Professional Documents
Culture Documents
A. Pendahuluan
Urbanisasi kontemporer di Asia ditandai dengan semakin pudarnya batas
antara daerah rural dan urban. Kemudian pembangunan urban di Asia
memiliki karakteristik pengembangan fisik melebihi jauh melebihi batas-batas
metropolitan serta batas-batas kota. Pembangunan juga ditandai dengan
berbagai bentuk aktivitas ekonomi dan beragam penggunaan lahan, termasuk
lahan untuk industri, pembangunan perumahan dalam skala besar dan resor
turis, di mana kesemuanya memanfaatkan lahan-lahan pertanian. Pembangan
urban yang massif itu kemudian melahirkan fenomena Mega Urbanisasi.
(Firman, 2009). Menurut laporan PBB tahun 2001, Asia Tenggara adalah
wilayah urbanisasi yang besar. Jones (2002) menyebutkan dari sisi populasi
penduduk Jakarta, Bangkok dan Manila adalah daerah utama mega
urbanisasi, kelompok kota berikutnya adalah Ho Chi Minh City, Surabaya dan
Bandung. Sedikitnya 11 persen dari total populasi masyarakat Asia Tenggara
hidup di wilayah-wilayah itu.
Salah satu region Mega Urbanisasi penting di Indonesia juga Asia
Tenggara adalah poros Jakarta-Bandung (Jakarta Bandung Region / JBR).
Firman (2009) menyebutkan dari studi tahun 1990, wilayah Jakarta
(Jabotabek) dan Bandung Metropolitan Area (BMA) secara fisik terhubung
oleh sabuk urban (urban belt) dari Jakarta hingga Bandung (Gambar 1). Sabuk
urban ini memiliki karakter aktivitas ekonomi yang beraneka ragam termasuk
pertanian, industri, perdagangan dan perumahan di mana di wilayah itu terjadi
perubahan rural-urban yang intensif, pudarnya batas rural-urban dan
membentuk pola-pola permukiman tertentu.
Ada beberapa faktor yang memberi kontribusi terhadap proses mega
urbanisasi di JBR, dua yang paling utama adalah pembangunan permukiman
(kota-kota baru) dalam skala besar dan pembangunan infrastuktur kompleks-
kompleks industri.
Gambar 1. Peta
Jakarta
Metropolitan Area
dan Bandung
Metropolitan Area
B. Populasi Urban
Populasi urban di Jakarta-Bandung mencapai 24 juta jiwa pada tahun 2000
dengan pusat urban di Jakarta dan Bandung (Firman, 2009). Rerata
pertumbuhan populasi urban di Kota Jakarta mengalami penurunan dari 3,1
persen pada periode (1980-1990) menjadi 0,16 persen pada 1990-2000.
Demikian pula di Kota Bandung dari 3,3 persen pada 1980-1990 turun
menjadi 0,4 persen pada 1990-2000. Hal itu diduga karena kedua kota itu
sudah jenuh populasi sehingga pertumbuhan urban terjadi di kota-kota sekitar
yang dari data menunjukkan adanya peningkatan populasi urban (tabel 1).
Berdasarkan data sensus tahun 2000, Jakarta Metropolitan Area (JMA)
yang meliputi daerah Jakarta plus Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi
(Jabodetabek) menjadi tujuan utama kaum urban dari penjuru Indonesia pada
tahun 1995 sampai 2000. Dari data sensus itu diketahu satu dari tiga
pendatang berasal dari Jawa Tengah dan tiga dari 10 pendatang berasal dari
Jawa Barat. Sisanya berasal dari Jawa Timur dengan angka kira-kira 9 persen
dan Sumatra 15 persen. Sementara di Bandung Metropolitan Area (BMA)
total pendatang yang tercatat yakni 515.800 pada sensus 2000 di mana 2 dari
tiga kaum urban itu berasal dari Jawa. Para kaum urban itu datang ke Jakarta
dan Bandung sebagian besar untuk keperluan mencari pekejaan.
B. Konversi Lahan
Pembangunan urban yang sangat intensif di wilayah JBR mengakibatkan
terjadinya konversi lahan pertanian untuk keperluan nonpertanian. Konversi
lahan sebenarnaya adalah proses yang normal dalam urbanisasi, tetapi dalam
kasus Jakarta Metropolitan Area (JMA) dan Bandung Metropolitan Area
(BMA), konversi lahan berjalan tidak terkendali akibat dari lemahnya sistem
perizinan (aturan) dan penegakan hukum yang lemah. Firman (2009)
menemukan bahwa sebagian besar konversi lahan di JBR berujung pada
pembangunan permukiman atau kota-kota baru yang berada di pinggiran kota.
Sementara di pusat-pusat kota, konversi lahan bisasanya berujung pada
pembangunan pusat-pusat bisnis seperti bangunan perkantoran, kondominium
pusat belanja serta hiburan dan lain sebagainya.
Alih fungsi lahan yang tidak terkendali di pinggiran kota memunculkan
sejumlah permasalahan lingkungan misalnya kepadatan lalu lintas yang luar
biasa akibat tingginya lalu lintas komuter antara kota-kota di pinggiran dengan
pusat kota. Kemudian masalah ekploitasi sumber air tanah serta polusi udara
akibat aktivitas industri di pinggiran kota. Hal penting lain hilangnya ruang
terbuka hijau. Di Kota Jakarta ruang terbuka hijau merosot drastis dari 28,8
persen pada tahun 1984 menjadi 8,4 persen pada tahun 2000.
Sumber artikel
Tommy Firman, 2009. The Continuity and Change in Mega-Ubanization in
Indonesia: A Survey of Jakarta-Bandung Region (JBR) Development.
Habitat Internasional Volume 33 Issue 4, October 2009. Pages: 327-339
Jones, G.W., 2002. Southeast Asian Urbanization And The Growth Of Mega-
Urban Regions. Journal of Population Research, Vol 19 No 2/2002.