misalnya dengan pergiliran tanaman ,
tumpang sari atau penanaman budidaya lorong.

Konservasi tanah secara mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis dan pembuatan
bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan guna menekan erosi dan
meningkatkan kemampuan tanah mendukung usahatani secara berkelanjutan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan teras gulud (Gambar 8) menurut
Sinukaban (1994):
(1) Teras gulud cocok diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10-40%.
(2) Pada tanah yang permeabilitasnya tinggi, guludan dapat dibuat menurut arah kontur. Pada
tanah yang permeabilitasnya rendah, guludan dibuat miring terhadap kontur, tidak lebih dari 1%
ke arah saluran pembuangan. Hal ini ditujukan agar air yang tidak segera terinfiltrasi ke dalam
tanah dapat tersalurkan ke luar ladang dengan kecepatan rendah.

Teras bangku atau teras tangga dibuat dengan cara memotong panjang lereng dan meratakan
tanah di bagian bawahnya, sehingga terjadi deretan bangunan yang berbentuk seperti tangga.
Pada usahatani lahan kering, fungsi utama teras bangku adalah: (1) memperlambat aliran
permukaan; (2) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak
sampai merusak; (3) meningkatkan laju infiltrasi; dan (4) mempermudah pengolahan tanah.
Teras bangku dapat dibuat datar (bidang olah datar, membentuk sudut 0o dengan bidang
horizontal), miring ke dalam/goler kampak (bidang olah miring beberapa derajat ke arah yang
berlawanan dengan lereng asli), dan miring keluar (bidang olah miring ke arah lereng asli). Teras
biasanya dibangun di ekosistem lahan sawah tadah hujan, lahan tegalan, dan berbagai sistem
wanatani.

Teras individu adalah teras yang dibuat pada setiap individu tanaman, terutama tanaman tahunan.
Jenis teras ini biasa dibangun di areal perkebunan atau pertanaman buah-buahan.

Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air
karena memiliki sifat : (1) memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dengan
memperbesar granulasi tanah, (2) penutupan lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi,
(3) disamping itu dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang mengakibatkan
peningkatan porositas tanah, sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya
erosi (Rahim, 2006).

Pergiliran tanaman atau tanam berurutan adalah sistem bercocok tanam dengan menanam dua
atau lebih jenis tanaman pada sebidang tanah selama satu tahun; tanaman musim kedua ditanam
sebelum panen tanaman musim pertama. Contohnya adalah tumpang gilir antara tanaman jagung
yang ditanam pada awal musim hujan dan kacang tanah yang ditanam beberapa minggu sebelum
panen jagung. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan intensitas penggunaan lahan dan
menjaga agar permukaan tanah selalu tertutup tanaman. Selain itu, sistem ini juga dimaksudkan
untuk mempercepat penanaman tanaman pada musim kedua, sehingga masih mendapatkan air
hujan dengan jumlah yang cukup untuk pertumbuhan dan produksinya.

Tanam bersisipan atau tumpang sari adalah sistem penanaman lebih dari satu macam tanaman
pada lahan yang sama secara simultan, dengan umur tanaman yang relatif sama dan diatur dalam
barisan atau kumpulan barisan secara berselang-seling seperi: padi gogo + jagung - jagung +
kacang tanah. Pada musim pertama di awal musim hujan, padi gogo ditanam secara tumpang sari
dengan jagung.
Menambah tanaman penguat teras,tanaman yang memenuhi syarat sebagai penguat teras adalah:
a. Mempunyai sistem perakaran intensif, sehingga mampu mengikat air.
b. Tahan pangkas sehingga tidak menaungi tanaman utama.
c. Bermanfaat dalam menyuburkan tanah maupun sebagai penghasil makanan ternak.
Tanaman penguat teras yang dianjurkan ditanam antara lain lamtorogung, gamal, akasia,
kaliandra, rumput gajah dan rumput benggala.

Salah satu cara untuk memperbaiki struktur tanah, mempertinggi kemampuan tanah dalam
menyerap air yaitu dengan menggunakan pupuk organik berupa pupuk hijau atau pupuk kandang
serta penggunaan sisa-sisa tanaman yang diletakkan di atas tanah sebagai serasah (mulsa)
sehingga dapat mempertahankan kelembaban tanah. Dengan cara ini penguapan air tanah dapat
diperkecil sehingga air tanah tetap tersedia bagi tumbuhnya tanaman.

Teknologi yang diintroduksikan ke lahan kering masam DAS bagian hulu haruslah teknologi
yang mampu mengendalikan erosi, mudah dilaksanakan, murah dan dapat diterima oleh petani.
Salah satu teknologi yang tersedia adalah sistem pertanaman lorong atau Alley cropping.

Anonimous (2009) menjelaskan bahwa alley cropping merupakan salah satu sistem agroforestry
yang menanam tanaman semusim atau tanaman pangan diantara lorong-lorong yang dibentuk
oleh pagar tanaman pohonan atau semak (Kang et al., 1984). Tanaman pagar dipangkas secara
periodik selama pertanaman untuk menghindari naungan dan mengurangi kompetisi hara dengan
tanaman pangan/semusim. Leucaena leucocephala yang pertama diuji dalam sistem Alley
cropping ini dan menyusul kemudian Glinsidia sepium.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem ini sangat efektif mengendalikan erosi. Di
Filipina, Alley cropping dapat menurunkan erosi sebanyak 69%, yang terdiri atas 48%
disebabkan oleh pengaruh penutupan tanah oleh mulsa, 8% disebabkan oleh perubahan profil
tanah dan 4% oleh penanaman secara kontour .Di Indonesia sistem ini sudah diyakini efektif
mengendalikan erosi (Sukmana and Suwardjo, 1991) dapat meningkatkan produktivitas tanah
dan tanaman serta dapat diadopsi oleh petani di lahan kering. Beberapa hasil penelitian yang
dilakukan telah menunjukkan bahwa Alley cropping sangat efektif dalam mengendalikan erosi.

Efektivitas pengendalian erosi tersebut sangat tergantung kepada jenis tanaman pagar yang
digunakan, jarak antara tanaman pagar dan pada saat awal, kemiringan lahan. Efektivitas
pengendalian erosi dapat mencapai >95% dibanding apabila tidak menggunakan Alley cropping.

Alegre dan Rao (1995) menunjukkan bahwa Alley cropping menahan kehilangan tanah 93% dan
air 83% dibandingkan dengan pertanaman tunggal semusin. Efektivitas pengendalian erosi ini
selain karena hal yang telah disebutkan diatas juga karena terbentuknya teras secara alami dan
perlahan-lahan setinggi 25-30 cm pada dasar tanaman pagar. Rendahnya erosi disebabkan oleh
hasil pangkasan yang sukar melapuk yang berfungsi sebagai mulsa, sehingga tanah terlindung
dari air hujan dan pemadatan tanah karena ulah pekerja selama operasi di lapangan. Barisan
tanaman pagar menurunkan kecepatan aliran permukaan sehingga memberikan kesempatan pada
air untuk berinfiltrasi. Selanjutnya tanaman pagar menyebabkan air tanah selalu berkurang untuk
kebutuhan pertumbuhannya selama musim kemarau sehingga sistem ini menyerap lebih banyak
air hujan ke dalam tanah dan akhirnya menurunkan erosi.

Selain efektif mengendalikan erosi, Alley cropping juga ternyata dapat meningkatkan
produktivitas tanah dan tanaman. Sistem ini dapat memperbaiki sifat fisik tanah yaitu
menurunkan BD (bulk density) dan meningkatkan konduktivitas hidraulik tanah.

Hasil penelitian Agas et al. (1997) tentang sifat-sifat tanah dan air di bawah Alley cropping pada
tanah oxilos miring menunjukkan bahwa pada umumnya sifat-sifat tanah tidak dipengaruhi oleh
jenis legum/taman pagar, tetapi dipengaruhi oleh posisi dalam lorong. Lebih dekat pada barisan
tanaman pagar, mempengaruhi distribusi air. Air tersedia pada kedalaman 10-15 cm adalah 0,16 ;
0,13 dan 0,08 m3 masing-masing pada bagin bawah, tengah dan atas dari lorong. Transmisivitas
air menurun dari 0,49 mm/detik pada bagian bawah menjadi 0,12 mm/detik pada bagian atas dari
lorong. Kandungan air tanah dan tekanan air tanah menurun pada bagian lorong yang dekat pada
tanaman pagar. Hal ini akan menyebabkan kompetisi air antara tanaman pagar dengan tanaman
pangan pada lorong.

Selain perbaikan sifat fisik tanah, penelitian-penelitian terdahulu juga memperlihatkan bahwa
Alley cropping dapat meningkatkan unsur hara di dalam tanah .Contoh kondisi pertanaman alley
cropping.

Pustaka:

Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1) Dasar-
Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, (3) Teknologi Pupuk Hayati, dan (4) Pengelolaan
Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri & Program Pascasarjana Unsri.
http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

V. Kesimpulan

1. Tanah mineral masam yang terdapat pada iklim tropik adalah jenis tanah ultisol, oxisols dan
spodosol serta inseptisol . Karekteristik tanah mineral masam adalah pH rendah , bahan organik
rendah dan kahat unsur hara makro maupun mikro serta tingginya kandungan Al dan Fe.

2. Pengelolaan tanah-tanah mineral masam untuk kepentingan pertanian menghadapi kendala pH


yang rendah, keracunan Al, Mn, dan/atau Fe, serta kekahatan unsur-unsur hara penting seperti N,
P, Ca, dan atau Mg dan Mo

3. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi tanah masam guna mendukung pertumbuhan
dan produksi tanaman adalah pemberian pupuk organik dan anorganik, pengapuran, pemberian
pupuk hayati dan pengelolaan tanah yang berazas peningkatan kesuburan tanah dan melakukan
tindakan konservasi tanah dan air .
DAFTAR PUSTAKA

Arimurti,S, Setyati,D dan Mujib,M. 2006. Efettivitas bakteri pelarut fosfat dan pupuk P terhadap
pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays) pada tanah masam. Universitas Jember Jurusan
FMIPA .

Arief, A. Dan Irman. 1997. Ameliorasi Lahan Kering Masam untuk Tanaman Pangan. Prosiding
Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbang Tanaman Pangan. Balitbangtan Deptan.
Hal. 1665-1675.

Arief. 2008. Geografi tanah Indonesia. feiraz.files.wordpress.com (diakses Mei 2009)

Anonimous.2009.Budidaya Lorong. bebasbanjir2025.files.wordpress.com (diakses Mei 2009)

Bertam,YH. Kusuma,C.Setiadi,Y.Mansur,I dan Sopandie,D. 2005. Introduksi pasangan CMA


dan Rhizobia Indigenous untuk peningkatan pertumbuhan dan hasil kedelai di ultisol Bengkulu.
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 7(2):94-103.

Barus,J. 2005. Respon tanaman padi terhadap pemupukan P pada tingkat status hara P tanah
yang berbeda. Jurnal Akta Agrosia . 8(2): 52-55.

Dinas Pertanian Jember. 2007. Budidaya Tanaman Jagung. http://warintek.bantul.go.id (diakses


8 April 2009).

Hasanudin.Ganggo,B.2004. Pemanfaatan Mikrobia Pelarut Fospat dan Mikoriza untuk Perbaikan


Fospor tersedia,Serapan Fospor Tanah Ultisol dan Hasil Jagung.Universitas Bengkulu. Jurnal
Ilmu Pertanian Indonesia . 4(2) : 97-103.

Hasanudin. 2003. Peningkatan ketersediaan dan serapan N dan P serta hasil tanaman jagung
melalui inokulasi mikoriza, azotobacter dan bahan organic pada ultisol. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia. 5(2): 83-89.

Hasanudin, Mitriani dan Barchia F.2007. Pengaruh pengapuran dan pupuk kandang terhadap
ketersediaan hara P pada timbunan tanah pasca tambang batubara. Jurnal Akta Agrosia . Edisi
khusus No 1: 1-4.

Handayanto,E.Hairiyah,K.2007.Biologi Tanah Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Pustaka


Adipura.

Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta. 273
p.

Hanafiah,AK. 2007. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Edisi 2. Raja Gravindo Persada.Jakarta . pp 139-
165.
Himatan. 2006. Pembentukan dan Profil Tanah. Himpunan Ilmu Tanah Universitas Padjajaran.
Hiatan06.files.wordpress.com (di akses Mei 2009).

Hidayat, A. Dan A. Mulyani. 2005. Lahan Kering untuk Pertanian. Teknologi Pengelolaan Lahan
Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Puslitbang Tanah dan Agroklimat,
Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. pp 8-35.

Hakim, N., G. Ismail., Mardinus dan H. Muchtar. 1997. Perbaikan Lahan Kritis dengan Rotasi
Tanaman dalam Budidaya Lorong. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III.
Puslitbangtan. Deptan. Hal. 1656-1664.

Ismail, H.., J. Shamshuddin & S.R. Syed Oman. 1993. Allevation of SoilAcidity in Ultisol and
Oxisol for Corn Growth. Plant & Soil 151: 55- 65.

Joy, B. 2005. Perbedaan respon keterkaitan pH, Al-dd, serta P tersedia dari tanah masam akibat
aplikasi P-alam, kalsit dan dolomite.Jurnal Bionatura 7(3): 249-258.

Junedi, H. 2008. Pemanfaatan kompos dan jerami padi dan kapur guna memperbaiki
permeabelitas tanah ultisol dan hasil kedelai.Proseding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II.
Universitas Lampung 17-18 November 2008.
.
Kuswandi. 1993. Pengapuran Tanah Pertanian. Kanisus Yogyakarta.Edisi 1.

Mayadewi, NA. 2007. Pengaruh jenis pupuk kandang dan jarak tanam terhadap pertumbuhan
gulma dan hasil jagung manis. Jurnal Agritrop. 28(4): 163-169.

Notohadiprawiro,T. 2006. Ultisol, Fakta dan Implikasi Pertaniannya. Buletin Pusat Penelitian
Marihat .No.6. 2006.

Notohadiprawiro, T. 1990. Farming Acid Soils for Food Crop: An Indonesian Experience.- In:
Management of Acid Soils in the Humid Tropics of Asia E.T. Croswell & E. Pusparajah (Eds.)
Aciar Monograph 13: 62-68.

Nursyamsi, D; S.M. Nanan.; Sutisni dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1996. "Erapan P dan Kebutuhan
Pupuk P Untuk Tanaman Pangan pada Tanah-tanah Asam". Dalam Jurnal Tanah Tropika. Tahun
II No.2. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.Bogor.

Nursyamsi, D. 2006. Kebutuhan hara kalium tanaman kedelai di tanah ultisol. Jurnal Ilmu Tanah
dan Lingkungan. 6(2) : 71-81.
Noor A. 2003. Pengaruh fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang
terhadap P tersedia dan pertumbuhan kedelai pada ultisol. Buletin Agronomi. 31 (3): 100-106.

Prihartin.2003. Mikroorganisme Meningkatkan Efisiensi Pemupukan Fospat.Pusat Penelitian dan


Pengembangan Tanah dan Agroklimak.Bogor
Partohardjono, S., I.G. Ismail., Subandi., M.O. Adnyana dan D.A. Darmawan. 1994. Peranan
Sistem Usahatani Terpadu dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan di Berbagai Agroekosistem.
Prosiding Simposium Panelitian Tanaman Pangan III. Puslitbangtan Deptan. Hal 143-182.

Pandang, M.S.,dan Subandi. 1997. Sistem Usahatani Konservasi Menunjang Pendapatan Petani
Lahan Kering. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III Buku 6. Puslitbangtan.
Deptan. Hal. 1676-1686.

Rachman S.2002. Penerapan Pertanian Organik . Edisi 5. Kanisus Jakarta. Pp 177-184.

Rahim, ES. 2006. Pengendalian Erosi Tanah.Edisi 3. Bumi Aksara Jakarta.pp 91-106.

Sutanto,R..2002.Penerapan Pertanian Organik.Edisi 3 . Kanisus Jakarta.

Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Lestari dengan Konservasi. Faperta IPB.
Bogor.

Subandi. 2007. Teknologi Produksi dan Strategi Pengembangan. Iptek Tanaman Pangan 2(1) :12
-25.

Sunaryo dan Suryono. 2000. Pengaruh dosis pupuk dolomit dan pupuk P terhadap jumlah bintil
akar dan hasil tanaman kacang tanah di tanah latosol.Agrosains 2(2):54-58.

Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Hal. 21-
66 dalam Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.

Sudirja,R.Solihin,MA dan Rosniawati,S. 2006. Respon beberapa sifat kimia fluventic eutrudepts
melalui pendayagunaan limbah kakao dan berbagai jenis pupuk organik.Universitas Padjajaran.

Taufiq,A., H. Kuntyastuti, Sudaryono,A.G.Manshuri, Suryantini, Triwardani, dan C. Prahoro.


2003. Perbaikan dan peningkatan efisiensi produksi kedelai di lahan keringmasam. Laporan
teknis BalaiPenelitianTanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (tidak dipublikasi).

Tim Peneliti Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2008. Pemanfaatan Biota Tanah
untuk keberlanjutan produktivitas pertanian lahan kering masam. Pengembangan Inovasi
Pertanian 1(2):157-163.

Wulandari, S. 2001. Efektifitas bakteri pelarut fosfat Pseudomonas sp pada pertumbuhan


tanaman kedelai pada tanah podsolik merah kuning. Jurnal Nature Indonesia. 4(1) : 1-5.

Widawati, S dan Suliasih . 2005. Augmentasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Potensial sebagai
Pemacu Pertumbuhan Caysin (Brasica caventis Oed.) di Tanah Marginal.Biodiversitas. 7(1):10-
14.

Wild, A. 1950. The retention of phosphate by soils. J. Soil Sci. 1: 221-238


Yuwono,NW.2006.Pupuk Hayati . UGM.Yogyakarta.

Yuwono NW dan Rosmarkam A. 2008. Ilmu Kesuburan Tanah. Edisi 4. Yogyakarta. pp 23 -32.

Yulianti, N. 2007. Reaksi Tanah .Jurnal Hijau.2(5) : 23 – 43.

I. Pendahuluan

Lahan gambut dikenal dan ditemukan pertama kali oleh Kyooker, seorang pejabat Belanda pada
tahun 1860an yang menyatakan bahwa 1/6 areal wilayah Sumatera ditempati gambut
(Notohadiprawiro, 1997). Istilah gambut sendiri pertama kali muncul dan kemudian umum
digunakan oleh di kalangan ilmiawan dan menjadi kosa kata Indonesia sejak tahun 1970 an
(Radjaguguk, 2001).

Menurut Soekardi dan Hidayat (1988) penyebaran gambut di Indonesia meliputi areal seluas
18.480 ribu hektar, tersebar pada pulau-pulau besar Kalimantan, Sumatera, Papua serta beberapa
pulau Kecil. Dengan penyebaran seluas sekitar 18 juta ha maka luas lahan gambut Indonesia
menempati urutan ke-4 dari luas gambut dunia setelah Kanada; Uni Sovyet dan Amerika Serikat.
Kalimantan Barat merupakan propinsi yang memiliki luas lahan gambut terbesar di Indonesia
yaitu seluas 4,61 juta ha, diikuti oleh Kalimantan Tengah, Riau dan Kalimantan Selatan dengan
luas masing-masing 2,16 juta hektar, 1,70 juta hektar dan 1,48 juta hektar.

Jenis tanah Organosol atau tanah gambut atau tanah organik berasal dari bahan induk organik
seperti dari hutan rawa atau rumput rawa, dengan ciri dan sifat: tidak terjadi deferensiasi horizon
secara jelas, ketebalan lebih dari 0.5 m, warna coklat hingga kehitaman, tekstur debu lempung,
tidak berstruktur, konsistensi tidak lekat-agak lekat, kandungan organik lebih dari 30% untuk
tanah tekstur lempung dan lebih dari 20% untuk tanah tekstur pasir, umumnya bersifat sangat
asam (pH 4,0) kandungan unsur hara rendah (Paungkas P, 2006).

Soil Survey Staff (1990) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanah organik (Histosol)
adalah tanah yang mempunyai ketebalan sebagai berikut :

(1) 60 cm atau lebih dengan kandungan serat (bahan organik kasar) meliputi 3/4 volume atau
lebih dan kerapatan jenis dalam keadaan lembab kurang dari 0.1 g ml-1;

(2) 40 cm atau lebih :

(a) dengan lapisan bahan organik jenuh air lebih dari 6 bulan atau telah ada perbaikan
drainase;

(b) dengan bahan organik terdiri atas bahan organik halus (saprik) atau bahan organik sedang
(hemik) atau bahan fibrik (kasar) kurang dari 2/3 volume dan kerapatan jenis dalam keadaan
lembab 0.1 g ml-1 atau lebih.
Tanah gambut merupakan tanah hidromorfik yang bahan asalnya sebagian besar atau seluruhnya
terdiri atas bahan organik sisa-sisa tumbuhan, dalam keadaan yang selalu tergenang, dimana
proses dekomposisinya berlangsung tidak sempurna sehingga terjadi penumpukan dan akumulasi
bahan organik membentuk tanah gambut yang kedalamannya di beberpa tempat dapat mencapai
16 meter. Di daerah tropis khususnya Indonesia menurut Driesen (1978) terbentuknya gambut
pada umumnya terjadi dibawah kondisi dimana tanaman yang telah mati tergenang air secara
terus menerus, misalnya pada cekungan atau depresi, danau atau daerah pantai yang selalu
tergenang dan produksi bahan organik yang melimpah dari vegetasi hutan mangrove atau hutan
payau.

Tanah gambut dapat terbentuk di daerah rawa pasang surut dan di daerah rawa-rawa
pedalaman yang tidak dipengaruhi oleh air pasang surut (Hardjowigeno, 1996). Tanah
gambut terbentuk karena laju akumulasi bahan organik melebihi proses mineralisasi yang
biasanya terjadi pada kondisi jenuh air yang hampir terus menerus sehingga sirkulasi oksigen
dalam tanah terhambat. Hal tersebut akan memperlambat proses dekomposisi bahan organik
dan akhirnya bahan organik itu akan menumpuk.

Lahan gambut mempunyai penyebaran di lahan rawa, yaitu lahan yang menempati posisi
peralihan diantara daratan dan sistem perairan. Lahan ini sepanjang tahun/selama waktu yang
panjang dalam setahun selalu jenuh air (water logged) atau tergenang air. Tanah gambut terdapat
di cekungan, depresi atau bagian-bagian terendah di pelimbahan dan menyebar di dataran rendah
sampai tinggi. Yang paling dominan dan sangat luas adalah lahan gambut yang terdapat di lahan
rawa di dataran rendah sepanjang pantai. Lahan gambut sangat luas umumnya menempati
menyebar diantara aliran bawah sungai besar dekat muara, dimana gerakan naik turunnya air
tanah dipengaruhi pasang surut harian air laut.

Di alam, gambut sering bercampur dengan tanah liat. Tanah disebut sebagai tanah gambut
apabila memenuhi salah satu persyaratan berikut (Soil Survey Staff ,1990):

1. Apabila dalam keadaan jenuh air mempunyai kandungan C –organik paling sedikit 18% jika
kandung liatnya >60 % atau mempunyai kandungan C-organik 2% jika tidak mempunyai liat (O
%) atau mempunyai kandungan C–organik lebih dari 12% + % liat x 0,1 jika kandungan liatnya
antara 0-60 %.

2. Apabila tidak jenuh air mempunyai kandungan C-organik minimal 2O %.

Menurut Suhardjo dan Soepraptohardjo (1981), tanah gambut mempunyai lapisan organik
setebal 50 cm atau lebih dari permukaan tanah. Kriteria penggolongan tanah gambut dengan
tanah mineral secara kuantitatif ditentukan oleh kandungan fraksi bahan tanah mineral dan
C-organik. Menurut Everret (1983), suatu tanah digolongkan pada tanah gambut jika (1)
mempunyai 18 % atau lebih C-organik jika fraksi mineral terdiri atas 60% atau lebih kadar
liat, (2) mempunyai 12% atau lebih kecil C-organik jika fraksi mineral tidak mengandung liat,
dan (3) mempunyai 12% sampai 18% C-organik jika fraksi mineral mengandung liat antara
0% sampai 60 %.
Gambut tropis umumnya berwarna coklat tua (gelap), bergantung pada tahapan
dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15 sampai 30 kali
dari bobot kering, bobot isi rendah (0.05-0.4 g cm-3), dan porositas total antara 75% sampai
95% menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas
yang akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000). Sifat lain yang merugikan adalah jika
gambut mengalami pengeringan yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak.
Gejala kering tak balik (irreversible drying) terjadi dan gambut berubah sifat seperti arang
sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air (Subagyo et al, 1996). Gambut
akan kehilangan air tersedia setelah 4 sampai 5 minggu pengeringan dan hal itu
mengakibatkan gambut mudah terbakar.

Dapat juga digolongkan pada tanah gambut bila kedalaman tanah tersebut besar dari 50 cm dan
kandungan bahan organiknya besar 65%. Menurut Soil Taxonomi gambut digolongkan kedalam
order Histosol yang dibedakan menjadi 4 sub order masing-masing Folists, Fibreists, Hemists,
Saprists.

• Folist merupakan lapisan tanah yang tersusun oleh tumpukan daun-daun, ranting dan cabang
yang tertimbun diatas batuan, kerikil atau pasir yang ruang antaranya telah diisi oleh bahan
organik.

• Fibrists merupakan tumpukan dari bahan organik yang berserat yang belum atau baru
mengalami proses dekomposisi.

• Hemists adalah gambut yang tingkat dekomposis bahan organik tengah berlangsung, dimana
separuh dari bahan organik tersebut telah terdekomposisi.

• Saprists adalah gambut yang tingkat dekomposisinya telah lanjut, hampir tidak berserabut,
berat jenisnya besar dari 0,2 dan biasanya berwarna hitam atau coklat kelam.

Berdasarkan penyebaran topografinya, tanah gambut dibedakan menjadi tiga yaitu:


a. gambut ombrogen: terletak di dataran pantai berawa, mempunyai ketebalan 0.5 – 16 meter,
terbentuk dari sisa tumbuhan hutan dan rumput rawa, hampir selalu tergenang air, bersifat sangat
asam. Contoh penyebarannya di daerah dataran pantai Sumatra, Kalimantan dan Irian Jaya
(Papua);
b. gambut topogen: terbentuk di daerah cekungan (depresi) antara rawa-rawa di daerah dataran
rendah dengan di pegunungan, berasal dari sisa tumbuhan rawa, ketebalan 0.5 – 6 meter, bersifat
agak asam, kandungan unsur hara relatif lebih tinggi. Contoh penyebarannya di Rawa Pening
(Jawa Tengah), Rawa Lakbok (Ciamis, Jawa Barat), dan Segara Anakan (Cilacap, Jawa Tengah);
dan
c. gambut pegunungan: terbentuk di daerah topografi pegunungan, berasal dari sisa tumbuhan
yang hidupnya di daerah sedang (vegetasi spagnum). Contoh penyebarannya di Dataran Tinggi
Dieng.

Tanah gambut secara alami terdapat pada lapisan paling atas. Di bawahnya terdapat lapisan tanah
alluvial pada ke dalaman yang bervariasi. Lahan dengan ketebalan tanah gambut kurang dari 50
cm disebut sebagai lahan atau tanah bergambut disebut sebagai lahan gambut apabila ketebalan
gambut lebih dari 50 cm. Dengan demikian,lahan gambut adalah lahan rawa dengan ketebalan
gambut lebih dari 50 cm.

Berdasarkan kedalamnya, lahan gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu:

1. Lahan gambut dangkal, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 50 - 100 cm;

2. Lahan gambut sedang, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 100 - 200 cm

3. Lahan gambut dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 200 - 300 cm

4. Lahan gambut sangat dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut lebih dari 300 cm.

Tanah gambut di daerah tropika basah seperti Indonesia berkembang dari vegetasi hutan tropis.
Dalam kondisi alami, lapisan tanah gambut terdiri atas bahan material berserat dan tanaman yang
terdekomposisi belum sempurna, sehingga menghasilkan tanah gambut yang variasi dan
sebarannya heterogen. Menurut pengamatan di lapangan, material berserat ini tidak terdistribusi
secara merata dalam lapisan tanah.

Dari sekian luas penyebaran di Indonesia beberapa bagian dipengaruhi oleh pasang. Diberbagai
tempat dewasa ini telah dilakukan pemanfaatan tanah gambut itu terutama untuk lahan pasang
surut dan pembukaan lahan lain baik untuk perkebunan maupun untuk lahan pemukiman
transmigrasi.

Wilayah lahan-lahan gambut merupakan potensi karbon dan juga sebagai penyimpan air perlu
didorong sehingga pemanfaatannya bisa maksimal dan tidak keliru lagi. Pemanfaatan gambut
yang tidak bijaksana justru membawa bencana bagi kehidupan masyarakat setempat dan bangsa.
Misalnya kasus kebakaran hutan yang menyebabkan protes dari negara-negara tetangga.

Pasalnya, di kawasan hutan gambut tropika, vegetasi maupun gambut di bawahnya menyimpan
kandungan karbon yang besar. Terdapat hubungan sangat jelas antara cadangan karbon, emisi
karbon, dan pengaruhnya terhadap proses perubahan iklim dunia. Isu perubahan iklim dunia
sudah menjadi isu global yang perlu dicarikan solusinya.

Berdasar sifat dari bahan gambut dan hasil pembelajaran dalam pengelolaan lahan gambut, maka
pengembangan lahan gambut Indonesia ke depan dituntut menerapkan beberapa kunci pokok
pengelolaan yang meliputi aspek legal yang mendukung pengelolaan lahan gambut; penataan
ruang berdasarkan satuan sistem hidrologi gambut sebagai wilayah fungsional ekosistem
gambut; pengelolaan air; pendekatan pengembangan berdasarkan karakteristik bahan tanah
mineral di bawah lapisan gambut; peningkatan stabilitas dan penurunan sifat toksik bahan
gambut dan pengembangan tanaman yang sesuai dengan karakteristik lahan.

Komposisi bahan penyusun gambut berkaitan erat dengan asam-asam organik yang dihasilkan
selama proses dekomposisi. Stevenson (1994) menjelaskan bahwa lignin akan mengalami proses
degradasi menjadi senyawa humat dan selama proses degradasi tersebut akan dihasilkan asam-
asam fenolat.
Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok yakni eutrofik
(kandungan mineral tinggi, reaksi gambut netral atau alkalin), oligotrofik (kandungan mineral,
terutama Ca rendah dan reaksi masam) dan mesotrofik ( terletak diantara keduanya dengan pH
sekitar 5, kandungan basa sedang). Ketebalan atau kedalaman gambut juga menentukan tingkat
kesuburan alami dan potensi kesesuaiannya untuk tanaman. Subagyo et al, (1996) membagi
gambut dalam 4 kelas, yaitu dangkal (50-100 cm), agak dalam (100-200 cm), dalam (200-300
cm) dan sangat dalam (lebih dari 300 cm).

Menurut Subagyo et al, (1996), tanah bawah gambut dapat terdiri atas liat endapan marin, pasir
kuarsa, atau endapan liat nonmarin. Tanah gambut yang berkembang di atas pasir kuarsa miskin
hara esensial dibandingkan dengan tanah gambut yang berkembang di atas tanah lempung dan
liat.

Tingkat dekomposisi bahan organik ditunjukkan oleh kandungan serat. Pengertian taraf
dekomposisi bahan organik tanah yang lebih jelas dikemukakan Widjaja dan Adhi (1988).
Yang dimaksud dengan fibrik adalah bahan organik tanah yang sangat sedikit terdekomposisi
yang mengandung serat sebanyak 2/3 volume. Bobot volume fibrik lebih kecil dari 0.075 g
cm-3 dan kandungan air tinggi jika tanah dalam keadaan jenuh air. Saprik adalah bahan
organik yang terdekomposisi paling lanjut yang mengandung serat kurang dari 1/3 volume dan
bobot isi saprik adalah 0,195 g cm-3, sedangkan hemik adalah bahan organik yang mempunyai
tingkat dekomposisi antara fibrik dengan saprik dengan bobot isi 0,075 sampai 0,195 g cm-3.

Berdasarkan status hara, Fleisher (1965, dikutip Driessen dan Soepraptohardjo, 1974)
memilah gambut menjadi tiga golongan, yaitu (1) gambut eutropik yang subur, (2) gambut
mesotropik dengan kesuburan sedang, dan (3) gambut oligotropik sebagai gambut miskin.
Penggolongan tersebut didasarkan pada kandungan nitrogen (N), kalium (K), fosfor (P),
kalsium (Ca), dan kadar abunya seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria kimia gambut eutropik, mesotropik, dan oligotropik menurut Fleischer

Tingkat Kriteria

Kesuburan Penilaian (%)


N K2O P2O5 CaO Abu
Eutropik 2.50 0.10 0.25 4.00 10.00
Mesotropik 2.00 0.10 0.20 1.00 5.00
Oligotropik 0.80 0.03 0.05 0.25 2.00

Sumber : Driessen dan Soepraptohardjo (1974).

Sebagai akibat akumulasi bahan organik dan tanah dalam lingkungan tergenang air, banyak
terbentuk senyawa-senyawa asam organik sehingga derajat kemasaman tanah gambut tinggi.
Menurut Halim dan Soepardi (1987), kategori kemasaman tanah gambut dibedakan atas : (1)
tinggi, pH kurang dari 4; (2) sedang, pH berkisar antara 4 sampai 5; (3) rendah, pH lebih dari
5.

Bersambung ke bagian 2 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini:

Pustaka:

Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1) Dasar-
Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, dan (3) Pengelolaan Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas
Pertanian Unsri & Program Pascasarjana Unsri. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 21:50 0 komentar


Label: Kesuburan Tanah

Pengelolaan Kesuburan Tanah Pada Lahan Gambut (Bagian 2)

Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pertanian*

Oleh: Novriani** dan Abdul Madjid Rohim***

(Bagian 2 dari 5 Tulisan)

Keterangan:

* : Makalah Pengelolaan Kesuburan Tanah, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister
(S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan,
Indonesia.

** : Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas
Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia.

*** : Dosen Mata Kuliah Pengelolaan Kesuburan Tanah, Program Studi Ilmu Tanaman, Program
Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera
Selatan, Indonesia.

(Bagian 2 dari 5 Tulisan)

II. Permasalahan Pada Tanah Gambut


Pada pengelolaan tanah gambut untuk usaha pertanian, yang pertama-tama harus
diperhatikan adalah dinamika sifat-sifat fisika dan kimia tanah gambut, antara lain (1)
dinamika sifat kemasaman tanah yang dikaitkan dengan pengendalian asam-asam organik
meracun, dan (2) dinamika kesuburan tanah sehubungan dengan ketersediaan unsur hara
makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman yang diusahakan (3) kebakaran lahan gambut dan
(4) pengaturan tata air pada lahan gambut sesuai kebutuhan tanaman.

• Sifat-sifat Tanah Gambut

Diantara sifat yang penting dari tanah gambut di daerah tropis adalah : bahan penyusun berasal
dari kayu-kayuan, dalam keadaan tergenang, sifat menyusut dan subsidence ( penurunan
permukaan gambut) karena drainase, kering tidak balik, pH yang sangat rendah dan status
kesuburan tanah yang rendah. Pengembangan usaha pertanian sangat dibatasi oleh beberapa hal
di atas (Andriesse, 1988).

A. Sifat Fisik

Sifat-sifat fisik gambut sangat erat kaitannya dengan pengelolaan air gambut. Bahan penyusun
gambut terdiri dari empat komponen yaitu bahan organik, bahan mineral, air dan udara.
Perubahan kandungan air karena reklamasi gambut akan ikut merubah sifat-sifat fisik lainnya
(Andriesse, 1988). Mengingat sifat-sifat fisik tanah gambut saling berhubungan maka
pembahasan sifat fisik dari tanah gambut tidak dapat dilakukan secara terpisah. Uraian tentang
sifat-sifat fisik gambut ini akan dihubungankan dengan sifat-sifat kimia tanah gambut.
Pemahaman akan sifat-sifat fisik akan sangat bermanfaat dalam menentukan strategi
pemanfaatan gambut.

Menurut Hardjowigeno (1996) sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting adalah: tingkat
dekomposisi tanah gambut; kerapatan lindak, irreversible dan subsiden. Noor (2001)
menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah, dan kadar lengas gambut merupakan
sifat-sifat fisik yang perlu mendapat perhatian dalam pemanfaatan gambut.

Berdasarkan atas tingkat pelapukan (dekomposisi) tanah gambut dibedakan menjadi: (1) gambut
kasar (Fibrist ) yaitu gambut yang memiliki lebih dari 2/3 bahan organk kasar; (2) gambut
sedang (Hemist) memiliki 1/3-2/3 bahan organik kasar; dan (3) gambut halus (Saprist) jika bahan
organik kasar kurang dari 1/3. Gambut kasar mempunyai porositas yang tinggi, daya memegang
air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit tersedia bagi tanaman.
Gambut kasar mudah mengalami penyusutan yang besar jika tanah direklamasi. Gambut halus
memiliki ketersediaan unsur hara yang lebih tinggi memiliki kerapatan lindak yang lebih besar
dari gambut kasar (Hardjowigeno, 1996).

Tanah gambut mempunyai kerapatan lindak (bulk density) yang sangat rendah yaitu kurang dari
0,1 gr/cc untuk gambut kasar, dan sekitar 0,2 gr/cc pada gambut halus. Dibanding dengan tanah
mineral yang memiliki kerapatan lindak 1,2 gr/cc maka kerapatan lindak gambut adalah sangat
rendah. Rendahnya kerapatan lindak menyebabkan daya dukung gambut (bearing capasity)
menjadi sangat rendah, keadaan ini menyebabkan rebahnya tanaman tahunan seperti kelapa dan
kelapa sawit pada tanah gambut.
Tanah gambut jika di drainase secara berlebih akan menjadi kering dan kekeringan gambut ini
disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah mengering tidak akan dapat menyerap air
kembali. Perubahan menjadi kering tidak balik ini disebabkan gambut yang suka air (hidrofilik)
berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik) karena kekeringan, akibatnya kemampuan menyerap
air gambut menurun sehingga gambut sulit diusahakan bagi pertanian. Berkurangnya
kemampuan menyerap air menyebabkan volume gambut menjadi menyusut dan permukaan
gambut menurun (kempes). Perbaikan drainase akan menyebabkan air keluar dari gambut
kemudian oksigen masuk kedalam bahan organik dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme,
akibatnya terjadi dekomposisi bahan organik dan gambut akan mengalami penyusutan
(subsidence) sehingga permukaan gambut mengalami penurunan.

Kadar lengas gambut (peat moisture) ditentukan oleh kematangan gambut. Pada gambut alami
kadar lengas gambut sangat tinggi mencapai 500-1.000 % bobot, sedangkan yang telah
mengalami dekomposisi berkisar antara 200-600 % bobot. Kadar lengas gambut fibrik lebih
besar dari gambut hemik dan saprik. Kemampuan menyerap air gambut fibrik lebih besar dari
gambut sapris dan hemist, namun kemampuan fibris memegang air lebih lemah dari gambut
hemik dan saprist (Noor, 2001). Tingginya kemampuan gambut menyerap air menyebabkan
tingginya volume pori-pori gambut, mengakibatkan rendahnya kerapatan lindak dan daya
dukung gambut (Mutalib et al, 1991).

Akumulasi gambut akan menyebabkan ketebalan gambut yang bervariasi pada suatu kawasan.
Umumnya gambut akan membentuk kubah (dome), semakin dekat dengan sungai ketebalan
gambut menipis, kearah kubah gambut akan menebal, di Kalimantan Barat kubah gambut di
Sungai Selamat dapat mencapai 8 m, demikianpula pada daerah rasau Jaya. Ketebalan gambut
berkaitan erat dengan kesuburan tanah. Gambut ditepi kubah tipis dan memiliki kesuburan yang
relatif baik (gambut topogen) sedang di tengah kubah gambut tebal >3m memiliki kesuburan
yang relatip rendah (gambut ombrogen) (Andriesse, 1988; Harjowigeno, 1996).

Lapisan bawah gambut dapat berupa lapisan lempung marine atau pasir. Gambut diatas pasir
kuarsa memiliki kesuburan yang relatip rendah, jika lapisan gambut terkikis, menyusut dan
hilang maka akan muncul tanah pasir yang sangat miskin. Tanah lapisan lempung marin
umumnya mengandung pirit (FeS2), pada kondisi tergenang (anaerob) pirit tidak akan berbahaya
namun jika didrainase secara berlebihan dan pirit teroksidasi maka akan terbentuk asam sulfat
dan senyawa besi yang berbahaya bagi tanaman. Kemasaman tanah akan memningkat pH
menjadi 2-3 sehingga tanaman pertanian akan keracunan dan pertumbuhan terhambat serta hasil
rendah.

Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua (gelap) tergantung
tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15-30 kali dari
berat kering, rendahnya bulk density (0,05-0,4 g/cm3) dan porositas total diantara 75-95%
menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas yang
akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000)

Sebagai contoh di Malaysia, tiga komoditas utama yaitu kelapa sawit, karet dan kelapa
cenderung pertumbuhannya miring bahkan ambruk sebagai akibat akar tidak mempunyai
tumpuan tanah yang kuat (Singh et al, 1986). Gambut memiliki daya dukung atau daya tumpu
yang rendah karena kerapatan tanahnya rendah. Sebagai akibatnya, pohon yang tumbuh menjadi
mudah rebah, jalan sulit dilalui kendaraan, dan sulit disawahkan (kecuali gambut dengan
kedalaman kurang dari 75 cm). Gambut tebal sulit dan tidak cocok dibuat sawah karena dalam
kondisi basah, akan sulit diinjak serta sangat miskin hara. Karenanya, gambut tebal sebaiknya tidak
digunakan sebagai lahan pertanian/sawah.

Penurunaan gambut terjadi setelah dilakukan drainase, permukaan tanah gambut akan mengalami
penurunan karena pematangan gambut dan berkurangnya kandungan air. Rata-rata kecepatan
penurunan adalah 0,3-0,8 cm/bulan, dan umumnya terjadi selama 3-4 tahun setelah drainase dan
pengolahan tanah. Semakin tebal gambut, penurunan tersebut semakin cepat dan semakin lama.
Sifat gambut seperti ini mengakibatkan terjadinya genangan, pohon rebah, dan konstruksi
bangunan (jembatan, jalan, saluran drainase) terganggu atau ambles.

Masalah penurunan gambut ditanggulangi dengan cara sebagai berikut: Penanaman tanaman
tahunan didahului dengan penanaman tanaman semusim minimal tiga kali musim tanam; dan
dilakukan pemadatan sebelum penanaman tanaman tahunan.

Beberapa kiat untuk mengatasi daya tumpu dan daya dukung gambut yang rendah adalah:

1. Budidaya tanaman tahunan hanya pada lahan dengan ketebalan gambut <>

2. Dilakukan pemadatan gambut sebelum penanaman. Pemadatan dapat dilakukan dengan


menggunakan alat sederhana yang dibuat sendiri dari kayu gelondong yang dapa digelindingkan
(Gambar 3), ata menggunakan alat pemadat mekanis yang biasa digunakan untuk memadatkan
tanah di jalan;

3. Gambut dengan ketebalan lebih dari 75 cm ditata dengan sistem tegalan.

Untuk mengatasi masalah kandungan asam-asam organik yang beracun biasanya dilakukan drainase
dengan membuat saluran drainase intensif atau saluran cacing. Bahan amelioran adalah bahan
yang mampu memperbaiki atau membenahi kondisi fisik dan kesuburan tanah. Beberapa contoh
bahan amelioran yang sering digunaka adalah kapur , tanah mineral, pupuk kandang, kompos, dan
abu.

B. Sifat-sifat Kimia

Ketebalan horison organik, sifat subsoil dan frekuensi luapan air sungai mempengaruhi
komposisi kimia gambut. Pada tanah gambut yang sering mendapat luapan, semakin banyak
kandungan mineral tanah sehingga relatif lebih subur.

Kesuburan gambut sangat bervariasi dari sangat subur sampai sangat miskin. Gambut tipis yang
terbentuk diatas endapan liat atau lempung marin umumnya lebih subur dari gambut dalam
(Widjaya Adhi, 1988). Atas dasar kesuburannya gambut dibedakan atas gambut subur (eutropik),
gambut sedang (mesotropik) dan gambut miskin (oligotropik).
Secara umum kemasaman tanah gambut berkisar antara 3-5 dan semakin tebal bahan organik
maka kemasaman gambut meningkat. Gambut pantai memiliki kemasaman lebih rendah dari
gambut pedalaman. Kondisi tanah gambut yang sangat masam akan menyebabkan kekahatan
hara N, P, K, Ca, Mg, Bo dan Mo. Unsur hara Cu, Bo dan Zn merupakan unsur mikro yang
seringkali sangat kurang (Wong et al, 1986, dalam Mutalib et al, 1991). Kekahatan Cu acapkali
terjadi pada tanaman jagung, ketela pohon dan kelapa sawit yang ditanam di tanah gambut.

Tanah gambut ombrogen dengan kubah gambut yang tebal umumnya memiliki kesuburan yang
rendah dengan pH sekitar 3,3 namun pada gambut tipis di kawasan dekat tepi sungai gambut
semakin subur dan pH berkisar 4,3 (Andriesse, 1988). Kemasaman tanah gambut disebabkan
oleh kandungan asam asam organik yang terdapat pada koloid gambut. Dekomposisi bahan
organik pada kondisi anaerob menyebabkan terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat yang
menyebabkan tingginya kemasaman gambut. Selain itu terbentuknya senyawa fenolat dan
karboksilat dapat meracuni tanaman pertanian (Sabiham, 1996). Jika tanah lapisan bawah
mengandung pirit, pembuatan parit drainase dengan kedalaman mencapai lapisan pirit akan
menyebabkan pirit teroksidasi dan menyebabkan meningkatnya kemasaman gambut dan air
disaluran drainase.

Hubungan ketebalan gambut dengan sifat kimia dan kesuburan gambut disajikan pada Tabel 3.
Tanah gambut memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang sangat tinggi (90-200 me/100 gr)
namun kejenuhan basa (KB) sangat rendah, hal ini menyebabkan ketersedian hara terutama K,
Ca, dan Mg menjadi sangat rendah.

KB gambut harus ditingkatkan mencapai 25-30% agar basa-basa tertukar dapat dimanfaatkan
tanaman (Tim Fakultas Pertanian IPB,1986; Hardjowigeno, 1996; dan Sagiman, 2001). C/N
gambut umumnya sangat tinggi melibihi 30 ini berarti hara nitrogen kurang tersedia untuk
tanaman sekalipun hasil analisis N total menunjukkan angka yang tinggi. Unsur P dalam tanah
gambut terdapat dalam bentuk P organik dan kurang tersedia bagi tanaman. Pemupukan P
dengan pupuk yang cepat tersedia akan menyebabkan ion phosphat mudah tercuci dan
mengurangi ketersediaan hara P bagi tanaman. Penambahan besi dapat mengurangi pencucian P
(Soewono, 1997) dilapangan pencucian P dapat diperkecil dengan menambahkan tanah mineral
kaya besi dan Al (Salampak, 1999).

Everret (1983) mengemukakan bahwa Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah gambut pada
umumnya sangat tinggi, biasanya lebih dari 100 cmol kg-1 tanah. KTK tanah gambut di
dataran Anai termasuk tinggi dan sangat tinggi, yaitu antara 35,1 sampai 65,6 cmol kg-1 tanah.
Data KTK tanah gambut di dataran Anai yang diambil dari beberapa sampel profil.

Nilai Kejenuhan Basa (KB) adalah persentase dari total kapasitas tukar kation yang ditempati
oleh kation-kation basa seperti kalsium, magnesium, kalium, dan natrium. Nilai KB
berhubungan erat dengan pH dan tingkat kesuburan tanah.

Kemasaman akan menurun dan kesuburan tanah akan meningkat dengan meningkatnya KB.
Laju pelepasan kation terjerap bagi tanaman bergantung pada tingkat KB suatu tanah. Suatu
tanah dikatakan sangat subur jika KB-nya lebih besar dari 80%, kesuburan sedang jika KB-
nya berkisar antara 50% sampai 80%, dan dikatakan tidak subur jika KB-nya kurang dari 50%
(Tan, 1993).

Tindak lanjut masalah tanah gambut yang sudah dipecahkan adalah usaha memperbaiki
kesuburan tanah digunakan pupuk (makro dan mikro) dan bahan amelioran. Pupuk mikro
digunakan pada tanah gambut dengan kedalaman lebih dari 1 m. (Prasetyo, 1996), pengapuran
untuk menaikkan pH tanah (Mawardi et al,1997), dan aplikasi mikrobia pelapuk bahan
organik (Poeloengan et al, 1995).

Hasil penelitian Mawardi et al, (1997) memperlihatkan bahwa bahan-bahan amelioran dapat
menetralkan asam-asam organik yang bersifat meracuni, meningkatkan pH, dan memperbaiki
pertumbuhan dan produksi tanaman.

Menurut Sastrosupadi et al, (1992) pengapuran dapat meningkatkan pH tanah, menetralkan


Al, dan meningkatkan ketersediaan P untuk tanaman. Rendahnya pH dan besarnya kapasitas
sangga tanah gambut menyebabkan banyak diperlukan kapur untuk meningkatkan setiap
satuan pH.

Dari hasil-hasil penelitian disimpulkan bahwa salah satu kegiatan pertanian yang memberikan
kontribusi yang nyata bagi rusaknya ekosistem gambut adalah kegiatan pembukaan lahan
gambut dengan cara bakar. Pembukaan lahan gambut dengan cara bakar, menjadi faktor
penyebab kerusakan lahan gambut yang cukup signifikan.

Selain itu, pemakaian pupuk kimia dengan dosis tinggi secara terus menerus dapat merusak
struktur tanah dan menimbulkan pencemaran, baik terhadap lahan pertanian maupun lingkungan,
sehingga menyebabkan produktivitas lahan semakin merosot.

Pertanian yang hanya bertumpu pada pemakaian pupuk kimia, selain memberikan dampak positif
terhadap peningkatan produksi, juga memberikan dampak negatif berupa penurunan kualitas
tanah serta pemborosan energi. Dalam era lingkungan dan globalisasi, orientasi pengembangan
pertanian diarahkan untuk meningkatkan produksi secara berkelanjutan (mempertahankan
kualitas lahan dan lingkungan) denga cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan
sumberdaya alami seperti mendaur ulang limbah pertanian sehingga pemakaian pupuk kimia
dapat dikurangi.

Alternatif mempertahankan dan meningkatkan kesuburan lahan gambut serta menghindarkan


dampak negatif penggunaan abu bakaran gambut dan pupuk kimia antara lain dengan
memadukan penggunaan limbah-limbah pertanian sebagai amelioran dan penanaman varietas-
varietas adaftif serta pemanfaatan pupuk organik. Pembuatan abu sebagai bahan amelioran
dilakukan petani bersamaan dengan musim kemarau, yaitu dengan cara membakar gambut pada
waktu membersihkan lahan dari gulma dan semak belukar. Mahalnya harga pupuk menyebabkan
ketergantungan petani pada abu bakar dari gambut semakin tinggi.

Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan pertanian di lahan pasang surut (gambut)
adalah adanya lapisan gambut tebal dan lapisan pirit (FeS02). Gambut mempunyai sifat khas,
yaitu sifat kering tak balik (irreversible drying) dan daya retensi air yang besar (Driessen dan
Soepraptohardjo, 1974). Sedangkan pirit adalah suatu mineral endapan marin yang terbentuk
pada tanah yang jenuh air, kaya bahan organik dan diperkaya oleh sulfat larut yang berasal dari
laut. Pirit mempunyai sifat yang unik dan tergantung pada keadaan air (Van Breemen dan Pons,
1978). Pada keadaan jenuh air pirit stabil dan tidak berbahaya, tetapi pada keadaan kering atau
drainase berlebihan maka pirit menjadi labil dan mudah teroksidasi. Oksidasi pirit akan
menyebabkan pemasaman tanah karena diikuti oleh pelepasan ion ion sulfat dan besi,
selanjutnya akan menghancurkan struktur mineral liat tanah sehingga meningkatkan kadar asam,
besi, aluminum dalam larut tanah.

Dalam konteks konservasi lahan gambut maka upaya untuk menghindarkan terjadinya degradasi
lahan adalah bagaimana mempertahankan lapisan gambut pada batas antara 25 – 50 cm
bergantung sistem usahatani yang dikembangkan dan mencegah terjadinya oksidasi pirit
berlebihan. Hasil pemetaan pada sebagian besar kawasan gambut di Kalimantan, termasuk
kawasan pengembangan lahan gambut (PLG) sejuta hektar berada pada endapan marin yang
kaya pirit pada kedalaman yang beragam antara 25 – 100 cm lebih. Oleh karena itu penyusutan
atau kehilangan lapisan atas (gambut) dapat menyebabkan terjadinya pemasaman tanah dan
pencemaran terhadap lingkungan. Selain itu juga dengan semakin meningkatnya penyusutan
kawasan gambut dapat mengakibatkan terganggunya tatanan tata air di kawasan gambut karena
sifat gambut yang besar dalam menyimpan air yaitu antara 200 – 800 % bobot (Nugroho et al.,
1997).

Lahan gambut merupakan lahan yang berasal dari bentukan gambut beserta vegetasi yang
terdapat diatasnya terbentuk di daerah yang topografinya rendah, dan bercurah hujan tinggi atau
di daerah yang suhunya sangat rendah. Tanah gambut mempunyai kandungan bahan organik
yang tinggi (>12% C. karbon) dan kedalaman gambut minimum 50 cm. Tanah gambut
diklasifikasikan sebagai Histosol dalam sistem

Klasifikasi FAO UNESCO (1994) yaitu yang mengandung bahan organik lebih tinggi daripada
30 persen, dalam lapisan setebal 40 cm atau lebih, dibagian 80 cm teratas profil tanah. Gambut
merupakan sumberdaya alam yang banyak memiliki kegunaan antara lain untuk budidaya
tanaman pertanian maupun kehutanan, dan akuakultur, selain juga dapat digunakan untuk bahan
bakar, media pembibitan, ameliorasi tanah dan untuk menyerap zat pencemar lingkungan.

C. Sifat Biologi

Menurut Waksman dalam Andriesse (1988) perombakan bahan organik saat pembentukan
gambut dilakukan oleh mikroorganisme anaerob dalam perombakan ini dihasilkan gas methane
dan sulfida. Setelah gambut didrainase untuk tujuan pertanian maka kondisi gambut bagian
permukaan tanah menjadi aerob, sehingga memungkinkan fungi dan bakteri berkembang untuk
merombak senyawa sellulosa, hemisellulosa, dan protein. Gambut tropika umumnya tersusun
dari bahan kayu sehingga banyak mengandung lignin, bakteri yang banyak ditemukan pada
gambut tropika adalah Pseudomonas selain fungi white mold dan Penecilium (Suryanto, 1991).
Pseudomonas merupakan bakteri yang mampu merombak lignin(Alexander, 1977). Penelitian
tentang dekomposisi gambut di Palangkaraya menunjukkan bahwa dekomposisi permukaan
gambut terutama disebabkan oleh dekomposisi aerob yang dilaksanakan oleh fungi (Moore and
Shearer, 1997).
Pada berapa penelitian di lahan gambut Jawai (Kab Sambas) dan Jangkang (Kab Pontianak)
dapat diisolasi bakteri Bradyrhizobium japonicum yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan
hasil kedelai di lahan gambut. Kedelai adalah tanaman yang sangat banyak memerlukan
nitrogen, 40 – 80 persen kebutuhan nitrogen kedelai dapat disuplai melalui simbiosis kedelai dan
bakteri bintil akar (B. japonicum ). Gambut memiliki ketersediaan N yang rendah. Inokulasi B
japonicum asal Jawai dan Jangkang yang efektif dapat meningkatkan kandungan N dan hasil
tanaman kedelai (Sagiman dan Anas. 2005).

D. Pengaturan Tata Air Pada Tanah Gambut

Lahan marginal seperti lahan gambut dapat ditingkatkan menjadi lahan produktif dengan
menerapkan teknologi yang tepat guna. Lahan gambut dicirikan dengan kandungan bahan organik
yang tinggi, kemasaman tanah tinggi, namun mempunyai ketersedian hara makro dan mikro yang
sangat rendah. Selain itu path musim penghujan akan terjadi penggenangan air dan path musim
kemarau akan terjadi kekeringan, sehingga tata air menjadi kebutuhan mutlak (Yardha, et a1,
1998; Yusuf, et a1, 1999).

• Sumber Air di Lahan Gambut

Sebagai salah satu jenis lahan rawa, keberadaan air di lahan gambut sangat dipengaruhi oleh
adanya hujan dan pasang surut/luapan air sungai. Tingkah laku dari keduanya akan berpengaruh
terhadap tinggi dan lama genangan air di lahan gambut dan pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap tingkat kesuburan lahan serta pola budidaya tanaman yang akan diterapkan di atasnya.
Lahan gambut yang sering menerima luapan air sungai relatif lebih subur dibandingkan lahan
gambut yang semata-mata hanya menerima limpasan/curahan air hujan. Sifat luapan/pasang
surut air sungai yang jangkauannya dapat mencapai lahan gambut dapat disiasati untuk
mengatasi berbagai kendala pertanian di lahan gambut, misalnya untuk mencuci zat-zat beracun
atau asam kuat yang berasal dari teroksidasinya pirit dan mengatur keberadaan air sehingga
tanaman dapat tumbuh dengan baik.

• Teknologi Pengelolaan Air di Lahan Gambut

Pengelolaan air di lahan gambut bertujuan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya air secara
optimal sehingga didapatkan hasil/produktivitas lahan yang maksimal, serta sekaligus
mempertahankan kelestarian sumber daya lahan tersebut. Salah satu teknik pengelolaan air di
lahan gambut dapat dilakukan dengan membuat parit/saluran, dengan tujuan:

1. Mengendalikan keberadaan air tanah di lahan gambut sesuai dengan kebutuhan tanaman yang
akan dibudidayakan. Artinya: gambut tidak menjadi kering di musim kemarau, tapi juga tidak
tergenang di musim hujan. Hal demikian dapat dicapai dengan membuat pintu air (flapgate) yang
dapat mengatur tinggi muka air tanah gambut sekaligus menahan air yang keluar dari lahan;

2. Mencuci asam-asam organik dan anorganik serta senyawa lainnya yang bersifat racun
terhadap tanaman dan memasukan (suplai) air segar untuk memberikan oksigen;
3. Memanfaatkan keberadaan air di dalam saluran sebagai media budidaya ikan, baik budidaya
aktif (dimana benih ikan ditebarkan di dalam saluran) maupun budidaya pasif (dimana
parit/saluran digunaan sebagai perangkap ikan ketika sungai di sekitarnya meluap).

Selain itu keberadaan air di dalam parit akan berfungsi sebagai sekat bakar yang dapat mencegah
terjadinya kebakaran di lahan gambut; sebagai sarana transportasi hasil panen.Lahan gambut
merupakan salah satu jenis lahan rawa yang selalu jenuh air atau tergenang, kondisi demikian
menjadikan lahan gambut sulit untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian. Salah satu faktor
kunci keberhasilan pengembangan pertanian di lahan gambut, selain meningkatkan
kesuburannya adalah mengendalikan tinggi muka air di dalamnya sehingga gambut tetap basah
tapi tidak tergenang dimusim hujan dan tidak kering di musim kemarau. Pengaturan tinggi muka
air yang tepat juga dimaksudkan agar proses pencucian bahan beracun berjalan dengan lancar
sehingga tercipta media tumbuh yang baik bagi tanaman.

Beberapa teknik pengelolaan air yang telah lama dikembangkan di lahan rawa (termasuk
gambut) antara lain:

(1) Sistem parit/handil di tepi sungai; dan

(2) Sistem saluran model garpu di lahan pasang surut

(dikembangkan oleh Universitas Gajah Mada).

Kedua sistem ini mempunyai kelemahan yaitu aliran air yang masuk atau keluar dari petakan
lahan gambut (pada saat pasang-surut/luapan berlangsung) terjadi pada satu saluran yang sama,
dan pada saluran ini sering terjadi pendangkalan yang diakibatkan oleh endapan lumpur sungai.
Kondisi demikian menyebabkan penyumbatan saluran sehingga proses pergantian air di dalam
petakan lahan tidak berlangsung sempurna, akibatnya bahan-bahan beracun dan juga senyawa
asam menumpuk/terakumulasi di dalam saluran dan menyebabkan mutu air menjadi jelek.
Kondisi di atas dapat diatasi dengan mengangkat/ membuang endapan dari dalam saluran atau
memisahkan saluran air masuk/irigasi (inlet) dengan air keluar/drainase (outlet).

1. Sistem parit/handil di tepi sungai

Pengelolaan lahan pertanian dengan sistem parit/handil ini, telah dikembangkan sejak dahulu
kala oleh petani di lahan gambut pedalaman Kalimantan. Parit dibuat dari pinggir sungai yang
mengarah tegak lurus ke arah daratan, dikiri dan kanan parit dibuat pematang-pematang yang
umumnya digunakan sebagai jalan sekaligus sebagai batas kepemilikan lahan. Parit dapat
dipandang sebagai saluran sekunder bila sungai dipandang sebagai saluran primer. Parit dibuat
secara bertahap dan diselaraskan dengan kondisi perubahan lahan, pengaruh pasang surut
(kedalaman muka air) dan ketebalan gambut. Penerapan sistem parit biasanya diawali dengan
usaha pembukaan lahan (reklamasi) dengan merintis dan memotong/menebang pohon-pohon
besar.

Pekerjaan ini dilakukan secara berkelompok dan bertahap serta dimulai dari tepi sungai tegak
lurus kearah pedalaman. Sistem parit/handil dicirikan oleh:
1. Lahan usahatani umumnya berjarak 0,5 - 4 km dari tepi sungai ke arah pedalaman, atau
sampai ke ketebalan gambut maksimum 1meter;

2. Di bagian tepi sungai biasanya tidak dibuatkan pematang, karena sudah ada tanggul sungai
yang terbentuk secara alami sehingga bila sungai pasang atau banjir, luapan air akan tertahan dan
genangan pada lahan usaha yang ditimbulkan terbatas;

3. Parit dibuat biasanya berfungsi ganda, pertama sebagai saluran drainase (pembuangan) apabila
air surut dan kedua sebagai saluran irigasi (mengairi) apabila air pasang. Aliran air dalam parit
adalah dua arah atau bolak balik;

4. Untuk mempertahankan keberadaan air di lahan/petakan, maka pada parit dipasang tabat untuk
mencegah keluarnya air sewaktu surut tetapi sewaktu pasang air dapat mudah masuk dalam
petakan;

5. Untuk mencegah agar parit tidak tersumbat oleh endapan lumpur, maka perlu dilakukan
pengangkatan/pembuangan lumpur secara rutin setiap bulan sekali;

6. Lebar parit/handil berukuran 5 meter dan semakin menyempit ke arah hulu parit. Pada kanan
dan kiri parit dibuat tanggul/pematang untuk ditanami buah-buah yang berfungsi sebagai penguat
tanggul agar tidak longsor. Di atas pematang ini, juga dapat dibuat pondok-pondok;

7. Pada setiap jarak 500 meter dibuat parit cacing yang berfungsi untuk memasukan dan
mengeluarkan air pada petakan pertanaman.

2. Sistem saluran model garpu di lahan pasang surut

Pengaturan tata air dengan sistem garpu (Gambar 2) telah dikembangkan oleh Universitas Gajah
Mada (UGM) pada lahan pasang surut, yaitu lahan-lahan yang terletak di dataran pantai atau
dataran dekat sungai; baik terpengaruh secara langsung maupun tidak langsung oleh pasang
surut. Untuk mengatur air pasang surut, maka dibuat pintu-pintu air yang dikenal dengan sebutan
flapgate yaitu pintu otomatis yang ketika pasang, air akan mendorong pintu sehingga air dapat
masuk ke dalam parit-parit petakan lahan; tetapi sewaktu surut, air akan tertahan di dalam parit-
parit petakan lahan. Struktur tinggi/operasional pintu-pintu air tersebut disesuaikan dengan
penggunaan lahannya, apakah untuk sawah, surjan atau lahan kering. Kelemahan sistem garpu:
Biaya pembuatan sistem garpu terlalu mahal, karena dirancang untuk areal pertanian yang cukup
luas dan menggunakan alat-alat berat;

E. Kebakaran Lahan Gambut

Kendala lain pada tanah gambut adalah kebakaran gambut hal ini dapat merugikan, apabila
gambut mengalami pengeringan yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak dan
kering. Terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying) dan gambut berubah sifat seperti
arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air (Subagyo et al, 1996). Gambut
akan kehilangan air tersedia setelah 4 - 5 minggu pengeringan dan ini mengakibatkan gambut
mudah terbakar.
Kebakaran hutan dan lahan gambut di wilayah tropika terutama di Asia Tenggara sudah terjadi
selama 20 tahun terakhir ini. Kebakaran tersebut terjadi umumnya selama musim kering yang
terimbas oleh periode iklim panas atau dikenal sebagai El Nino-Southern Oscilation (ENSO).
Periode panas ini dapat terjadi setiap 3–7 tahun, dan lama kejadiannya dari 14 bulan hingga 22
bulan (Singaravelu, 2002). Pemanasan ini biasanya bermula pada bulan Oktober, terus
meningkat ke akhir tahun dan berpuncak pada pertengahan tahun berikutnya.

Kebakaran hutan tropika basah di Indonesia diketahui terjadi sejak abad ke-19, yakni di kawasan
antara Sungai Kalimantan dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan Katingan) di Kalimantan
Tengah, yang rusak akibat kebakaran hutan tahun 1877. Statistik Kehutanan Indonesia telah
mencatat adanya kebakaran hutan sejak tahun 1978, meskipun kebakaran besar yang diketahui
oleh umum terjadi pada tahun 1982/1983 telah menghabiskan 3,6 juta ha hutan termasuk sekitar
500.000 ha lahan gambut di Kalimantan Timur (Page et al., 2000; Parish, 2002). Selanjutnya
pada tahun 1987 kebakaran hutan dalam skala besar terjadi lagi di 21 propinsi terutama di
Kalimantan Timur, yang terjadi bersamaan dengan munculnya periode iklim panas ENSO,
sehingga sejak saat itu timbul anggapan bahwa kebakaran hutan adalah bencana alam akibat
kemarau panjang dan kering karena ENSO. Begitulah kebakaran besar terjadi lagi pada tahun
1991, 1994 dan 1997 di 24 propinsi di Indonesia.

Kebakaran selama musim kering pada tahun 1997, telah membakar sekitar 1,5 juta ha lahan
gambut di Indonesia (BAPPENAS, 1998), termasuk 750.000 ha di Kalimantan. Kebakaran hutan
dan lahan pada tahun 1997 dinyatakan sebagai yang terburuk dalam 20 tahun terakhir. Atas dasar
rekaman sejarah tersebut di atas, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berulang setiap lima
tahun, yang nampaknya cocok benar dengan periode iklim panas ENSO rata-rata 5 tahun.

• Penyebab Kebakaran

Kebakaran hutan dan lahan gambut selama musim kering dapat disebabkan atau dipicu oleh
kejadian alamiah dan kegiatan atau kecerobohan manusia. Kejadian alamiah seperti terbakarnya
ranting dan daun kering secara serta-merta (spontan) akibat panas yang ditimbulkan oleh batu
dan benda lainnya yang dapat menyimpan dan menghantar panas, dan pelepasan gas metana
(CH4) telah diketahui dapat memicu terjadinya kebakaran (Abdullah et al., 2002). Meskipun
demikian, pemicu utama terjadinya kebakaran adalah adanya kegiatan dan atau kecerobohan
manusia, yang 90–95% kejadian kebakaran dipicu oleh faktor ini.

Faktor manusia yang dapat memicu terjadinya kebakaran meliputi pembukaan lahan dalam
rangka pengembangan pertanian berskala besar, persiapan lahan oleh petani, dan kegiatan-
kegiatan rekreasi seperti perkemahan, piknik dan perburuan. Menurut pengalaman di Malaysia
(Abdullah et al., 2002; Musa & Parlan, 2002) dan di Sumatra (Sanders, 2005), kegiatan
pembukaan dan persiapan lahan baik oleh perusahaan maupun masyarakat merupakan penyebab
utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut. Pembukaan dan persiapan lahan oleh petani
dengan cara membakar merupakan cara yang murah dan cepat terutama bagi tanah yang
berkesuburan rendah. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa cara ini cukup membantu
memperbaiki kesuburan tanah dengan meningkatkan kandungan unsur hara dan mengurangi
kemasaman (Diemont et al., 2002). Hanya saja jika tidak terkendali, kegiatan ini dapat memicu
terjadinya kebakaran.
Dalam skala besar, ancaman kebakaran terutama terjadi dalam kawasan hutan dan lahan gambut
yang telah direklamasi. Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut pada tahun 1997 menunjukkan
bahwa sekitar 80% dari luas lahan Proyek Pengembangan

Lahan Gambut (PPLG) 1,4 juta hektar di Kalimantan Tengah diliputi oleh titik titik panas (hot
spots), yang sebarannya semakin banyak ke arah saluran pengatusan (drainase) yang telah
dibangun (Jaya et al, 2000; Page et al, 2000). Ancaman itu memang akhirnya terjadi bahwa
sekitar 500.000 ha kawasan PPLG di Kalimantan Tengah telah terbakar selama kebakaran tahun
1997 (Page et al, 2000; Siegert et al, 2002).

• Sifat Kebakaran

Sifat kebakaran yang terjadi di kawasan hutan dan lahan gambut berbeda dengan yang terjadi di
kawasan hutan dan lahan tanah mineral (bukan gambut). Di kawasan bergambut, kebakaran tidak
hanya menghanguskan tanaman dan vegetasi hutan serta lantai hutan (forest floor) termasuk
lapisan serasah, dedaunan dan bekas kayu yang gugur, tetapi juga membakar lapisan gambut
baik di permukaan maupun di bawah permukaan.

Berdasarkan pengamatan lapangan (Usup et al, 2003) ada dua tipe kebakaran lapisan gambut,
yaitu tipe lapisan permukaan dan tipe bawah permukaan. Tipe yang pertama dapat
menghanguskan lapisan gambut hingga 10–15 cm, yang biasanya terjadi pada gambut dangkal
atau pada hutan dan lahan berketinggian muka air tanah tidak lebih dari 30 cm dari permukaan.
Pada tipe yang pertama ini, ujung api bergerak secara zigzag dan cepat, dengan panjang proyeksi
sekitar 10–50 cm dan kecepatan menyebar rata-rata 3,83 cm jam-1 (atau 92 cm hari-1).

Tipe yang kedua adalah terbakarnya gambut di kedalaman 30–50 cm di bawah permukaan.
Ujung api bergerak dan menyebar ke arah kubah gambut (peat dome) dan perakaran pohon
dengan kecepatan rata-rata 1,29 cm jam-1 (atau 29 cm hari-1). Kebakaran tipe kedua ini paling
berbahaya karena menimbulkan kabut asap gelap dan pekat, dan melepaskan gas pencemar
lainnya ke atmosfer. Di samping itu, kebakaran tipe ke-2 ini sangat sulit untuk dipadamkan,
bahkan oleh hujan lebat sekalipun.

Dari uraian di atas jelas bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut dapat meninmbulkan
dampak/akibat buruk yang lebih besar dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi di kawasan
tidak bergambut (tanah mineral). Selain itu, cara penanganannya pun berbeda, karena
karakteristik kebakaran di kawasan bergambut yang khas daripada di kawasan tidak bergambut.

• Akibat Kebakaran

Kebakaran hutan dan lahan gambut dapat berakibat langsung dan tidak langsung atas lingkungan
di dalam tapak kejadian (on site efect) atau di luar tapak kejadian (of site efect). Akibat
kebakaran hutan dan lahan gambut antara lain adalah kehilangan lapisan serasah dan lapisan
gambut, stabilitas lingkungan, gangguan atas dinamika flora dan fauna, gangguan atas kualitas
udara dan kesehatan manusia, kehilangan potensi ekonomi, dan gangguan atas sistem
transportasi dan komunikasi.
Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun 1997 telah
menghilangkan lapisan gambut 35–70 cm (Jaya et al., 2000). Kehilangan lapisan gambut ini
berakibat atas kestabilan lingkungan, karena kehilangan lapisan gambut. Ketebalan itu setara
dengan pelepasan karbon (C) sebanyak 0,2–0,6 Gt C. Pelepasan C ini berdampak luar biasa atas
emisi gas karbondioksida (CO2) ke atmosfer, yang turut berperan dalam pemanasan global
(Siegert et al., 2002). Selain itu, kebakaran tahun 1997 telah merusak vegetasi hutan sehingga
kerapatan pohon berkurang hingga 75% (D’Arcy & Page, 2002).

Dampak utama kebakaran hutan dan lahan gambut adalah asap yang mempengaruhi jarak
pandang dan kualitas udara. Asap bertahan cukup lama di lapisan atmosfer permukaan, akibat
rendahnya kecepatan angin permukaan. Lapisan asap ini berdampak serius pada sistem
transportasi udara, dan pada kesehatan manusia serta flora dan fauna. Pada kebakaran tahun 1997
berkurangnya jarak pandang di beberapa kota di Kalimantan dan Sumatra antara bulan Mei dan
Oktober telah mengakibatkan penundaan jam terbang dan bahkan penutupan beberapa bandar
udara.

Di beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatra, terutama di daerah-daerah yang banyak


dijumpai kebakaran hutan dan lahan gambut, asap yang dihasilkan telah mengakibatkan
gangguan kesehatan terutama masyarakat miskin, lanjut usia, ibu hamil dan anak balita. Jumlah
kasus selama bulan September–November 1997 di delapan propinsi di Kalimantan dan Sumatra
tercatat 527 kematian, 298.125 asma, 58.095 bronkitis, dan 1.446.120 ISPA (infeksi saluran
pernafasan akut), termasuk di Kalimantan Selatan yang dijumpai 69 kasus kematian, 41.800
asma, 8.145 bronkitis, dan 202.761 kasus ISPA.

Kebakaran hutan dan lahan gambut juga berdampak atas hilangnya beberapa potensi ekonomi
terutama di sektor kehutanan dan pertanian. Kerugian ekonomi pada sektor kehutanan akibat
kebakaran tahun 1997 mencapai Rp 2,4 trilyun untuk delapan propinsi kawasan bergambut di
Kalimantan dan Sumatra. Sedangkan di sektor pertanian kerugiannya mencapai Rp 718 milyar.

Akibat tidak langsung dari kebakaran lahan gambut merupakan akibat lanjutan (postefect) yang
dihasilkan ketika proses pemulihan hutan dan lahan gambut baik secara alamiah maupun buatan
manusia belum mencapai titik pulih. Akibat ini bisa terjadi selama bertahun-tahun tergantung
kemampuan untuk memulihkan. Akibat utamanya adalah terganggunya fungsi hidrologis dan
pengaturan iklim. Hilangnya vegetasi dan terbukanya hutan dan lahan gambut menyebabkan
debit aliran permukaan dan erosi akan meningkat dalam musim hujan sehingga dapat
menyebabkan banjir. Selain itu, hilangnya vegetasi akan mengurangi penyerapan CO2 sehingga
meningkatkan efek rumah kaca dan hutan juga kehilangan fungsi pengaturan iklimnya.

Pengelolaan atas kebakaran hutan lahan gambut meliputi upaya pencegahan dan pengendalian.
Kedua upaya itu harus dilakukan secara sistematis, serba-cakup (comprehensive), dan terpadu,
dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stake holder).

• Pencegahan kebakaran
Tindakan pencegahan merupakan komponen terpenting dari seluruh sistem penanggulangan
bencana termasuk kebakaran. Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik, seluruh bencana
kebakaran dapat diminimalkan atau bahkan dihindarkan. Pencegahan kebakaran diarahkan untuk
meminimalkan atau menghilangkan sumber api di lapangan. Upaya ini pada dasarnya harus
dimulai sejak awal proses pembangunan sebuah wilayah, yaitu sejak penetapan fungsi wilayah,
perencanaan tata guna hutan/lahan, pemberian ijin bagi kegiatan, hingga pemantauan dan
evaluasi.

Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya api di antaranya:

1. Penatagunaan lahan sesuai dengan peruntukan dan fungsinya masing-masing, dengan


mempertimbangkan kelayakannya secara ekologis di samping secara ekonomis.

2. Pengembangan sistem budidaya pertanian dan perkebunan, serta sistem produksi kayu yang
tidak rentan terhadap kebakaran, seperti pembukaan dan persiapan lahan tanpa bakar (zero
burning-based land clearing), atau dengan pembakaran yang terkendali (controlled burning-
based land clearing).

3. Pengembangan sistem kepemilikan lahan secara jelas dan tepat sasaran. Kegiatan ini
dimaksudkan untuk menghindari pengelolaan lahan yang tidak tepat sesuai dengen peruntukan
dan fungsinya.

4. Pencegahan perubahan ekologi secara besar-besaran diantaranya dengan membuat dan


mengembangkan pedoman pemanfaatan hutan dan lahan gambut secara bijaksana (wise use of
peatland), dan memulihkan hutan dan lahan gambut yang telah rusak.

5. Pengembangan program penyadaran masyarakat terutama yang terkait dengan tindakan


pencegahan dan pengendalian kebakaran. Program ini diharapkan dapat mendorong
dikembangkannya strategi pencegahan dan pengendalian kebakaran berbasis masyarakat
(community-based fire management).

6. Pengembangan sistem penegakan hukum. Hal ini mencakup penyelidikan terhadap penyebab
kebakaran serta mengajukan pihak-pihak yang diduga menyebabkan kebakaran ke pengadilan.

7. Pengembangan sistem informasi kebakaran yang berorientasi kepada penyelesaian masalah.


Hal ini mencakup pengembangan sistem pemeringkatan bahaya kebakaran (Fire Danger Rating
System) dengan memadukan data iklim (curah hujan dan kelembaban udara), data hidrologis
(kedalaman muka ir tanah dan kadar lengas tanah), dan data bahan yang dapat memicu
timbulnya api. Kegiatan ini akan memberikan gambaran secara kartografik terhadap kerawanan
kebakaran. Gambarannya dapat berupa peta bahaya kebakaran yang berhubungan dengan kondisi
mudahnya terjadi kebakaran, peta resiko kebakaran yang berkaitan dengan sebab musabab
terjadinya kebakaran, dan peta sejarah kebakaran yang penting untuk evaluasi penanggulangan
kebakaran.

• Pengendalian kebakaran
Kegiatan pengendalian kebakaran meliputi kegiatan mitigasi, kesiagaan, dan pemadaman api.
Kegiatan mitigasi bertujuan untuk mengurangi dampak kebakaran seperti pada kesehatan dan
sektor transportasi yang disebabkan oleh asap. Beberapa kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan
antara lain:

(1) menyediakan peralatan kesehatan terutama di daerah rawan kebakaran,

(2) menyediakan dan mengaktifkan semua alat pengukur debu di daerah rawan kebakaran,

(3) memperingatkan pihak-pihak yang terkait tentang bahaya kebakaran dan asap,

(4) mengembangkan waduk-waduk air di daerah rawan kebakaran, dan

(5) membuat parit-parit api untuk mencegah meluasnya kebakaran beserta dampaknya.

Kesiagaan dalam pengendalian kebakaran bertujuan agar perangkat penanggulangan kebakaran


dan dampaknya berada dalam keadaan siap digerakkan. Hal yang paling penting dalam tahap ini
adalah membangun partisipasi masyarakat di kawasan rawan kebakaran, dan ketaatan para
pengusaha terhadap ketentuan penanggulangan kebakaran.

Tahapan ketiga adalah kegiatan pemadaman api. Pada tahap ini usaha lokal untuk memadamkan
api menjadi sangat penting karena upaya di tingkat lebih tinggi memerlukan persiapan lebih lama
sehingga dikhawatirkan api sudah menyebar lebih luas. Pemadaman api di kawasan bergambut
jauh lebih sulit daripada di kawasan yang tidak bergambut. Hal ini terkait dengan kecepatan
penyebaran api yang sangat cepat dan tipe api di bawah permukaan.

Strategi pemadaman api secara konvensional seperti pada kawasan hutan dan lahan tidak
bergambut harus dikombinasikan dengan cara-cara khas untuk kawasan bergambut, terutama
untuk memadamkan api di bawah permukaan. Pemadaman api di bawah permukaan dengan
menyemprotkan air ke atas permukaan lahan tidaklah efektif, karena tanah gambut mempunyai
daya hantar air cacak (vertikal) yang sangat randah, tetapi daya hantar air menyamping (lateral)-
nya tinggi. Oleh karenanya pemadaman api bertipe ini hanya dapat dilakukan dengan membuat
parit yang diairi, seperti sekat bakar diairi (KATIR) yang telah dikembangkan oleh Tim Serbu
Api Universitas Palangkaraya. Cara lainnya adalah penyemprotan air melalui lubang yang telah
digali hingga batas api di bawah permukaan, seperti yang dilakukan di Malaysia (Musa & Parlan,
2002).

Pengelolaan lahan gambut harus dilakukan secara terencana dan penuh kehati-hatian agar mutu
dan kelestarian sumber daya lahan dan lingkungannya dapat dipertahankan secara
berkesinambungan. Kegiatan pengelolaan lahan rawa gambut untuk pertanian harus
diprioritaskan pada kawasan lahan gambut yang telah mengalami kerusakan tetapi memiliki
potensi pemanfaatan yang tinggi dengan batas kedalaman tidak lebih dari 1 meter. Kegiatan
pertanian dengan membuka lahan baru, apalagi yang masih

berhutan, harus dihindari/dilarang.


Bersambung ke bagian 3 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini:

Pustaka:

Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1) Dasar-
Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, dan (3) Pengelolaan Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas
Pertanian Unsri & Program Pascasarjana Unsri. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 21:46 0 komentar


Label: Kesuburan Tanah
Posting Lama
Langgan: Entri (Atom)

You might also like