Professional Documents
Culture Documents
Cover Belakang
Inilah buku tentang Sekumpul yang pertama kali ditulis dan diterbitkan. Buku
eksklusif ini menceritakan perjalanan karier seorang mantan wartawan asal
Martapura yang mengikuti kunjungan tamu ke kediaman KH Muhammad Zaini
Abdul Ghani dalam rentang 1999-2001.
Presiden, wakil presiden, menteri, kapolri, ketua umum partai, pangdam, danrem,
gubernur, sekda, bupati, walikota, hingga deretan artis dan masyarakat umum,
pernah bertamu ke Sekumpul. Namun, cuma sedikit yang mengetahui kisah unik
dan menarik di balik kunjungan tersebut. Maka, buku ini setidaknya bisa
menjawab sebagian keingintahuan itu.
Dilengkapi lebih dari 250 foto ( kalau buku yang asli) tentang Sekumpul dan sang
ulama besarnya, menjadikan buku ini enak dibaca dan perlu. Tanpa direkayasa,
deretan foto tersebut seakan mampu bercerita betapa masyhur nama Sekumpul
hingga menembus batas regional, dengan tokoh utama: KH Muhammad Zaini
Abdul Ghani.
KATA PENGANTAR
Ini Album, Bukan Buku
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Menjadi wartawan, kata orang, juga mudah menembus tempat yang orang
lain bisa jadi risih jika ketahuan. Maka, tak heran jika seorang wartawan
tenang tenang saja ketika bertemu pejabat yang kelayapan di tempat hiburan
malam. Meski keduanya punya maksud serupa, wartawan bisa berdalih
nongkrong di tempat itu untuk mencari berita, sedangkan kedatangan pejabat
justru bisa jadi berita.
Tapi, menjadi wartawan bagi saya tidaklah suatu keistimewaan kalau hanya
untuk dekat pejabat dan melakukan hal yang tidak bisa dilakoni orang
kebanyakan. Persoalan jadi lain ketika saya bercita cita menjadi wartawan
hanya untuk bisa dekat dengan seorang ulama bernama KH Muhammad
Zaini Abdul Ghani. Itulah kenyataannya.
Harus diakui, meski menjadi satu di antara ribuan jamaah pengajian, saya
tidak pernah bertemu langsung apalagi bersalaman dengan Guru Sekumpul.
Ikhwal senasib ini tak cuma ditanggung saya seorang, tapi juga dirasakan
ribuan jamaah lain yang mengidamkan dekat Guru. Karier wartawanlah
yang membuat khayalan itu menjadi kenyataan, setidaknya untuk beberapa
saat.
Lagi pula, sekelumit biografi Guru sudah pernah diterbitkan dan menjadi
bagian dalam buku Manaqib Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari karangan
KH M lrsyad Zein (Abu Daudi). Kalau ditulis kembali, pengulangan pasti
akan terjadi. Itu yang saya tidak mau.
Penulisan biografi lokal dalam versi saya juga terkesan tidak menantang
karena hasilnya bisa jadi monoton serta tidak terlalu berkembang alias yang
itu-itu aja. Tinggal kumpulkan catatan, manuskrip tua, plus komentar sana-
sini, jadi deh biografi lokal. Saya ingin sesuatu yang berbeda, yang belum
pernah ada.
Mungkin ada yang tidak terbiasa dengan gaya ini hingga lantas mengira saya
terlalu egois, sombong, sok tahu, “pina musti”, “pina inya aja” atau
“paiyanya”. Mohon jangan berburuk sangka. Aspek subyektif penulis
terkadang tidak bisa diabaikan dalam penerbitan buku, secanggih apa pun
dia membungkusnya.
Ada pertanyaan, mengapa buku ini hanya mengupas tokoh atau pejabat yang
berkunjung ke Sekumpul, tidak masyarakat kebanyakan. Saya punya
jawaban: itu adalah hak prerogatif saya, karena toh selama ini, hanya dengan
tokoh semacam itulah saya bisa menembus akses ke Sekumpul. Lebih
realistis lagi, nilai jual figur publik jauh lebih tinggi ketimbang masyarakat
umum.
Dengan demikian, adalah wajar jika saya hanya menuliskan tokoh tertentu
yang dinilai bisa mewakili warga kebanyakan. Seribu buku tidak akan cukup
jika menulis kunjungan masyarakat awam ke Sekumpul! Semoga di masa
mendatang ada penulis yang khusus membukukan kunjungan seperti
demikian.
Soal pilih kasih ini sempat pula dikritik Ahmad Fikri AF, seorang aktivis
yang juga Direktur LKiS Jogjakarta. Ia mengatakan, kalau hanya dituliskan
tentang tokoh atau figur tertentu yang datang ke Sekumpul, anggapan orang
nantinya Guru Sekumpul terkesan elitis yang bisa jadi diartikan hanya mau
menerima “orang berdahi”. Ini memang bisa diterima. Namun, argumen
saya di atas setidaknya bisa memberikan jawaban atas hal demikian.
Kalaulah kemudian ada yang tak berkenan atas terbitnya buku ini, mengapa
tidak dari dulu ketika dimuat di Kalimantan Post. Meski terdapat
penambahan data di sana-sini, ia cuma berganti wujud. Kalau dulu
berbentuk berita berita pendek, kini berupa deskripsi yang lebih mendalam
dan berformat buku.
Tulisan dalam buku masih menjadi hak cipta saya, kendati dulu diterbitkan
di koran. Demikian pula foto-fotonya. Terkecuali beberapa foto yang saya
minta izin pemiliknya, terutama senior saya Abdan Sulaiman, wartawan
Banjarmasin Post. Pengecualian juga ada pada foto yang tidak tahu siapa
pemiliknya karena foto itu tersebar dan diperjualbelikan bebas di pasaran.
Khusus untuk itu dicantumkan kredit foto: istimewa. Mohon izin dan maaf,
hak cipta Anda saya pakai.
Janganlah dikritik pula mengapa foto Guru bersama Bupati Banjar periode
1995-2000, Kolonel (Purn) H Abdul Madjid, terkesan mendominasi. Entah
mengapa saya merasa sayang jika tidak menampilkannya. Foto itu
setidaknya bercerita betapa akrab dan dekatnya Madjid bersama sang ulama.
Apalagi dalam kurun waktu itu, Guru tengah sehat-sehatnya dan hampir
selalu hadir jika diundang Pemkab Banjar dalam suatu acara.
Berderetnya foto dan cerita kunjungan petinggi militer, bukan berarti saya
menonjolkan TNI. Secara kebetulan, selama meliput di Sekumpul, yang
banyak bertandang kala itu memang para perwira TNI/Polri. Saya belum
pernah sekalipun meliput kunjungan artis.
Buku ini juga bukan merupakan buku “sesungguhnya” apalagi bersifat
referensi ilmiah dan penuh nilai intelektual. Saya bukan dalam kapasitas
seperti itu. Buku ‘’aneh’’ ini masih dangkal dan perlu pendalaman lebih
lanjut. Jadi mohon maaf saja, ini cuma sekadar album hiburan, yang 70 %
berisi foto dan sisanya tumpukan kalimat. Barangkali, sangat kontras dengan
kebiasaan dan aturan perbukuan?
Meski dalam ketentuan Bahasa Indonesia kata ganti itu lumrah digunakan,
namun bagi saya, ada semacam rasa kada tapi nyaman didangar oleh talinga
urang Banjar. Kendati demikian, saya menghindari penulisan kata beliau,
kecuali berasal dari kutipan langsung.
Kini, hanya puji syukur ke hadirat Allah SWT yang bisa saya ucapkan.
Tanpa pertolongan-Nya, mustahil pekerjaan ini akan terselesaikan. Shalawat
dan salam senantiasa tercurah ke haribaan Rasululllah SAW.
Wabilkhusus, untaian terima kasih dan salam takzim saya haturkan kepada
Yang Mulia Al 'Aalimul 'Allaamah Al 'Aarif Billaah As Syeekh KH
Muhammad Zaini Abdul Ghani. Semoga Ayahnda panjang umur, sehat
walafiat dan diberikan kekuatan dalam menegakkan dakwah dan syiar Islam,
agama Allah SWT berlandaskan ahlussunnah waljama’ah.
Khusus buat Bupati Banjar Drs H Rudy Ariffin, MBA, MM, saya
mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas segala
bantuan yang diberikan. Terima kasih pula untuk kesediaannya memberi
kata pengantar dalam buku ini.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada semua pihak yang turut
membantu. Antara lain, Pimpinan Banjarmasin Post Group dan Radar
Banjarmasin, Sekda Kabupaten Banjar Drs H Fakhrian Hifni, MM, beserta
jajaran Pemkab Banjar, Direktur Utama PD Baramarta Martapura, Drs H Gt
Chairiansjah, Ketua DPRD Banjar H Rusbandi, Wakil Ketua DPRD Banjar
H Gt Rusliansyah, Sekda Kalsel Prof Dr H Ismet Ahmad MSc, Pemkab
Tapin, Pemkab Hulu Sungai Selatan, Pemko Banjarbaru, dan Pemkab
Kotabaru, serta pihak lain yang tak bisa disebut satu per satu.
Kepada senior dan mentor saya, Abdan Sulaiman (Banjarmasin Post) dan
Drs Milhan Rusli (Kalimantan Post), tiada kata lain kecuali terima kasih dan
salam hormat. Demikian pula buat Budi Ismanto, SH (mantan Redaktur
Pelaksana Kalimantan Post, kini wartawan METRO TV). Bang Budi adalah
teman begadang di depan komputer bahkan hingga pukul 03.00 dinihari.
Selera humor yang tinggi membuat saya jarang berhenti tertawa ketika
bersama Si Abang berkumis lebat ini.
Salam spesial saya tujukan buat Dadang Yulistya, SE. Dialah redaktur yang
khusus mengedit berita saya, termasuk tentang Sekumpul.
Keistimewaannya, ia adalah warga fanatik Muhammadiyah, namun begitu
peduli dan memperhatikan warta Sekumpul. Pria yang selalu shalat tepat
waktu walau sedang mengedit berita inilah yang kerap menanyakan apakah
ada bahan berita soal Sekumpul. Kini, dia tak lagi menemukan editan
bertema Sekumpul karena pindah menjadi redaktur Barito Post dan
bermukim di Kotabaru.
Terima kasih saya haturkan kepada Ayahnda Ahmad Koesasi Halidi (Allah
yarham) yang sudah tenang di haribaan Nya, Ibunda Gusti Noorfah, beserta
kakanda; Rahmi, Ali Sadikin, Syamyani, Mahdalena, dan adinda Noor
Sabitah serta Zainal Abidin. Juga buat keponakan yang lucu lucu, Auvia
Inayati, Nida Maghfiroh, Muhammad Aufa Ridho'i, Muhammad Aufa
Riza’i, Muhammad Dafi Maulana dan Audia Mailidini.
Saya juga tetap ingat dengan para guru, dari SDN Dalampagar 2, SDN
Kebun Bunga 4 Banjarmasin, Madrasah Ibtidaiyah Muro’atus Shibyan,
Madrasah Tsanawiyah Izharil Ulum Kampung Melayu, hingga di Pesantren
Hidayatullah Martapura. Terima kasih atas segala jasanya. Salam khusus
buat gank di SMIH dulu; M. Qasthalani, Gusti Marhusin, S.Sos.I, Fuad
Mawardi, Gusti Muhammad Latif, dan Muhammad Zaini, SE, serta kawan
sekolah lainnya.
Tidak boleh dilupakan pula teman teman PNS Pemkab Banjar dan Pemko
Banjarbaru seperti M. Hiban, M. Badruddin, S.Sos, Kholil Sang Fotografer,
Yudi Andrea, S.STP, M. Aidi Hikmatullah, S.STP, M. Fakhrian Rahman,
S.STP, Anang Said, S.STP, M. Romzi, S.Sos, M. Rusdi, S.Sos, Junaidi, Ibu
Sri, M. Firdaus, Muhibatul L., Sofa Mahrita, Susilawati, Rusmida, Noor
Aida, Lily, Masnur Manurung, Adiani, Syahruji R, SH, M. Fakhriadi (PD
Baramarta) serta Dedy Hariadi, S.STP dan Jamilin. Terima kasih semuanya.
Permohonan ampun dan maaf, halal dan ridho, saya sampaikan apabila
dalam buku ini terdapat kekurangan dan kekhilafan.
Ahmad Rosyadi
Kata Pengantar
Cetakan Kelima
Bismillahirrahmaanirrahiim
Ini merupakan cetakan terakhir. Itulah yang ada dalam pikiran ketika akan
menerbitkan buku ini untuk cetakan keempat, Februari 2005 lalu. Setelah
itu, biarlah buku ini akan menjadi kenangan; sebuah buku yang
mengingatkan bahwa Kalimantan Selatan pernah memiliki ulama besar
bernama KH Muhammad Zaini Abdul Ghani.
Namun, peristiwa yang terjadi pada tokoh utama dalam buku inilah yang
setidaknya menjadi alasan untuk merevisi buku. Ya, sang tokoh utama, KH
Muhammad Zaini Abdul Ghani, telah mendahului kita untuk selamanya. Dia
telah tiada.
Buku ini pun direvisi sana-sini, termasuk foto-foto pendukung. Berita dan
foto tentang berita duka ikut ditampilkan. Termasuk foto peringatan haul
setahun wafatnya sang ulama besar.
Perbedaan lain, jika dalam empat cetakan sebelumnya yang memberi kata
sambutan adalah Bupati Banjar H. Rudy Ariffin, edisi ini orangnya tetap
sama. Cuma, kini sudah naik pangkat menjadi Gubernur Kalsel. Terima
kasih Pak Gub…
Akhirnya, dengan tetap memohon rahmat dan ridho Allah SWT, buku ini
alhamdulillah bisa diselesaikan. Selamat membaca.
Ahmad Rosyadi
SAMBUTAN
GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN
Assalaamu’alaikum Wr.Wb.
Sebagai orang beriman, marilah kita memanjatkan puji syukur ke hadirat
Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada
kita semua. Selanjutnya shalawat dan salam kita haturkan ke haribaan
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.
Seperti diketahui, hampir semua daerah di Indonesia memiliki ciri khas dan
karakteristik masing-masing. Demikian pula halnya Martapura, ibukota
Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Salah satu identitasnya adalah
kentalnya nuansa keagamaan dan maraknya syiar dakwah keislaman yang
ditunjukkan dengan kehadiran para alim ulama dan aulia.
Sebab itu, saya sangat mendukung atas terbitnya buku berjudul Bertamu ke
Sekumpul yang ditulis Saudara Ahmad Rosyadi. Buku yang baru pertama
kali terbit atau malah baru pertama kali ditulis ini setidaknya bisa dijadikan
referensi tentang betapa dekatnya hubungan masyarakat dengan ulama,
terutama figur Ayahnda KH Muhammad Zaini Abdul Ghani.
Khusus kepada Ayahanda, beliaulah sosok ulama yang sangat saya hormati
dan segani. Kepada beliau saya sering meminta nasihat dan pertimbangan
serta berbagi pikiran. Bahkan, dorongan dan dukungannya menjadi
motivator saya dalam upaya merealisasikan sejumlah proyek pembangunan
yang menjadi harapan warga Kabupaten Banjar kala itu. Kepadanya juga
saya memohon doa restu menjadi calon Gubernur Kalsel 2005-2010.
Lima hari setelah saya dilantik menjadi Gubernur Kalimantan Selatan pada 5
Agustus 2005, Ayahnda telah berpulang ke rahmatullah. Kesedihan jelas
sangat kami rasakan. Figur yang selama ini menjadi orang tua angkat itu
telah mendahului kita untuk selamanya. Innaa lillaahi wainnaa ilaihi
raaji’uun.
Kini, dengan terbitnya kembali buku ini, kiranya dapat menyegarkan ingatan
bahwa kita pernah memiliki ulama besar yang membawa dakwah secara
damai dan memberikan pencerahan kepada jamaahnya berlandaskan ajaran
ahlussunnah waljamaah.
H. Rudy Ariffin
Bab 1: Ada Apa dengan Sekumpul
KH Asnawi Syihabuddin,
, KH Badruddin,
KH Muhammad Ramli, KH Muhdar,
KH Muhammad Rosyad,
Dia dikenal sebagai tokoh yang kerap dikunjungi pejabat dan orang
penting negeri ini. Bila ada pejabat tinggi di Kalimantan, wabilkhusus
Kalsel, yang baru terpilih atau dilantik, hampir dipastikan akan
bersilaturrahim ke Sekumpul. Mulai dari komandan kodim (dandim),
kapolres, bupati, gubernur, komandan korem (danrem), panglima
daerah militer (pangdam), hingga presiden dan wakil presiden, datang
ke Martapura hanya untuk bertemu Guru Sekumpul.
Ini sangat berbeda jauh dengan kondisi pada tahun 1980-an. Kawasan
itu ibarat hutan belantara yang penuh semak belukar pohon
karamunting. Hanya satu-dua rumah yang tampak. Barangkali tidak
seorang pun menyangka kondisi itu berubah 180 derajat.
Cuma, tak semua warga memberi sapaan senada. Ada yang masih
memanggil dengan sebutan lama. Tapi, bagi sebagian warga
Martapura, terutama warga asli, sapaan Guru Izai terasa agak “kasar”.
Karenanya, mereka relatif memakai sapaan Guru Sekumpul atau Abah
Guru. Konon, tinggallah kini warga bukan asli Martapura yang masih
menggunakan sapaan semisal Guru Izai.
Banyak pula yang salah kira dan menganggap air mineral tadi sebagai
air “berkah” dari Sekumpul. Padahal, ia cuma sekadar merek dagang
yang menggandol kemasyhuran Sekumpul. Tapi, produsen air ini tak
cuma ikut nebeng. Sang pemilik, H. Ismail, warga Madura pindahan
dari Kalimantan Tengah, kerap membagikan air dalam bentuk botol
atau gelas plastik secara gratis kepada ribuan jamaah dalam acara
khusus, semisal haulan. Hubungan saling menguntungkan berlaku
untuk bisnis ini.
Soal air mineral bisa menjadi cerita tersendiri jika dikaitkan fenomena
kecintaan jamaah terhadap Guru. Pada pengajian atau kegiatan
peribadatan semisal pembacaan Maulid Al Habsyi, Dalaailul Khairaat
dan Shalawat Burdah, banyak jamaah membawa air putih dalam botol
dan membuka tutupnya. Konon, ini dipercaya sebagai sarana untuk
“mentransfer” berkah. Benarkah? Ini kembali kepada keyakinan
masing-masing. Tidak ada paksaan untuk semua itu.
Keunikan lain Sekumpul adalah faktor karisma sang ulama. Satu yang
perlu dicatat adalah soal foto Guru. Cobalah Anda lihat, mayoritas
rumah di Martapura memajang foto Guru dalam berbagai pose dan
beraneka ukuran. Tak cuma di rumah, potret itu menempel di dinding
kantor, masjid, mushalla, sekolah, toko, warung dan restoran. Jika di
tempat lain lumrah dipajang foto presiden dan wakil presiden, di sini
figur ulama yang lebih diidolakan.
Soal isyarat tentang foto ini pernah saya alami. September 2002, saya
nyaris tersesat mencari famili di Samarinda. Alamat sudah ketemu,
tapi lokasinya tidak tahu pasti dan sarana telekomunikasi belum ada.
Sambil berjalan saya mencuri pandang ke dalam rumah yang dilewati.
Pada sebuah bangunan, tampak foto Guru Sekumpul terpampang di
dalamnya. Inilah rumah yang dicari, dan ternyata benar. Foto Guru
rupanya sudah menjadi identitas dan ciri khas.
Karena itu, sangatlah tidak relevan jika soal memajang foto ulama
menjadi polemik. Biarkan orang pada keyakinannya. Mengapa ketika
foto kiai dipajang justru ribut, tapi foto artis dipajang besar-besar
malah diam saja.
Ikhwal pajang-memajang foto Guru juga dilakukan warga luar daerah.
Jadwal Pengajian
Pada 1994, pengajian dilangsungkan Senin dan Kamis pagi sekitar pukul
06.30 Wita. Jamaah pengajian yang mayoritas santri langsung menuju
madrasah atau pesantren begitu pengajian usai. Iring-iringan santri Pondok
Pesantren Darussalam, bersepeda atau bersepeda motor pada pagi buta, bisa
disaksikan kala itu. Dari Sekumpul, mereka berangkat ke sekolah tanpa
perlu ganti pakaian. Seragam pesantren adalah memakai sarung, peci putih
dan baju kurung putih, kurang-lebih sama dengan pakaian mengaji.
Dalam tahun itu pula, pengajian digelar sesudah Zuhur tiap Rabu. Seusai
acara, ribuan jamaah disuguhi nasi dengan lauk daging kuah bistik atau
masak habang. Cara memakannya unik; sekitar 4 hingga 8 jamaah
mengelilingi sebuah nampan plastik bulat dan menyantapnya beramai-ramai.
Pengajian yang diakhiri makan berjamaah ini berhenti ketika Ramadhan
tiba, dan berakhir total ketika jadwal pengajian kembali berubah.
Jadwal pengajian terlama yang pernah berlaku yakni sekitar 1996 hingga
menjelang akhir 2003. Kala itu, pengajian pria digelar pada Ahad dan Kamis
sore sehabis shalat Ashar hingga menjelang magrib. Sedangkan untuk
jamaah wanita pada Sabtu pagi sekitar pukul 09.00 Wita.
Perubahan terjadi seiring menurunnya kesehatan Guru yang tiap dua kali
sepekan menjalani cuci darah. Pengajian pria digelar pada Jumat dan Selasa
sore. Itu pun waktunya kadang cuma sejam tiap kali pengajian, bahkan ada
yang hanya 45 menit. Sedangkan pengajian wanita menjadi Ahad pagi
dengan waktu yang sama.
Ada yang memajukan pada Sabtu, ada pula yang menggelar hajatan
pernikahan pada hari kerja yang selama ini jarang terjadi: Senin. Alasannya
adalah, jika tetap digelar pada Ahad, resepsi mungkin kurang meriah karena
kaum perempuan banyak yang pergi ke pengajian.
Waktu pengajian kembali berubah awal-awal 2004. Jatah kaum pria tinggal
sekali seminggu, tiap Ahad sore. Sedangkan untuk jamaah wanita,
ditiadakan sama sekali. Maka, pengajian wanita di kompleks Sekumpul pada
Ahad terakhir kala itu berubah menjadi ajang deraian air mata. Mereka
bersedih karena hari itu terakhir kali pengajian.
Meski jadwal pengajian kerap berubah, agenda peribadatan lain tetap
berjalan seperti sedia kala. Setiap Ahad sesudah shalat Isya diadakan
pembacaan Syair Maulid Al Habsyi dan Kamis malam digelar pembacaan
shalawat Dalaailul Khairaat. Terkadang, untuk acara malam Senin, Guru
ikut memimpin pembacaan syair.
Guru Sekumpul memang figur ulama yang menjalankan dakwah tanpa kenal
lelah. Kendati didera sakit, dia tetap berusaha sekuat tenaga memimpin
pengajian. Sang aulia tetap memberikan pengajian kendati dari kamar
pribadi yang disiarkan via televisi lokal ke sekitar kawasan Sekumpul.
Libur panjang pengajian pernah terjadi sekitar Januari 2001 dan baru pada
Maret 2001 aktif kembali. Pengajian perdana digelar pada Kamis sore, 29
Maret 2001. Menariknya, pengajian kala itu berlangsung sekitar dua jam. Ini
di luar kebiasaan, apalagi kondisi Guru Sekumpul masih belum fit. Lamanya
pengajian pada akhirnya menjadi pengobat kerinduan jamaah lantaran sudah
lama tak mengikuti majelis taklim.
Pada pengajian wanita Sabtu pagi itu, sang ulama “barabah” (berbaring)
dengan kepala diletakkan di atas bantal agak tinggi. Ia mengenakan baju
kurung putih, bersarung dan memakai kopiah haji tanpa sorban. Di samping
kanan berdiri sebuah mikrofon yang ujungnya dibengkokkan hingga
mendekati mulut.
Dahulu, ketika masih sehat, hampir di setiap akhir pengajian ada saja orang
yang masuk Islam. Pengucapan kalimah syahadat dibimbing Guru dan
diulang oleh si muallaf. Nama baru langsung diberikan atau istilahnya
tasmiyah. Kalau lelaki biasanya Abdurrahman, Abdurrahim atau Abdullah.
Sedangkan muallaf wanita ada yang diberi nama Siti Aisyah, Siti Fatimah
atau Siti Khadijah dan masih banyak nama lain yang biasa ditahbiskan Guru.
Soal beri-memberi nama ini tak cuma kepada mereka yang baru memeluk
Islam. Banyak tamu yang datang ke Sekumpul meminta nama buat anak
yang baru atau akan lahir. Permintaan nama itu biasanya tidak langsung
kepada Guru, tapi melewati kerabat lain seperti saudara atau kemenakannya.
Ketika libur panjang, tak cuma pedagang yang tidak lagi merasakan berkah
Sekumpul. Para sopir angkutan umum dan tukang becak ikut kena imbasnya.
Puluhan becak yang biasanya berjejer menunggu bubaran pengajian, hanya
beberapa yang mangkal di sekitar kompleks. Demikian pula angkutan kota
semisal mikrolet yang tidak lagi berderet menanti penumpang. Pendapatan
mereka menurun drastis.
Dari luar negeri, mayoritas tamu merupakan para habib serta ulama
besar dari Tharim dan Hadramaut, Yaman. Ada pula tamu dari negeri
jiran Malaysia dan Brunei Darussalam. Antara lain Gubernur negara
bagian Diraja Malaysia, Dato Pangeran Haji Muhammad Ya’kub,
serta Menteri Agama (Mufti) Negeri Perak, Dato Seri Haji Harusani
bin Haji Zakaria pada 20 Juli 2001.
Pejabat militer lain juga tak ketinggalan. Mulai dari Kepala Staf TNI
Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Hartono,
Tamu dari kalangan artis malah lebih seru. Mulai dari Harry Mukti,
Ulfa Dwiyanti, Sarah Azhari, Ayu Azhari, Chrisye, Iis Dahlia,
Camelia Malik, Emha Ainun Nadjib, Novia Kolopaking, Haddad
Alwi, Sulis, Elvi Sukaesih, Titiek Sandhora, Muchsin Alatas, Nia
Daniaty, Inneke Koesherawati, Anita Dahlan, Dono, Kasino, Indro,
Timbul, Doyok, Kadir, Noor Tompel, Tarzan, Basuki, hingga si Ratu
Ngebor Inul Daratista.
Namun, dia berhasil lolos dan lebih dari itu; mendapat kehormatan
bertemu Guru dan menginap di salah satu rumah di kawasan
Sekumpul. Sambil dinasehati, ia juga diangkat anak oleh sang ulama.
Polemik kedatangan Inul berakhir dengan kian mafhumnya publik
bahwa kedatangan Inul ke Sekumpul bukanlah sebagai upaya mencari
legitimasi atas gaya keartisannya yang dinilai seronok. Ia cuma
dianggap sebagai tamu biasa. Tidak lebih, tak kurang.
Ketika pengajian untuk wanita digelar pada Sabtu pagi beberapa tahun
silam, Elvi Sukaesih ikut hadir dan duduk di samping kiri Guru. Saat
diperkenalkan kepada jamaah bahwa suami Elvi adalah seorang habib,
atau zuriat Rasululllah SAW, penyanyi dangdut itu tampak
meneteskan air mata haru. Beberapa kali dia mengusap matanya
dengan sapu tangan.
Dari kalangan figur publik yang bertamu antara lain cucu mantan
Presiden Soeharto, Ari Sigit Hardjojudanto, putera mantan Ketua
Mahkamah Agung Ali Said, SH yang juga anggota DPR Ais
Anantama Said, putera mantan Wapres Try Sutrisno, Isfan Fajar
Satryo, serta dai kondang KH Zainuddin MZ
, KH Muhammad Sjukron Makmun, Prof KH Cecep Saifuddin, KH
Muhammad Arifin Ilham dan KH Abdullah Gymnastiar alias Aa
Gym.
Bagi tamu yang datang pagi atau menjelang siang, sebelum pulang
mereka ikut shalat berjamaah di Mushalla Ar Raudhah. Sedangkan
kalau datang menjelang Zuhur, setelah shalat di mushalla, baru masuk
ke kediaman.
Lantas, apa saja keperluan tamu di luar ritual Ijazah Musafahah tadi?
Selain bersilaturrahim biasa, kedatangan mereka juga untuk
berkonsultasi masalah keagamaan dan, itu tadi, minta didoakan Guru
Sekumpul. Banyak pula yang minta dijadikan anak angkat Guru.
Walhasil, sapaan tamu untuk Guru berubah menjadi Abah Guru.
Mobil pengawalan demikian jelas tidak berlaku bagi tamu dari luar
Martapura yang non pejabat tinggi. Kalangan artis, misalnya.
Kedatangan mereka terkesan diam-diam, bahkan banyak warga
Sekumpul yang baru mengetahui ketika sang tamu sudah pulang.
Ada banyak alasan mengapa tamu begitu banyak yang datang. Mereka
kadang harus bersusah payah hanya untuk bertemu. Padahal, tidak
semua tamu bisa diterima. Andai tidak diatur, mungkin waktu Guru
Sekumpul habis tersita cuma untuk menerima tamu. Untunglah
sebagian masyarakat sadar, mereka tidak terlalu ngotot memaksakan
diri.
Kalaulah ada warga yang dulu sempat bertemu Guru, mungkin itu
suatu keberuntungan. Demikian pula mereka yang dulu mengadakan
suatu acara dan Guru berkenan hadir. Dahulu, ketika ada acara seperti
haulan, selamatan, pernikahan, atau tasmiyahan. Guru kerap hadir.
Selain soal naik haji, ada pula tamu yang berkunjung hanya untuk
silaturrahim. Ambil contoh, Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana
Wilayah Kota Banjarmasin (pada 2005-2015 menjadi Bupati Banjar)
Ir H Gt Khairul Saleh. Bersama sejumlah kawan, di antaranya Kepala
Biro Protokoler dan Rumah Tangga Istana Wakil Presiden, Drs H Ali
Saifuddin Rais, Khairul datang pertama kali ke Sekumpul. Cuma, dia
lupa tanggal persisnya. “Sekitar 6 atau 7 tahun yang lalu,” katanya,
akhir 2003 lalu.
“Guru seakan tahu apa yang saya maksud,” kata Khairul yang biasa ke
Sekumpul untuk memberitahu pelaksanaan haul Sultan Adam saban
tahun.
, John pertama kali bertandang ke Sekumpul. Kala itu dia baru saja
menunaikan ibadah haji, hadiah dari Presiden Soeharto atas kiprahnya
di bidang seni madihin. Pertemuan itu
sangat berkesan bagi John, karena Guru
Sekumpul berkata, naik hajinya John
Tralala merupakan balasan Allah atas
ikut berjasanya dia membantu
mengumpulkan dana pembangunan
masjid, langgar dan sekolah dari
lawakannya.
Beberapa waktu kemudian, John kerap berkunjung ke Sekumpul.
Kemudian, lanjut bapak dua anak -- Ibnu Walid dan Intan Faranitha --
setelah pikir-pikir ia mengaku ingin kembali ikut pengajian tidak di
mihrab saja. “Saya ingin seperti dulu, lebih bebas, tidak terlalu banyak
yang tahu. Saya tidak ingin menonjolkan diri saat datang ke
Sekumpul, pribadi maupun jabatan,” tutur Rahmat.
“Pesan Guru Sekumpul kepada saya sedikit saja, namun pesan beliau
sangat berarti dan begitu tajam hingga saya rasakan benar di hati saya.
Beliau berkata, ‘Kena waktu di Makkah banyaki ikam i’tikaf di
masjid (Nanti, waktu di Makkah kamu memperbanyak i’tikaf di
masjid)’,” kenang Rahmat.
“Saya tidak akan menyebut nama orang tersebut. Yang jelas, dari
pesan itu ada keistimewaan yang luar biasa yang menurut saya itu
adalah karomah beliau, sesuatu yang belum terjadi, dan ternyata itu
benar,” kata Rahmat yang sudah mengambil Ijazah Musafahah dari
Guru Sekumpul.
Amanat itu berupa pesan agar ketika Rahmat naik haji dan mendapat
kesulitan atau halangan, cobalah ber-tawassul kepada Syekh Samman
Al Madani dan kepada aulia, termasuk Guru Sekumpul.
Guru Sekumpul tidak mungkin menerima ribuan jamaah satu per satu. Saya
cukup melihatnya memberikan ceramah dari layar televisi. Jangankan
bertemu dan berbicara langsung, bersalaman dengan Guru pun hanya
muncul dalam khayalan.
Pada 1993 hingga pertengahan 1999, di antara ribuan jamaah, saya kerap
menyaksikan tamu terhormat yang datang ke rumah Guru dan sebelumnya
ikut duduk mengaji. Cuma doa yang dipanjatkan agar suatu saat bisa
menjadi tamu Guru atau barangkali ikut mendampingi tamu yang datang.
Bertemu pejabat tinggi yang orang lain tidak semuanya bisa, merupakan
kebanggaan. Tapi, bersilaturrahim dengan Guru Sekumpul melebihi semua
itu. Tidak bisa dijelaskan mengapa ini bisa terjadi. Yang pasti, hal demikian
tidak cuma dirasakan saya seorang. Mereka yang pernah bertemu Guru
banyak pula mengalami hal sama.
Kebanggaan lain, kami bisa foto bersama dalam pelbagai macam pose. Ini
merupakan suatu hal menarik karena tidak semua tamu bisa
mendapatkannya. Setiap mengikuti tamu ke Sekumpul, kami selalu mencari
kesempatan foto bersama Guru.
Soal foto-memfoto ini, saya sempat tidak enak hati. Foto Guru yang saya
jepret beredar luas di pasaran dan didagangkan hingga ke luar Kalimantan.
Potret itu menampilkan Guru Sekumpul duduk bersimpuh di teras rumah
seraya tersenyum.
Pada awal 2000, wartawan yang rutin ikut mendampingi tamu ke Sekumpul
adalah Hilmansyah dan saya. Kondisi ini berlangsung hingga akhir 2001.
Memasuki 2002, wartawan sepertinya tidak lagi bisa memiliki akses ke
kediaman Guru.
Terakhir kali saya dan dua teman bertemu Guru Sekumpul pada Sabtu, 5
Juni 2004. Ketika itu Guru dirawat di RS Budi Mulia, Jalan Raya Gubeng
Surabaya. Pertemuan kami tidak direncanakan. Maklum, ketika Guru
dirawat, banyak orang yang ingin membesuk, tapi tidak kesampaian.
Mendengar itu, kami seperti tidak bersemangat, ditambah alasan untuk tidak
mengganggu istirahat Guru.
Tapi, nasib baik berpihak pada kami yang kala itu berangkat ke Surabaya
untuk selanjutnya ke Solo, Jawa Tengah mengikuti haul di kediaman Habib
Anis Al Habsyi. Pukul 10.00 WIB, pesawat mendarat di Bandara Juanda.
Pikiran sempat bimbang apakah ikut ke RS Budi Mulia atau menunggu di
terminal menuju Jogjakarta. Akhirnya, saya ikut menemani kawan untuk
“mencoba” membesuk Guru.
Setiba di sana, kami diberitahu bahwa Guru mungkin tidak bisa dijenguk.
Entah mengapa kami nekat dan terus menunggu. Kami cuma duduk-duduk
di sekitar kamar Guru dirawat, nomor 09 lantai 4. Saya juga sempat bertemu
dan berdiskusi dengan kolega, Poso Palopo Abdurrahman, wartawan
Banjarmasin Post di Surabaya. Ia satu-satunya jurnalis yang memberitakan
kondisi Guru Sekumpul selama dirawat di RS Surabaya. Berita tentang Guru
memang selalu ditunggu-tunggu pembacanya di Kalsel.
Kenekatan kami untuk membesuk kian bertambah karena saat itu terlihat
Sekretaris Daerah Propinsi Kalsel Prof Dr H Ismet Ahmad menunggu untuk
membesuk. Kami berpikir, jika Ismet diizinkan masuk, paling tidak tamu
lain diizinkan sesudahnya. Sekitar pukul 11.30 WIB, pembantu Guru
menyilakan Sekda masuk.
Sejam lebih Ismet membesuk, tak kelihatan keluar kamar. Pikiran menguat,
Guru Sekumpul akan menerima. Alhamdulillah, ini menjadi kenyataan.
Ketika Ismet keluar, pembesuk lain dipersilakan masuk. Selain dilarang
membawa kamera, pembesuk diminta sebentar saja bertamu. ‘’Satumat aja
lah,’’ pesan pembantu Guru.
Satu persatu tamu masuk. Mendahului kami, berderet rombongan tukang
yang membangun rumah Guru di Sekumpul. Di dalam kamar, Guru
berbaring lemah tanpa ekspresi. Ia mengenakan sarung dilapisi selimut dan
berbaju kaos putih oblong tanpa kerah. Kami bersalaman dan mencium
tangannya. Tak ada sepatah kata keluar dari mulut kami dan Guru. Adapun
rombongan tukang tadi setelah bersalaman lantas mengangkat tangan,
berdoa demi kesembuhan Guru.
Meski tak lebih dari 2 menit membesuk, perasaan kami cukup puas. Apalagi,
teman saya belum pernah berjumpa langsung dengan Guru. Kami berpikir,
andai tidak nekat, mungkin tidak akan pernah bertemu Guru ketika dirawat
di RS.
Kami merasa beruntung karena pada saat itu banyak pembesuk datang
namun tidak bisa bertemu. Puluhan tamu hari itu pulang dengan tangan
hampa karena dikatakan oleh pembantu Guru bahwa sang kiai harus
istirahat. Banyak yang cuma bisa mendoakan dari luar kamar sebelum
akhirnya pulang. Saat itu terlihat mantan Kepala Kejaksaan Negeri
Martapura Arifin Sahibu, SH yang datang untuk membesuk namun ditolak
secara halus. Ia pulang dan hanya menitipkan salam teriring doa buat Guru
sambil menyerahkan parcel kepada pembantu.
Kesempatan membesuk ini tidak mungkin terbit dua kali. Sekali lagi, faktor
kenekatanlah yang barangkali membuat kami bisa diterima Guru. Sebab,
selama dirawat di Surabaya, tamu yang datang sangat dibatasi. Hanya orang
tertentu yang boleh masuk. Ini semua untuk perawatan Guru.
Uniknya, kunjungan kami bertiga selama 2 menit di RS itu ditulis Poso
Palopo Abdurrahman dan dimuat di Banjarmasin Post besoknya. “Biar
tambah rame,” katanya lewat SMS.
Selama di RS, yang bisa membesuk antara lain, Wakil Presiden Hamzah
Haz, calon Wapres Solahuddin Wahid, Jaksa Agung MA Rachman, SH,
ulama Sampang, Madura, KH Alawy Muhammad, Gubernur Jawa Timur
Imam Utomo, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif,
Gubernur Kalsel Sjachriel Darham, Sekda Ismet Ahmad, dan Bupati Banjar
H Rudy Ariffin.
Selamat Jalan Abah Guru
Berita duka itu akhirnya datang juga. Rabu, 10 Agustus 2005, subuh dinihari
selepas pukul 05.00 Wita, Al ‘Aalimul ‘Allaamah Al ’Aarif Billaah Maulana
KH Muhammad Zaini Abdul Ghani berpulang ke rahmatullah. Ribuan
masyarakat segera berdatangan memenuhi sekitar rumah duka di Kompleks
Ar Raudhah Sekumpul Martapura.
Canda Guru itu setidaknya terbukti. Meski wafat bukan hari Ahad, suasana
di Martapura dan sekitarnya mengamini apa yang dulu diungkapkan Guru.
Sekolah banyak yang diliburkan, kantor dan instansi pemerintah relatif tidak
berfungsi walau tampak buka, dan toko-toko di Pasar Martapura seperti
tidak berpenghuni. Semuanya larut dalam kedukaan.
Ratusan ribu jamaah yang menghadiri pemakaman menciptakan rekor
tersendiri dalam sejarah di Kalsel. Dari mantan Wapres Hamzah Haz,
Gubernur, anggota DPR, hingga rakyat jelata datang melayat. Jalan-jalan
macet dan aktivitas warga terhenti. Semuanya ingin memberikan
penghormatan terakhir. Imam shalat pun tak mampu menahan deraian air
mata kala melafalkan doa. Isak tangis tiada terbendung.
Media massa daerah hingga nasional memberitakan kabar duka ini, termasuk
koran besar seperti Kompas dan Jawa Pos. Bahkan, Rabu dinihari itu juga,
Banjarmasin Post mencetak ulang halaman depan koran yang berisi berita
kematian Guru Sekumpul.
Akhir Juli hingga awal Agustus 2005, kesehatan Guru Sekumpul menjadi
perbincangan masyarakat Kalsel. Hampir setiap hari sejumlah media cetak
lokal memberitakan kondisi sang ulama yang setiap dua kali sepekan
menjalani cuci darah. Sejak awal-awal 2005, pengajian juga libur panjang.
Puncak semua itu, Jum’at, 29 Juli 2005, diantar (Gubernur) Kalsel H. Rudy
Ariffin, Guru Sekumpul dibawa ke Rumah Sakit Mount Elizabeth
Singapura. Ditangani oleh Dr Gordon Ku, spesialis penyakit dalam, kondisi
kesehatan sang ulama terus membaik, namun harus terus menjalani
perawatan.
Selagi masih di luar negeri, masyarakat Kalsel heboh oleh beredarnya kabar
wafatnya Guru. Sejumlah media radio malah sempat memberitakannya.
Kabar itu sendiri dibantah oleh orang dekat Guru, termasuk Rudy Ariffin
yang terus memantau perkembangan kesehatan Guru.
Kepada Rudy, Guru mengaku ingin sekali cepat pulang ke Martapura.
Apalagi, Rudy Ariffin setelah itu lebih dulu pulang ke Kalsel untuk dilantik
sebagai Gubernur. “Bila ikam bulik, aku umpat bulik jua Di ai,” kata Guru
kepada Rudy.
Sang ulama memang sangat dekat dengan Rudy hingga seakan merasa
sendirian tanpa Rudy. Atas advis tim dokter di RS, Guru diminta tetap
dirawat di lantai 3 ruang khusus Critical Unit. Setelah lebih sebelas hari
menjalani perawatan, Guru pun diperbolehkan pulang.
Selasa 9 Agustus, pukul 20.30, pesawat carter F-28 yang membawa sang
aulia mendarat di Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin. Tepat pukul
21:15, iring-iringan mobil yang membawa Guru tiba di Kompleks
Sekumpul. Mobil DA 9596 ZG yang membawa Guru langsung masuk ke
dalam garasi, di bagian belakang kediaman.
Guru kembali berjumpa dengan keluarga dan kota kelahiran yang sangat
dicintai dan dirindukannya. Namun, ternyata Allah SWT lebih mencintai dan
merindukan sang ulama. Hanya dalam hitungan jam berada di tengah
keluarga, Guru Sekumpul dipanggil untuk selama-lamanya.
Innaa lillaahi wainnaa ilaihi rooji’uun.
Disusun Oleh
H. M. Irsyad Zein ( Abu Daudi)
Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abd.
Ghani bin Al 'arif Billah Abd. Ghani bin H. Abd. Manaf bin Muh. Seman
bin H. M, Sa'ad bin H. Abdullah bin 'Alimul 'allamah Mufti H. M. Khalid
bin 'Alimul 'allamah Khalifah H. Hasanuddin bin Syekh Muhammad
Arsyad; dilahirkan pada, malam Rabu 27 Muharram, 1361 H (I I
Februari 1942 M).
Nama kecilnya adalah Qusyairi, sejak kecil beliau termasuk dari salah
seorang yang "mahfuzh", yaitu suatu keadaan yang sangat jarang
sekali terjadi, kecuali bagi orang orang yang sudah dipilih oleh Allah
SWT.
Beliau adalah salah seorang anak yang mempunyai sifat sifat dan
pembawaan yang lain daripada yang lainnya, diantaranya adalah
bahwa beliau tidak pernah ihtilam ( mimpi basah).
'Alimul 'allamah Al Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abd
Ghani sejak kecil selalu berada disamping kedua orang tua dan nenek
beliau yang benama Salbiyah. Beliau dididik dengan penuh kasih
sayang dan disiplin dalam pendidikan, sehingga dimasa kanak kanak
beliau sudah mulai ditanamkan pendidikan Tauhid dan Akhlaq oleh
ayah dan nenek beliau. Beliau belajar membaca AI Quran dengan
nenek beliau, dengan demikian guru pertama dalam bidang ilmu
Tauhid dan Akhlaq adalah ayah dan nenek beliau sendiri.
1. Ditingkat Ibtida adalah: Guru Abd Mu'az, Guru Sulaiman, Guru Muh.
Zein, Guru H. Abd. Hamid Husin, Guru H. Mahalli, Guru H. Rafi'I, Guru
Syahran, Guru H. Husin Dakhlan, Guru H. Salman Yusuf
Sanad sanad dalam berbagai bidang ilmu dan Thariqat diterima dari:
Kyai Falak (Bogor)
,
'Alimul'allamah Asy Syekh Muh Yasin Alfadani Padang (Mekkah).
Setelah dia terjaga dari tidurnya maka diapun lalu diberi makan dan
sementara tamu itu makan, beliau menemui ayah beliau dan
menerangkan maksud dan tujuan kedatangan tamu tersebut. Maka
kata ayah beliau tanyakan kepadanya apa saja ilmu yang dikajinya.
Setelah selesai makan lalu beliau menanyakan kepada tamu tersebut
sebagaimana yang dimaksud oleh ayah beliau dan jawabannva
langsung beliau sampaikan kepada ayah beliau. Kemudian kata ayah
beliau tanyakan apa lagi, maka jawabannyapun disampaikan beliau
pula. Dan kata ayah beliau apa lagi, maka setelah berulamg kali di
tanyakan apa lagi ilmu yang ia miiki maka pada akhirnya ketika beliau
hendak menyampaikan kepada tamu tersebut, maka tamu tersebut
tatkala melihat beliau mendekat kepadanya langsung gemetar
badannya dan menangis seraya minta tolong ditobatkan dengan
harapan Tuhan mengampuni dosa dosanya.
Beliau adalah seorang yang sangat mencintai para ulama dan orang
orang yang shalih, hal ini tampak ketika beliau masih kecil, beliau
selalu menunggu tempat tempat yang biasanya 'Alimul Fadhil H.
Zainal Ilmi lewati pada hari-hari tertentu ketika hendak pergi ke
Banjarmasin semata mata hanya untuk bersalaman dan mencium
tangan tuan Guru H. Zainal Ilmi.
Dimasa remaja 'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy-Syekh H. M Zaini
Abd Ghani pernah bertemu dengan Saiyidina Hasan dan Saiyidina
Husin yang keduanva masing-masing membawakan pakaian dan
memasangkan kepada beliau lengkap dengan sorban dari lainnya. Dan
beliau ketika itu diberi nama oleh keduanya dengan nama Zainal
'Abidin.
'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani adalah
seorang ulama yang menghimpun antara wasiat, thariqat dari haqiqat,
dan beliau seorang yang Hafazh AI Quran beserta hafazh Tafsirnya,
yaitu Tafsir Al Quran Al 'Azhim Lil-Imamain Al Jalalain. Beliau seorang
ulama yang masih termasuk keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-
Banjari yang menghidupkan kembali ilmu dan amalan-amalan serta
Thariqat yang diamalkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Karena itu majelis pengajian beliau, baik majelis tali'm maupun
majelis 'amaliyahnya adalah seperti majelis Syekh Abd. Kadir al-Jilani.
Sifat lemah lembut, kasih sayang, ramah tamah, sabar dan pemurah
sangatlah tampak pada diri beliau, sehingga beliau dikasihi dan
disayangi oleh segenap lapisan masyarakat, sababat dan anak murid.
Kalau ada orang yang tidak senang melihat akan keadaan beliau dan
menyerang dengan berbagai kritikan dan hasutan maka beliaupun
tidak peniah membalasnya. Beliau hanya diam dan tidak ada reaksi
apapun, karena beliau anggap mereka itu belum mengerti, bahkan
tidak mengetahuu serta tidak mau bertanya.
Tamu tamu yang datang kerumah beliau, pada umumnya selalu beliau
berikan jamuan makan, apalagi pada hari-hari pengajian, seluruh
murid murid yang mengikuti pengajian yang tidak kurang dari 3000
an, kesemuanya diberikan jamuan makan. Sedangkan pada hari hari
lainnya diberikan jamuan minuman dan roti.
Karomah- Karomahnya
* Tiba tiba beliau bercerita tentang buah rambutan, pada waktu itu
masih belum musimnya; dengan tidak disadari dan diketahui oleh
yang hadir beliau mengacungkan tangannya kebelakang dan ternyata
ditangan beliau terdapat sebuah buah rambutan yang masak, maka
heranlah semua yang hadir melihat kejadian akan hal tersebut. Dan
rambutan itupun langsung beliau makan.
*Banyak orang orang yang menderita sakit seperti sakit ginjal, usus
yang membusuk, anak yang tertelan peniti, orang yang sedang hamil
dan bayinya jungkir serta meninggal dalam kandungan ibunya,
sernuanya ini menurut keterangan dokter harus dioperasi. Namun
keluarga mereka pergi minta do'a dan pertolongan. 'Allimul'allamah
'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani. Dengan air yang beliau
berikan kesemuanya dapat tertolong dan sembuh tanpa dioperasi.
KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau yang akrab dikenal Guru Sekumpul,
memang telah meninggal dunia tiga tahun lalu, tepatnya pada Rabu, 10 Agustus 2005
sekitar pukul 05.10 Wita dalam usia 63 tahun.
Kala itu, saya masih bekerja di Banjarmasin Post ngepos di Martapura. Kebetulan juga,
saya bersama rekan saya, Rasyid Ridha dan para redaktur lainnya yang pertama-tama
memberitakan kabar duka itu lewat headline Banjarmasin Post.
Saya sengaja mengangkat judul itu, karena setelah sekian lama saya bertanya-tanya
bagaimana sikap Guru Sekumpul terkait penerapan syariat Islam, ternyata terjawab juga
pertanyaan itu.
Beberapa bulan setelah Guru Sekumpul wafat, saya bersama sejumlah rekan wartawan
bersilaturahmi dengan Gubernur Kalsel H Rudy Ariffin. Di tengah obrolan ringan, saya
memberanikan diri bertanya kepada beliau soal syariat Islam dan Guru Sekumpul.
Mengapa demikian? Asumsi saya, Pak Rudy sebelumnya pernah menjadi Bupati Banjar
periode 2000-2005, sedangkan beliau juga adalah salah satu anak angkat Guru Sekumpul.
Pak Rudy agak terkejut juga waktu itu. Namun, dengan gaya khasnya yang berbicara
tenang dan teratur, Pak Rudy akhirnya bercerita juga. “Memang ketika Abah Guru
(panggilan Pak Rudy kepada Guru Sekumpul) masih sehat dan saya masih Bupati
Banjar, beliau pernah menyinggung soal
syariat Islam,” ujarnya.
“Abah Guru kembali menawarkan kepada saya, katanya kalau tidak bisa satu
kecamatan, satu desa atau kelurahan pun jadi. Lagi-lagi saya tak menjawab. Saya
hanya diam. Kemudian, dengan menghela nafas, Abah Guru lalu mengatakan,
maka biarlah dulu syariat Islam itu diterapkan di masing-masing keluarga,” kisah
Pak Rudy lagi dengan mata menerawang.
Dari kisah Pak Rudy itu saya menangkap bahwa ulama besar selevel Guru Sekumpul
sebenarnya adalah termasuk ulama yang sangat memperhatikan upaya penerapan syariat
Islam. Bahkan, bukan hanya sekedar di Kabupaten Banjar saja yang diidam-idamkan
beliau itu, melainkan juga untuk Indonesia.
Saya yakin, jika ada petinggi negara ini yang pernah berkunjung ke kediaman Guru
Sekumpul, insya Allah Guru Sekumpul pernah menawarkan hal serupa. Maka, bagi anak
murid Guru Sekumpul, pengagum beliau dan umat Islam di Kabupaten Banjar atau kaum
Muslimin se-Indonesia, marilah bersama-sama menyingsingkan lengan baju untuk
menegakkan syariat Islam di Indonesia, tentunya dengan dakwah dan cara-cara yang
terhormat.
* wartawan SKH Mata Banua (Banjarmasin) liputan Polda Kalsel dan Kejati Kalsel,
sejak Agustus 2007. Pernah bekerja pula di SKH Banjarmasin Post (2001-2007). Tabloid
Basis Ummat (2001), Buletin Aswaja (2000), Tabloid FISIP Unlam 'Tegar' (1994-1999).
H Rudy Ariffin bersama Keponakan Guru Sekumpul H Ahmad (kiri) dan salah satu anak
angkat Guru Sekumpul lainnya, Sayyid Ahmad Al Ahdal, di sela kampanye DUARUDY,
di Tanah Bumbu, Rabu (26/5)
‘IKAM kuangkat anak dunia-akhirat.’’ Itulah frase kalimat yang barangkali membuat
bulu kuduk merinding. Bukan sembarang orang yang menitahkan kata itu. Ia diucapkan
oleh seorang ulama besar Kalimantan Selatan yang masyhur hingga ke seantero dunia
syiar Islam, KH Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Guru Sekumpul.
Ungkapan yang keluar dari aulia Allah SWT itu dituturkan kepada H Rudy Ariffin pada
Rabu, 24 Mei 2000. Seusai bersalaman dan memeluk Rudy, Guru Sekumpul
menyilakannya masuk kamar. Di atas karpet yang menyerupai kasur beralas putih,
keduanya berbicara serius. Guru duduk menghadap Rudy sambil memeluk bantal
bersprei putih. Rudy sendiri lebih banyak diam dan menunduk.
Empat tahun berselang, suatu malam di bulan Ramadhan menjelang akhir 2004, seusai
shalat tarawih, Guru Sekumpul memanggil Rudy Ariffin. Isi pembicaraan: Guru meminta
Rudy menjadi calon gubernur 2005-2010. Semula Rudy menolak, dengan alasan ingin
tetap menjadi Bupati Banjar. “Biar ikam (kamu) maju, aku mendoakan.” Itulah kata
terakhir Guru. Habis berdoa, Guru menyilakan Rudy pulang.
Siapakah semua saksi deretan peristiwa itu? Dialah H Ahmad, satu-satunya keponakan
Guru Sekumpul. Kepada wartawan, H Ahmad menyatakan adalah benar bahwa Guru
Sekumpul yang menyuruh Rudy Ariffin mencalon sebagai Gubernur. Demikian pula
halnya dengan pengangkatan Rudy Ariffin sebagai anak angkat dunia-akhirat oleh Guru
Sekumpul.
“Saya saksi semuanya. Tidak ada yang perlu diragukan. Bahkan, Abah Guru sendiri yang
menyetujui foto beliau dijadikan bahan kampanye untuk meraih massa,” kata H Ahmad
kepada wartawan, di sela acara kampanye DUARUDY di Lapangan Sungai Danau, Satui,
Tanah Bumbu, Rabu (26/5).
Kalau sekarang ada yang mempersoalkan ada izin atau tidak foto Guru Sekumpul jadi
materi kampanye Rudy, H Ahmad mengaku aneh dan bingung. “Sebab, pada saat foto
Rudy Ariffin dan Abah Guru disebarkan pada 2005, Abah Guru masih hidup dan
mengetahui semua itu. Jadi, apanya yang tidak diizinkan,” kata H Ahmad, yang
didampingi anak angkat Guru Sekumpul, Sayyid Ahmad Al Ahdal.
Mengenai anak angkat, H Ahmad menegaskan, adalah benar Guru Sekumpul sendiri
yang menyatakan bahwa Rudy Ariffin sebagai anak angkat dunia akhirat. Jadi tidak ada
istilah bahwa itu cuma karangan dan rekayasa. “Itu keluar langsung dari mulut Abah
Guru. Itu kejadian pada 2004, siapa yang berani menyangsikan?” kata H Ahmad, yang
kini mendiami rumah Guru di Kompleks Sekumpul Martapura ini.
Mengenai adanya pemberitaan bahwa ada seorang tokoh ulama yang meragukan soal
tersebut, H Ahmad cuma tertawa. “Siapa ulama itu, mana dia tahu soal itu. Memangnya
pada pertemuan itu dia hadir. Siapa yang berani masuk kamar Abah Guru?” lanjut orang
kepercayaan Guru Sekumpul dan hampir selalu menyertai Guru kala menerima tamu ini.
H Ahmad bercerita, sejak 2004 Guru Sekumpul memang sangat dekat dengan Rudy.
Rudy juga kerap ikut pengajian setiap Ahad dan Kamis sore. Setiap kali ada tamu penting
dari Jakarta yang mau ke Sekumpul, hampir pasti Rudy menjadi penyambung lidah.
Bahkan, sejumlah pejabat tinggi di Kalimantan yang baru terpilih dan akan bertandang ke
Sekumpul, menjadikan Rudy sebagai perantara bertamu.
Ketika sakit, Rudy Ariffin berupaya mengusahakan kesembuhan Abah Guru. Salah
satunya, agar Guru tidak bolak-balik ke RS Ulin Banjarmasin untuk cuci darah dua kali
sepekan, Rudy Ariffin melengkapi RS Ratu Zalecha Martapura dengan alat cuci darah
(hemodialisa). Bahkan, ketika sakit mulai parah, Rudy membawa Guru ke RS Mount
Elizabeth Singapura pada awal Agustus 2005. Beberapa hari setelah diopname, kepada
Rudy, Guru mengaku ingin sekali cepat pulang ke Martapura. Apalagi, Rudy Ariffin
setelah itu lebih dulu pulang ke Kalsel untuk dilantik sebagai Gubernur pada 5 Agustus
2010. “Bila ikam bulik (kamu pulang), aku umpat bulik (ikut pulang) jua Di ai,”
kata Guru kepada Rudy.
Perihal kedekatan Guru dengan Rudy juga diakui oleh tokoh perempuan asal Sekumpul
Martapura, Hj Syarifah Rugayah. Pada saat pencalonan sebagai Gubernur, Syarifah
Rugayah yang meminta izin soal foto Guru disebarkan pada saat kampanye.
“Kepada saya, Abah Guru mengatakan, ‘sepanjang fotoku kawa (bisa) menarik massa,
pasang aja gasan (untuk) Rudy’. Saya tidak mengada-ada. Itulah ucapan Abah Guru.
Jika beliau keberatan, tentunya sudah tidak beliau izinkan, toh saat itu beliau masih
hidup,” kata istri Habib Abdullah Assegaf ini.
Kesimpulannya, lanjut perempuan yang biasa disapa Ibu Ifah ini, mereka tidak berani
mengaku-ngaku soal anak angkat ataupun soal foto jika tanpa ada izin dari Guru
Sekumpul. “Kalau ada yang meragukannya, saya berani bertanggung jawab. Temui saja
saya,” kata Ibu Ifah. (DUARUDY Center)