You are on page 1of 4

Dekolonialisasi Kawasan Pasifik Selatan: Sebuah Tinjauan 

Historis
Dekolonialisasi merupakan isu yang mulai marak muncul di kawasan Pasifik Selatan pada era 1960-an sampai 1980-an.
Proses dekolonialisasi di kawasan ini ternyata berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan dekolonialisasi bagi
bangsa-bangsa di kawasan Asia. Ketika beberapa wilayah di Asia telah menjadi negara merdeka setelah Perang Dunia II
di tahun 1945, wilayah-wilayah di kawasan Pasifik Selatan justru dikembalikan pada kepada negara penjajahnya,
sekalipun sebagai daerah mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Oleh karena itu, setelah PD II, Inggris,
Australia, Selandia Baru, yang tergabung dalam negara-negara persemakmuran, kembali menguasai wilayah-wilayah
jajahannya di Pasifik Selatan berdasarkan mandat PBB. Demikian juga dengan AS dan Perancis, kembali menguasai
wilayah-wilayah di Kepulauan Pasifik Selatan.

Sekalipun demikian, PD II membawa hikmah tersendiri bagi rakyat Pasifik Selatan. Ia telah mengubah “wajah”
kolonialisasi di wilayah tersebut. Negara-negara kolonial tampaknya mulai menyadari besarnya bantuan penduduk Pasifik
Selatan kepada mereka dalam menghadapi invasi Jepang ketika Perang Pasifik berlangsung antara tahun 1942-1945,
serta nilai strategis letak geografisnya. Rehabilitasi wilayah-wilayah yang rusak sebagai akibat perang, dan juga
pemulihan kondisi sosial ekonomi penduduk Pasifik Selatan kemudian menjadi prioritas negara-negara kolonial tersebut
dengan membentuk South Pacific Commission (SPC) di tahun 1947.

Kebijaksanaan Dekolonialisasi
SPC merupakan sarana negara-negara kolonial untuk membentuk kebijakan bersama seputar pelaksanaan
pembangunan ekonomi dan sosial di wilayah Pasifik Selatan. Organisasi ini memiliki peranan yang sangat penting,
karena secara tidak langsung telah membantu persiapan kemerdekaan negara-negara jajahan dengan peningkatan
kualitas pendidikan dan sosial ekonomi mereka. Hal tersebut didukung dengan dikeluarkannya resolusi PBB pada 14
Desember 1960, yang mengisyaratkan perlunya negara-negara kolonial mempersiapkan “upaya-upaya mengatasi
kekurangan dibidang politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan, yang dapat menunda kemerdekaan”. Oleh karena itu,
dalam mempersiapkan kemerdekaan bagi negara-negara di Pasifik Selatan, SPC kemudian memiliki fungsi sebagai
badan penasehat dan konsultatif yang berkaitan erat dengan program-program terkoordinasi antara negara-negara
kolonial dan wilayah-wilayah jajahan.

Kecuali Irian Barat (Papua) yang dikembalikan oleh Belanda ke Indonesia di tahun 1962, proses dekolonialisasi di
beberapa kawasan Pasifik Selatan berlangsung dengan damai dan lancar, hal ini karena negara-negara kolonial-lah yang
mengajukan gagasan dekoloalisasi. Pada tahun 1962, Selandia Baru pertama kali memerdekakan Samoa Barat,
Kepulauan Cook di tahun 1965 (dan berdiri sendiri di tahun 1974), dan Niue di tahun 1974. Tokelau, karena beberapa
kelangkaan ekonomis, tetap memilih sebagai wilayah Selandia Baru pada tahun 1982, meskipun kesempata untuk berdiri
sendiri telah diberikan pada sejak tahun 1970-an.

Australia melaksanakan kebijaksanaan dekolonialisasi sejak tahun 1968, dengan membebaskan Nauru. Hal ini
dilaksanakan setelah pemimpin Nauru, terutama Hammer deRoburt, yang kemudian menjadi presiden terus mendesak
untuk diberikan kemerdekaan. Untuk itulah Dewan Perwalian PBB, kemudian menekan Australia untuk memberikan
kemerdekaan bagi Nauru. Sementara Papua Nugini baru dimerdekakan Australia di tahun 1975, setelah satu tahun
melaksanakan pemerintahan sendiri.

Inggris mulai melakukan dekolonialisasi di tahun 1970, dengan memberikan kemerdekaan pada Tonga dan Fiji.
Kemudian melepaskan Kepulauan Solomon di tahun 1978. Dalam kasus dekolonialisasi di Tuvalu dan Kiribati, kolonial
Inggris telah memulainya sejak tahun 1970-an dengan memperkenalkan Gilbert dan Ellice Island Constitutions (GEIC),
karena kedua gugusan pulau tersebut merupakan sebuah kesatuan. Hasil referendum di pulau Ellice menghasilkan
keputusan bahwa penduduk kepulauan Ellice tidak menginginkan penyatuan dengan pulau Gilbert, sehingga kemudian
pulau Ellice kemudian dimerdekakan dengan nama Tuvalu, sedangkan pulau Gilbert dimerdekakan dengan nama Kiribati.

Di Vanuatu, kebijaksanaan dekolonialisasi Inggris memerlukan penyesuaian dengan kebijaksanaan kolonial Perancis. Hal
ini disebabkan Vanuatu dijajah dengan satu-satunya sistem penjajahan di dunia, yang dinamakan Condominium. Dalam
hal ini, Vanuatu dijajah oleh dua kekuasaan kolonial Inggris dan Perancis. Vanuatu kemudian mendapatkan
kemerdekaannya di tahun 1980.

Setelah melepaskan Vanuatu, Perancis masih memiliki beberapa wilayah kekuasaan di Pasifik Selatan. Wilayah tersebut
adalah Kaledonia Baru, Polinesia Perancis, serta Wallis dan Futuna. Penyebab tertundanya kemerdekaan diwilayah-
wilayah tersebut adalah karena masih adanya kepentingan-kepentingan Perancis, dan keengganan masyarakatnya untuk
lepas dari Perancis. Kepentingan Perancis di beberapa wilayah Pasifik Selatan terkait dengan proyek nuklir Perancis
dimana laboratoriumnya terdapat di Kaledonia Baru dan tempat ujicobanya di Polinesia Perancis tepatnya di Pulau Atol
Mururoa. Proyek ujicoba nuklir Perancis ini merupakan pindahan dari Aljazair semenjak negara tersebut merdeka pada
tahun 1966.

Sementara Amerika Serikat melakukan negosiasi kemerdekaan di wilayah koloninya di Pasifik Selatan sampai lebih dari
20 tahun, yaitu dari tahun 1960-an sampai dengan tahun 1980-an. Kebijakan dekolonialisasi AS diwilayah Pasifik Selatan
juga terkait dengan kepentingan strategisnya. Seperti pangkalan angkatan laut AS, yang telah menjadi bagian dari AS
sejak tahun 1950, dan pertimbangan pertahanan dan keamanan lainnya yang dapat kita lihat pada proses kemerdekaan
Kepulauan Marshall dan FSM (gabungan pulau Yap, Truk, Ponape, dan Kosrae) yang diberikan dengan syarat-syarat
tertentu, seperti pengelepasan hak-hak mereka untuk mengendalikan masalah pertahanan. Sebagai gantinya, hak
tersebut secara penuh diberikan kepada AS yaitu dengan memiliki pangkalan-pangkalan militer, termasuk penyimpanan
senjata nuklir.

Diplomasi dan Politik Luar Negeri Selandia Baru


Selandia Baru mendapatkan kemerdekaan dari Inggris pada tanggal 26 September 1907. Meskipun Statuta Westminster
tahun 1931 menjamin persamaan status seluruh anggota Persemakmuran, kebebasan kebijakan luar negeri Selandia
Baru dimulai pada tahun 1935, ketika pemerintah dari Partai Buruh membuat traktat dan pertukaran perwakilan
diplomatik. Di tahun 1943 pemerintah mengukuhkan layanan tetap luar negerinya.
Di masa lalu, posisi geografis Selandia Baru yang terisolasi dan kemakmuran perekonomiannya melalui pertanian
berpengaruh pada kecilnya kepentingan negara ini dalam hubungan luar negeri bilateral dan multilateral. Dengan
berkembangnya perdagangan global dan pola ekonomi internasional, Selandia Baru kemudian secara bertahap mulai
berkonsentrasi pada dependensi dan stabilitas pasar luar negeri.

Di tahun 1947, Selandia Baru bergabung dengan Australia, Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat untuk membentuk
South Pacific Commission, sebuah badan regional yang bertujuan untuk membantu peningkatan kesejahteraan kawasan
Pasifik. Selandia Baru pernah menjadi pemimpinnya. Di tahun 1971, Selandia Baru bergabung dengan negara-negara
merdeka di Pasifik Selatan untuk membentuk South Pacific Forum (saat ini dikenal dengan Pacific Islands Forum), yang
bertemu setiap satu tahun sekali dalam tingkat “kepala pemerintahan”.
Kementerian Urusan Luar Negeri dan Perdagangan (The Ministry of Foreign Affairs and Trade/MFAT) bertanggung jawab
atas seluruh fungsi kebijakan utama pemerintah yang terkait dengan hubungan eksternal Selandia Baru, termasuk
hubungan bilateral dengan negara-negara lain, kepentingan dalam institusi internasional, membantu pembangunan
resmi, menetapkan layanan-layanan konsulat, dan layanan bantuan terhadap agen-agen pemerintah di luar negeri. Saat
ini dalam kabinet Perdana Menteri Helen Clark, jabatan menteri urusan luar negeri dan perdagangan dijabat oleh Phil
Goff.

Saat ini Selandia Baru memiliki 49 pos diplomatik dan konsular di 41 negara dan teritorial dan merupakan anggota pendiri
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di tahun 1945. Selandia Baru juga tergabung dalam organisasi internasional lainnya,
seperti: World Trade Organization (WTO), World Bank, Asian Development Bank, anggota Negara Persemakmuran, dan
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), APEC, East Asia Summit, dan lainnya.

Kebijakan Luar Negeri


Secara umum kebijakan luar negeri Selandia Baru didasarkan pada upaya mempengaruhi pandangan internasional agar
mendukung nilai dan kepentingannya, yaitu berkontribusi dalam pemeliharaan lingkungan dunia yang stabil, damai, dan
makmur. Dalam upayanya agar kepentingan tersebut didengar secara luas, Selandia Baru berfokus pada usaha
melindungi kepentingan keamanan dan kesejahteraannya
Berdasarkan fokus tersebut, Selandia Baru kemudian mulai menerapkan beberapa langkah dan kebijakan pada
pembangunan negara yang demokratis dan pembangunan ekonomi pasifik. Partai-partai politik utama negeri telah secara
umum sependapat atas garis besar kebijakan luar negeri, dan pemerintahan koalisi saat ini sedang aktif membahas isu-
isu yang menjadi kepentingan utama Selandia Baru, seperti: liberalisasi perdagangan, lingkungan, dan pengendalian
senjata.

Perdagangan merupakan fokus baru yang sangat penting bagi perekonomian Selandia Baru. Ekspor jasa dan produk
unggulan menyumbang lebih dari 30% GDP-nya. Kepentingan perdagangan Selandia Baru terdiversifikasi dengan baik:
Australia, Amerika Utara, Uni Eropa, dan Asia Timur masing-masing mengambil 15% dan 30% dari total ekspor Selandia
Baru.

Selandia Baru berkomitmen pada beberapa kebijakan perdagangannya yang terdiri dari beberapa hal berikut:
 liberalisasi perdagangan multilateral melalui World Trade Organization (WTO)
 liberalisasi dan kerjasama regional melalui keanggotaan aktif dalam beberapa organisasi geopolitik seperti APEC
dan East Asian Summit.
 Rencana-rencana perdagangan bilateral seperti perjanjian Closer Economic Relations (CER) dengan Australia,
perjanjian dengan Singapura dan Thailand serta “Pacific Four”, perjanjian dengan Singapura, Chili, dan Brunei.
Perjanjian perdagangan bebas dengan China. Dan saat ini yang sedang dalam tahap negosiasi adalah perjanjian
dengan ASEAN, Malaysia, dan Dewan Kerjasama Teluk; dan
 fokus dalam pembangunan hubungan regional melalui berbagai inisiatif kebijakan.

Keterlibatan perekonomian Selandia Baru dengan Asia secara bertahap juga menjadi sangat penting melalui perluasan
perdagangan dengan pertumbuhan perekonomian Asia. Selandia Baru merupakan “dialogue partner” dalam ASEAN dan
juga partisipan aktif dalam APEC. Pada tanggal 7 April 2008 Selandia Baru menandatangani Perjanjian Perdagangan
Bebas dengan China, negara berkembang pertama yang melakukan hal tersebut.
Sebagai anggota piagam dalam Colombo Plan, Selandia Baru telah menyediakan bantuan teknis dan modal kepada
negara-negara Asia. Negara tersebut juga turut berkontribusi dalam Asian Development Bank dan beberapa program
PBB. Selandia Baru merupakan anggota Dewan Ekonomi dan Sosial Asia dan Pasifik PBB

Selandia Baru telah memfokuskan bantuan sumberdaya ekonomi bilateral-nya pada proyek-proyek di negara-negara
pulau Pasifik Selatan, khususnya Bougenville. Hubungannya dengan Samoa (juga dikenal dengan Samoa Barat) yang
telah berlangsung sejak tahun 1962 melalui traktat persahabatan, dan juga kedekatannya dengan Tonga melalui skema
perizinan kerja kedua negara telah menghasilkan peningkatan imigran dan pengunjung.

Selandia Baru juga menjalankan pemerintahan atas Tokelau, dan tiga atol kecil di Pasifik Selatan Atafu, Fakaofo, dan
Nukunonu. Pemerintahan dan pemenuhan kebutuhan secara mandiri merupakan tujuan hubungan Selandia Baru dengan
Tokelau yang populasinya sekitar 1500 jiwa. Selandia Baru juga menempatkan diri dalam urusan eksternal dan fungsi
pertahanan Kepulauan Cook dan Niue.
Sejak tahun 1923 Seladia Baru telah melaksanakan yurisdiksinya atas Ross Dependency, yang terdiri atas tanah, dataran
es permanen, dan pulau-pulau Antartika. Scott Base di Pulau Ross dikhususkan Selandia Baru sebagai tempat penelitian.
Pemerintahan Perdana Menteri Helen Clark dengan giat mendukung pelucutan nuklir. Kebijakan pelucutan nuklir
Selandia Baru juga termasuk penyelenggaraan aliansi yang kuat dengan negara-negara non-nuklir lainnya, membangun
kerjasama antara kawasan-kawasan bebas nuklir, dan memperkuat Kawasan Bebas Nuklir Selandia Baru di Pasifik
Selatan. Dengan kebijakan non-nuklir ini, partai Clark memberikan sebuah akhir pada ikatan bilateral militer dengan
Amerika Serikat pada tahun 1986. Sebelumnya hubungan bilateral yang bersifat militer tersebut dibangun dalam traktar
pertahan ANZUS (Australia, New Zealand, United States). Pada bulan Februari 2002, Helen Clark bertemu dengan
presiden Amerika Serikat George W. Bush di Washington, D.C, untuk menawarkan dukungan penuh kepada kebijakan
War on Terror AS, yang dimulai di Afghanistan. Kunjungan Helen Clark ke Washington tersebut merupakan pertemuan
resmi pertama pemimpin NZLP (New Zealand Labor Party) dengan presiden AS sejak 1986.

Pemerintahan Helen Clark saat ini terus menunjukkan oposisi Selandia Baru terhadap perburuan ikan paus Jepang.
Helen Clark terus mempertanyakan perburuan tersebut dalam pertemuan-pertemuan Komisi Internasional Perburuan
Ikan Paus, meskipun Jepang menyatakan bahwa perburuan mereka didasarkan atas kepentingan “penelitian ilmiah”.

Interaksi Internasional Selandia Baru


Selandia Baru merupakan negara bekas koloni Inggris. Hal ini dalam beberapa aspek sempat mempengaruhi sikap
negara ini terhadap beberapa isu dan pola hubungan internasionalnya. Setelah mendapatkan kemerdekaannya dari
Inggris, Selandia Baru kemudian memiliki hak untuk menjalankan pemerintahannya, meskipun pada awalnya masih
dibatasi.

Dalam aspek ekonomi pada masa-masa awal kehidupan kenegaraannya, Selandia Baru masih mengandalkan Inggris
sebagai pemasok utama kebutuhan ekonomi masyarakatnya, terutama bahan makanan. Inggris juga menjadi pasar
produk-produk tekstil dan produk-produk susu Selandia Baru.

Selama abad ke-19, hubungan antara Selandia Baru, Inggris, dan Australia terjalin sangat erat. Selain sebagai tujuan
pasar, Inggris juga dipandang sebagai saudara tua Selandia Baru dan Australia. Loyalitas kedua negara tersebut
terhadap Inggris juga tidak lepas dari posisi Inggris yang merupakan negara asal masyarakat kulit putih kedua negara.
Keanggotaan dalam Negara Persemakmuran juga turut mendukung intensifnya hubungan ketiga negara.

Kedekatan hubungan antara Selandia Baru, Australia, dan Inggris dapat terlihat dalam perang-perang yang terjadi di
wilayah Selandia Baru dan Australia pada abad ke-19. Ekspansi awal Inggris di kedua wilayah tersebut membuat Inggris
harus berhadapan dengan penduduk-penduduk asli-nya. Bergabungnya tentara masyarakat koloni di Australia dan
Selandia Baru untuk membantu pasukan Inggris menjadi awal hubungan ketiga negara.

Pada Perang Boer di Afrika Selatan, baik Selandia Baru dan Australia kerap mengirimkan pasukannya untuk membantu
tentara kolonial Inggris. Perang Boer di Afrika Selatan merupakan konflik luar negeri pertama bagi Selandia Baru.
Keterlibatannya dalam perang ini juga menjadi dasar pembuktian kualitas kecakapan rakyat Selandia Baru dalam
peperangan, dan menjadi awal keterlibatan perang Selandia Baru dalam perang-perang diluar negerinya bersama Inggris
dan Amerika Serikat, seperti Perang Dunia I dan II, Perang Korea, Krisis Darurat Malaya, Konfrontasi Indonesia-Malaysia,
Perang Vietnam, Perang Teluk, sampai pada Perang Irak.

Keterlibatan Selandia Baru dalam Perang-Perang di luar negeri menjadi latar belakang pembentuk identitas nasional,
kepentingan nasional, dan pola politik luar negeri. Kedekatannya dengan Amerika Serikat pada dekade 1970-an dapat
dicapai karena dukungan penuhnya dalam Perang Dingin dan komitmennya untuk mengurangi peran komunis di
negaranya.

Selain keterlibatan perang, hal lain yang mendorong ekspansi hubungan luar negeri Selandia Baru adalah kebutuhan
ekonomi. Perubahan pola dagang dan pemenuhan bahan baku Selandia Baru yang berubah seiring dengan intensifnya
Inggris dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) pada dekade 1970-an mendorong negara ini untuk mencari solusi
alternatif. Pola hubungan luar negeri yang tadinya hanya terbatas pada Inggris, kemudian diarahkan pada Amerika
Serikat dan negara-negara di Pasifik Selatan. Negara-negara di Pasifik Selatan merupakan pasar strategis bagi Selandia
Baru karena didukung oleh posisinya sebagai pemimpin dekolonialisasi di kawasan tersebut. Negara-negara di Pasifik
Selatan juga banyak yang mempercayai Selandia Baru sebagai penanggung jawab wilayah mereka.

Memasuki era perdagangan bebas saat ini, Selandia Baru telah mempersiapkannya dengan baik melalui intensifitas
hubungan ekonomi dengan beberapa kawasan dan negara-negara seperti ASEAN (ASEAN – Australia/New Zealand
Free Trade Agreement), China (China-New Zealand Free Trade Agreement), Malaysia (Malaysia-New Zealand Free
Trade Agreement), dan lainnya.

Potensi Selandia Baru sebagai Negara Adikuasa


Selandia Baru merupakan negara yang cukup memiliki peranan dalam politik internasional. Komitmen negara tersebut
untuk berperan aktif dalam perdamaian dunia dan rezim keamanan internasional membuatnya memiliki semangat dan
reputasi tersendiri. Kalangan internasional saat ini banyak yang memandang Selandia Baru sebagai tempat yang baik
untuk berinvestasi dan juga merupakan negara yang sangat tanggap mengenai konflik-konflik internasional.

Kemampuan Selandia Baru untuk bangkit dari stagnasi perekonomiannya di tahun 1980-an membuktikan bahwa negara
ini memiliki kekuatan yang besar. Pencapaian yang didapatkan Selandia Baru tersebut tidak terlepas dari peranan
pemerintah dan masyarakatnya pada saat itu untuk mendongkrak potensi ekonomi mereka.
Selandia Baru juga telah lama aktif dalam peristiwa-peristiwa internasional. Dalam usaha-usaha masyarakat internasional
untuk menciptakan perdamaian, Selandia Baru dikenal sebagai salah satu pendiri Organsasi Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), peranan dan dukungannya dalam organisasi tersebut merupakan kebijakan luar negeri inisiatif Selandia
Baru. Selain dalam PBB, Selandia Baru juga terlihat berpartisipasi dalam sejumlah perjanjian internasional yang bertema
keamanan, penanggulangan kejahatan, dan hak asasi manusia.

Nilai positif Selandia Baru tidak hanya datang karena partisipasi aktifnya dalam kegiatan internasional. Apabila ditelusuri,
hal yang sangat berperan dalam nilai tersebut adalah sikap kebijakan luar negeri yang tidak agresif, seperti kebijakan
dekolonialisasi di kawasan Pasifik Selatan, mendukung pelucutan nuklir, berbagai protes dalam kebijakan perang
Amerika Serikat di Afghanistan-Irak, serta peran pasukan-pasukannya sebagai pembangun infrasruktur di daerah konflik.

Kekuatan Selandia Baru


Kekuasaan negara adalah sebuah hak dinamis yang dapat berubah sewaktu-waktu. Seperti halnya tubuh manusia, yang
terkadang sehat atau sakit, sebuah negara dalam kehidupannya juga dapat mengalami “sakit”, “sehat”, “kuat”, “lemah”,
dan bahkan “mati” karena disebabkan oleh beberapa permasalahan. Kekuasaan sebuah negara adalah mekanisme yang
sangat rumit yang terdiri atas saling ketergantungan antar unsur.
Mengukur kekuasaan (power) sebuah negara, adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu, untuk mengukur
potensi sebuah negara, dapat dilihat dari kekuatan ( force) yang dimilikinya. Umumnya kekuasaan atau power diukur
berdasarkan sumber-daya negara. Negara yang memiliki sumber-daya ( resources) yang besar, akan digolongkan
sebagai: negara besar, negara kuat, atau negara adikuasa. Jadi, ukuran “kekuasaan” dilihat dari unsur-unsur “kekuatan”
dan “sumber-daya” yang dimilikinya.

Selain itu, terdapat juga konsep lain yaitu kapabilitas ( capabilities) suatu negara. Kapabilitas dapat disebut sebagai
faktor kemampuan untuk melaksanakan kehendak, dalam perkembangannya, kapabilitas sebuah negara tidaklah selalu
seiring dan tidak selalu proporsional dengan power yang dimilikinya. Kekuasaan, kekuatan, pengaruh, dan sumber-daya
tidaklah selalu sama dan sebanding dengan kapabilitas.
Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations menyebutkan bahwa kekuatan sebuah negara memiliki
sembilan unsur, yaitu: (1) geografi; (2) sumber pendapatan alami untuk makanan dan bahan mentah; (3) kemampuan
industri; (4) military preparedness seperti teknologi, kepemimpinan, kuantitas dan kualitas angkatan perang; (5) populasi
yang terdiri dari persebaran dan kualitasnya; (6) karakter nasional; (7) moral nasional; ( 8 ) kualitas diplomasi; dan (9)
kualitas pemerintahan.

Berikut gambaran Selandia Baru apabila dilihat dari sembilan unsur kekuatan negara menurut Morgenthau:
 Geografi (posisi strategis): Tidak terletak di jalur strategis perdagangan dunia, tapi memberikan kemudahan
untuk berhubungan dengan kawasan-kawasan seperti, Pasifik Selatan, Asia Tenggara, Asia Timur, dan Amerika.
 Sumber pendapatan alami (makanan dan bahan mentah): Memiliki potensi sumber-daya perikanan yang
baik. Kondisi alam yang sejuk mendukung tingginya aktivitas pertanian, kehutanan, dan peternakan.
 Kemampuan industri: Pemrosesan makanan, kayu, kapal, manufaktur, dapat dikelola dengan baik sehingga
menjadi komoditas utama yang laku di pasaran dunia.
 Militer: Telah lama dikenal baik ketentaraannya. Jumlah dan jenis persenjataan dan fasilitas militer diutamakan
untuk melindungi daerah teritorial, sehingga lebih banyak pada alat pertahanan udara, dan laut.
 Populasi: Populasi dapat dikatakan rendah, karena dibandingkan dengan luas wilayahnya, penyebaran
penduduk hanya terkonsentrasi pada dua kota besar yaitu Wellington dan Auckland.
 Karakter nasional: Memiliki citra sebagai negara pelopor di kawasan dan aktif menjaga perdamaian dunia
(pelopor dekolonialisasi, pelucutan senjata nuklir di Pasifik Selatan, dan pasukan perdamaian)
 Moral nasional: Masyarakat memiliki tingkat kedisiplinan tinggi, sangat berpartisipasi dalam olahraga serta
mengutamakan kesehatan. Pandangan mereka mengenai keberagaman etnis sangat moderat.
 Kualitas diplomasi: Terkenal aktif dalam kegiatan internasional dan memiliki posisi tawar yang kuat dalam aspek
ekonomi. Kemampuan Selandia Baru dalam ekspor menjadi nilai penarik sekaligus “senjata”. Seperti embargo
ekonominya terhadap Fiji.
 Kualitas pemerintahan: Kelompok partai oposisi sangat kritis dalam menanggapi isu-isu nasional, tapi
tanggapan pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan terkesan lambat atau terkadang tidak efektif. Seperti
kebijakan untuk mengharuskan setiap warga Selandia Baru untuk bekerja, namun tanpa didukung dengan
penyediaan lapangan kerja yang lebih luas.

Dari sembilan indikator kekuatan negara tersebut dapat kita pahami bahwa untuk menjadi bangsa yang besar dan kuat
harus dibangun debgab pondasi yang kuat menuju indikator yang dipersyaratkan. Dilihat dari hubungan-hubungan dalam
indikator tersebut, kekuatan politik dapat terdiri dari kekuatan militer, kekuatan ekonomi, dan kekuatan dalam
mempengaruhi pendapat umum.

Dari tiga hal tersebut pada negara Selandia Baru dapat dilihat bahwa hanya kekuatan ekonomi-lah yang kuat. Selandia
Baru memang memiliki peranan yang tidak sedikit dalam politik internasional, akan tetapi potensi yang belum cukup untuk
menjadi sebuah negara adikuasa. Dalam tingkat regional kekuatan Selandia Baru sangatlah berpengaruh, namun lain
halnya apabila di tingkat global karena Selandia Baru akan berhadapan dengan negara-negara seperti Amerika Serikat,
Inggris, Perancis, China, Jepang, dan lainnya yang memiliki potensi lebih besar.
Referensi:
Hayati, Sri dan Yani, Ahmad. Geografi Politik. Refika Aditama, Bandung. 2007
Rudy, T. May. Teori, Etika, dan Kebijakan Hubungan Internasional. Angkasa, Bandung, 1993.

You might also like