You are on page 1of 5

Konsep Belajar Dalam Dunia Pendidikan

Teori Belajar Kogntif : Konsep Dasar dan Strateginya. Teori Belajar Penemuan (Discovery Learning). Teori ini
disampaikan oleh Jerome Bruner (1966). Merupakan suatu pendekatan dalam belajar, dimana siswa berinteraksi
dengan lingkungannya dengan jalan mengeksplor dan memanipulasi obyek, bergulat dengan sejumlah pertanyaan
dan kontroversi atau melakukan percobaan. Ide dasar dari teori ini adalah siswa akan mudah mengingat suatu
konsep jika konsep tersebut mereka dapatkan sendiri melalui proses belajar penemuan. (Prinsip belajar :
selidiki/inquiri dan temukan/discover).
Jerome Bruner juga memperkenalkan konsep perkembangan kognisi anak-anak yang mewakili 3 bentuk
representasi:
1. Enactive: Pengetahuan anak diperoleh dari aktivitas gerak yang dilakukannya seperi pengalaman langsung atau
kegiatan konkrit
2. Iconic: Masa ketika pengetahuan anak diperoleh melalui sajian gambar atau grafis lainnya seperti film dan
gambar statis.
3. Symbolic: Suatu tahap dimana anak mampu memahami atau membangun pengetahuan melalui proses bernalar
dengan menggunakan simbol bahasa seperti kata-kata atau simbolisasi abstrak lainnya.
Teori Belajar Bermakna
Teori yang disampaikan oleh David Ausebel (1969). Beliau berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan
potensi kongitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Bermakna yaitu materi pelajaran yang baru match
dengan konsep yang ada dalam struktur kognisi siswa.
Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausebel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama meraka yang
berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung.
Namun siswa pada pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka,
lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan untuk menerapkan belajar bermakna Ausebel sebagai berikut :
1. Advance Organizer (Handout)
Penyampaian awal tentang materi yang akan dipelajari siswa diharapkan siswa secara mental akan siap untuk
menerima materi kalau mereka mengatahui sebelumnya apa yang akan disampaikan guru.
2. Progressive Differensial
Materi pelajaran yang disampaikan guru hendaknya bertahap. Diawali dengan hal-hal atau konsep yang umum,
kemudian dilanjutkan ke hal-hal yang khusus, disertai dengan contoh-contoh.
3. Integrative Reconciliation
Penjelasan yang diberikan oleh guru tentang kesamaan dan perbedaan konsep-konsep yang telah mereka ketahui
dengan konsep yang baru saja dipelajari.
4. Consolidation
Pemantapan materi dalam bentuk menghadirkan lebih banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih
paham dan selanjutnya siap menerima materi baru.
Model Pemrosesan Informasi
Teori ini disampaikan oleh Robert Gagne (1970) dan berpendapat bahwa proses belajar adalah suatu proses
dimana siswa terlibat dalam aktivitas yang memungkinkan mereka memiliki kemampuan yang tidak dimiliki
sebelumnya.
Terdapat 8 tingkatan kemampuan belajar, dimana kemampuan belajar pada tingkat tertentu ditentukan oleh
kemampuan belajar ditingkat sebelumya. Adapun 8 tingkatan belajar tersebut antara lain :
1. Signal Learning
Dari signal yang dilihat/didengarnya, anak akan memberi respon tertentu.
2. Stimulus – Response Learning
Seorang anak yang memberikan respon fisik atau vokal setelah mendapat stimulus – respon yang sederhana
3. Chaining
Kemampuan anak untuk menggabungkan dua atau lebih hasil belajar stimulus – respon yang sederhana. Channing
terbatas hanya pada serangkaian gerak (bukan serangkaian produk bahasa lisan.
4. Verbal Association
Bentuk penggabungan hasil belajar yang melibatkan unit bahasa seperti memberi nama sebuah objek / benda.
5. Multiple Discrimination
Kemampuan siswa untuk menghubungkan beberapa kemampuan chainning sebelumnya.
6. Concept Learning
Belajar konsep artinya anak mampu memberi respon terhadap stimulus yang hadir melalui karakteristik
abstraknya. Melalui pemahaman konsep siswa mampu mengidentifikasikan benda lain yang berbeda ukuran,
warna, maupun materinya, namun masih memiliki kararkteristik dari objek itu sendiri.
7. Principle Learning
Kemampuan siswa untuk menghubungkan satu konsep dengan konsep lainnya.
8. Problem Solving
Siswa mampu menerapkan prinsip-prinsip yang telah dipelajari untuk mencapai satu sasaran.
Adapun terdapat tiga komponen utama dalam pemrosesan informasi, yaitu :
MEMORI JANGKA PENDEK
MEMORI JANGKA PANJANG
REGISTER PENGINDERAAN
Penyebab lupa yang terjadi pada proses interferensi, yaitu :
PENYEBAB LUPA
Hambatan Proaktif : Dimana berinterferensi dengan tugas yang dipelajari kemudian
Hambatan Retroaktif : Dimana apabila mempelajari suatu tugas kedua membuat seseorang lupa apa yang telah
dipelajari sebelumnya
Strategi Kognitif
Strategi kognitif merupakan keterampilan yang terorganisasi dari dalam yang fungsinya untuk mengatur dan
memonitor penggunaan konsep dan aturan atau kemampuan internal yang terorganisasi yang dapat membantu
siswa dalam proses belajar, proses berpikir, memecahkan masalah dan mengambil keputusan (Gagne, 1974).
Stretegi kognitif merupakan kemampuan tertinggi dari domain kognitif (Gagne’s Taxonomy) setelah analisis,
sintesis dan evaluasi (Bloom Taxonomy).
Adapun jenis Strategi Kognitif, antara lain :
1. Strategi memperhatikan dan melakukan pengamatan secara efektif
2. Strategi meng-encode materi yang dihadapi untuk penyimpanan jangka panjang (image forming, focusing,
scanning dsb)
3. Strategi mengingat kembali (retrival), (mnemonic system, visual images, rhyming)
4. Strategi pemecahan masalah
Pemerolehan Strategi Kognitif
Pemerolehan kerapkali segera diperoleh dan penggunaannya makin dapat diandalkan melalui latihan dan praktek.
Kondisi belajar untuk strategi kognitif, ditentukan oleh dua hal :
1. Kondisi dalam diri pelajar
Memahami konsep dengan mengatakan berkali-kali dalam hal menghafal
2. Kondisi dalam situasi belajar
Strategi yang berorientasi pada tugas dan ditemukan sendiri oleh pembelajar
Cognitive Development Model

Model ini disampaikan oleh Jean Piaget (1896-1980). Menurut Piaget ada empat tahapan perkembangan kognisi
manusia, sebagai berikut :
1. Tingkat Sensorimotor (0-2 thn)
Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui kemampuan panca indra dan gerakannya. Perilaku
bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi memilki
pengetahuan object permanence yaitu walaupun object pada suatu saat tidak terlihat didepan matanya, tidak
berarti objek tersebut tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada umumnya beranggapan bahwa benda yang tidak
mereka lihat berarti tidak ada. Pada tahap ini, bayi memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar
gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang disekelilingnya.
2. Tahap Preoporational (2-7 thn)
Anak-anak pada tahap ini sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya belum
sampai pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa 2-7 thn, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap
egosentris, dimana mereka berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain,
sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain.
Ciri lain dari anak yang perkembangan kognisinya ada pada tahap preporational adalah ketidakmampuannya
membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap walaupun bentuknya
berubah-ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia ini lebih mudah belajar jika guru melibatkan
penggunaan benda yang konkrit daripada menggunakan hanya kata-kata saja.
3. Tahap Concrete (7-11 thn)
Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki kemampuan memahami konsep konservasi (concept of
conservacy), yaitu meskipun suatu benda berubah bentuknya, namun masa, jumlah atau volumenya adalah tetap.
Anak juga sudah mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak se-egosentris
sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir
abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas
pembelajaran yang melibatkan siswa dalam melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif
dibandingkan dengan penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-kata).
4. Tahap Formal Operations (11 thn ke atas)
Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir abstrak. Mereka mampu mengajukan
hipotesa, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesa yang mereka buat. Kalau
dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal operational mampu memformulasikan
semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana yang paling mungkin terjadi berdasarkan
kemampuan berpikir analistis dan logis.
Walaupun pada mulanya, piaget beranggapan bahwa pada usia sekitar 15 tahun, hampir semua remaja akan
mencapai tahap perkembangan formal operation ini. Namun kenyataan membuktikan bahwa banyak siswa SMU
bahkan sebagian orang dewasa sekali pun tidak memiliki kemampuan berpikir dalam tingkat ini.
Teori Kognitif: Pendekatan Konstruktivisme
Pada dasarnya pengetahuan yang kita miliki adalah konstruktivisme (bentukan) kita sendiri (Von Glaseserfeld,
1996). Seseorang yang belajar akan membentuk pengertian, ia tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang
diajarkan atau yang ia baca, melainkan menciptakan pengertian baik secara personal maupun sosial (Resnick,
1983 ; Bettencourt, 1989). Pengetahuan tersebut dibentuk melalui interaksi dengan lingkungannya.
Agar dapat mengerti sesuatu yang dipelajari, maka pembelajar harus bisa menemukan, mengorganisir,
menyimpan, mengemukakan dan memikirkan suatu konsep atau kejadian dalam proses yang aktif dan konstruktif.
Melalui proses pembentukan konsep yang terus menerus maka pengertian bisa dibangun (Bettencourt, 1989).
Pandangan Konstruktivisme
Mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang
memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya (Bettencourt, 1989).

Berpikir yang baik lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar (Von Glasersfeld, 1989).
Gagasan Konstruktivisme Tentang Pengetahuan
Siswa mengkonstruksi skema kognitif, kategori, konsep dan struktur dalam membangun pengetahuan, sehingga
setiap siswa memiliki skema kognitif, kategori dan struktur yang berbeda
Proses abstraksi dan refleksi seseorang menjadi sangat berpengaruh dalam kontribusi pengetahuan
(Reflection/abstraction as primary).
Faktor Yang Mempengaruhi Konstruksi Pengetahuan
1. Hasil konstruksi yang telah dimiliki (Constructed Knowledge)
2. Domain pengalaman (Domain Of Experience)
3. Jaringan struktur kognitif (Existing Cognitive Structure)
Makna Belajar Dalam Konstruktivisme
a. Belajar berarti membentuk makna
b. Konstruksi merupakan proses yang terus menerus
c. Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi proses pengembangan pemikiran dengan membuat
pengertian
Peran Dalam Pembelajaran Konstruktivisme
a. Menyediakan pengalaman belajar
b. Memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan mahasiswa
c. Menyediakan sarana yang membuat mahasiswa berpikir produktif
d. Memonitor dan mengevaluasi hasil belajar mahasiswa
Proses Pembelajaran Konstruktivisme
a. Orientasi (Apersepsi)
b. Elisitasi, Pengungkapan ide siswa
c. Restrukturisasi ide : (menjelaskan ide, berargumentasi, membangun ide baru dan mengevaluasi ide baru)
Evaluasi Dalam Pembelajaran Konstruktivisme
Alternative Assesment, dengan menggunakan potofolio, observasi proses, simulasi dan permainan, dinamika
kelompok, studi kasus dan performance appraisal
Strategi Pembelajaran Konstruktivisme
Antara lain Student-Centered Learning Strategis, dimana siswa belajar aktif, belajar mandiri, belajar kooperatif dan
kolaboratif, self-regulated learning dan generative learning.
Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Belajar
Berdasarkan prinsip bahwa ”Dalam belajar seseorang harus mengkonstruksi sendiri pengetahuannya”, maka guru
hendaknya mengusahakan agar murid aktif berpartisipasi dalam membangun atau mengkonstruksi
pengetahuannya.
Ada dua pertanyaan yang perlu dicermati guru, yaitu :
1. Pengalaman-pengalaman apa yang harus disediakan bagi para siswa supaya dapat memperlancar proses belajar
2. Bagaimana pembelajar dapat mengungkapkan atau menyajikan apa yang telah mereka ketahui untuk memberi
arti pada pengalaman-pengalaman itu (Tobin, Trippin dan Gallard, 1994)
Model pembelajaran yang menggambarkan prinsip konstruktivisme : kesempatan yang luas bagi siswa untuk
mengungkapkan gagasan dan pemikirannya, siswa dibantu untuk lebih berpikir dan merefleksikan pengetahuan
mereka dalam kegiatan seperti : diskusi kelompok, debat, menulis paper, membuat laporan penelitian dimajalah,
berdiskusi dengan para ahli, meneliti dilapangan, mengungkapkan pertanyaan dan sanggahan terhadap apa yang
disampaikan guru, dll.
Teori Konstruktivisme
Lebih dua dasa warsa terakhir ini, dunia pendidikan mendapat sumbangan pemikiran dari teori konstruktivisme
sehingga banyak negara mengadakan perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktik
pendidikan mereka, bahkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pun tak luput dari pengaruh teori ini. Paul
Suparno dalam “Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan” mencoba mengurai implikasi filsafat konstruktivisme
dalam praktik pendidikan.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan
(konstruksi) kita sendiri (Von Glaserfeld). Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia
kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan
membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Jika behaviorisme menekankan ketrampilan atau tingkah laku sebagai tujuan pendidikan, sedangkan
maturasionisme menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan usia, sementara konstruktivisme
menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang
dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap tidak akan
berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu berguna untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu
saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang
sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat
menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan teori pengetahuannya
dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus beradaptasi secara fisik dengan
lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia berhadapan dengan
tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secaca kognitif (mental). Untuk itu,
manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan
menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan
selalu berkembang.
Proses tersebut meliputi:
1. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami
perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori
utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
2. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya
menambah atau merinci.
3. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
4. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan
pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari
disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
Bermakna dan Menghafal
Menurut Ausubel, ada dua macam proses belajar yakni belajar bermakna dan belajar menghafal.
Baca posting Lebih Baik Paham daripada Hafal.
Belajar bermakna berarti informasi baru diasimilasikan dalam struktur pengertian lamanya. Belajar menghafal
hanya perlu bila pembelajar mendapatkan fenomena atau informasi yang sama sekali baru dan belum ada
hubungannya dalam struktur pengertian lamanya. Dengan cara demikian, pengetahuan pembelajar selalu
diperbarui dan dikonstruksikan terus-menerus. Jelaslah bahwa teori belajar bermakna Ausubel bersifat konstruktif
karena menekankan proses asimilasi dan asosiasi fenomena, pengalaman, dan fakta baru ke dalam konsep atau
pengertian yang sudah dimiliki siswa sebelumnya.
Berlandaskan teori Piaget dan dipengaruhi filsafat sainsnya Toulmin yang mengatakan bahwa bagian terpenting
dari pemahaman manusia adalah perkembangan konsep secara evolutif, dengan terus manusia berani mengubah
ide-idenya, Posner dkk lantas mengembangkan teori belajar yang dikenal dengan teori perubahan konsep. Tahap
pertama dalam perubahan konsep disebut asimilasi, yakni siswa menggunakan konsep yang sudah dimilikinya
untuk menghadapi fenomena baru. Namun demikian, suatu ketika siswa dihadapkan fenomena baru yang tak bisa
dipecahkan dengan pengetahuan lamanya, maka ia harus membuat perubahan konsep secara radikal, inilah yang
disebut tahap akomodasi.
Tugas pendidikan adalah bagaimana dua tahap tersebut bisa terus berlangsung dengan terus memberi tantangan
sehingga ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Praktik pendidikan yang bersifat hafalan seperti yang
selama ini berlangsung jelas sudah tidak memadai lagi, bahkan bertentangan dengan hakikat pengetahuan dan
proses belajar itu sendiri.
Untuk Direfleksikan
Selama ini praktik pendidikan kita masih sibuk dengan UAN, seragam, les tambahan, buku pelajaran, yang
orientasinya hanya praktik penjejalan materi pelajaran dan hasil yang akan dicapai dengan mengabaikan proses
berpikir dan pembentukan pengetahuan oleh siswa sendiri secara aktif. Tidak mengherankan bila hasil survei
Unesco terhadap anak usia 15 tahun di 43 negara menempatkan Indonesia sebagai yang terendah bersama
Albania dan Peru dalam hal basic skills yang meliputi kemampuan matematika, membaca, dan sains.
Kita tak perlu pongah dengan mengatakan bahwa ada anak-anak Indonesia yang berhasil menyabet kejuaraan
dunia sejenis Olimpiade Matematika dan lain-lain, karena “anak unggul” semacam itu jumlahnya hanya satu dua di
antara jutaan anak Indonesia lainnya. Justru lebih parah lagi apabila orientasi pendidikan tertuju hanya untuk
meraih juara sambil menutup mata terhadap kenyataan yang ada secara umum.
Konstruktivisme bisa dijadikan alat refleksi kritis bagi para penyusun kurikulum, pengambil kebijakan, dan pendidik
untuk membuat pembaruan sistem dan praktik pendidikan kita sehingga perubahan-perubahan yang ada bukan
sekadar di permukaan, namun menukik ke “roh” pendidikan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

* Bell-Geller, M.E. Learning and Instruction: Theory Into Practice, Macmillan Publishing Company, New York, 1986.
* Irawan, Prasetya, Teori Belajar. Program Pengembangan Keterampilan DAsar Teknik Instruksional (PEKERTI)
Untuk Dosen MUda. Pusat Antar Universitas_Dikti, Depdikbud, 1997
* Subiyanto, Paul. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.
* Slavin, Robert E. Educational Psychology: Theory and Practice (Development During Childhood and Adolescence).
Allyn and Bacon P

You might also like