You are on page 1of 109

BERTAMU KE SEKUMPUL

Cover Belakang

Inilah buku tentang Sekumpul yang pertama kali ditulis dan diterbitkan. Buku
eksklusif ini menceritakan perjalanan karier seorang mantan wartawan asal
Martapura yang mengikuti kunjungan tamu ke kediaman KH Muhammad Zaini
Abdul Ghani dalam rentang 1999-2001.
Presiden, wakil presiden, menteri, kapolri, ketua umum partai, pangdam, danrem,
gubernur, sekda, bupati, walikota, hingga deretan artis dan masyarakat umum,
pernah bertamu ke Sekumpul. Namun, cuma sedikit yang mengetahui kisah unik
dan menarik di balik kunjungan tersebut. Maka, buku ini setidaknya bisa
menjawab sebagian keingintahuan itu.
Dilengkapi lebih dari 250 foto ( kalau buku yang asli) tentang Sekumpul dan sang
ulama besarnya, menjadikan buku ini enak dibaca dan perlu. Tanpa direkayasa,
deretan foto tersebut seakan mampu bercerita betapa masyhur nama Sekumpul
hingga menembus batas regional, dengan tokoh utama: KH Muhammad Zaini
Abdul Ghani.
KATA PENGANTAR
Ini Album, Bukan Buku

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Berprofesi wartawan, katanya, bisa


membuat seseorang jadi hebat dan
terhormat. Ketika orang lain tidak
bisa dekat-dekat dengan presiden,
wartawan malah leluasa berlenggang-
kakung di Istana Negara. Manakala
orang awam tidak bisa kenal akrab
dengan pejabat dan hanya bisa
melihat dari jauh atau dari layar
televisi, si wartawan justru begitu mudah mengacungkan tape rekaman ke
dekat mulut pejabat. ltulah keuntungan wartawan.

Menjadi wartawan, kata orang, juga mudah menembus tempat yang orang
lain bisa jadi risih jika ketahuan. Maka, tak heran jika seorang wartawan
tenang tenang saja ketika bertemu pejabat yang kelayapan di tempat hiburan
malam. Meski keduanya punya maksud serupa, wartawan bisa berdalih
nongkrong di tempat itu untuk mencari berita, sedangkan kedatangan pejabat
justru bisa jadi berita.

Tapi, menjadi wartawan bagi saya tidaklah suatu keistimewaan kalau hanya
untuk dekat pejabat dan melakukan hal yang tidak bisa dilakoni orang
kebanyakan. Persoalan jadi lain ketika saya bercita cita menjadi wartawan
hanya untuk bisa dekat dengan seorang ulama bernama KH Muhammad
Zaini Abdul Ghani. Itulah kenyataannya.

Harus diakui, meski menjadi satu di antara ribuan jamaah pengajian, saya
tidak pernah bertemu langsung apalagi bersalaman dengan Guru Sekumpul.
Ikhwal senasib ini tak cuma ditanggung saya seorang, tapi juga dirasakan
ribuan jamaah lain yang mengidamkan dekat Guru. Karier wartawanlah
yang membuat khayalan itu menjadi kenyataan, setidaknya untuk beberapa
saat.

Ketika akhimya bisa menembus tembok berita bernama Sekumpul, sudah


beberapa kali saya mengikuti kunjungan tamu ke Sekumpul. Puluhan kali
warta tentang lawatan tamu ke Sekumpul di tulis di Kalimantan Post.
Ratusan koleksi foto plus negatifnya saya simpan dan sebagian lain dipinjam
teman untuk kemudian lupa mengembalikan.

Perasaan mubazir muncul manakala melihat tumpukan itu cuma berserakan


dalam rak dan lemari. Sejumlah foto memang pernah diterbitkan di koran,
tapi masih lebih banyak lagi yang cuma jadi koleksi pribadi karena
keterbatasan halaman koran.

Menerbitkan buku menjadi alternatif. Buku seperti apa, masih dipikirkan


kala itu. Menulis biografi Guru Sekumpul sempat terlintas di benak, namun
segera padam karena saya kira sangat musykil dan merupakan hal yang
mustahal mengingat pribadi Guru Sekumpul berbeda dengan tokoh
kebanyakan yang senang dibuat riwayat hidupnya.

Lagi pula, sekelumit biografi Guru sudah pernah diterbitkan dan menjadi
bagian dalam buku Manaqib Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari karangan
KH M lrsyad Zein (Abu Daudi). Kalau ditulis kembali, pengulangan pasti
akan terjadi. Itu yang saya tidak mau.

Penulisan biografi lokal dalam versi saya juga terkesan tidak menantang
karena hasilnya bisa jadi monoton serta tidak terlalu berkembang alias yang
itu-itu aja. Tinggal kumpulkan catatan, manuskrip tua, plus komentar sana-
sini, jadi deh biografi lokal. Saya ingin sesuatu yang berbeda, yang belum
pernah ada.

Pilihan jatuh kepada cerita tentang kunjungan mereka yang bersilaturrahim


ke Sekumpul, baik yang diikuti, maupun tokoh yang menceritakan
pengalamannya. Dalam arti lain, buku ini boleh diibaratkan sebagai
kumpulan kliping dari berita yang dulu dimuat. Ini kompilasi tulisan dan
bukan murni biografi.

Berbeda dengan di koran, penulisan buku ini menggunakan gaya bertutur


dengan tokoh utama penulis yang berperan sebagai saya. Mohon maaf kalau
unsur ke-aku-an atau ke-saya-an terlalu dominan. Saya memang bercerita,
termasuk untuk hal yang bersifat agak pribadi. Anggaplah ini testimoni atau
malah sebuah otobiografi mirip gado-gado.

Mungkin ada yang tidak terbiasa dengan gaya ini hingga lantas mengira saya
terlalu egois, sombong, sok tahu, “pina musti”, “pina inya aja” atau
“paiyanya”. Mohon jangan berburuk sangka. Aspek subyektif penulis
terkadang tidak bisa diabaikan dalam penerbitan buku, secanggih apa pun
dia membungkusnya.

Ada pertanyaan, mengapa buku ini hanya mengupas tokoh atau pejabat yang
berkunjung ke Sekumpul, tidak masyarakat kebanyakan. Saya punya
jawaban: itu adalah hak prerogatif saya, karena toh selama ini, hanya dengan
tokoh semacam itulah saya bisa menembus akses ke Sekumpul. Lebih
realistis lagi, nilai jual figur publik jauh lebih tinggi ketimbang masyarakat
umum.

Namun, perlu diketahui, yang berkunjung ke Sekumpul jelas masih lebih


banyak publik umum, ketimbang pejabat. Lihatlah ketika ribuan jamaah
hadir ke Sekumpul untuk mengaji atau khusus datang untuk mendapatkan
Ijazah Musfahah. Alangkah naïf dan susahnya saya jika mesti mengiringi
dan meliput kunjungan model begini.

Dengan demikian, adalah wajar jika saya hanya menuliskan tokoh tertentu
yang dinilai bisa mewakili warga kebanyakan. Seribu buku tidak akan cukup
jika menulis kunjungan masyarakat awam ke Sekumpul! Semoga di masa
mendatang ada penulis yang khusus membukukan kunjungan seperti
demikian.

Selama meliput di Sekumpul dalam kurun 1999-2001, saya belum pernah


mengiringi kunjungan masyarakat biasa yang bertamu ke kediaman Guru.
Andaikata kala itu ikut, mungkin dalam buku ini akan saya tampilkan. Tidak
ada unsur diskriminatif dan pemihakan mengapa hanya pejabat yang saya
pajang.

Soal pilih kasih ini sempat pula dikritik Ahmad Fikri AF, seorang aktivis
yang juga Direktur LKiS Jogjakarta. Ia mengatakan, kalau hanya dituliskan
tentang tokoh atau figur tertentu yang datang ke Sekumpul, anggapan orang
nantinya Guru Sekumpul terkesan elitis yang bisa jadi diartikan hanya mau
menerima “orang berdahi”. Ini memang bisa diterima. Namun, argumen
saya di atas setidaknya bisa memberikan jawaban atas hal demikian.

Kalaulah kemudian ada yang tak berkenan atas terbitnya buku ini, mengapa
tidak dari dulu ketika dimuat di Kalimantan Post. Meski terdapat
penambahan data di sana-sini, ia cuma berganti wujud. Kalau dulu
berbentuk berita berita pendek, kini berupa deskripsi yang lebih mendalam
dan berformat buku.
Tulisan dalam buku masih menjadi hak cipta saya, kendati dulu diterbitkan
di koran. Demikian pula foto-fotonya. Terkecuali beberapa foto yang saya
minta izin pemiliknya, terutama senior saya Abdan Sulaiman, wartawan
Banjarmasin Post. Pengecualian juga ada pada foto yang tidak tahu siapa
pemiliknya karena foto itu tersebar dan diperjualbelikan bebas di pasaran.
Khusus untuk itu dicantumkan kredit foto: istimewa. Mohon izin dan maaf,
hak cipta Anda saya pakai.

Jikalau kemudian materi buku didominasi deretan foto, boleh jadi ia


memang dimaksudkan sebagai album galeri foto. Harap maklum pula jika
dalam buku ditemui foto-foto yang menyimpang dari tema. Saya merasa
perlu menampilkan aneka foto Guru dalam pelbagai pose dan gaya, meski
kadang tidak mencerminkan ikhwal mereka yang bertandang ke Sekumpul.
Terlebih lagi, mayoritas foto tersebut belum pernah dipublikasikan.
Mungkin hanya sekitar 10 persen yang telah tersebar luas.

Janganlah dikritik pula mengapa foto Guru bersama Bupati Banjar periode
1995-2000, Kolonel (Purn) H Abdul Madjid, terkesan mendominasi. Entah
mengapa saya merasa sayang jika tidak menampilkannya. Foto itu
setidaknya bercerita betapa akrab dan dekatnya Madjid bersama sang ulama.
Apalagi dalam kurun waktu itu, Guru tengah sehat-sehatnya dan hampir
selalu hadir jika diundang Pemkab Banjar dalam suatu acara.

Berderetnya foto dan cerita kunjungan petinggi militer, bukan berarti saya
menonjolkan TNI. Secara kebetulan, selama meliput di Sekumpul, yang
banyak bertandang kala itu memang para perwira TNI/Polri. Saya belum
pernah sekalipun meliput kunjungan artis.
Buku ini juga bukan merupakan buku “sesungguhnya” apalagi bersifat
referensi ilmiah dan penuh nilai intelektual. Saya bukan dalam kapasitas
seperti itu. Buku ‘’aneh’’ ini masih dangkal dan perlu pendalaman lebih
lanjut. Jadi mohon maaf saja, ini cuma sekadar album hiburan, yang 70 %
berisi foto dan sisanya tumpukan kalimat. Barangkali, sangat kontras dengan
kebiasaan dan aturan perbukuan?

Tanpa bermaksud kultus individu, nama KH Muhammad Zaini Abdul Ghani


di dalam buku ini ditulis dengan sebutan Guru Sekumpul, Guru, sang ulama,
sang kiai dan sejenisnya. Secara tatabahasa, itu memang pemborosan
kalimat. Tapi, mohon maaf, saya kadang tidak sanggup untuk menulis kata
ganti; nya, dia atau ia. Kalau pun ada, jumlahnya tidak banyak.

Meski dalam ketentuan Bahasa Indonesia kata ganti itu lumrah digunakan,
namun bagi saya, ada semacam rasa kada tapi nyaman didangar oleh talinga
urang Banjar. Kendati demikian, saya menghindari penulisan kata beliau,
kecuali berasal dari kutipan langsung.

Proses penerbitan dimulai sejak September 2003. Diawali dari pengumpulan


kliping koran, wawancara dengan tokoh yang pernah ke Sekumpul,
mengumpulkan foto dan negatifnya, hingga penulisan dan pencetakannya.
Proyek ini sempat molor beberapa lama, termasuk ketika rumah saya
diterjang banjir besar pada Januari Februari 2004.

Kini, hanya puji syukur ke hadirat Allah SWT yang bisa saya ucapkan.
Tanpa pertolongan-Nya, mustahil pekerjaan ini akan terselesaikan. Shalawat
dan salam senantiasa tercurah ke haribaan Rasululllah SAW.
Wabilkhusus, untaian terima kasih dan salam takzim saya haturkan kepada
Yang Mulia Al 'Aalimul 'Allaamah Al 'Aarif Billaah As Syeekh KH
Muhammad Zaini Abdul Ghani. Semoga Ayahnda panjang umur, sehat
walafiat dan diberikan kekuatan dalam menegakkan dakwah dan syiar Islam,
agama Allah SWT berlandaskan ahlussunnah waljama’ah.

Khusus buat Bupati Banjar Drs H Rudy Ariffin, MBA, MM, saya
mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas segala
bantuan yang diberikan. Terima kasih pula untuk kesediaannya memberi
kata pengantar dalam buku ini.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada semua pihak yang turut
membantu. Antara lain, Pimpinan Banjarmasin Post Group dan Radar
Banjarmasin, Sekda Kabupaten Banjar Drs H Fakhrian Hifni, MM, beserta
jajaran Pemkab Banjar, Direktur Utama PD Baramarta Martapura, Drs H Gt
Chairiansjah, Ketua DPRD Banjar H Rusbandi, Wakil Ketua DPRD Banjar
H Gt Rusliansyah, Sekda Kalsel Prof Dr H Ismet Ahmad MSc, Pemkab
Tapin, Pemkab Hulu Sungai Selatan, Pemko Banjarbaru, dan Pemkab
Kotabaru, serta pihak lain yang tak bisa disebut satu per satu.

Kepada senior dan mentor saya, Abdan Sulaiman (Banjarmasin Post) dan
Drs Milhan Rusli (Kalimantan Post), tiada kata lain kecuali terima kasih dan
salam hormat. Demikian pula buat Budi Ismanto, SH (mantan Redaktur
Pelaksana Kalimantan Post, kini wartawan METRO TV). Bang Budi adalah
teman begadang di depan komputer bahkan hingga pukul 03.00 dinihari.
Selera humor yang tinggi membuat saya jarang berhenti tertawa ketika
bersama Si Abang berkumis lebat ini.

Juga kepada Drs H Asmara Saibi (Wakil Pemimpin Redaksi Kalimantan


Post), orang pertama yang memberikan jalan agar saya diterima jadi
wartawan. Juga buat M Bugimin AM, Sekretaris Redaksi yang biasa
membantu pencairan gaji. Demikian pula buat redaktur Kalimantan Post
yang menjadi guru; Sofyan Noor, Dra Siti Nurul Setiawati, Drs
Fathurrahman, dan Dadang Yulistya, SE. Terima kasih untuk semua.

Salam spesial saya tujukan buat Dadang Yulistya, SE. Dialah redaktur yang
khusus mengedit berita saya, termasuk tentang Sekumpul.
Keistimewaannya, ia adalah warga fanatik Muhammadiyah, namun begitu
peduli dan memperhatikan warta Sekumpul. Pria yang selalu shalat tepat
waktu walau sedang mengedit berita inilah yang kerap menanyakan apakah
ada bahan berita soal Sekumpul. Kini, dia tak lagi menemukan editan
bertema Sekumpul karena pindah menjadi redaktur Barito Post dan
bermukim di Kotabaru.

Terima kasih saya haturkan kepada Ayahnda Ahmad Koesasi Halidi (Allah
yarham) yang sudah tenang di haribaan Nya, Ibunda Gusti Noorfah, beserta
kakanda; Rahmi, Ali Sadikin, Syamyani, Mahdalena, dan adinda Noor
Sabitah serta Zainal Abidin. Juga buat keponakan yang lucu lucu, Auvia
Inayati, Nida Maghfiroh, Muhammad Aufa Ridho'i, Muhammad Aufa
Riza’i, Muhammad Dafi Maulana dan Audia Mailidini.

Saya juga tetap ingat dengan para guru, dari SDN Dalampagar 2, SDN
Kebun Bunga 4 Banjarmasin, Madrasah Ibtidaiyah Muro’atus Shibyan,
Madrasah Tsanawiyah Izharil Ulum Kampung Melayu, hingga di Pesantren
Hidayatullah Martapura. Terima kasih atas segala jasanya. Salam khusus
buat gank di SMIH dulu; M. Qasthalani, Gusti Marhusin, S.Sos.I, Fuad
Mawardi, Gusti Muhammad Latif, dan Muhammad Zaini, SE, serta kawan
sekolah lainnya.

Tak lupa kepada kolega sesama wartawan, terutama rekan seiring,


Muhammad Hilmansyah, S.Hut, wartawan Metro Banjar, kini jurnalis
METRO TV di Kalimantan Timur. Semoga kita bisa bersama lagi meliput di
Sekumpul dan ke sana ke mari mengejar berita. Juga kepada Ahmad Surkati,
S.Ag, M.Si, (Kalimantan Post), Drs Muhammad Baseri (Kalimantan Post),
Sapariansyah, S.Pd (Radar Banjarmasin), Rakhmadi Kurniawan, SE
(Kalimantan Post), Denny Setiawan, S.Sos (Radar Banjarmasin), Laila
Karbela, S.Sos (Barito Post), Sofyar Redhani, S.Sos (Metro Banjar), Daeng
Hasanuddin AS, Amrullah Boesna, Ira Faradilla, M. Fakhrul Rozi, Drs
Aspul Anwar dan rekan lain, baik di Martapura, Banjarmasin dan
Banjarbaru.

Demikian pula untuk teman di Dalampagar, seperti Badruddin, Halil, M.


Husni (Oon), M. Hadhori, M. Idham, Ahmad Yani, Humaidurrani, Abdul
Muith, Ahmad Baihaqi (Aqi), Gurdan Hadi, Samsul Rizani, M. Sihabuddin,
Anang Ridwan, Khairuddin, M. Kholil, M. Haulani, M. Jamhuri, M. Bahrin,
dan Abdul Wahab.

Tidak boleh dilupakan pula teman teman PNS Pemkab Banjar dan Pemko
Banjarbaru seperti M. Hiban, M. Badruddin, S.Sos, Kholil Sang Fotografer,
Yudi Andrea, S.STP, M. Aidi Hikmatullah, S.STP, M. Fakhrian Rahman,
S.STP, Anang Said, S.STP, M. Romzi, S.Sos, M. Rusdi, S.Sos, Junaidi, Ibu
Sri, M. Firdaus, Muhibatul L., Sofa Mahrita, Susilawati, Rusmida, Noor
Aida, Lily, Masnur Manurung, Adiani, Syahruji R, SH, M. Fakhriadi (PD
Baramarta) serta Dedy Hariadi, S.STP dan Jamilin. Terima kasih semuanya.

Permohonan ampun dan maaf, halal dan ridho, saya sampaikan apabila
dalam buku ini terdapat kekurangan dan kekhilafan.

Akhirnya, kepada Allah SWT kita menyerahkan semuanya. Semoga Sang


Maha Pencipta senantiasa memberikan berkah dan menjadikan buku ini
sebagai khazanah ilmu pngetahuan. Amin.

Martapura, 30 Juli 2004

Ahmad Rosyadi
Kata Pengantar
Cetakan Kelima

Bismillahirrahmaanirrahiim

Ini merupakan cetakan terakhir. Itulah yang ada dalam pikiran ketika akan
menerbitkan buku ini untuk cetakan keempat, Februari 2005 lalu. Setelah
itu, biarlah buku ini akan menjadi kenangan; sebuah buku yang
mengingatkan bahwa Kalimantan Selatan pernah memiliki ulama besar
bernama KH Muhammad Zaini Abdul Ghani.

Toh, penerbitan ulang sebuah buku rupanya masih menjadi permintaan


beberapa pihak. Saya sendiri sebenarnya sudah bosan melanjutkan
penerbitan buku ini. Selain tidak memiliki bahan baru, saya sudah tidak lagi
menjadi wartawan. Ya, dunia wartawan kini cuma tinggal kenangan.

Namun, peristiwa yang terjadi pada tokoh utama dalam buku inilah yang
setidaknya menjadi alasan untuk merevisi buku. Ya, sang tokoh utama, KH
Muhammad Zaini Abdul Ghani, telah mendahului kita untuk selamanya. Dia
telah tiada.

Buku ini pun direvisi sana-sini, termasuk foto-foto pendukung. Berita dan
foto tentang berita duka ikut ditampilkan. Termasuk foto peringatan haul
setahun wafatnya sang ulama besar.

Perubahan mendasar adalah penyempurnaan segi bahasa. Dalam mengedit


kalimat, apa yang dirasa baik hari ini, belum tentu bagus ketika dibaca
besok. Semua penulis pasti merasakan, andaikata suatu kalimat ditambah
atau dikurang, mungkin menjadi lebih sempurna. Setiap membaca hasil
karya, selalu saja ada keinginan menyempurnakan. Tidak ada yang tidak
berubah, tak terkecuali perubahan itu sendiri.

Perbedaan lain, jika dalam empat cetakan sebelumnya yang memberi kata
sambutan adalah Bupati Banjar H. Rudy Ariffin, edisi ini orangnya tetap
sama. Cuma, kini sudah naik pangkat menjadi Gubernur Kalsel. Terima
kasih Pak Gub…

Akhirnya, dengan tetap memohon rahmat dan ridho Allah SWT, buku ini
alhamdulillah bisa diselesaikan. Selamat membaca.

Martapura, 10 Desember 2006

Ahmad Rosyadi
SAMBUTAN
GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN

Assalaamu’alaikum Wr.Wb.
Sebagai orang beriman, marilah kita memanjatkan puji syukur ke hadirat
Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada
kita semua. Selanjutnya shalawat dan salam kita haturkan ke haribaan
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.

Seperti diketahui, hampir semua daerah di Indonesia memiliki ciri khas dan
karakteristik masing-masing. Demikian pula halnya Martapura, ibukota
Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Salah satu identitasnya adalah
kentalnya nuansa keagamaan dan maraknya syiar dakwah keislaman yang
ditunjukkan dengan kehadiran para alim ulama dan aulia.

Sebagai kota berjuluk Serambi Mekkah, peran ulama sangat menentukan


dalam sendi-sendi kehidupan kemasyarakatan. Ia merupakan sarana
pembimbing dan pencerah bagi umatnya. Maka tak heran, posisi ulama
menduduki tempat di atas rata-rata, jika dibandingkan dengan daerah lain.

Eksistensi ulama setidaknya diperkuat dengan banyaknya tempat


peribadatan, majelis taklim, pengajian, madrasah, pesantren dan ribuan
santri atau jamaah. Ini menjadi nilai lebih bagi perkembangan suatu daerah
seperti Kabupaten Banjar khususnya, dan Kalimantan Selatan pada
umumnya.

Selama lima tahun menjabat Bupati Banjar 2000-2005, eksistensi ulama


sangat saya rasakan fungsi dan peranannya. Mereka adalah tempat saya
berbagi rasa sekaligus tempat meminta nasihat dan pertimbangan dalam
memimpin daerah ini. Mereka menjadi pelengkap saya dalam menjalankan
roda pemerintahan. Tidak salah kalau saya katakan, tercapainya hasil
pembangunan yang dapat kita nikmat adalah berkat kerja sama yang
harmonis antara umaro dengan ulama.

Sebab itu, saya sangat mendukung atas terbitnya buku berjudul Bertamu ke
Sekumpul yang ditulis Saudara Ahmad Rosyadi. Buku yang baru pertama
kali terbit atau malah baru pertama kali ditulis ini setidaknya bisa dijadikan
referensi tentang betapa dekatnya hubungan masyarakat dengan ulama,
terutama figur Ayahnda KH Muhammad Zaini Abdul Ghani.

Khusus kepada Ayahanda, beliaulah sosok ulama yang sangat saya hormati
dan segani. Kepada beliau saya sering meminta nasihat dan pertimbangan
serta berbagi pikiran. Bahkan, dorongan dan dukungannya menjadi
motivator saya dalam upaya merealisasikan sejumlah proyek pembangunan
yang menjadi harapan warga Kabupaten Banjar kala itu. Kepadanya juga
saya memohon doa restu menjadi calon Gubernur Kalsel 2005-2010.

Lima hari setelah saya dilantik menjadi Gubernur Kalimantan Selatan pada 5
Agustus 2005, Ayahnda telah berpulang ke rahmatullah. Kesedihan jelas
sangat kami rasakan. Figur yang selama ini menjadi orang tua angkat itu
telah mendahului kita untuk selamanya. Innaa lillaahi wainnaa ilaihi
raaji’uun.

Kini, dengan terbitnya kembali buku ini, kiranya dapat menyegarkan ingatan
bahwa kita pernah memiliki ulama besar yang membawa dakwah secara
damai dan memberikan pencerahan kepada jamaahnya berlandaskan ajaran
ahlussunnah waljamaah.

Akhirnya, selamat atas terbitnya buku ini. Semoga menjadi perbendaharaan


pengetahuan bagi masyarakat.

Wallaahul muwaffiq ilaa aqwamit thorieq


Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Banjarmasin, 5 Desember 2006


Gubernur Kalimantan Selatan,

H. Rudy Ariffin
Bab 1: Ada Apa dengan Sekumpul

Ulama diciptakan untuk waktu dan tempat yang tepat. Begitulah


ungkapan yang kerap muncul untuk mendefinisikan peran ulama di
Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Di Bumi Barakat
ini, ulama memegang posisi penting untuk membina dan menuntun
umatnya. Deretan nama ulama besar menghiasi lembaran sejarah
sesuai situasi dan waktu yang berkembang.

Sebagai gudangnya aulia, tradisi keulamaan di Martapura tetap lestari


kendati berpacu dengan maraknya era globalisasi. Ia seakan tidak
lapuk oleh hujan dan tak lekang lantaran panas. Kebesaran sang ulama
terkenal karena kealiman, kezuhudan, kewibawaan dan ketokohannya
dalam bidang dakwah dan syiar Islam.

Sebutlah nama Maulana Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al


Banjari,

yang makamnya di Desa Kelampayan, Kecamatan Astambul,


diziarahi ribuan orang setiap hari.
Tuan Guru Besar Abdurrahman Siddiq (Indragiri, Tembilahan, Riau),

KH Kasyful Anwar Ismail,

KH Anang Sya’rani Arif,

Ada pula nama KH Muhammad Samman Mulia (Guru Padang)


, KH Muhammad Syarwani Abdan (Guru Bangil),

Tuan Guru KH Zainal Ilmi,

KH Muhammad Husin Qodri,

KH Asnawi Syihabuddin,

KH Muhammad Salman Jalil

, KH Badruddin,
KH Muhammad Ramli, KH Muhdar,

KH Muhammad Rosyad,

dan seterusnya yang walau sudah almarhum tapi namanya tetap


harum dan melegenda. Ini belum lagi deretan tokoh ulama besar sejak
dulu, yang turut menghiasi dokumen historis Martapura.

Kini, fenomena dan keberadaan ulama berbeda relatif jauh dari


kehidupan ulama tempo dulu. Demikian pula karakteristik
masyarakatnya yang terus mengalami pergeseran sepanjang waktu.
Cuma satu yang mungkin tidak banyak berubah, ketaatan dan
kecintaan mereka pada para aulia. Apalagi, jika ulama itu sudah
menjadi idola di masyarakat.
Dalam kondisi kekinian, citra Martapura masyhur hingga menembus
batas regional dengan sosok sang legenda: KH Muhammad Zaini
Abdul Ghani. Ulama yang populer disapa Guru Sekumpul itu bisa
diibaratkan sebagai maestro Bumi Serambi Mekkah Martapura. Setiap
digelar pengajian di Kompleks Ar Raudhah, Sekumpul, ribuan jamaah
hadir dari pelbagai pelosok.

Dia dikenal sebagai tokoh yang kerap dikunjungi pejabat dan orang
penting negeri ini. Bila ada pejabat tinggi di Kalimantan, wabilkhusus
Kalsel, yang baru terpilih atau dilantik, hampir dipastikan akan
bersilaturrahim ke Sekumpul. Mulai dari komandan kodim (dandim),
kapolres, bupati, gubernur, komandan korem (danrem), panglima
daerah militer (pangdam), hingga presiden dan wakil presiden, datang
ke Martapura hanya untuk bertemu Guru Sekumpul.

Secara geografis, Sekumpul berlokasi di Kelurahan Jawa, Kecamatan


Martapura. Dari pertigaan Jalan Ahmad Yani Km 38 samping Masjid
Syi’aarush Shaalihiin, masuk sekitar 800 meter, lantas belok kanan, di
sanalah Mushalla Ar Raudhah berdiri megah.
Berbentuk kotak-kotak paduan semen dan keramik kombinasi hitam,
putih, hijau dan biru, menjadikan kubah serta menara mushalla ini
sebagai model bangunan pertama di Kalsel. Sepintas, menara dan
kubah mushalla mirip masjid terbesar di Jawa Timur, Masjid Agung
Al Akbar, Surabaya.

Di samping mushalla, terdapat kediaman Guru Sekumpul yang diapit


dua rumah berarsitektur sejenis yang ditempati ibu, saudara dan
keponakan. Belakangan, rumah di samping kiri Guru direnovasi total.

Pada Agustus 2004, rampunglah rumah megah berlantai dua bergaya


Spanyol dengan aksen Mediterania. Sungguh membuat kagum dan
nyaman mata memandang. Rumah itu kini menjadi kediaman dua
putera Guru, Muhammad Amin Badali dan Ahmad Hafi Badali.

Angka 17 menjadi hitungan tersendiri dalam Kompleks Ar Raudhah


atau biasa disebut dalam regol. Di samping mushalla berderet tujuh
rumah dan di seberangnya juga tujuh unit rumah. Ditambah rumah
Guru Sekumpul dan dua yang mengapit, jumlahnya klop dengan
angka keramat: 17. Menariknya, rumah itu memiliki ciri khas yang
relatif tidak berubah sampai detik ini; beratap genteng hijau tua dan
teras ukuran persegi panjang dengan atap cor beton bercat putih.

Di sekeliling kompleks mushalla, nyaris tidak ada lahan kosong.


Ratusan rumah menyemut hingga menjadikan Kompleks Sekumpul
perkampungan perkotaan yang elit, mewah namun memancarkan
kedamaian.

Ini sangat berbeda jauh dengan kondisi pada tahun 1980-an. Kawasan
itu ibarat hutan belantara yang penuh semak belukar pohon
karamunting. Hanya satu-dua rumah yang tampak. Barangkali tidak
seorang pun menyangka kondisi itu berubah 180 derajat.

Sekitar tahun 1987, di sekitar kawasan tersebut, hanya ada satu-dua


rumah yang berdiri. Sedang sisanya cuma hutan belantara dan lahan
melompong bertebaran tanah merah. “Tak lama lagi, di sana akan
dibangun kompleks Guru Izai,” kata H Muhammad Jazuli Halidi,
warga setempat, kala itu sambil menunjuk hamparan lahan kosong.

Pada dekade 1980-an, pengajian masih digelar di Mushalla Darul


Aman, Jalan Sasaran, Kelurahan Keraton, Martapura. Baru pada awal
1989, pengajian pindah ke lokasi baru sekaligus menandai era baru
dunia syiar Islam di Martapura.
Perubahan terjadi dalam penyebutan kawasan itu. Semula, sekitar
hutan karamunting masyhur dengan sebutan Sungai Kacang. Ketika
pengajian hijrah, KH Muhammad Zaini Abdul Ghani mempopulerkan
nama baru: Sekumpul.

Memang, sejak pertengahan 1970-an, kawasan itu sebagian ada yang


menamakan Sekumpul. Namun, panggilan tersebut tidak populer dan
banyak orang yang justru tidak kenal serta masih menyebutnya Sungai
Kacang. Lebih dari itu, hingga 1980-an, di ujung jalan yang bermuara
di Jalan A Yani, terpampang plang nama Jalan Sungai Kacang. Ketika
Guru pindah, terminologi Sekumpul mulai dikenal orang.
Perubahan nama juga menjadi awal dari pergantian sapaan akrab
ulama kelahiran 11 Februari 1942/27 Muharram1361 H ini. Di tempat
lama, panggilan sang kiai cenderung beragam. Ada yang menyapa
Guru Zaini, Guru Izai, hingga Guru Keraton. Ketika hijrah ke Sungai
Kacang itulah dia populer dengan nama baru: Guru Sekumpul.

Cuma, tak semua warga memberi sapaan senada. Ada yang masih
memanggil dengan sebutan lama. Tapi, bagi sebagian warga
Martapura, terutama warga asli, sapaan Guru Izai terasa agak “kasar”.
Karenanya, mereka relatif memakai sapaan Guru Sekumpul atau Abah
Guru. Konon, tinggallah kini warga bukan asli Martapura yang masih
menggunakan sapaan semisal Guru Izai.

Penyebutan nama Guru Sekumpul ikut menghiasi pemberitaan koran


lokal. Sebelumnya, jika tema Sekumpul dimuat di koran, nama yang
ditulis pasti Guru Izai atau Guru Zaini. Tapi, sejak akhir 1999, ketika
memuat berita di Kalimantan Post, saya selalu menulis sebutan Guru
Sekumpul.

Alhasil, sejak saat itu setiap pemberitaan di Kalimantan Post, selalu


ditulis sebutan Guru Sekumpul. Tidak lagi Guru Zaini apalagi Guru
Izai. Koran lain pun sebagian besar mulai menulis sapaan itu. Ini
semua demi penghormatan, meski Guru sendiri tidak mempersoalkan.
Setidaknya, Kalimantan Post ikut andil mempopulerkan penulisan
nama baru tadi dan berupaya menyamakan penyeragaman sebutan
untuk pemberitaan media massa lokal lainnya.

Perkembangan kawasan Sekumpul juga diiringi meroketnya harga


tanah. Dahulu, harga per meter persegi hanya berkisar puluhan ribu
rupiah. Tapi sekarang, puluhan juta per meter, itu pun lahannya nyaris
tidak ada lagi. Harga tertinggi dipegang lahan sekitar Kompleks Ar
Raudhah, dekat kediaman Guru. Banyak orang kaya mendadak dari
bisnis jual beli tanah di sekitar Sekumpul.

Lahan kosong yang semula untuk tempat parkir di sekitar Kompleks,


banyak yang berganti hutan beton. Kalau terus dibiarkan dan ditata
seadanya, tidak mustahil rimbunnya hutan karamunting hanya tinggal
kenangan. Rimbunnya belantara beton setidaknya turut menguatkan
argumen bahwa Sekumpul mencatat inflasi tertinggi di Kabupaten
Banjar.
Populernya nama Sekumpul membawa berkah pula bagi pencari
merek dagang. Tak heran banyak warung, toko, restoran atau kedai
kaki lima bernama Sekumpul. Bahkan, PT Mandrapurna Aditama,
menjadikan Sekumpul sebagai merek dagang untuk produk air
mineral dalam kemasan. Konon, kejayaan air merek Sekumpul
berhasil mengalahkan pesaingnya, semisal Aqua, Club ataupun Prof,
setidaknya untuk kawasan Martapura dan sekitarnya.

Banyak pula yang salah kira dan menganggap air mineral tadi sebagai
air “berkah” dari Sekumpul. Padahal, ia cuma sekadar merek dagang
yang menggandol kemasyhuran Sekumpul. Tapi, produsen air ini tak
cuma ikut nebeng. Sang pemilik, H. Ismail, warga Madura pindahan
dari Kalimantan Tengah, kerap membagikan air dalam bentuk botol
atau gelas plastik secara gratis kepada ribuan jamaah dalam acara
khusus, semisal haulan. Hubungan saling menguntungkan berlaku
untuk bisnis ini.

Soal air mineral bisa menjadi cerita tersendiri jika dikaitkan fenomena
kecintaan jamaah terhadap Guru. Pada pengajian atau kegiatan
peribadatan semisal pembacaan Maulid Al Habsyi, Dalaailul Khairaat
dan Shalawat Burdah, banyak jamaah membawa air putih dalam botol
dan membuka tutupnya. Konon, ini dipercaya sebagai sarana untuk
“mentransfer” berkah. Benarkah? Ini kembali kepada keyakinan
masing-masing. Tidak ada paksaan untuk semua itu.

Maka, berderetlah botol-botol air di sekitar pagar, tembok atau kusen


jendela mushalla ketika acara berlangsung. Meski bertumpuk, belum
terdengar ada yang airnya tertukar ketika mau diambil. Sebagian lagi
banyak yang meletakkan botol di dekat sajadah masing-masing.
Setidaknya ini untuk minta berkah sekaligus bisa diminum jika haus.
Tapi, justru karena cara ini, tidak sedikit yang airnya malah habis
seiring berakhirnya peribadatan. Padahal, banyak jamaah yang
percaya air itu berkhasiat dan karenanya perlu dibawa pulang.

Keunikan lain Sekumpul adalah faktor karisma sang ulama. Satu yang
perlu dicatat adalah soal foto Guru. Cobalah Anda lihat, mayoritas
rumah di Martapura memajang foto Guru dalam berbagai pose dan
beraneka ukuran. Tak cuma di rumah, potret itu menempel di dinding
kantor, masjid, mushalla, sekolah, toko, warung dan restoran. Jika di
tempat lain lumrah dipajang foto presiden dan wakil presiden, di sini
figur ulama yang lebih diidolakan.

Ukuran foto akan lebih diperbesar atau malah diletakkan di ruang


tamu rumah (orang Banjar menyebutnya tawing halat) jika foto
menampilkan Guru bersama si empunya. Ada cerita menarik, seorang
tetangga memajang foto dirinya bersama Guru. Tapi lihatlah foto itu:
si empunya tampak berdesakan mendekat Guru dan kamera
menangkap pemandangan demikian. Meski tidak berpotret bersama
secara khusus, toh dia bangga luar biasa dengan memamerkan
fotonya.

Cerita lain, seorang bapak di kawasan Jalan Menteri Empat,


Martapura, menggunting foto dirinya lalu ditempelkan di samping
foto Guru. Setelah direkayasa sana-sini, dipajanglah foto itu seolah-
olah yang bersangkutan duduk di sisi Guru. Ada-ada saja.

Fenomena memajang foto tidak hanya di Martapura dan kota


tetangga, tapi menembus batas daerah. Di luar Kalsel seperti
Balikpapan, Samarinda, Tenggarong, Palangka Raya, bahkan luar
Kalimantan, banyak rumah dihiasi foto sang ulama.

Sebuah rumah mewah berlantai dua di Jalan Pisang Kipas Nomor 3,


kawasan Jalan Soekarno Hatta, Malang, Jawa Timur, memajang foto
Guru di ruang tamu dan ruang tengah. Lantas, rumah toko Wisma
Banjar (yang jadi warung dan penginapan), Jalan Nyamplungan,
Surabaya, juga menempelkan foto Guru ukuran besar. Hal ini menjadi
pertanda si pemilik rumah adalah warga asal Kalsel.

Soal isyarat tentang foto ini pernah saya alami. September 2002, saya
nyaris tersesat mencari famili di Samarinda. Alamat sudah ketemu,
tapi lokasinya tidak tahu pasti dan sarana telekomunikasi belum ada.
Sambil berjalan saya mencuri pandang ke dalam rumah yang dilewati.
Pada sebuah bangunan, tampak foto Guru Sekumpul terpampang di
dalamnya. Inilah rumah yang dicari, dan ternyata benar. Foto Guru
rupanya sudah menjadi identitas dan ciri khas.

Kalaulah kemudian ada warga Martapura yang rumahnya tidak


memampangkan foto sang kiai, juga tidak apa-apa. Yang menarik,
pernah ada pendapat lumayan ekstrem. Katanya, bila ada rumah yang
tidak punya foto Guru Sekumpul, pemiliknya pasti bukan murid Guru
dan tidak beraliran ahlussunnah waljama’ah. Mereka ini juga
dianggap orang “modern” dan bukan termasuk “kaum tua” (istilah
lain untuk komunitas Nahdlatul ulama) Benarkah? Wallaahu A’lam.

Pendapat ini setidaknya ada benarnya. Dalam sebuah kitab


diceritakan, kecintaan murid direfleksikan dengan memandang wajah
atau diasumsikan foto gurunya. Ia bisa menjadi sugesti agar si murid
bisa seperti sang aulia. Argumen ini bisa diterima jika kita melihat
tradisi masyarakat di luar Kalsel. Banyak rumah di pulau Jawa
memajang foto atau lukisan ulama semacam Wali Songo atau KH
Abdullah Gymnastiar (Aa Gym).

Karena itu, sangatlah tidak relevan jika soal memajang foto ulama
menjadi polemik. Biarkan orang pada keyakinannya. Mengapa ketika
foto kiai dipajang justru ribut, tapi foto artis dipajang besar-besar
malah diam saja.
Ikhwal pajang-memajang foto Guru juga dilakukan warga luar daerah.

Sebagai contoh, artis Chrisye memajang fotonya bersama Guru


Sekumpul di atas lemari kecil dekat ruang tamu.
Ketika penyanyi yang jadi anak angkat Guru ini diwawancarai
wartawan Cek dan Ricek, kamera sempat menyorot foto tersebut. Dari
layar RCTI terlihat Chrisye sedang wawancara berlatar belakang
potretnya bersama Guru.

Ketua Umum PBNU, KH Ahmad Hasyim Muzadi juga segendang-


sepenarian. Pada Mei 2004, rumahnya di Jakarta didatangi Ketua
Umum Partai Golkar Akbar Tandjung bersama pengurus teras partai
beringin lainnya untuk meminta kesediaan Hasyim menjadi calon
wakil presiden dari Golkar.

Kunjungan itu mendapat liputan luas dan disorot puluhan kamera


wartawan.Di atas bufet dalam ruang tamu, tepat di belakang sofa
Hasyim, terpampang foto dirinya bersama Guru dalam figura
berpenyangga. Tak pelak, kamera secara tersirat menyorot foto
tersebut ketika meng-close up Hasyim. Pemandangan ini disaksikan
terang-benderang oleh jutaan mata pemirsa di Tanah Air.
Jamaah yang datang ke Sekumpul memang ribuan, dengan beraneka
ragam jabatan, profesi dan strata sosial. Menurut sejumlah wartawan
yang sudah berkeliling Indonesia, pengajian Sekumpul merupakan
majelis taklim terbesar di Indonesia dalam jumlah jamaah yang hadir.

Pada Ahad pagi, 25 Juli 2004 saya bertandang ke Majelis Taklim


Habib Abdurrahman Al Habsyi di Kwitang, kawasan Senen, Jakarta
Pusat. Konon, inilah majelis taklim terbesar di Jakarta. Ternyata,
meski berdesakan, jumlah umat yang hadir biasa saja. Apalagi, kala
itu jamaah wanita dan pria bercampur-aduk. Menariknya, persis di
depan mimbar pengajian yang merupakan halaman Masjid Ar Riyadh,
terdapat kantor DPW Partai Amanat Nasional DKI Jakarta.

Sekarang, lihatlah di Sekumpul. Ribuan umat menyemut tiap digelar


pengajian. Rumah-rumah di sekitar Kompleks Sekumpul dibuka untuk
menampung jamaah yang tidak kebagian tempat. Bandingkan di
tempat lain; rumah di sekitar majelis banyak yang ditutup rapat dan
pemiliknya seolah tidak terlalu peduli.
Ribuan jamaah dari pelbagai penjuru membanjiri Sekumpul jika
diadakan acara semacam haul Syekh Samman Al Madani atau malam
peribadatan Nishfu Sya’ban. Untuk acara terakhir ini, Sekumpul
merupakan titik berkumpulnya ratusan ribu jamaah. Tidak sedikit
yang sengaja menginap di rumah-rumah di sekitar Sekumpul agar
dapat tempat. Saking penuh sesaknya jamaah yang hadir pada tiap 15
Sya’ban itu, lahan kosong di dekat kolong rumah dijadikan tempat
shalat.

Popularitas Sekumpul bergaung hingga ke delapan penjuru mata


angin. Para ulama, kiai, dan habib dari pulau Jawa serta habib dari
Hadramaut, Yaman, banyak yang bertandang. Sebuah tempat lumayan
mewah disiapkan untuk menampung tamu tertentu. Bangunan
bertingkat itu terletak di samping Mushalla Ar Raudhah, dan di
bawahnya merupakan tempat wudhu.

Tidak sedikit warga luar Kalimantan mengira Sekumpul adalah


sebuah pesantren. Seorang warga Pasuruan, Jawa Timur, sempat kaget
ketika diberitahu bahwa Sekumpul adalah majelis taklim. Kata dia,
warga di tempatnya mengira Kiai Zaini (demikian ia menyebut)
adalah pemimpin pesantren, seperti yang lumrah di Jawa.
Sejumlah warga Jogjakarta juga heran majelis taklim Sekumpul
dihadiri ribuan orang. Kata dia, di Jawa acara keagamaan kerap
dihadiri ribuan umat, tapi itu kegiatan insidental macam doa bersama
atau istigotsah. Sedang di Sekumpul, ribuan jamaah rutin datang
untuk mengaji dan beribadah, tanpa tahu istilah istigotsah dan lainnya.

Perkiraan bahwa Sekumpul adalah pesantren barangkali sudah


berkurang dengan kerap terangkatnya majelis taklim ini lewat
publikasi media massa. Sejumlah media nasional beberapa kali
menyiarkan tentang Sekumpul, terutama ketika mereka meliput
pejabat setingkat presiden atau wapres yang bertandang ke Sekumpul.

Sekadar mengingatkan, wartawan RCTI yang tewas ditembak GAM


di Aceh, Sori Ersa Siregar, adalah jurnalis televisi pertama yang
meliput dan menyiarkan tentang ribuan jamaah pengajian Sekumpul.
Bersama seorang kameramen, suatu malam di tahun 1995, ia berada di
Sekumpul meliput suasana majelis taklim. “Ersa Siregar, RCTI,
melaporkan dari Sekumpul, Martapura, Kalimantan Selatan,” kata
almarhum di depan Mushalla Ar Raudhah, mengakhiri liputannya
pada pemirsa kala itu.

Jadwal Pengajian

Sejak dimulai aktivitas di Sekumpul, sudah beberapa kali perubahan jadwal


pengajian. Mulai dari lima kali seminggu hingga menyusut menjadi dua kali
sepekan. Berubah dari sesudah shalat Subuh, setelah Isya, ba’da Zuhur,
hingga sehabis Asar.

Pada 1994, pengajian dilangsungkan Senin dan Kamis pagi sekitar pukul
06.30 Wita. Jamaah pengajian yang mayoritas santri langsung menuju
madrasah atau pesantren begitu pengajian usai. Iring-iringan santri Pondok
Pesantren Darussalam, bersepeda atau bersepeda motor pada pagi buta, bisa
disaksikan kala itu. Dari Sekumpul, mereka berangkat ke sekolah tanpa
perlu ganti pakaian. Seragam pesantren adalah memakai sarung, peci putih
dan baju kurung putih, kurang-lebih sama dengan pakaian mengaji.

Dalam tahun itu pula, pengajian digelar sesudah Zuhur tiap Rabu. Seusai
acara, ribuan jamaah disuguhi nasi dengan lauk daging kuah bistik atau
masak habang. Cara memakannya unik; sekitar 4 hingga 8 jamaah
mengelilingi sebuah nampan plastik bulat dan menyantapnya beramai-ramai.
Pengajian yang diakhiri makan berjamaah ini berhenti ketika Ramadhan
tiba, dan berakhir total ketika jadwal pengajian kembali berubah.

Jadwal pengajian terlama yang pernah berlaku yakni sekitar 1996 hingga
menjelang akhir 2003. Kala itu, pengajian pria digelar pada Ahad dan Kamis
sore sehabis shalat Ashar hingga menjelang magrib. Sedangkan untuk
jamaah wanita pada Sabtu pagi sekitar pukul 09.00 Wita.

Perubahan terjadi seiring menurunnya kesehatan Guru yang tiap dua kali
sepekan menjalani cuci darah. Pengajian pria digelar pada Jumat dan Selasa
sore. Itu pun waktunya kadang cuma sejam tiap kali pengajian, bahkan ada
yang hanya 45 menit. Sedangkan pengajian wanita menjadi Ahad pagi
dengan waktu yang sama.

Perubahan waktu pengajian berimplikasi pada kegiatan sosial


kemasyarakatan di Martapura dan sekitarnya. Salah satunya acara
perkawinan. Jika biasanya resepsi diadakan hari Minggu, dengan adanya
pengajian, walimah pun ikut berubah.

Ada yang memajukan pada Sabtu, ada pula yang menggelar hajatan
pernikahan pada hari kerja yang selama ini jarang terjadi: Senin. Alasannya
adalah, jika tetap digelar pada Ahad, resepsi mungkin kurang meriah karena
kaum perempuan banyak yang pergi ke pengajian.
Waktu pengajian kembali berubah awal-awal 2004. Jatah kaum pria tinggal
sekali seminggu, tiap Ahad sore. Sedangkan untuk jamaah wanita,
ditiadakan sama sekali. Maka, pengajian wanita di kompleks Sekumpul pada
Ahad terakhir kala itu berubah menjadi ajang deraian air mata. Mereka
bersedih karena hari itu terakhir kali pengajian.
Meski jadwal pengajian kerap berubah, agenda peribadatan lain tetap
berjalan seperti sedia kala. Setiap Ahad sesudah shalat Isya diadakan
pembacaan Syair Maulid Al Habsyi dan Kamis malam digelar pembacaan
shalawat Dalaailul Khairaat. Terkadang, untuk acara malam Senin, Guru
ikut memimpin pembacaan syair.

Guru Sekumpul memang figur ulama yang menjalankan dakwah tanpa kenal
lelah. Kendati didera sakit, dia tetap berusaha sekuat tenaga memimpin
pengajian. Sang aulia tetap memberikan pengajian kendati dari kamar
pribadi yang disiarkan via televisi lokal ke sekitar kawasan Sekumpul.
Libur panjang pengajian pernah terjadi sekitar Januari 2001 dan baru pada
Maret 2001 aktif kembali. Pengajian perdana digelar pada Kamis sore, 29
Maret 2001. Menariknya, pengajian kala itu berlangsung sekitar dua jam. Ini
di luar kebiasaan, apalagi kondisi Guru Sekumpul masih belum fit. Lamanya
pengajian pada akhirnya menjadi pengobat kerinduan jamaah lantaran sudah
lama tak mengikuti majelis taklim.

Kondisi demikian tidak bertahan lama. Pengajian sempat libur untuk


beberapa saat. Namun, di tengah sakit, pada akhir Juli 2001, Guru Sekumpul
tetap memimpin pengajian. Tidak kuat duduk, dia memimpin majelis taklim
sambil berbaring di kamar pribadi.

Pada pengajian wanita Sabtu pagi itu, sang ulama “barabah” (berbaring)
dengan kepala diletakkan di atas bantal agak tinggi. Ia mengenakan baju
kurung putih, bersarung dan memakai kopiah haji tanpa sorban. Di samping
kanan berdiri sebuah mikrofon yang ujungnya dibengkokkan hingga
mendekati mulut.

Pemandangan demikian bisa disaksikan jamaah melalui televisi lokal milik


Mushalla Ar Raudhah yang mampu menjangkau Kompleks Sekumpul
hingga radius dua kilometer. Jamaah mengikuti pengajian, sekaligus melihat
Guru Sekumpul berbaring. Ketika memimpin pengajian pria, dia juga
berceramah di dalam kamar pribadi, tapi tidak berbaring. Guru Sekumpul
tetap duduk balapak alias lesehan. Dari layar televisi, terihat Guru Sekumpul
balapak di dekat ranjang tanpa ada siapa pun di sekitarnya, kecuali
seperangkat kamera yang bergerak otomatis.
Lantaran pengajian seperti demikian digelar dari dalam rumah, otomatis para
jamaah duduknya tidak beraturan. Jika pengajian “normal” berlangsung,
mereka menghadap mihrab mushalla, tempat Guru Sekumpul duduk. Tapi,
karena berada di rumah yang letaknya di samping mushalla sebelah selatan,
jamaah pun ikut duduk menghadap rumah. Kebanyakan lagi memilih
mengarah ke layar televisi dan sebagian tetap menghadap kiblat, khususnya
tempat Guru biasa duduk.

Kendati berceramah sambil berbaring atau duduk di dalam kamar,


penampilan Guru tidak jauh berbeda dengan memimpin pengajian di
mushalla. Meski kondisi kesehatan sedang tidak fit, suaranya tetap merdu,
lantang dan jelas. Tidak ada nada suara yang berubah seperti layaknya orang
sakit. Guru Sekumpul bahkan tetap bercerita lucu hingga jamaah tertawa.

Dahulu, ketika masih sehat, hampir di setiap akhir pengajian ada saja orang
yang masuk Islam. Pengucapan kalimah syahadat dibimbing Guru dan
diulang oleh si muallaf. Nama baru langsung diberikan atau istilahnya
tasmiyah. Kalau lelaki biasanya Abdurrahman, Abdurrahim atau Abdullah.
Sedangkan muallaf wanita ada yang diberi nama Siti Aisyah, Siti Fatimah
atau Siti Khadijah dan masih banyak nama lain yang biasa ditahbiskan Guru.

Soal beri-memberi nama ini tak cuma kepada mereka yang baru memeluk
Islam. Banyak tamu yang datang ke Sekumpul meminta nama buat anak
yang baru atau akan lahir. Permintaan nama itu biasanya tidak langsung
kepada Guru, tapi melewati kerabat lain seperti saudara atau kemenakannya.

Pada September 2001, ulama karismatik itu kembali terbaring sakit.


Penyakit yang menggerogoti membuat pengajian libur beberapa bulan.
Liburnya pengajian membuat kawasan Sekumpul lebih lengang dari
biasanya. Jamaah shalat di Mushalla Ar Raudhah tak sebanyak jika
dibandingkan manakala pengajian berlangsung.
Liburnya majelis taklim menjadikan kawasan Sekumpul yang biasanya
mirip pasar kaget berubah sepi. Ratusan pedagang kaki lima yang biasanya
menggelar dagangan di kawasan Sekumpul tatkala pengajian, tidak tampak
lagi. Padahal, kalau ada pengajian, terutama Sabtu pagi, kawasan Sekumpul
bisa dikatakan sebagai cabang Pasar Martapura.

Semua kebutuhan sehari-hari ada di sini. Mulai dari makanan, pakaian,


sembako, sayur mayur, iwak wadi(kering), ikan segar hingga buku tulis dan
mainan anak-anak. Walhasil, jamaah pengajian tidak perlu lagi ke Pasar
Martapura karena mereka bisa berbelanja usai pengajian.

Ketika libur panjang, tak cuma pedagang yang tidak lagi merasakan berkah
Sekumpul. Para sopir angkutan umum dan tukang becak ikut kena imbasnya.
Puluhan becak yang biasanya berjejer menunggu bubaran pengajian, hanya
beberapa yang mangkal di sekitar kompleks. Demikian pula angkutan kota
semisal mikrolet yang tidak lagi berderet menanti penumpang. Pendapatan
mereka menurun drastis.

Suasana itu mungkin berubah seiring bergulirnya kembali pengajian khusus


kaum pria pada awal 2004. Walau cuma seminggu sekali, namun ratusan
ribu jamaah Sekumpul masih bersyukur. Sebab, di tengah sakit yang masih
mendera, Guru tetap memberikan pengajian, walau tidak berkumpul secara
fisik dengan jamaah, seperti dulu.

Terakhir, setelah beberapa lama dirawat di RS Budi Mulia Surabaya, Guru


Sekumpul memulai pengajian pada Ahad sore, 27 Juni 2004. Meski
kondisinya terus melemah, ditandai cuci darah tiga kali sepekan, Guru
memimpin pengajian dari dalam rumah dan langsung ditayangkan televisi
lokal Sekumpul. Kendati paling lama 40 menit, kehadirannya tetap ditunggu
ribuan umat. Ia telah menjadi simbol penerang dan sumber pencerahan bagi
jamaahnya.
Bab 2: Siapa yang ke Sekumpul

Ada pertanyaan muncul, mengapa orang harus berkunjung ke


Sekumpul? Ungkapan ini terbit manakala menyaksikan betapa banyak
mereka yang bertandang ke Sekumpul untuk bertemu KH Muhamad
Zaini Abdul Ghani. Apalagi, di antara tamu itu terdapat orang-orang
besar dan petinggi negeri ini.

Sejak pindah ke Sekumpul, sudah tidak terhitung lagi banyaknya tamu


yang datang. Mulai dari artis, pejabat negara, pejabat lokal, petinggi
militer hingga para menteri dan presiden beserta wakilnya.

Dari luar negeri, mayoritas tamu merupakan para habib serta ulama
besar dari Tharim dan Hadramaut, Yaman. Ada pula tamu dari negeri
jiran Malaysia dan Brunei Darussalam. Antara lain Gubernur negara
bagian Diraja Malaysia, Dato Pangeran Haji Muhammad Ya’kub,
serta Menteri Agama (Mufti) Negeri Perak, Dato Seri Haji Harusani
bin Haji Zakaria pada 20 Juli 2001.

Kunjungan ke Sekumpul diartikan sebagai upaya mempererat tali


silaturrahim. Ia boleh pula dimaksudkan sebagai ucapan mohon izin
pertama kali datang ke daerah ini. Untuk model demikian, bisa
dikhususkan kepada pejabat yang baru ditugaskan ke Kalsel atau
Kalimantan. Setelah selesai bertugas, biasanya kembali berkunjung,
sekaligus pamitan.
Sebagai contoh, ketika memulai tugas di Kalimantan, hampir semua
Pangdam VI Tanjungpura selalu bertandang ke Sekumpul. Tercatatlah
nama Mayor Jenderal TNI Namuri Anoem, Mayjen TNI ZA Maulani,
Mayjen TNI Muchdi Purwopranjono, Mayjen TNI Jacob Dasto (Guru
memanggilnya: Jenderal Muhammad Ya’kub), Mayjen TNI Sang
Nyoman Suwisma, Mayjen TNI Zainuri Hasyim, Mayjen TNI Djoko
Besariman, Mayjen TNI Hadi Waluyo, Mayjen TNI Herry Tjahyana,
dan jenderal lainnya. Sejak 1990-an hingga akhir hayat sang Guru,
semua Pangdam pernah bertamu ke Sekumpul, bahkan beberapa kali.

Pejabat militer lain juga tak ketinggalan. Mulai dari Kepala Staf TNI
Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Hartono,

Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) TNI Letnan Jenderal TNI


Syarwan Hamid, Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI
Mayjen TNI Djasrie Marien hingga deretan perwira berbintang
lainnya, termasuk Mayjen TNI Tiopan Hendrik Sinambela (sempat
menjadi Kasdam IX Udayana, Bali) dan Mayjen TNI Fransiscus
Xaverius Suprono, dua jenderal Kristen dari Mabes TNI di Jakarta.
Demikian pula halnya para menteri. Jauh-jauh datang dari Jakarta
keperluan mereka hanya satu: bertemu Guru Sekumpul. Sebagian
menteri lagi bertandang ke Sekumpul di sela-sela menghadiri suatu
acara di Kalsel. Di tengah terbatasnya waktu yang terikat aturan
protokoler, para menteri tetap mengusahakan bertemu.

Tercatatlah nama tokoh nasional, menteri dan mantan menteri semisal


Ali Said SH, Harmoko, Hartono, Wardiman Djojonegoro, Marzuki
Usman,

Muslimin Nasution, Fahmi Idris, Tholhah Hasan, Said Aqil Husein


Al Munawwar, Wiranto, Jaksa Agung MA Rachman, Alwi Shihab,
Syamsul Mu’arif, Ali Marwan Hanan, Sri Sultan Hamengkubuwono
X, Akbar Tandjung, Tarmizi Taher, Siti Hardiyanti Indra Rukmana,
hingga Ismail Hasan Metareum.

Petinggi negara lain adalah Presiden Megawati Soekarnoputeri yang


ketika itu menjabat Ketua Umum PDI, pada 13 Mei 1995.
Kemudian, datang pula Wapres Hamzah Haz

dan Presiden Abdurrahman Wahid.

Dari kalangan kepolisian juga tidak terhitung, terutama mereka yang


baru dilantik misalnya kapolda Kalsel atau kapolres di sejumlah
kabupaten. Mulai dari Kapolda Brigjen Pol Drs Soni Harsono, Brigjen
Pol Drs H Mudji Hardjadi, Brigjen Pol Drs H Basyir Ahmad
Barmawi, Brigjen Pol Drs Dody Sumantyawan HS, hingga Brigjen
Pol Bambang Hendarso Danuri. Tak ketinggalan, Kapolri Jenderal Pol
Drs H Da’i Bachtiar datang ke Martapura hanya dengan satu tujuan:
bertamu ke Sekumpul.

Tamu dari kalangan artis malah lebih seru. Mulai dari Harry Mukti,
Ulfa Dwiyanti, Sarah Azhari, Ayu Azhari, Chrisye, Iis Dahlia,
Camelia Malik, Emha Ainun Nadjib, Novia Kolopaking, Haddad
Alwi, Sulis, Elvi Sukaesih, Titiek Sandhora, Muchsin Alatas, Nia
Daniaty, Inneke Koesherawati, Anita Dahlan, Dono, Kasino, Indro,
Timbul, Doyok, Kadir, Noor Tompel, Tarzan, Basuki, hingga si Ratu
Ngebor Inul Daratista.

Kedatangan artis disebut terakhir ini sempat menimbulkan polemik,


bahkan tidak sedikit yang berpraduga negatif. Maklum, pada
pertengahan hingga akhir 2003, Inul dihujat dan dicekal lantaran
goyang ngebornya. Ia juga didemo agar tidak datang ke Kalsel.

Namun, dia berhasil lolos dan lebih dari itu; mendapat kehormatan
bertemu Guru dan menginap di salah satu rumah di kawasan
Sekumpul. Sambil dinasehati, ia juga diangkat anak oleh sang ulama.
Polemik kedatangan Inul berakhir dengan kian mafhumnya publik
bahwa kedatangan Inul ke Sekumpul bukanlah sebagai upaya mencari
legitimasi atas gaya keartisannya yang dinilai seronok. Ia cuma
dianggap sebagai tamu biasa. Tidak lebih, tak kurang.

Ketika pengajian untuk wanita digelar pada Sabtu pagi beberapa tahun
silam, Elvi Sukaesih ikut hadir dan duduk di samping kiri Guru. Saat
diperkenalkan kepada jamaah bahwa suami Elvi adalah seorang habib,
atau zuriat Rasululllah SAW, penyanyi dangdut itu tampak
meneteskan air mata haru. Beberapa kali dia mengusap matanya
dengan sapu tangan.

Dari kalangan figur publik yang bertamu antara lain cucu mantan
Presiden Soeharto, Ari Sigit Hardjojudanto, putera mantan Ketua
Mahkamah Agung Ali Said, SH yang juga anggota DPR Ais
Anantama Said, putera mantan Wapres Try Sutrisno, Isfan Fajar
Satryo, serta dai kondang KH Zainuddin MZ
, KH Muhammad Sjukron Makmun, Prof KH Cecep Saifuddin, KH
Muhammad Arifin Ilham dan KH Abdullah Gymnastiar alias Aa
Gym.

Dari kalangan pejabat lokal, sudah tidak terhitung banyaknya. Hampir


semua pejabat di Kalsel pernah berkunjung ke Sekumpul. Mulai dari
gubernur, wakil gubernur, ketua DPRD, sekda, walikota, wakil
walikota, bupati, wakil bupati, hingga pejabat setingkat kepala dinas
dan seterusnya. Ini belum lagi pejabat dan petinggi pemerintahan dari
daerah lain.

Tercatatlah nama Walikota Banjarbaru Drs H Rudy Resnawan (kini


Wakil Gubernur Kalsel), Walikota Banjarmasin 2000-2005 Drs H
Sofyan Arpan, Bupati Hulu Sungai Utara Drs H Fakhrudin, Bupati
Hulu Sungai Utara 1993-2003 Drs H Suhailin Muchtar, Bupati Tapin
1993-2003 Drs H Knach Noor Ajie , Bupati Tabalong 1999-2004 Drs
H Noor Aidi, Bupati Tanah Laut Drs H Adriansyah, Penjabat Bupati
Tanah Bumbu dr H Zairullah Azhar, dan deretan bupati atau walikota
lainnya se-Kalsel, bahkan lintas propinsi. Dari Sangatta, Kalimantan
Timur, Bupati Kutai Timur H Mahyuddin, ST
datang ke Sekumpul untuk menerima Ijazah Musafahah.

Pada Minggu sore pertengahan 2003, bersama Bupati Banjar H Rudy


Ariffin, Bupati Kotabaru Drs H Sjachrani Mataja datang ke majelis
Sekumpul dan duduk di samping Guru. Di sela pengajian, Guru
bercanda soal perbedaan gaji dua bupati itu. Yang satu daerah kaya,
satunya lagi biasa saja.

‘’Nang (yang) manakah nang banyak gajinya,’’ kata Guru. Keduanya


cuma mesem, sedang jamaah lain tertawa. Guru kala itu juga
mengatakan, Sjachrani Mataja adalah lulusan Pesantren Darussalam
Martapura.

Sekretaris Daerah Kalsel, Prof Dr H Ismet Ahmad, lain lagi. Awal-


awal 2004, dia rutin ikut pengajian dan duduk di samping kiri Guru.
Dalam beberapa pengajian, Guru selalu menyebut namanya untuk
memperkenalkan kepada jamaah. ‘’Iya kalu , Pak Ismet lah, ( iya kan
pak ismet?) ’’ ucap Guru seperti ingin minta penegasan atas suatu
masalah. Kala itu dia hadir bersama mantan Sekda Kalsel Drs H
Baderani.

Meski jabatan sekda merupakan orang penting dan tertinggi ketiga di


jajaran Pemprop, Ismet jarang datang bersama ajudan. Berpakaian
serba putih dan berpeci putih memanjang, membuat kedatangannya
tidak diketahui orang awam. Suatu kali, sehabis pengajian, Ismet
terlihat memencet-mencet telepon genggam. ‘’Saya mau pulang,
memanggil sopir,’’ kata zuriat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
ini.

Selain pejabat sipil lokal, petinggi militer regional juga berderet ke


Sekumpul. Mulai dari komandan korem, komandan kodim, kapolda,
kapolres hingga perwira di level bawah. Seorang perwira menengah di
Mabes TNI asal Desa Tangkas, Martapura Barat, Kolonel Infanteri
Drs H Muslim Tanwir HS hadir ke Sekumpul bila sedang pulang
kampung.

Kedatangan para petinggi militer terkadang dalam satu rombongan


besar. Tak ketinggalan, aparat intelijen dan telik sandi juga kerap
terlihat, terutama jika yang datang perwira berbintang. Saking
banyaknya, halaman sekitar Kompleks Ar Raudhah penuh dengan
mobil tamu.

Kedatangan pejabat tersebut juga tidak satu-dua kali. Sebagai ilustrasi,


seorang dandim akan ikut ke Sekumpul bila atasannya semisal danrem
bertandang. Seorang kapolda pasti hadir ketika kapolri datang ke
Sekumpul. Seorang kepala kejaksaan negeri dan kepala kejaksaan
tinggi wajib ikut manakala jaksa agung datang ke Sekumpul.
Demikian seterusnya, hingga menjadi pertanda bahwa mereka
menjadi pembuka jalan dan pengatur protokoler bagi atasan yang
datang.

Terkadang, aturan protokol tidak selamanya berlaku dalam kunjungan


ke Sekumpul. Sebagai contoh, Guru Sekumpul bisa saja langsung
keluar dari rumah dan menjemput tamu di teras. Padahal, dia
direncanakan menyambut dari dalam rumah.

Demikian pula halnya kepulangan tamu. Ada yang dilepas pamitan


cuma sampai di dalam rumah, tapi tidak sedikit tamu yang diantar
pulang sampai di depan pintu mobil. Penghormatan ini begitu besar
sekaligus membuktikan Guru Sekumpul sangat menghargai tamu.

Biasanya, begitu tamu datang, Guru menerima di ruang depan di


samping kamar pribadi. Perbincangan pun dimulai dan sudah pasti
diiringi tawa. Ada kalanya tamu yang datang dibawa Guru Sekumpul
masuk ke dalam kamar. Sedangkan mereka yang ikut dalam
rombongan hanya menunggu di luar kamar sambil disuguhi makanan
dan minuman.

Dalam kamar inilah terjadi perbincangan serius bersifat tertutup.


Waktunya tidak bisa dipastikan. Ada yang sebentar, ada pula yang
sampai satu-dua jam. Untuk mengakhiri pertemuan biasanya dilihat
dari situasi dan kondisi kala itu. Kalau dirasa sudah cukup, tamu bisa
pamit pulang.

Seorang tamu yang pernah ke Sekumpul bercerita, Guru seakan


memberi isyarat bahwa pertemuan segera berakhir, bila dia mengubah
posisi duduk dari gaya semula. Dengan pertanda ini, tamu harus bisa
mengakhiri pembicaraan.

Pertemuan kerap diselingi makan bersama dan tawa yang terdengar


hingga keluar kamar. Sudah pasti pula, di dalam kamar, sang tamu
minta didoakan secara khusus. Pertemuan berakhir begitu pintu kamar
terbuka dan tamu keluar disusul Guru. Habis ini biasanya tamu
langsung pulang atau foto bersama.

Bagi tamu yang datang pagi atau menjelang siang, sebelum pulang
mereka ikut shalat berjamaah di Mushalla Ar Raudhah. Sedangkan
kalau datang menjelang Zuhur, setelah shalat di mushalla, baru masuk
ke kediaman.

Ada pelbagai cara untuk bisa bertamu ke


Sekumpul. Yang utama biasanya melalui
perantaraan orang di sekitar Guru Sekumpul.
Misalnya, Hj Rahmah dan H Ahmad, saudara
dan keponakan Guru. Ada pula yang terlebih
dulu menelepon ke kediaman untuk minta
izin. Kalau disetujui, hari dan jam bertamu
pasti disediakan.

Pada awal 2003, tamu umum datang untuk


mendapatkan Ijazah Musafahah dari Guru.
Untuk bertamu, ia mendaftarkan diri kepada sejumlah orang yang
ditunjuk Guru. Begitu di-acc, sang tamu secara bergiliran bersalaman
dan melakukan ritual khusus lainnya. Pertemuan diakhiri dengan foto
bersama satu persatu. Kegiatan ini berhenti seiring menurunnya
kesehatan Guru dan kini cuma tinggal sejarah setelah dia wafat.
Ikhwal Ijazah Musafahah ini sempat menjadi polemik. Ada sejumlah
oknum yang berkomentar macam-macam dan terkesan memojokkan.
Tanpa takut kualat, mereka menulis surat pembaca dalam koran. Soal
ini akhirnya menjadi amunisi bagi pihak yang memang alergi terhadap
Sekumpul dan selalu berupaya mencari-cari kesalahan untuk
kemudian menghantamnya. Untunglah itu tidak berlangsung lama,
karena masih banyak umat yang tidak terpengaruh fitnah dari orang
yang tidak mengerti duduk perkara.

Lantas, apa saja keperluan tamu di luar ritual Ijazah Musafahah tadi?
Selain bersilaturrahim biasa, kedatangan mereka juga untuk
berkonsultasi masalah keagamaan dan, itu tadi, minta didoakan Guru
Sekumpul. Banyak pula yang minta dijadikan anak angkat Guru.
Walhasil, sapaan tamu untuk Guru berubah menjadi Abah Guru.

Seorang pangdam VI Tanjungpura yang baru datang ke Sekumpul


tidak lagi menyapa dengan Guru Sekumpul. Abah Guru menjadi
sapaan populer tamu yang menjadi anak angkat sang ulama.

Seakan sudah menjadi semacam konvensi, selama bertemu Guru,


tamu tidak membicarakan masalah politik praktis, semisal meminta
dukungan untuk menduduki jabatan tertentu. Lebih dari itu, mereka
pun mafhum Guru adalah tokoh non-politis dan tidak berpartai.

Meski tidak berpolitik, Guru Sekumpul tetap ikut proses politik.


Hampir tiap pemilu, Guru dan keluarga menggunakan hak pilihnya.
Pada Pemilu legislatif 5 April dan pemilu presiden 5 Juli 2004, dia
mencoblos lewat panitia pemilu yang mendatangi kediaman dengan
membawa surat suara. Pada pemilu-pemilu sebelumnya, di kala sehat,
dia langsung mencoblos di TPS.

Di antara ratusan tokoh yang pernah bertamu, sebenarnya masih


banyak nama lain. Yang terungkap ke permukaan hanyalah sebagian
kecil, itu pun berasal dari pemberitaan koran atau kisah Guru
Sekumpul secara sepintas dalam pengajian atau cerita warga di sekitar
Sekumpul yang melihat rombongan menuju kediaman Guru.

Tahukah Anda, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan di kabinet


Presiden Megawati Soekarnoputri , Susilo Bambang Yudhoyono
( yang kini jadi presiden RI) , pernah datang ke Sekumpul pada
Februari 2004. Kunjungan ini amat sangat rahasia. Tidak ada satu
media massa yang mendapatkan informasi ini. Pejabat setingkat
gubernur dan bupati juga mengaku tidak tahu, dan karenanya SBY
tidak didampingi pejabat lokal kala bertemu Guru. “Bocornya” berita
kunjungan ini pun hanya belakangan, kala Guru sudah wafat. Salah
satu saksi yang mengikuti kunjungan itu adalah HM Komarun,
seorang aparat TNI di Koramil Martapura.

Kunjungan SBY ini beberapa waktu kemudian sempat diceritakan


Guru kala pengajian, namun secara tersirat, hingga tidak ada jamaah
yang menangkap inti cerita itu. Guru berkisah tentang banyaknya
ulama yang wafat namun sulit mencari pengganti. “Kalau hari ini
Susilo Bambang (demikian Guru menyebut) ampih (berhenti) jadi
menteri, hari ini jua ada penggantinya,” kata Guru. Beberapa hari
sebelumnya SBY mundur dari Menko Polkam karena merasa
dikucilkan Presiden Megawati, sekaligus juga mau menjadi calon
presiden.

Selain kedatangan para tokoh secara diam-diam, tidak tersedianya


data mereka yang pernah bertandang ke Sekumpul juga lantaran tidak
ada pihak yang mencatat momen tersebut. Pendokumentasian ini
diakui terasa sulit, termasuk bagi wartawan. Jangankan jurnalis, warga
yang tinggal di sekitar Sekumpul pun banyak yang tidak tahu siapa
saja tamu yang bertandang. Kalaupun tahu, hanyalah sebatas bahwa
memang ada tamu datang, tanpa tahu siapa orangnya.

Bagi pejabat tinggi yang ke Sekumpul, kedatangan mereka biasa


ditandai dengan banyaknya petugas keamanan di sekitar Sekumpul,
mulai dari sepanjang Jalan A Yani hingga pertigaan lampu merah
masuk ke Kompleks. Sirine meraung-raung jadi pertanda datangnya
tamu.

Mobil pengawalan demikian jelas tidak berlaku bagi tamu dari luar
Martapura yang non pejabat tinggi. Kalangan artis, misalnya.
Kedatangan mereka terkesan diam-diam, bahkan banyak warga
Sekumpul yang baru mengetahui ketika sang tamu sudah pulang.

Sebagian tamu ada yang datang ketika pengajian berlangsung. Tamu


tadi biasanya diminta duduk di samping Guru. Ada kalanya, kehadiran
tamu diberitahukan Guru Sekumpul kepada jamaah. Namun, ada pula
yang tidak diumumkan sama sekali. Yang tahu mungkin mereka yang
duduk di barisan terdepan majelis pengajian, atau yang menyaksikan
layar televisi ketika kamera menyorot si tamu.

Pada pengajian untuk wanita Sabtu menjelang akhir 2003, jamaah


dikejutkan kedatangan artis Inneke Koesherawati. Mengenakan
busana muslimah lengkap, Inneke keluar dari kediaman Guru dan
berjalan mengikuti sang ulama menuju musholla. Di lain waktu, Sarah
Azhari juga mendapat perlakuan serupa dari Guru Sekumpul.

Pemandangan demikian membuat jamaah banyak yang histeris. Tidak


sedikit yang berebut dan berdesak-desakan untuk menyaksikan dari
dekat adegan tersebut. Puluhan polisi wanita sempat kewalahan
mengamankan. Guru Sekumpul sendiri hanya tersenyum.

Ikhwal berdesakan jamaah, terutama kaum wanita, sempat


menorehkan catatan kelabu. Tahun 2002, insiden maut terjadi tatkala
ribuan jamaah wanita berebut masuk ke dalam Mushalla Ar Raudhah,
mengikuti haul Syekh Samman Al Madani. Ketika matahari mulai
menampakkan sinar, mereka saling dorong, tindih dan injak. Empat
jamaah wafat dan puluhan orang dirawat. Innaa lillaahi wainnaa ilaihi
rooji’uun. Mereka mati syahid dan meninggal dunia dalam menuntut
ilmu serta masuk golongan khusnul khatimah.

Tak lama setelah peristiwa itu, Guru Sekumpul memberikan pengajian


tidak lagi di mushalla. Ia berada di dalam kamar pribadi dan jamaah
harus puas hanya menyaksikan lewat layat televisi. Menjelang akhir
2004, jamaah wanita harus rela ketika pengajian istirahat sementara,
dan “ istirahat untuk selamanya” manakala Guru berpulang ke
rahmatullah.
Bab 3: Mengapa ke Sekumpul

Ada banyak alasan mengapa tamu begitu banyak yang datang. Mereka
kadang harus bersusah payah hanya untuk bertemu. Padahal, tidak
semua tamu bisa diterima. Andai tidak diatur, mungkin waktu Guru
Sekumpul habis tersita cuma untuk menerima tamu. Untunglah
sebagian masyarakat sadar, mereka tidak terlalu ngotot memaksakan
diri.

Dalam beberapa pengajian pertengahan Juli 2004, Guru Sekumpul


sering mengatakan, “Aku ini sudah uyuh (capek), sudah uzur, kada
kawa (tidak bisa) lagi menerima tamu. Penyakitku banyak. Doakan
aja aku. Sudah tuhuk (sering) aku menerima tamu.”

Kalaulah ada warga yang dulu sempat bertemu Guru, mungkin itu
suatu keberuntungan. Demikian pula mereka yang dulu mengadakan
suatu acara dan Guru berkenan hadir. Dahulu, ketika ada acara seperti
haulan, selamatan, pernikahan, atau tasmiyahan. Guru kerap hadir.

Ketika digelar selamatan di rumah H Gt Rusliansyah, di belakang


Pemkab Banjar sekitar 1990-an, Guru Sekumpul bersedia hadir.
Ulama lain juga tampak, antara lain KH Badruddin, KH Muhammad
Rosyad, KH Abdus Syukur, KH Muhdar, ulama dan habaib lainnya.
Sewaktu peresmian jembatan Barito yang dihadiri Presiden Soeharto
pada April 1997, Guru Sekumpul memimpin pembacaan doa. Cerita
menarik muncul kala itu.

Di saat aturan keprotokolan Istana Presiden sangat ketat, termasuk


urusan naskah doa, Guru Sekumpul malah tidak membaca teks yang
disiapkan. Doanya pendek, biasa disebut Doa Sapu Jagat, dan
merupakan lafal umum yang paling banyak dibaca: Robbanaa aatina
fiddunyaa hasanah wafil aakhirati hasanah waqinaa ‘adzaaban naar.

Pada masa-masa sehatnya, tidak terhitung berapa banyak tamu yang


datang. Sampai akhirnya kran itu mulai tertutup pelan dan berpuncak
pada 2004. Meski demikian, Guru masih mau menerima tamu, namun
khusus untuk sesuatu yang teramat penting dan bagi orang tertentu
saja. Ambil contoh mereka yang mau naik haji.

Untuk kategori ini, banyak yang mengalami. Antara lain, Direktur


Utama Perusahaan Daerah Aneka Usaha Barakat Martapura Drs H
Siswa Yusrianto, MM. Beberapa hari menjelang keberangkatan ke
Tanah Suci pada 2003, ada panggilan dari pembantu Guru Sekumpul
yang memintanya datang ke kediaman. Sebelumnya, Siswa
memberitahu sejumlah kerabat di sekitar Sekumpul tentang
rencananya naik haji.

Bersama istri, Dra Zuhratun Nisa, dengan memakai busana haji


lengkap, Siswa menemui Guru Sekumpul. Selain nasihat, mereka juga
didoakan agar sehat walafiat dan menjadi haji mabrur. Sebelum
mengakhiri pertemuan, keduanya berfoto bersama. Saat itu, kondisi
Guru sudah tidak fit, ketika berdiri memakai tongkat.

Siswa sendiri sebelumnya pernah beberapa kali bertandang ke


Sekumpul. Pada Oktober 1995, dia turut ke Sekumpul mendampingi
KH Zainuddin MZ bersama rombongan. Kala itu, Zainuddin akan
berceramah di Masjid Agung Al Karomah Martapura pada peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW.

Pengalaman serupa dirasakan Direktur Umum Perusahaan Daerah


Baramarta Martapura (tahun 2006 naik kelas menjadi Direktur Utama
PD Bangun Banua) H Ahmad Zacky Hafizi, SH, MH. Menjelang
keberangkatan haji tahun 2000, bersama sang istri dia sempat bertamu
ke Sekumpul. Banyak hal yang dipesankan Guru kepada Zacky.
Apalagi, secara kebetulan, dia berangkat ke Mekkah bersama
sejumlah kerabat dekat Guru.

Sebelumnya, manakala menjabat Kabag Hukum Pemkab Banjar,


Zacky Hafizi sudah beberapa kali ke Sekumpul. Dia pulalah yang
memperkenalkan Bupati Banjar H Abdul Madjid kepada Guru.

Selain soal naik haji, ada pula tamu yang berkunjung hanya untuk
silaturrahim. Ambil contoh, Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana
Wilayah Kota Banjarmasin (pada 2005-2015 menjadi Bupati Banjar)
Ir H Gt Khairul Saleh. Bersama sejumlah kawan, di antaranya Kepala
Biro Protokoler dan Rumah Tangga Istana Wakil Presiden, Drs H Ali
Saifuddin Rais, Khairul datang pertama kali ke Sekumpul. Cuma, dia
lupa tanggal persisnya. “Sekitar 6 atau 7 tahun yang lalu,” katanya,
akhir 2003 lalu.

Dalam kunjungan itu, Khairul dan rombongan banyak berkonsultasi


soal agama dan meminta didoakan Guru. Foto dan makan bersama
dilakukan sebelum beranjak pulang. Khairul kemudian datang
bersama rombongan pendidikan Adumla, dan pada 1999
mendampingi Walikota Banjarmasin Drs H Sofyan Arpan (almarhum)
bertamu ke Sekumpul.

Kenangan berkesan bagi Khairul adalah ketika pada suatu malam


pada Nishfu Sya’ban (tahunnya lupa) dia bertemu Guru. Dari rumah,
dia hanya berencana minta doa, tidak membicarakan apa-apa. Usai
beribadah di Mushalla Ar Raudhah, Khairul dipanggil Guru dan
masuk kamar pribadi. Tanpa berkata apa pun, Khairul langsung
didoakan.

“Guru seakan tahu apa yang saya maksud,” kata Khairul yang biasa ke
Sekumpul untuk memberitahu pelaksanaan haul Sultan Adam saban
tahun.

Lain lagi pengalaman pelawak H John Tralala. Bersama KH Ahmad


Bakeri pada 1993

, John pertama kali bertandang ke Sekumpul. Kala itu dia baru saja
menunaikan ibadah haji, hadiah dari Presiden Soeharto atas kiprahnya
di bidang seni madihin. Pertemuan itu
sangat berkesan bagi John, karena Guru
Sekumpul berkata, naik hajinya John
Tralala merupakan balasan Allah atas
ikut berjasanya dia membantu
mengumpulkan dana pembangunan
masjid, langgar dan sekolah dari
lawakannya.
Beberapa waktu kemudian, John kerap berkunjung ke Sekumpul.

Menariknya, ketika bertemu, antara John Tralala dan Guru Sekumpul


saling bertukar cerita lucu. Praktis sepanjang pertemuan hanya humor
dan gelak tawa yang terdengar. “Sidin lucut tatawa (beliau tertawa
gelak),” kata John, pada suatu sore di bulan Ramadahan 2003 lalu,
sambil mengisahkan cerita yang membuat Guru terpingkal itu.

John sendiri kerap disebut-sebut Guru dalam beberapa kali pengajian.


“Raja Aa nih,” kata Guru menirukan ungkapan khas ciptaan John. Tak
lama setelah itu, John hadir ketika pengajian berlangsung. Dia duduk
di samping kiri Guru mengenakan busana serba putih. Lagi-lagi gelak
tawa menghiasi sepanjang pengajian.

Manakala membawakan acara Baturai Pantun di TVRI Kalimantan


Selatan, pelawak bernama asli H Yusran Effendi ini selalu
menyelipkan pantun yang isinya mendoakan Guru senantiasa sehat
walafiat dan panjang umur. “”Saya mempunyai semacam ikatan batin
dengan Abah Guru,” kenang John Tralala.

Ada lagi nama lain yang merasakan keberuntungan dekat Guru


Sekumpul. Dia adalah Kasat Lantas Polres Banjar (pada 2006 promosi
menjadi Kasat Lantas Poltabes Banjarmasin) Komisaris Pol H Djoko
Suryadi. Mengenal Guru Sekumpul sejak 1997-1998, Djoko kerap
bertemu ke Sekumpul bersama Wakapolres Banjar Mayor Pol Drs
Yanto Tarah.

Posisinya sebagai komandan polisi di jajaran lalu lintas kian


membuatnya akrab dengan Guru. Bersama aparat lain, dialah yang
mengawal Guru ketika melintas di jalan raya. Ketika seminggu dua
kali ke RSU Ulin Banjarmasin untuk cuci darah, patroli mobil Lantas
di bawah komandonya selalu mengiringi.

Ketika bertemu Guru, banyak pesan dan nasihat yang disampaikan.


Keduanya juga saling bercerita lucu. “Saya terkesan dengan Abah
Guru karena beliau mau berguyon. Walau sakit, beliau selalu guyon
ketika bertemu saya,” cerita pria kelahiran Semarang 14 April 1959
ini.

Djoko juga minta didoakan agar dikaruniai anak perempuan.


“Alhamdulillah, setelah 13 tahun cuma punya seorang putera, doa
Abah Guru terkabul,” kata Djoko yang selalu teringat pesan sang
ulama yaitu bahwa semua rezeki yang kita terima belum tentu
milik kita.

Tatkala pada 2003 Guru Sekumpul berangkat umroh,


Djoko adalah salah seorang yang tersibuk. Dia mengawal rombongan
sejak di kediaman hingga di bandara dan sebaliknya. Ribuan orang
yang berebut mendekat di bandara ketika keberangkatan dan
kepulangan Guru membuat dia bersama aparat lain ekstra ketat
mengawal. Di dalam kabin pesawat menjelang tinggal landas, Djoko
terus mendampingi sang wali. Tiba-tiba Guru memanggil Djoko, dan
…. cuup … pipi kanan si polisi dicium Guru. Blitz kamera pun
menangkap adegan itu…

Lain lagi pengalaman (mantan) Wakil Walikota Banjarbaru Dr (HC)


Ir H Rahmat Thohir. Di sela kesibukannya yang padat sebagai Wakil
Walikota Banjarbaru 2000-2005, Rahmat Thohir masih setia dengan
kebiasaan lama sejak 1999: ikut pengajian di Sekumpul. Sejak
pengajian Sekumpul digelar, putera pasangan Muhammad Thohir –
Siti Hamsah ini selalu hadir.
Padahal, sebelum menjadi petinggi Pemko Banjarbaru, pria
penggemar karate ini sudah menyandang setumpuk jabatan. Mulai
dari dosen Unlam sejak 1986 hingga menjadi anggota DPRD Kalsel
1992-1997 dan periode 1997-1999. Rahmat sadar, mengaji dan
menuntut ilmu adalah kewajiban. Dia tidak pernah melupakannya.

Kala mengaji di Sekumpul, Rahmat tidak mau menonjolkan diri. Dia


kadang duduk balapak di dalam mushalla, di bawah pohon, atau di
rumah di sekitar Sekumpul.

“Selama menjabat Wakil Walikota, saya berusaha menyempatkan diri


datang mengikuti pengajian. Saya sering duduk di belakang Guru
Sekumpul bersama Bupati Banjar Pak Rudy, Kapolres yang dulu Pak
Sugi Pamilih, dan Ketua Pengadilan Negeri Martapura Pak Ariansyah
Dali, SH. Waktu itu pengajian masih Minggu dan Kamis sore,” cerita
Rahmat.

Kemudian, lanjut bapak dua anak -- Ibnu Walid dan Intan Faranitha --
setelah pikir-pikir ia mengaku ingin kembali ikut pengajian tidak di
mihrab saja. “Saya ingin seperti dulu, lebih bebas, tidak terlalu banyak
yang tahu. Saya tidak ingin menonjolkan diri saat datang ke
Sekumpul, pribadi maupun jabatan,” tutur Rahmat.

Ia mengaku, kedatangannya ke Sekumpul murni untuk mengaji dan


mendapat siraman rohani. Tidak ada sama sekali niat supaya dikenal
orang atau disebut sebagai pejabat alim.

“Saya ingin bebas saja, mau mengaji di pojok, di rumah mana, di


bawah pohon mana, saya lakukan. Yang penting saya tidak ada beban
dan saya merasa lebih tenang, lebih ikhlas,” kata suami Hj Nisrahmah
ini.

Dalam pandangan Rahmat, Guru Sekumpul adalah sosok karismatik


yang begitu sangat disayangi jamaahnya. “Bagi saya, beliau tidak
hanya guru, tapi juga orang tua. Beliau saya anggap sebagai
pembimbing bagi keselamatan kita di dunia dan jalan menuju
akhirat,” cetus Rahmat, di ruang kerja Wakil Walikota, awal 2004.

Rahmat bercerita, pertemuan resmi dirinya dengan Guru Sekumpul


berlangsung pada 1995. Kedatangannya memohon doa restu atas
keberangkatannya ke Tanah Suci bersama sang istri. Bersama
temannya, qoriah internasional 1970-an Hj Wahidah Arsyad, suami-
istri ini diterima Guru.

Saat bertemu, Rahmat minta didoakan Guru Sekumpul agar selama


menunaikan ibadah haji diberikan kesehatan serta dapat menunaikan
seluruh rukun haji dengan sebaik-baiknya.

“Pesan Guru Sekumpul kepada saya sedikit saja, namun pesan beliau
sangat berarti dan begitu tajam hingga saya rasakan benar di hati saya.
Beliau berkata, ‘Kena waktu di Makkah banyaki ikam i’tikaf di
masjid (Nanti, waktu di Makkah kamu memperbanyak i’tikaf di
masjid)’,” kenang Rahmat.

Apa yang dipesankan Guru itu dilaksanakan Rahmat dan istrinya.


“Alhamdulillah, apa yg beliau pesankan kepada kami berdua, dapat
kami lakukan dengan sebaik-baiknya,” ujar Rahmat.
Rahmat mempunyai cerita menarik tentang keistimewaan Guru.
Beberapa kali, Guru Sekumpul berpesan khusus untuk dirinya lewat
orang yang dekat dengan Guru dan Rahmat. Siapa orang itu, Rahmat
merahasiakannya.

“Saya tidak akan menyebut nama orang tersebut. Yang jelas, dari
pesan itu ada keistimewaan yang luar biasa yang menurut saya itu
adalah karomah beliau, sesuatu yang belum terjadi, dan ternyata itu
benar,” kata Rahmat yang sudah mengambil Ijazah Musafahah dari
Guru Sekumpul.

Amanat itu berupa pesan agar ketika Rahmat naik haji dan mendapat
kesulitan atau halangan, cobalah ber-tawassul kepada Syekh Samman
Al Madani dan kepada aulia, termasuk Guru Sekumpul.

Berada di Tanah Suci, Rahmat kesulitan mencium Hajrul Aswad. Dia


menyadari, dibandingkan fisik orang Afrika yang besar-besar, dia
mungkin kalah bersaing. Apalagi saat itu jamaah sudah mulai
berdatangan meski belum Hari Arafah.

“Jamaah sudah membludak dengan tujuan sama, mencium Hajrul


Aswad. Tempatnya juga terbatas. Alhamdulillah, saya melakukan
tawassul yang disarankan Guru. Ajaib. Begitu mudahnya saya
mendapat kesempatan mengecup tanpa halangan apa pun. Padahal,
melihat kondisi saat itu, tidak mungkin bagi saya. Saya mengecup jam
02.00 waktu Mekkah,” cerita dia.
Guru Sekumpul merupakan figur yang memberikan kesan dan
kekaguman tersendiri bagi Rahmat Thohir. “Beliau adalah guru,
sebagai seorang ayah, seorang pembimbing yang sangat arif dalam
membina dan memberikan petunjuk-petunjuk untuk keselamatan
dunia dan akhirat,” katanya.

Keistimewaan lain Guru yang juga dirasakan Rahmat adalah luar


biasanya jamaah yang datang dari kabupaten/kota se-Kalsel maupun
luar propinsi pada pengajian di Sekumpul. “Kita saksikan pula, jika
ada haulan Syekh Samman Al Madani atau kegiatan lain seperti haul
Syekh Muhammad Arsyad, jamaah sangat membludak. Inilah
menurut saya sesuatu yang istimewa pada diri beliau,” tutur juara I
MTQ Tingkat Remaja Banjarbaru 1969.

Sebenarnya, masih banyak cerita menarik yang dialami Rahmat


Thohir selama behubungan dengan Guru Sekumpul. Namun, dia
meminta supaya tidak diungkapkan dan cukup saya saja yang tahu.
Dia juga khawatir cerita itu nanti dikira sebagai pengkultusan
individu.
Bab 4: Meliput Tamu Datang

`Bertemu Guru Sekumpul mungkin idaman banyak orang. Ketika menjadi


bagian di antara ribuan jamaah pengajian, saya berangan-angan bisa bertemu
langsung dengan Guru. Tapi sangat sulit mencari kesempatan demikian.

Guru Sekumpul tidak mungkin menerima ribuan jamaah satu per satu. Saya
cukup melihatnya memberikan ceramah dari layar televisi. Jangankan
bertemu dan berbicara langsung, bersalaman dengan Guru pun hanya
muncul dalam khayalan.

Pada 1993 hingga pertengahan 1999, di antara ribuan jamaah, saya kerap
menyaksikan tamu terhormat yang datang ke rumah Guru dan sebelumnya
ikut duduk mengaji. Cuma doa yang dipanjatkan agar suatu saat bisa
menjadi tamu Guru atau barangkali ikut mendampingi tamu yang datang.

Doa itu dikabulkan Allah. November 1999 saya menjadi wartawan


Kalimantan Post dan ditugaskan di Martapura. Di tengah kebahagiaan itu,
saya berkesimpulan, dengan menjadi wartawan keinginan saya bertemu
Guru bakal tercapai.
Cita-cita itu menjadi kenyataan. Kamis, 6 April 2000, saya mendapat kabar
dari M. Hilmansyah, S.Hut, wartawan Metro Banjar, bahwa hari itu Jaksa
Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Muhammad Abdul Rachman,
SH, akan datang ke Sekumpul. Informasi ini diterimanya dari sejumlah jaksa
di Kejaksaan Negeri Martapura dan Kejaksaan Tinggi Kalsel di
Banjarmasin.

Inilah kesempatan untuk bertemu atau setidaknya berjabat tangan dengan


Guru Sekumpul. Menjadi bagian dari rombongan MA Rachman, yang kelak
menjadi Jaksa Agung, mengantarkan saya untuk pertama kalinya
menjejakkan kaki di kediaman Guru Sekumpul.

Pertemuan pertama dengan Guru barangkali merupakan peristiwa bersejarah


bagi perjalanan hidup. Bayangkan, di antara ribuan jamaah yang
berkeinginan bertamu ke kediaman Guru, saya menjadi sedikit di antara
yang bisa. Kalau tidak menjadi wartawan dan hanya seperti jamaah
pengajian biasa, mungkin tidak pernah bertemu Guru di kediaman.
Ini tidak dapat dipungkiri. Berapa banyak mereka yang ingin bertemu Guru
sejak dulu, namun sampai detik ini belum kesampaian. Entah mengapa,
bertemu Guru menjadi kebahagiaan yang tidak ternilai. Bertemu ulama besar
lain merupakan suatu kehormatan. Tapi, bertemu Guru entah mengapa
memiliki kesan mendalam yang tak bisa dilukiskan kata-kata.

Bertemu pejabat tinggi yang orang lain tidak semuanya bisa, merupakan
kebanggaan. Tapi, bersilaturrahim dengan Guru Sekumpul melebihi semua
itu. Tidak bisa dijelaskan mengapa ini bisa terjadi. Yang pasti, hal demikian
tidak cuma dirasakan saya seorang. Mereka yang pernah bertemu Guru
banyak pula mengalami hal sama.

Kebanggaan lain, kami bisa foto bersama dalam pelbagai macam pose. Ini
merupakan suatu hal menarik karena tidak semua tamu bisa
mendapatkannya. Setiap mengikuti tamu ke Sekumpul, kami selalu mencari
kesempatan foto bersama Guru.

Selama meliput di Sekumpul, saya memiliki ratusan foto bertema Sekumpul


plus sosok ulamanya. Yang menarik, Guru tidak pernah memanggil kami
wartawan, melainkan dengan istilah “fotografer”.

Guru Sekumpul memang mengerti profesi wartawan. Ketika mengiringi,


pasti kami selalu memfoto sang tamu bersama Guru. Ketika dua-tiga kali
menjepret, Guru Sekumpul meminta agar wartawan yang memotret ikut foto
bersama. “Bagantian pulang, fotografernya nang umpat bagambar
(Bergantian sekarang, fotografernya yang ikut berfoto),” kata Guru
Sekumpul.
Giliran kami yang ikut foto bersama. Para pengawal tamu terkadang
bergantian memegang dan menjepretkan kamera para wartawan, walau tak
jarang hasilnya seadanya.

Soal foto-memfoto ini, saya sempat tidak enak hati. Foto Guru yang saya
jepret beredar luas di pasaran dan didagangkan hingga ke luar Kalimantan.
Potret itu menampilkan Guru Sekumpul duduk bersimpuh di teras rumah
seraya tersenyum.

Foto tersebut dijepret pada Kamis, 5 Mei


2000, ketika rombongan Danrem 101 Antasari Kolonel Inf Efrizal Ramli
bertamu ke Sekumpul. Begitu Guru duduk di teras melepas kepulangan
Danrem, kamera langsung diarahkan. Tak dinyana, Guru malah tersenyum
dan tetap dengan gaya duduk bersimpuh. Dua kali saya jepretkan kamera
untuk adegan demikian.
Kalau kemudian foto diperjualbelikan di pasaran, saya jelas heran. Selain
negatif foto masih ada, kala itu tidak ada fotografer lain yang memotret.
Tapi biarlah, hitung-hitung amal. Saya gembira melihat foto itu terpampang
besar-besar di penjual foto dan poster serta menempel di ruang-ruang tamu
rumah warga di Martapura dan daerah lain.

Pada awal 2000, wartawan yang rutin ikut mendampingi tamu ke Sekumpul
adalah Hilmansyah dan saya. Kondisi ini berlangsung hingga akhir 2001.
Memasuki 2002, wartawan sepertinya tidak lagi bisa memiliki akses ke
kediaman Guru.

Banyaknya wartawan yang ikut rombongan, merupakan salah satu sebabnya.


Sebagai contoh, ketika seorang pejabat tinggi negara bertemu Guru, puluhan
wartawan yang bertugas di Banjarmasin ikut ke Sekumpul. Imbasnya,
wartawan tidak bisa lagi bebas masuk ke kediaman. Mereka harus puas
menunggu di teras atau di halaman.

Terakhir kali saya dan dua teman bertemu Guru Sekumpul pada Sabtu, 5
Juni 2004. Ketika itu Guru dirawat di RS Budi Mulia, Jalan Raya Gubeng
Surabaya. Pertemuan kami tidak direncanakan. Maklum, ketika Guru
dirawat, banyak orang yang ingin membesuk, tapi tidak kesampaian.
Mendengar itu, kami seperti tidak bersemangat, ditambah alasan untuk tidak
mengganggu istirahat Guru.
Tapi, nasib baik berpihak pada kami yang kala itu berangkat ke Surabaya
untuk selanjutnya ke Solo, Jawa Tengah mengikuti haul di kediaman Habib
Anis Al Habsyi. Pukul 10.00 WIB, pesawat mendarat di Bandara Juanda.
Pikiran sempat bimbang apakah ikut ke RS Budi Mulia atau menunggu di
terminal menuju Jogjakarta. Akhirnya, saya ikut menemani kawan untuk
“mencoba” membesuk Guru.

Setiba di sana, kami diberitahu bahwa Guru mungkin tidak bisa dijenguk.
Entah mengapa kami nekat dan terus menunggu. Kami cuma duduk-duduk
di sekitar kamar Guru dirawat, nomor 09 lantai 4. Saya juga sempat bertemu
dan berdiskusi dengan kolega, Poso Palopo Abdurrahman, wartawan
Banjarmasin Post di Surabaya. Ia satu-satunya jurnalis yang memberitakan
kondisi Guru Sekumpul selama dirawat di RS Surabaya. Berita tentang Guru
memang selalu ditunggu-tunggu pembacanya di Kalsel.

Kenekatan kami untuk membesuk kian bertambah karena saat itu terlihat
Sekretaris Daerah Propinsi Kalsel Prof Dr H Ismet Ahmad menunggu untuk
membesuk. Kami berpikir, jika Ismet diizinkan masuk, paling tidak tamu
lain diizinkan sesudahnya. Sekitar pukul 11.30 WIB, pembantu Guru
menyilakan Sekda masuk.

Sejam lebih Ismet membesuk, tak kelihatan keluar kamar. Pikiran menguat,
Guru Sekumpul akan menerima. Alhamdulillah, ini menjadi kenyataan.
Ketika Ismet keluar, pembesuk lain dipersilakan masuk. Selain dilarang
membawa kamera, pembesuk diminta sebentar saja bertamu. ‘’Satumat aja
lah,’’ pesan pembantu Guru.
Satu persatu tamu masuk. Mendahului kami, berderet rombongan tukang
yang membangun rumah Guru di Sekumpul. Di dalam kamar, Guru
berbaring lemah tanpa ekspresi. Ia mengenakan sarung dilapisi selimut dan
berbaju kaos putih oblong tanpa kerah. Kami bersalaman dan mencium
tangannya. Tak ada sepatah kata keluar dari mulut kami dan Guru. Adapun
rombongan tukang tadi setelah bersalaman lantas mengangkat tangan,
berdoa demi kesembuhan Guru.

Meski tak lebih dari 2 menit membesuk, perasaan kami cukup puas. Apalagi,
teman saya belum pernah berjumpa langsung dengan Guru. Kami berpikir,
andai tidak nekat, mungkin tidak akan pernah bertemu Guru ketika dirawat
di RS.

Kami merasa beruntung karena pada saat itu banyak pembesuk datang
namun tidak bisa bertemu. Puluhan tamu hari itu pulang dengan tangan
hampa karena dikatakan oleh pembantu Guru bahwa sang kiai harus
istirahat. Banyak yang cuma bisa mendoakan dari luar kamar sebelum
akhirnya pulang. Saat itu terlihat mantan Kepala Kejaksaan Negeri
Martapura Arifin Sahibu, SH yang datang untuk membesuk namun ditolak
secara halus. Ia pulang dan hanya menitipkan salam teriring doa buat Guru
sambil menyerahkan parcel kepada pembantu.
Kesempatan membesuk ini tidak mungkin terbit dua kali. Sekali lagi, faktor
kenekatanlah yang barangkali membuat kami bisa diterima Guru. Sebab,
selama dirawat di Surabaya, tamu yang datang sangat dibatasi. Hanya orang
tertentu yang boleh masuk. Ini semua untuk perawatan Guru.
Uniknya, kunjungan kami bertiga selama 2 menit di RS itu ditulis Poso
Palopo Abdurrahman dan dimuat di Banjarmasin Post besoknya. “Biar
tambah rame,” katanya lewat SMS.

Selama di RS, yang bisa membesuk antara lain, Wakil Presiden Hamzah
Haz, calon Wapres Solahuddin Wahid, Jaksa Agung MA Rachman, SH,
ulama Sampang, Madura, KH Alawy Muhammad, Gubernur Jawa Timur
Imam Utomo, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif,
Gubernur Kalsel Sjachriel Darham, Sekda Ismet Ahmad, dan Bupati Banjar
H Rudy Ariffin.
Selamat Jalan Abah Guru

Berita duka itu akhirnya datang juga. Rabu, 10 Agustus 2005, subuh dinihari
selepas pukul 05.00 Wita, Al ‘Aalimul ‘Allaamah Al ’Aarif Billaah Maulana
KH Muhammad Zaini Abdul Ghani berpulang ke rahmatullah. Ribuan
masyarakat segera berdatangan memenuhi sekitar rumah duka di Kompleks
Ar Raudhah Sekumpul Martapura.

Mushalla dan kawasan Kompleks tak sanggup menampung membludaknya


warga. Semuanya berduka. Kesedihan menggelayut dalam wajah-wajah
mereka. Deraian air mata tidak tertahankan.
Beberapa jam sebelum wafat, warga Sekumpul dan sekitarnya sempat
membesuk Guru lewat pintu belakang kediaman. Antrean panjang ini
ditutup menjelang tengah malam, dan warga yang tidak bisa bertakziah
dimintakan mendoakan sang guru di tempat masing-masing.
Kondisi kesehatan Guru berada pada titik kritis. Didampingi seluruh
keluarga dekat, termasuk istri, Hj. Juwairiah, Hj. Laila dan Hj. Siti Noor
Jannah, serta putra, Muhammad Amin Badali dan Ahmad Hafi Badali, wali
Allah itu menghadap Sang Khalik.
Menjelang pukul 07.00 Wita, di ruang tengah rumah, dimulai shalat jenazah
yang diimami secara bergantian oleh sejumlah ulama. Sesekali kerabat dekat
Guru memberikan ciuman terakhir kepada sang ulama. Pukul 12.30, jenazah
Guru Sekumpul dihantar ke pemakaman yang berada di depan Mushalla Ar
Raudhah atau di bagian depan samping kiri kediaman almarhum.
Kala keranda dikeluarkan dari kamar, gemuruh tahlil dan tahmid
mengumandang, disertai dengan suara isak tangis di sana-sini. Lantunan
tahlil itu terasa pilu, menyayat hati dan membuat bulu kuduk berdiri. Suara
itu terus bergema terlebih saat keranda jenazah melewati pintu utama
kediaman menuju mushalla. Ribuan jamaah berebut membawa keranda
hingga selendang penutup keranda nyaris lepas.

Di mushalla, shalat jenazah berpuluh-puluh kali digelar. Menjelang Ashar


keranda dibawa ke pemakaman yang jaraknya cuma beberapa meter dari
mihrab. Tepat azan Ashar dan diiringi lantunan ayat Al Qur’an, jasad sang
ulama diturunkan ke liang lahad. Sesuai wasiat Guru, yang memimpin
pembacaan talqin adalah (alm) .KH Abdus Syukur.
Hari-hari ini, kita kembali terkenang dengan ceramah sang ulama dalam
beberapa kali pengajian. Banyak di antaranya yang bertutur tentang
kematian, walau diungkapkan Guru Sekumpul secara bercanda.
“Kalau aku kena meninggal dunia, kantor dan bank pasti tutup. Sekolah dan
madrasah juga umpat libur….” Kata Guru. Di saat banyak yang bingung,
sang ulama menyambung kalimat itu hingga membuat jamaah tertawa, “Asal
aku meninggalnya hari Minggu…”

Canda Guru itu setidaknya terbukti. Meski wafat bukan hari Ahad, suasana
di Martapura dan sekitarnya mengamini apa yang dulu diungkapkan Guru.
Sekolah banyak yang diliburkan, kantor dan instansi pemerintah relatif tidak
berfungsi walau tampak buka, dan toko-toko di Pasar Martapura seperti
tidak berpenghuni. Semuanya larut dalam kedukaan.
Ratusan ribu jamaah yang menghadiri pemakaman menciptakan rekor
tersendiri dalam sejarah di Kalsel. Dari mantan Wapres Hamzah Haz,
Gubernur, anggota DPR, hingga rakyat jelata datang melayat. Jalan-jalan
macet dan aktivitas warga terhenti. Semuanya ingin memberikan
penghormatan terakhir. Imam shalat pun tak mampu menahan deraian air
mata kala melafalkan doa. Isak tangis tiada terbendung.
Media massa daerah hingga nasional memberitakan kabar duka ini, termasuk
koran besar seperti Kompas dan Jawa Pos. Bahkan, Rabu dinihari itu juga,
Banjarmasin Post mencetak ulang halaman depan koran yang berisi berita
kematian Guru Sekumpul.
Akhir Juli hingga awal Agustus 2005, kesehatan Guru Sekumpul menjadi
perbincangan masyarakat Kalsel. Hampir setiap hari sejumlah media cetak
lokal memberitakan kondisi sang ulama yang setiap dua kali sepekan
menjalani cuci darah. Sejak awal-awal 2005, pengajian juga libur panjang.
Puncak semua itu, Jum’at, 29 Juli 2005, diantar (Gubernur) Kalsel H. Rudy
Ariffin, Guru Sekumpul dibawa ke Rumah Sakit Mount Elizabeth
Singapura. Ditangani oleh Dr Gordon Ku, spesialis penyakit dalam, kondisi
kesehatan sang ulama terus membaik, namun harus terus menjalani
perawatan.
Selagi masih di luar negeri, masyarakat Kalsel heboh oleh beredarnya kabar
wafatnya Guru. Sejumlah media radio malah sempat memberitakannya.
Kabar itu sendiri dibantah oleh orang dekat Guru, termasuk Rudy Ariffin
yang terus memantau perkembangan kesehatan Guru.
Kepada Rudy, Guru mengaku ingin sekali cepat pulang ke Martapura.
Apalagi, Rudy Ariffin setelah itu lebih dulu pulang ke Kalsel untuk dilantik
sebagai Gubernur. “Bila ikam bulik, aku umpat bulik jua Di ai,” kata Guru
kepada Rudy.
Sang ulama memang sangat dekat dengan Rudy hingga seakan merasa
sendirian tanpa Rudy. Atas advis tim dokter di RS, Guru diminta tetap
dirawat di lantai 3 ruang khusus Critical Unit. Setelah lebih sebelas hari
menjalani perawatan, Guru pun diperbolehkan pulang.
Selasa 9 Agustus, pukul 20.30, pesawat carter F-28 yang membawa sang
aulia mendarat di Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin. Tepat pukul
21:15, iring-iringan mobil yang membawa Guru tiba di Kompleks
Sekumpul. Mobil DA 9596 ZG yang membawa Guru langsung masuk ke
dalam garasi, di bagian belakang kediaman.
Guru kembali berjumpa dengan keluarga dan kota kelahiran yang sangat
dicintai dan dirindukannya. Namun, ternyata Allah SWT lebih mencintai dan
merindukan sang ulama. Hanya dalam hitungan jam berada di tengah
keluarga, Guru Sekumpul dipanggil untuk selama-lamanya.
Innaa lillaahi wainnaa ilaihi rooji’uun.

H. Ahmad Rosyadi, lahir di Desa Dalampagar, sekitar 5 kilometer arah timur


Martapura, 30 Juli 1978. Meski dulu sempat kepingin jadi polisi, namun putra kelima
dari tujuh bersaudara ini sejak kecil bercita-cita jadi wartawan. Karena itu, tatkala
sekolah dasar, mengarang adalah pelajaran yang disenanginya.
Sejak di bangku sekolah menengah, bakat menulis disalurkan dengan mengirim artikel
ke pelbagai media massa di daerah seperti harian Banjarmasin Post dan Dinamika
Berita.November 1999, lulus penerimaan wartawan Kalimantan Post dan ditempatkan
di Kabupaten Banjar. Meski tak lama berkarier sebagai wartawan, profesi inilah yang
akhirnya membuat kesampaian cita-citanya bertemu sang ulama: KH Muhammad Zaini
Abdul Ghani, sekaligus meretas jalan menjadi Staf Pribadi Drs. H. Rudy Ariffin, MM,
Gubernur Kalimantan Selatan 2005-2010.
( haul Guru Sekumpul , 2010 )
Manaqib
Al-‘Arif Billah Asy-Syaikh
Muhammad Zaini bin ‘Abdul Ghani Al-Banjari
( Abah Guru Sekumpul , Martapura , kal-Sel)
( Mursyid Thoriqah As-Sammaniyyah )

Disusun Oleh
H. M. Irsyad Zein ( Abu Daudi)
Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abd.
Ghani bin Al 'arif Billah Abd. Ghani bin H. Abd. Manaf bin Muh. Seman
bin H. M, Sa'ad bin H. Abdullah bin 'Alimul 'allamah Mufti H. M. Khalid
bin 'Alimul 'allamah Khalifah H. Hasanuddin bin Syekh Muhammad
Arsyad; dilahirkan pada, malam Rabu 27 Muharram, 1361 H (I I
Februari 1942 M).

Nama kecilnya adalah Qusyairi, sejak kecil beliau termasuk dari salah
seorang yang "mahfuzh", yaitu suatu keadaan yang sangat jarang
sekali terjadi, kecuali bagi orang orang yang sudah dipilih oleh Allah
SWT.
Beliau adalah salah seorang anak yang mempunyai sifat sifat dan
pembawaan yang lain daripada yang lainnya, diantaranya adalah
bahwa beliau tidak pernah ihtilam ( mimpi basah).
'Alimul 'allamah Al Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abd
Ghani sejak kecil selalu berada disamping kedua orang tua dan nenek
beliau yang benama Salbiyah. Beliau dididik dengan penuh kasih
sayang dan disiplin dalam pendidikan, sehingga dimasa kanak kanak
beliau sudah mulai ditanamkan pendidikan Tauhid dan Akhlaq oleh
ayah dan nenek beliau. Beliau belajar membaca AI Quran dengan
nenek beliau, dengan demikian guru pertama dalam bidang ilmu
Tauhid dan Akhlaq adalah ayah dan nenek beliau sendiri.

Meskipun kehidupan kedua orang tua beliau dalam keadaan ekonomi


sangat lemah, namun mereka selalu memperhatikan untuk turut
membantu dan meringankan beban guru yang mengajar anak mereka
membaca Al Quran, sehingga setiap malamnya beliau selalu membawa
bekal botol kecil yang berisi minyak tanah untuk diberikan kepada
Guru yang mengajar AI Quran.
Dalam usia kurang lebih 7 tahun beliau sudah mulai belajar di
madrasah Darussalam Martapura.

Guru guru'Alimul'allamah Al 'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd.


Ghani :

1. Ditingkat Ibtida adalah: Guru Abd Mu'az, Guru Sulaiman, Guru Muh.
Zein, Guru H. Abd. Hamid Husin, Guru H. Mahalli, Guru H. Rafi'I, Guru
Syahran, Guru H. Husin Dakhlan, Guru H. Salman Yusuf

2. Ditingkat Tsanawiyah adalah: 'Alimul Fadhil H. Sya'rani'Arif, 'Alimul


Fadhil H, Husin Qadri, 'Alimul Fadhil H. Salilm Ma'ruf, 'Alimul Fadhil H.
Seman Mulya, 'Alimul Fadhil H. Salman Jalil.

3. Guru dibidang Tajwid ialah: 'Alimul Fadhil H. Sya'rani 'Arif, 'Alimul


Fadhil At Hafizh H. Nashrun Thahir, 'Al-Alim H. Aini Kandangan.

4. Guru Khusus adalah: 'Alimul'allamah H. Muhammad Syarwani


Abdan,
'Alimul'allamah Asy Syekh As Sayyid Muh. Amin Kutby.

Sanad sanad dalam berbagai bidang ilmu dan Thariqat diterima dari:
Kyai Falak (Bogor)

,
'Alimul'allamah Asy Syekh Muh Yasin Alfadani Padang (Mekkah).

'Alimul'allamah As Syekh Hasan Masysyath,

'Alimul'allamah Asy Syekh Isma'il Yamani dan 'Alimul'allamah Asy


Syekh Abd. Qadir Al Baar.

5. Guru pertama secara Ruhani ialah: 'Alimul 'allamah Ali Junaidi


(Berau) bin 'Alimul Fadhil Qadhi H. Muhammad Amin bin 'Alimul
'allamah Mufti H. Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad,
dan 'Alimul 'allamah H. Muhammad Syarwani Abdan.

Kemudian 'Alimullailamah H. Muhammad Syarwani Abdan


menyerahkan kepada Kiayi Falak dan seterusnya Kiayi Falak
menyerahkan kepada 'Alimul'allamah Asy Syekh As Sayyid Muh. Amin
Kutby, kemudian beliau menyerahkan kepada Syekh Muhammad
Arsyad yang selanjutnya langsung dipimpin oleh Rasulullah saw.

Atas petunjuk 'Alimul'allamah Ali Junaidi, beliau dianjurkan untuk


belajar kepada 'Alimul Fadhil H. Muhammad (Gadung) bin 'Alimul
Fadhil H. Salman Farlisi bin 'Allimul'allamah Qadhi H. Mahmud bin
Asiah binti Syekh Muhammad Arsyad, mengenal masalah Nur
Muhammad; maka dengan demikian diantara guru beliau tentang Nur
Muhammad antara lain adalah 'Alimul Fadhil H. M. Muhammad
tersebut diatas.

Dalam usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiat dan


anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar
apa apa yang ada didalam atau yang terdinding.
Dan dalam usia itu pula beliau didatangi oleh seseorang bekas
pemberontak yang sangat ditakuti masyarakat akan kejahatan dan
kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya sangat
mengejutkan keluarga di rumah beliau. Namun apa yang terjadi, laki-
laki tersebut ternyata ketika melihat beliau langsung sungkem dan
minta ampun serta memohon minta dikontrol atau diperiksakan
ilmunya yang selama itu ia amalkan, jika salah atau sesat minta
dibetulkan dan diapun minta agar supaya ditobatkan.

Mendengar hal yang demikian beliau lalu masuk serta


memberitahukan masalah orang tersebut kepada ayah dan keluarga,
di dalam rumah, sepeninggal beliau masuk kedalam ternyata tamu
tersebut tertidur.

Setelah dia terjaga dari tidurnya maka diapun lalu diberi makan dan
sementara tamu itu makan, beliau menemui ayah beliau dan
menerangkan maksud dan tujuan kedatangan tamu tersebut. Maka
kata ayah beliau tanyakan kepadanya apa saja ilmu yang dikajinya.
Setelah selesai makan lalu beliau menanyakan kepada tamu tersebut
sebagaimana yang dimaksud oleh ayah beliau dan jawabannva
langsung beliau sampaikan kepada ayah beliau. Kemudian kata ayah
beliau tanyakan apa lagi, maka jawabannyapun disampaikan beliau
pula. Dan kata ayah beliau apa lagi, maka setelah berulamg kali di
tanyakan apa lagi ilmu yang ia miiki maka pada akhirnya ketika beliau
hendak menyampaikan kepada tamu tersebut, maka tamu tersebut
tatkala melihat beliau mendekat kepadanya langsung gemetar
badannya dan menangis seraya minta tolong ditobatkan dengan
harapan Tuhan mengampuni dosa dosanya.

Pernah rumput rumputan memberi salam kepada beliau dan


menyebutkan manfaatnya untuk pengobatan dan segalanya, begitu
pula batu-batuan dan besi. Namun kesemuanya itu tidaklah beliau
perhatikan dan hal hal yang demikian itu beliau anggap hanya
merupakan ujian dan cobaan semata dari Allah SWT.
Dalam usia 14 tahun, atau tepatnya masih duduk di Kelas Satu
Tsanawiyah, beliau telah dibukakan oleh Allah swt atau futuh, tatkala
membaca Tafsir: Wakanallahu samiiul bashiir.

'Alimul'allamah Al-'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani, yang


sejak kecilnya hidup ditengah keluarga yang shalih, maka sifat sifat
sabar, ridha, kitmanul mashaib, kasih sayang, pemurah dan tidak
pemarah sudah tertanam dan tumbuh subur dijiwa beliau; sehingga
apapun yang terjadi terhadap diri beliau tidak pernah mengeluh dan
mengadu kepada orang tua, sekalipun beliau pernah dipukuli oleh
orang-orang yang hasud dan dengki kepadanya.

Beliau adalah seorang yang sangat mencintai para ulama dan orang
orang yang shalih, hal ini tampak ketika beliau masih kecil, beliau
selalu menunggu tempat tempat yang biasanya 'Alimul Fadhil H.
Zainal Ilmi lewati pada hari-hari tertentu ketika hendak pergi ke
Banjarmasin semata mata hanya untuk bersalaman dan mencium
tangan tuan Guru H. Zainal Ilmi.
Dimasa remaja 'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy-Syekh H. M Zaini
Abd Ghani pernah bertemu dengan Saiyidina Hasan dan Saiyidina
Husin yang keduanva masing-masing membawakan pakaian dan
memasangkan kepada beliau lengkap dengan sorban dari lainnya. Dan
beliau ketika itu diberi nama oleh keduanya dengan nama Zainal
'Abidin.

Setelah dewasa. maka tampaklah kebesaran dan keutamaan beliau


dalam berbagai hal dan banyak pula orang yang belajar. Para Habaib
yang tua tua, para ulama dan guru-guru yang pernah mengajari
beliau, karena mereka mengetahui keadaan beliau yang sebenarnya
dan sangat sayang serta hormat kepada beliau.

'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani adalah
seorang ulama yang menghimpun antara wasiat, thariqat dari haqiqat,
dan beliau seorang yang Hafazh AI Quran beserta hafazh Tafsirnya,
yaitu Tafsir Al Quran Al 'Azhim Lil-Imamain Al Jalalain. Beliau seorang
ulama yang masih termasuk keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-
Banjari yang menghidupkan kembali ilmu dan amalan-amalan serta
Thariqat yang diamalkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Karena itu majelis pengajian beliau, baik majelis tali'm maupun
majelis 'amaliyahnya adalah seperti majelis Syekh Abd. Kadir al-Jilani.

Sifat lemah lembut, kasih sayang, ramah tamah, sabar dan pemurah
sangatlah tampak pada diri beliau, sehingga beliau dikasihi dan
disayangi oleh segenap lapisan masyarakat, sababat dan anak murid.

Kalau ada orang yang tidak senang melihat akan keadaan beliau dan
menyerang dengan berbagai kritikan dan hasutan maka beliaupun
tidak peniah membalasnya. Beliau hanya diam dan tidak ada reaksi
apapun, karena beliau anggap mereka itu belum mengerti, bahkan
tidak mengetahuu serta tidak mau bertanya.
Tamu tamu yang datang kerumah beliau, pada umumnya selalu beliau
berikan jamuan makan, apalagi pada hari-hari pengajian, seluruh
murid murid yang mengikuti pengajian yang tidak kurang dari 3000
an, kesemuanya diberikan jamuan makan. Sedangkan pada hari hari
lainnya diberikan jamuan minuman dan roti.

Beliau adalah orang yang mempunyai prinsip dalam berjihad yang


benar benar mencerminkan apa apa yang terkandung dalam Al Quran,
misalnya beliau akan menghadiri suatu majelis yang sifatnya da'wah
Islamivah, atau membesarkan dan memuliakan syi'ar agama Islam.
Sebelum beliau pergi ketempat tersebut lebih dulu beliau turut
menyumbangkan harta beliau untuk pelaksanaannya, kemudian baru
beliau dating. Jadi benar benar beliau berjihad dengan harta lebih
dahulu, kemudian dengan anggota badan. Dengan demikian beliau
benar benar meamalkan kandungan Al Quran yang berbunyi:
Wajaahiduu bi'amwaaliku waanfusikum fii syabilillah.
'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani,
adalah satu satunya Ulama di Kalimantan, bahkan di Indonesia yang
mendapat izin untuk mengijazahkan (baiat) Thariqat Sammaniyah,
karena itu banyaklah yang datang kepada beliau untuk mengambil
bai'at thariqat tersebut, bukan saja dari Kalimantan, bahkan dari pulau
Jawa dan daerah lainnya.
'Alimul'allamah Al 'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani dalam
mengajar dan membimbing umat baik laki-laki maupun perempuan
tidak mengenal lelah dan sakit. Meskipun dalam keadaan kurang sehat
beliau masih tetap mengajar.

Dalam membina kesehatan para peserta pengajian dalam waktu waktu


tertentu beliau datangkan doktcr dokter spesialis untuk memberiikan
penyuluhan kesehatan sebelum pengajian dimulai. Seperti dokter
spesialls jantung, paru paru, THT, mata, ginjal, penyakit dalam, serta
dokter ahli penyakit menular dan lainnya. Dengan demikian beliau
sangatlah memperhatikan kesehatan para peserta pengajian dari
kesehatan lingkungan tempat pengajian.

Karomah- Karomahnya

Ketika beliau masih tinggal di Kampung Keraton, biasanya setelah


selesai pembacaan maulid, beliau duduk-duduk dengan beberapa
orang yang masih belum pulang sambil bercerita tentang orang orang
tua dulu yang isi cerita itu untuk dapat diambil pelajaran dalam
meningkatkan amaliyah.

* Tiba tiba beliau bercerita tentang buah rambutan, pada waktu itu
masih belum musimnya; dengan tidak disadari dan diketahui oleh
yang hadir beliau mengacungkan tangannya kebelakang dan ternyata
ditangan beliau terdapat sebuah buah rambutan yang masak, maka
heranlah semua yang hadir melihat kejadian akan hal tersebut. Dan
rambutan itupun langsung beliau makan.

* Ketika beliau sedang menghadiri selamatan dan disuguh jamuan


oleh shahibulbait maka tampak ketika, itu makanan, tersebut hampir
habis beliau makan, namun setelah piring tempat makanan itu
diterima kembali oleh yang melayani beliau, ternyata, makanan yang
tampak habis itu masih banyak bersisa dan seakan akan tidak
dimakan oleh beliau

* Pada suatu musim kemarau yang panjang, dimana hujan sudah


lama tidak turun sehingga sumur sumur sudah hampir mengering,
maka cemaslah masyarakat ketika itu dan mengharap agar hujan bisa
secara turun.
Melihat hal yang demikian banyak orang yang datang kepada beliau
mohon minta doa beliau agar hujan segera turun, kemudian beliau lalu
keluar rumah dan menuju pohon pisang yang masih berada didekat
rumah beliau itu, maka beliau goyang goyangkan lah pohon pisang
tersebut dan ternyata tidak lama kemudian, hujanpun turun dengan
derasnya.

* Ketika pelaksanaan Haul Syekh Muhammad Arsyad yang ke 189 di


Dalam pagar Martapuram, kebetulan pada masa itu sedang musim
hujan sehingga membanjiri jalanan yang akan dilalui oleh 'Alimul
'allamah Al 'Arif Billah Asy Syeikh H. M. Zaini Abd. Ghani menuju
ketempat pelaksanaan haul tersebut, hal ini sempat mencemaskan
panitia pelaksanaan haul tersebut, dan tidak disangka sejak pagi
harinya jalanan yang akan dilalui oleh beliau yang masih digenangi air
sudah kering, sehingga dengan mudahnya beliau dan rombongan
melewati jalanan tersebut; dan setelah keesokan harinya jalanan
itupun kembali digenangi air sampai beberapa hari.

*Banyak orang orang yang menderita sakit seperti sakit ginjal, usus
yang membusuk, anak yang tertelan peniti, orang yang sedang hamil
dan bayinya jungkir serta meninggal dalam kandungan ibunya,
sernuanya ini menurut keterangan dokter harus dioperasi. Namun
keluarga mereka pergi minta do'a dan pertolongan. 'Allimul'allamah
'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani. Dengan air yang beliau
berikan kesemuanya dapat tertolong dan sembuh tanpa dioperasi.

Demlklanlah diantara karamah dan kekuasaan Tuhan yang ditunjukkan


kepada diri seorang hamba yang dikasihiNya. ***

Karya tulis beliau adalah :


- Risalah Mubarakah.
- Manaqib Asy-Syekh As-Sayyid Muharnmad bin Abd. Karim Al-Qadiri
Al Hasani As Samman Al Madani.
- Ar Risalatun Nuraniyah fi Syarhit Tawassulatis Sammaniyah.
- Nubdzatun fi Manaqibil Imamil Masyhur bil Ustadzil a'zham
Muhammad bin Ali Ba-'Alwy.
Wasiat Tuan Guru K.H. M. Zaini Abdul Ghoni
1. Menghormati ulama dan orang tua,
2. Baik sangka terhadap muslimin,
3. Murah hati,
4. Murah harta,
5. Manis muka,
6. Jangan menyakiti orang lain,
7. Mengampunkan kesalahan orang lain,
8. Jangan bermusuh-musuhan,
9. Jangan tamak atau serakah,
10. Berpegang kepada Allah, pada Qobul segala hajat,
11. Yakin keselamatan itu pada kebenaran,
Guru Sekumpul Dan Syariat Islam

Oleh Adi Permana*

KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau yang akrab dikenal Guru Sekumpul,
memang telah meninggal dunia tiga tahun lalu, tepatnya pada Rabu, 10 Agustus 2005
sekitar pukul 05.10 Wita dalam usia 63 tahun.

Kala itu, saya masih bekerja di Banjarmasin Post ngepos di Martapura. Kebetulan juga,
saya bersama rekan saya, Rasyid Ridha dan para redaktur lainnya yang pertama-tama
memberitakan kabar duka itu lewat headline Banjarmasin Post.

Saya sengaja mengangkat judul itu, karena setelah sekian lama saya bertanya-tanya
bagaimana sikap Guru Sekumpul terkait penerapan syariat Islam, ternyata terjawab juga
pertanyaan itu.

Beberapa bulan setelah Guru Sekumpul wafat, saya bersama sejumlah rekan wartawan
bersilaturahmi dengan Gubernur Kalsel H Rudy Ariffin. Di tengah obrolan ringan, saya
memberanikan diri bertanya kepada beliau soal syariat Islam dan Guru Sekumpul.

Mengapa demikian? Asumsi saya, Pak Rudy sebelumnya pernah menjadi Bupati Banjar
periode 2000-2005, sedangkan beliau juga adalah salah satu anak angkat Guru Sekumpul.

Pak Rudy agak terkejut juga waktu itu. Namun, dengan gaya khasnya yang berbicara
tenang dan teratur, Pak Rudy akhirnya bercerita juga. “Memang ketika Abah Guru
(panggilan Pak Rudy kepada Guru Sekumpul) masih sehat dan saya masih Bupati
Banjar, beliau pernah menyinggung soal
syariat Islam,” ujarnya.

“Abah Guru bertanya kepada saya apakah


saya bisa menerapkan syariat Islam di
Kabupaten Banjar. Waktu itu saya terdiam.
Agak lama, kemudian beliau kembali
menawarkan, kalau tidak bisa se-Kabupaten
Banjar, maka biarlah cukup syariat Islam itu di
satu kecamatan dari Kabupaten Banjar. Saya
juga kembali terdiam ,tidak menjawab,”
cerita Pak Rudy.

“Abah Guru kembali menawarkan kepada saya, katanya kalau tidak bisa satu
kecamatan, satu desa atau kelurahan pun jadi. Lagi-lagi saya tak menjawab. Saya
hanya diam. Kemudian, dengan menghela nafas, Abah Guru lalu mengatakan,
maka biarlah dulu syariat Islam itu diterapkan di masing-masing keluarga,” kisah
Pak Rudy lagi dengan mata menerawang.
Dari kisah Pak Rudy itu saya menangkap bahwa ulama besar selevel Guru Sekumpul
sebenarnya adalah termasuk ulama yang sangat memperhatikan upaya penerapan syariat
Islam. Bahkan, bukan hanya sekedar di Kabupaten Banjar saja yang diidam-idamkan
beliau itu, melainkan juga untuk Indonesia.

Saya yakin, jika ada petinggi negara ini yang pernah berkunjung ke kediaman Guru
Sekumpul, insya Allah Guru Sekumpul pernah menawarkan hal serupa. Maka, bagi anak
murid Guru Sekumpul, pengagum beliau dan umat Islam di Kabupaten Banjar atau kaum
Muslimin se-Indonesia, marilah bersama-sama menyingsingkan lengan baju untuk
menegakkan syariat Islam di Indonesia, tentunya dengan dakwah dan cara-cara yang
terhormat.

* wartawan SKH Mata Banua (Banjarmasin) liputan Polda Kalsel dan Kejati Kalsel,
sejak Agustus 2007. Pernah bekerja pula di SKH Banjarmasin Post (2001-2007). Tabloid
Basis Ummat (2001), Buletin Aswaja (2000), Tabloid FISIP Unlam 'Tegar' (1994-1999).

"Rudy Ariffin Kuangkat Anak Dunia-Akhirat”

Ditulis oleh DUARUDY CENTER

H Rudy Ariffin bersama Keponakan Guru Sekumpul H Ahmad (kiri) dan salah satu anak
angkat Guru Sekumpul lainnya, Sayyid Ahmad Al Ahdal, di sela kampanye DUARUDY,
di Tanah Bumbu, Rabu (26/5)
‘IKAM kuangkat anak dunia-akhirat.’’ Itulah frase kalimat yang barangkali membuat
bulu kuduk merinding. Bukan sembarang orang yang menitahkan kata itu. Ia diucapkan
oleh seorang ulama besar Kalimantan Selatan yang masyhur hingga ke seantero dunia
syiar Islam, KH Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Guru Sekumpul.

Ungkapan yang keluar dari aulia Allah SWT itu dituturkan kepada H Rudy Ariffin pada
Rabu, 24 Mei 2000. Seusai bersalaman dan memeluk Rudy, Guru Sekumpul
menyilakannya masuk kamar. Di atas karpet yang menyerupai kasur beralas putih,
keduanya berbicara serius. Guru duduk menghadap Rudy sambil memeluk bantal
bersprei putih. Rudy sendiri lebih banyak diam dan menunduk.

Empat tahun berselang, suatu malam di bulan Ramadhan menjelang akhir 2004, seusai
shalat tarawih, Guru Sekumpul memanggil Rudy Ariffin. Isi pembicaraan: Guru meminta
Rudy menjadi calon gubernur 2005-2010. Semula Rudy menolak, dengan alasan ingin
tetap menjadi Bupati Banjar. “Biar ikam (kamu) maju, aku mendoakan.” Itulah kata
terakhir Guru. Habis berdoa, Guru menyilakan Rudy pulang.

Siapakah semua saksi deretan peristiwa itu? Dialah H Ahmad, satu-satunya keponakan
Guru Sekumpul. Kepada wartawan, H Ahmad menyatakan adalah benar bahwa Guru
Sekumpul yang menyuruh Rudy Ariffin mencalon sebagai Gubernur. Demikian pula
halnya dengan pengangkatan Rudy Ariffin sebagai anak angkat dunia-akhirat oleh Guru
Sekumpul.

“Saya saksi semuanya. Tidak ada yang perlu diragukan. Bahkan, Abah Guru sendiri yang
menyetujui foto beliau dijadikan bahan kampanye untuk meraih massa,” kata H Ahmad
kepada wartawan, di sela acara kampanye DUARUDY di Lapangan Sungai Danau, Satui,
Tanah Bumbu, Rabu (26/5).

Kalau sekarang ada yang mempersoalkan ada izin atau tidak foto Guru Sekumpul jadi
materi kampanye Rudy, H Ahmad mengaku aneh dan bingung. “Sebab, pada saat foto
Rudy Ariffin dan Abah Guru disebarkan pada 2005, Abah Guru masih hidup dan
mengetahui semua itu. Jadi, apanya yang tidak diizinkan,” kata H Ahmad, yang
didampingi anak angkat Guru Sekumpul, Sayyid Ahmad Al Ahdal.

Mengenai anak angkat, H Ahmad menegaskan, adalah benar Guru Sekumpul sendiri
yang menyatakan bahwa Rudy Ariffin sebagai anak angkat dunia akhirat. Jadi tidak ada
istilah bahwa itu cuma karangan dan rekayasa. “Itu keluar langsung dari mulut Abah
Guru. Itu kejadian pada 2004, siapa yang berani menyangsikan?” kata H Ahmad, yang
kini mendiami rumah Guru di Kompleks Sekumpul Martapura ini.

Mengenai adanya pemberitaan bahwa ada seorang tokoh ulama yang meragukan soal
tersebut, H Ahmad cuma tertawa. “Siapa ulama itu, mana dia tahu soal itu. Memangnya
pada pertemuan itu dia hadir. Siapa yang berani masuk kamar Abah Guru?” lanjut orang
kepercayaan Guru Sekumpul dan hampir selalu menyertai Guru kala menerima tamu ini.
H Ahmad bercerita, sejak 2004 Guru Sekumpul memang sangat dekat dengan Rudy.
Rudy juga kerap ikut pengajian setiap Ahad dan Kamis sore. Setiap kali ada tamu penting
dari Jakarta yang mau ke Sekumpul, hampir pasti Rudy menjadi penyambung lidah.
Bahkan, sejumlah pejabat tinggi di Kalimantan yang baru terpilih dan akan bertandang ke
Sekumpul, menjadikan Rudy sebagai perantara bertamu.

Ketika sakit, Rudy Ariffin berupaya mengusahakan kesembuhan Abah Guru. Salah
satunya, agar Guru tidak bolak-balik ke RS Ulin Banjarmasin untuk cuci darah dua kali
sepekan, Rudy Ariffin melengkapi RS Ratu Zalecha Martapura dengan alat cuci darah
(hemodialisa). Bahkan, ketika sakit mulai parah, Rudy membawa Guru ke RS Mount
Elizabeth Singapura pada awal Agustus 2005. Beberapa hari setelah diopname, kepada
Rudy, Guru mengaku ingin sekali cepat pulang ke Martapura. Apalagi, Rudy Ariffin
setelah itu lebih dulu pulang ke Kalsel untuk dilantik sebagai Gubernur pada 5 Agustus
2010. “Bila ikam bulik (kamu pulang), aku umpat bulik (ikut pulang) jua Di ai,”
kata Guru kepada Rudy.

Perihal kedekatan Guru dengan Rudy juga diakui oleh tokoh perempuan asal Sekumpul
Martapura, Hj Syarifah Rugayah. Pada saat pencalonan sebagai Gubernur, Syarifah
Rugayah yang meminta izin soal foto Guru disebarkan pada saat kampanye.

“Kepada saya, Abah Guru mengatakan, ‘sepanjang fotoku kawa (bisa) menarik massa,
pasang aja gasan (untuk) Rudy’. Saya tidak mengada-ada. Itulah ucapan Abah Guru.
Jika beliau keberatan, tentunya sudah tidak beliau izinkan, toh saat itu beliau masih
hidup,” kata istri Habib Abdullah Assegaf ini.

Kesimpulannya, lanjut perempuan yang biasa disapa Ibu Ifah ini, mereka tidak berani
mengaku-ngaku soal anak angkat ataupun soal foto jika tanpa ada izin dari Guru
Sekumpul. “Kalau ada yang meragukannya, saya berani bertanggung jawab. Temui saja
saya,” kata Ibu Ifah. (DUARUDY Center)

You might also like