You are on page 1of 35

Buletin Toe- Goe Edisi Khusus

Laporan Publik

Pengantar
Suatu anugerah, jika laporan publik ini sampai ke tangan anda sekalian. Ditengah tahun yang sulit dan
tantangan yang semakin besar, kinerja Walhi kembali dituntut untuk terbuka dan melibatkan masyarakat sebagai
konstituennya.
Bencana yang bertubi-tubi menimpa Jogjakarta, mulai dari gempa bumi, erupsi Merapi, tsunami hingga
angin puting beliung serta degradasi lingkungan yang terus meningkat, kemudian berdampak pada menurunnya
daya dukung ekologis. Di Kawasan gunung Merapi dan Menoreh misalnya, terjadi penurunan wilayah resapan air
sebagai kawasan penyangga, akibat alih fungsi lahan dan aktivitas penambangan. Di kawasan perkotaan, dengan
pembangunan yang berkembang dasyat saat ini, perlahan budaya ijin bangunan semakin hilang. Amdal dan IMBB
kemudian hanya merupakan syarat formal saja dalam mendapatkan ijin pendirian bangunan. Sementara, Pesisir
Selatan pun tidak luput dari persoalan lingkungan. Adanya jalur lintas selatan, penambangan pasir besi
mengakibatkan berkurangnya kawasan lingdung di wilayah karst dan berkurangnya lahan pertanian di daerah
pesisir. Di daerah aliran Sungai (DAS) muncul banjir musiman, yang jika tidak ada upaya lebih lanjut akan semakin
memperpanjang catatan tentang buruknya pengelolaan lingkungan di Jogjakarta.
Apalagi, kebijakan di tingkat propinsi Jogjakarta, cenderung berpihak pada laju investasi dan keuntungan
pemodal, yang sudah tentu berlawanan daya dukung lingkungan yang terbatas serta kepentingan dan kebutuhan
rakyat. Pemerintah, sampai saat ini masih bertumpu pada sistem pengelolaan lingkungan yang bersifat sektoral
dan tumpang tindih. Pemerintah juga belum memaksimalkan proses penegakan hukum pidana terkait pengelolaan
sumber daya alam, akibatnya keterlibatan oknum-oknum pemerintah dan aparat dalam melindungi dan
mengamankan aktifitas bisnis legal maupun ilegal yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam tetap
dominan. Di tingkat nasional, kita dapat melihat kebijakan yang tidak diimbangi oleh implementasi di lapangan
mulai UU lingkungan hidup, UU tata ruang, UU air. Pola kordinasi kebijakan di tingkat nasional dan daerah tidak
dapat disinergikan dengan baik, sehingga muncul tumpang tindih kebijakan.
Mengkritisi masalah lingkungan sama artinya dengan kita harus memberikan solusi alternatif dari
permasalahan tersebut. Konsep kawasan yang berbasis pada pengelolaan masyarakat merupakan tawaran yang
diajukan selama ini. Walhi memunculkan persoalan lingkungan sebagai persoalan utama dan model analisis
ekologi di tiap-tiap kawasan. Pendekatan ini melihat secara detil potensi kasus perkawasan, pemetaan detil potensi
wilayah dengan melihat peluang maupun ancaman yang ada.
Namun, bercermin pada kerusakan lingkungan yang terus terjadi, kami sadar butuh kekuatan baru dalam
perjuangan menuntut keadilan lingkungan. Tidak cukup hanya WALHI sebagai forum organisasi non pemerintah,
kelompok pencinta alam, organisasi rakyat yang fokus terhadap advokasi pengelolaan SDA dan lingkungan, atau
dengan menginisiasi berdirinya Sahabat Lingkungan (Shalink), WALHI harus keluar dari kerangka eksklusif dan
menjadi terbuka untuk dimiliki masyarakat Jogjakarta. Membuka peluang, agar aktifitas Walhi diketahui masyarakat
serta mensinergikannya dengan semua potensial stake holder berarti WALHI harus bergerak di tingkat masyarakat
secara riil untuk membangun gerakan dan dukungan yang lebih luas lagi.
Melalui laporan publik ini, kami hadir membangun keterbukaan dan ruang untuk masyarakat luas
memahami apa yang telah kami kerjakan sepanjang tahun 2006, mengkritisinya dan yang lebih penting mengambil
bagian dalam perjuangan kami. Inilah saatnya peduli dan bergerak bersama WALHI Jogjakarta untuk membangun
keadilan dalam pengelolaan lingkungan.

Wasalam,
Suparlan

Tentang Walhi Jogjakarta

Berangkat dari kesamaan visi misi yang diemban, serta didorong oleh keprihatinan terhadap persoalan lingkungan
hidup yang senantiasa diabaikan dalam berbagai pertimbangan kebijakan pembangunan, mengilhami beberapa
aktivis lingkungan hidup untuk membentuk sebuah forum yang dapat mempersatukan perjuangan gerakan
lingkungan hidup di Jogjakarta.
Awalnya, pada tanggal 19 September 1986 diadakan dialog mengenai lingkungan hidup. Saat dialog itu
disadari bahwa ada kebutuhan bersama untuk membentuk sebuah forum gerakan lingkungan di Jogjakarta yang
dapat menampung aspirasi perjuangan, mempermudah koordinasi dan berbagi informasi guna pelestarian
lingkungan hidup.
Menurut Budi Wahyuni, kesadaran para aktivitis lingkungan hidup di Jogjakarta, berkembang bersama
dengan diresponnya kebutuhan akan keberadaan forum daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di
Sekertariat Nasional Jakarta. Tahun 1986, untuk pertama kali Sri Kusniyanti ditunjuk menjadi penanggungjawab
untuk region Jogjakarta-Jawa Tengah. Tahun 1989, Budi Wahyuni menggantikan Sri Kusniyanti. Kali ini Budi
Wahyuni tidak bekerja sendiri, karena ada kelompok kerja daerah yang dibentuk untuk membantu koordinasi dan
kerja-kerja advokasi lingkungan yang dikerjakan di sekertariat nasional WALHI. Forum daerah Walhi Jogjakarta
baru terbentuk pada tahun 1992, dengan Nur Ismanto, Nur Hidayat dan Budi Wahyuni sebagai presidium forum
tersebut untuk pertama kalinya.
Terkait perubahan struktur kepengurusan dari presidium ke eksekutif daerah, Bima Widjajaputra
menguraikan bahwa hal ini didasarkan pada perubahan yang tertuang dalam statuta WALHI nasional. Uniknya,
menurut Bima, disamping berpedoman pada statuta WALHI nasional, di dalam kinerja WALHI Jogjakarta juga ikut
diinisiasi tersusunnya statuta lokal, untuk memberikan landasan prinsipil bagi kekhasan proses belajar dan
dinamika berorganisasi di Jogjakarta yang berbeda dengan dinamika yang diatur dalam statuta nasional.
Seiring dengan berjalannya waktu, kesadaran bahwa persoalan lingkungan hidup merupakan tanggung
jawab bersama, maka dalam keorganisasian WALHI muncul pemikiran baru untuk melibatkan masyarakat luas
dalam gerakan advokasi lingkungan yang selama ini dilakukan. Melibatkan masyarakat luas berarti pula merubah
image eksklusif WALHI menjadi lebih cair sebagai organisasi publik. Momentum inilah yang kemudian mendorong
didirikannya Sahabat Lingkungan (Shalink) pada tanggal 3 Desember 2004 sebagai wadah individu dari berbagai
spesifikasi keilmuan, profesi dan golongan untuk melakukan kegiatan penyadaran dan penyelamatan lingkungan.
Saat ini dengan format eksekutif daerah, kepengurusan WALHI Jogjakarta periode 2005-2008 didukung
oleh bidang kerja investigasi dan respon isue, data base, kampanye dan penggalangan sumber daya, serta
administrasi dan keuangan. WALHI Jogjakarta bekerja melakukan advokasi lingkungan hidup terhadap kebijakan
pemerintah terkait tambang, energi, hutan, tata ruang, lingkungan perkotaan, ketahanan pangan, agraria, sumber
daya air dan pengelolaan bencana. Advokasi ini disatu sisi sasarannya, adalah pembuat kebijakan, pemilik modal
dan kelompok-kelompok lain yang berpotensi merusak lingkungan hidup, serta masyarakat luas disisi lain guna
mendorong terbangun partisipasi dan daulat publik dalam pengelolaan sumber daya alam secara adil dan
berkelanjutan.

Visi
Mendorong masyarakat sebagai subjek dalam pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan
sebagai sumber-sumber kehidupan

Misi
Adanya Gerakan Sosial Lingkungan dari Seluruh Komponen Masyarakat yang Aktif dan Memperjuangkan Hak-
haknya dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Lingkungannya Secara Berkelanjutan Melalui Organisasi
Rakyat yang Independen

Goal Tahun 2008


Adanya gerakan sosial Lingkungan dari seluruh komponen masyarakat yang aktif dan memperjuangkan hak-
haknya dalam pengelolaan sumber daya alam di lingkungannya secara berkelanjutan melalui organisasi rakyat
yang independen.

Goal Tahun 2010


1. WALHI menjadi Lembaga Publik yang Transparan dan Akuntabel
2. WALHI menjadi Lembaga yang Mandiri
Dengan dukungan 33 lembaga partisipan yang terdiri dari 23 lembaga swadaya masyarakat dan 10
kelompok pencinta alam, WALHI Jogjakarta berkerja pada beberapa kawasan sebagai berikut :

Kawasan Merapi

Gunung Merapi yang mempunyai ketinggian 3100 mdpl, sekaligus merupakan salah satu gunung berapi
teraktif didunia. Gunung Merapi hingga saat ini masih kental dengan keanekaragaman hayati, budaya serta
kearifan lokal masyarakatnya.
Advokasi WALHI Jogjakarta di kawasan ini meliputi keseluruhan wilayah kawasan Merapi yang terletak
Kabupaten Sleman di Propinsi DI Jogjakarta dan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten
di Propinsi Jawa Tengah.
Advokasi yang dilakukan WALHI Jogjakarta salah satunya adalah penolakan penetapan kawasan Gunung
Merapi menjadi Taman Nasional melalui SK Menhut No. 134 tahun 2004. Walhi Jogjakarta Secara aktif bersama
dengan anggota melakukan aksi dan advokasi penolakan penetapan kawasan Merapi sebagai Taman Nasional.
Dalam pandangan WALHI dan masyarakat Merapi, penetapan TNGM adalah wujud otoritarianisme pusat (Menteri
Kehutanan) terhadap masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah sekaligus sebuah pengingkaran atas kearifan lokal
masyarakat yang selama ini, secara turun-temurun telah melestarikan hutan di kawasan gunung Merapi, sehingga
tidak pilihan lain terkecuali menolak penetapan TNGM tersebut
Selain penolakan TNGM, advokasi yang juga dilakukan terkait mitigasi bencana erupsi Merapi dan
penegakan hak-hak pengungsi, penolakan Raperda pertambangan Kabupaten Magelang, penolakan privatisasi air
dan pembangunan DAM atas beberapa aliran sungai di kawasan Merapi.

Kawasan Menoreh

Pegunungan Menoreh merupakan kawasan yang secara adminsitratif terletak di Kabupaten Magelang dan
Kabupaten Purworejo Jawa Tengah dan Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kawasan Menoreh adalah daerah yang membentuk ekosistem yang khas yang menjadi sumber
kehidupan mahluk hidup, diantaranya adalah manusia. Sebagai kawasan karst, selain rentan terhadap bencana
longsor, wilayah ini juga merupakan wilayah penyangga benda cagar budaya yang terletak disekitar kawasan
Menoreh, salah satunya adalah Candi Borobudur.
Advokasi yang dilakukan WALHI Jogjakarta di kawasan ini adalah Penolakan Pertambangan marmer oleh
PT. Margola di dusun Selorejo Desa Ngargoretno, sekaligus penolakan Raperda pertambangan yang rencananya
akan menetapkan kawasan ini sebagai kawasan tambang di Kabupaten Magelang. Penggusuran pemukiman
penduduk ke wilayah rawan longsor, monopoli dan privatisasi sumber daya air, perubahan pola hidup dari
pertanian menjadi buruh, pengangguran, hilangnya kawasan penyangga, merupakan alasan mendasar bagi
WALHI Jogjakarta untuk melakukan advokasi dikawasan ini. Secara aktif WALHI Jogjakarta juga mendorong
penegakan hak-hak masyarakat dan peningkatan kesejahteraannya melalui pendidikan hukum kritis serta
pendampingan disektor peternakan, pertanian dan perkebunan.

Kawasan Perkotaan

Kota sebagai pusat pemerintahan dengan aktifitas masyarakat yang sangat kompleks merupakan daerah
dengan perubahan ekologi yang sangat cepat. Permasalahan yang ada merupakan akibat dari aktifitas masyarakat
yang tinggi, sehingga perlu adanya rencana pengelolaan lingkungan kota yang berkelanjutan.
Permasalahan lingkungan hidup di perkotaan Jogjakarta yang ada bermacam - macam, diantaranya
masalah AMDAL, Tata Ruang, Sampah, Limbah dan Transportasi. Advokasi yang aktif dilakukan WALHI di
kawasan ini adalah mendorong agar dokumen Amdal dan tata ruang dijadikan sebagai dokumen perlindungan
kawasan-kawasan kota, mendorong pemerintah dan stake holder untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan
kebersihan khususnya sampah dari budaya mengumpulkan, diangkut dan dibuang ke TPA ke pengelolaan sampah
organik dan non organik. Advokasi juga dilakukan dalam penanganan limbah cair dan penataan sistem
transportasi.

Kawasan Pesisir Selatan

Kawasan pantai selatan merupakan daerah karst dan gumuk pasir yang tersebar di 3 kabupaten di
Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta, meliputi Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul dan Kabupaten
Kulonprogo.
Advokasi di kawasan ini aktif dilakukan Walhi Jogjakarta berkaitan dengan penolakan rencana
pembangunan Jalur Lintas Selatan, penolakan pengelolaan pasir biji besi, mitigasi bencana gempa dan tsunami,
serta pengembangan pariwisata berbasis masyarakat.
Struktur organisasi WALHI Jogjakarta Tahun 2005-2008 :

Dewan Daerah :
1. Halimah Ginting (LABH)
2. Danang Dewa Broto (Lessan)
3. Parwoto (SeTAM)

Mahkamah Anggota Daerah :


1. Andy (PHBI Yogyakarta)
2 Sukendri (CD Bethesda)
3. Upi Ghupiroh (Mapalaska)

Eksekutif Daerah :
1) Suparlan : Direktur Eksekutif
2) Nanang Ismuhartoyo : Deputy Direktur
3) Rekno Purwanti : Manager Administrasi & Keuangan
4) Halik Sandera : Manager Riset & Data Base
5) Khusni Abdillah : Staf Riset & Data Base
6) Feybe EN Lumuru : Manager Kampanye & PSD
7) Dimas Arga Yudha : Staf Kampanye
8) Abdul Aziz dan Heri Wibowo : Investigasi Respon Isue
Jalan Panjang Gerakan Lingkungan Hidup Di Jogjakarta
Terabaikannya persoalan lingkungan pada tataran prespektif dan implementasi kebijakan sepertinya telah
menjadi penyakit kronis yang sulit untuk dipulihkan. Di Jogjakarta, peningkatan pembangunan dengan tidak
mengacu pada kaidah-kaidah pengelolaan lingkungan yang baik serta rendahnya pelibatan partisipasi masyarakat
terkait pemanfaatan ruang telah menimbulkan penurunan kualitas hidup akibat adanya pencemaran dan kerusakan
lingkungan serta peningkatan konflik-konflik sosial ekonomi untuk memperebutkan wilayah dan sumber-sumber
kehidupan. Berbagai permasalahan tersebut juga tidak lepas dari kebijakan yang masih didominasi oleh
kepentingan pemodal dalam balutan kata “investasi” dan iming-iming peningkatan pendapatan asli daerah (PAD),
pertimbangan akan keberlanjutan fungsi serta daya dukung lingkungan hidup kembali terabaikan.

Tahun 2006, meski Jogjakarta dilanda bencana Gempa bumi dan Erupsi Merapi, akan tetapi praktek
penambangan pasir dengan alat berat di Merapi dan beberapa tempat di pesisir selatan terus berlanjut,
penambangan marmer di Menoreh oleh PT. Margola terus berjalan, beberapa MALL (yang tidak sesuai tata ruang)
disepanjang perbatasan kota Jogjakarta dan Kabupaten Sleman resmi dibuka, privatisasi air di lereng Merapi bagai
tidak tertahan, mata air dijual untuk dikelola swasta dengan merk beragam dan tersedia dalam aneka ragam
kemasan.

Terkait hukum lingkungan, Walhi Jogjakarta mencatat sepanjang tahun 2006, ada 17 produk hukum pusat
terkait pengelolaan lingkungan hidup, baik berupa peraturan pemerintah, instruksi presiden, keputusan presiden
hingga peraturan meneg KLH yang ditetapkan serta 3 RUU dan 1 draft revisi UU yang akan dibahas pada tahun
2007. Sementara dilevel propinsi, kabupaten dan kota, tercatat 3 produk hukum berupa Peraturan Daerah,
Peraturan Gubernur dan Surat Keputusan Gubernur yang disahkan pada tahun 2006, 5 Raperda dan 6 draft revisi
RTRW.

Akan tetapi, sebagai produk hukum, berbagai ketentuan dan peraturan pengelolaan lingkungan masih
lemah pada tataran implementasinya. Sejauh ini belum ada komitmen tegas dari pemerintah untuk menjadikannya
sebagai dokumen pengelolaan lingkungan. Pantauan Walhi menunjukan, produk hukum lingkungan masih
dijadikan formalitas administrasi saja, dipenuhi untuk sekedar mendapatkan ijin tertentu. Begitu ijin diperoleh, faktor
keberlanjutan dan kelestarian lingkungan kembali diabaikan. Dalam beberapa kasus bahkan, pengabaian atas
keberlanjutan lingkungan telah dilakukan sejak awal, sejak ijin belum diperoleh. Penegakan hukum lingkungan pun
masih terhambat oleh kentalnya dengan kolusi, korupsi dan manipulasi dalam pengelolaan sumber daya alam,
mulai dari keterlibatan oknum-oknum pemerintah dan aparat dalam bisnis ataupun melindungi dan mengamankan
aktifitas legal maupun ilegal yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam, hingga kerasnya tekanan untuk
menjegal kebebasan masyarakat yang ingin menuntut haknya atas lingkungan yang sehat.

Dalam berbagai kasus atau sengketa lingungan hidup di Jogjakarta dan sekitarnya, belum terlihat adanya
upaya penegakan hukum yang ekologis. Kalaupun ada, maka penyelesaian kasus atau sengketa lingkungan hidup,
masih sebatas pada hal-hal yang konvensional saja, seperti melengkapi hal-hal administratif dan memberikan ganti
rugi, sementara rehabilitasi kondisi lingkungan tetap saja merupakan solusi yang sering dihindari atau sama sekali
diabaikan.

Tidak adanya tindakan hukum yang tegas terhadap industri pencemar, berlarut-larutnya penyelesaian ganti
rugi kepada masyarakat, berbagai kemudahan dan insentif diberikan kepada industri besar untuk memperluas dan
meningkatkan produksinya, walaupun industri tersebut telah menimbulkan berbagai kerugian masyarakat dan
kerusakan lingkungan, serta banyak fakta lainnya jelas membuat upaya perlindungan lingkungan hidup di
Jogjakarta menghadapi hambatan besar.

Tahun 2006, Lingkungan sebagai sumber-sumber kehidupan berada diambang kehancuran dan
masyarakat semakin terpinggirkan haknya atas sumber-sumber kehidupan itu, sedangkan gerakan “pembela
lingkungan” masih harus terus berjuang, terus menapaki jalan panjang untuk membangun kesadaran masyarakat
dan perubahan kebijakan pemerintah tentang pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
PRODUK HUKUM LINGKUNGAN TAHUN 2006

1. PP No. 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di laut
2. Inpres No. 01 Tahun 2006
3. Peraturan Meneg KLH No. 02 Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan Rumah Potong
Hewan
4. Peraturan Meneg KLH No. 03 Tahun 2006 tentang Program Menuju Indonesia Hijau
5. Peraturan Meneg KLH No. 04 Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan Atau Kegiatan
Pertambangan Bijih Timah
6. Peraturan Meneg KLH No. 05 Tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
Lama
7. Peraturan Meneg KLH No. 06 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum Standarisasi Kompetensi Personil dan
Lembaga Jasa Lingkungan
8. Peraturan Meneg KLH No. 07 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengukuran Kriteria Baku Kerusakan Tanah
Untuk Produksi Biomassa
9. Peraturan Meneg KLH No. 08 Tahun 2oo6 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan
10. Peraturan Meneg KLH No. 09 Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air Limbah Air Limbah Bagi Usaha Dan Atau
Kegiatan Pertambangan Bijih Timah
11. Peraturan Meneg KLH No. 10 Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Vynyl Chloride
Monomer dan Poly Vinyl Chloride
12. Peraturan Meneg KLH No. 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan atau Kegiatan yang Wajib
Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
13. Peraturan Meneg KLH No. 12 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Pembuangan Air
Limbah Ke Laut
14. Peraturan Meneg KLH No. 14 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Adipura
15. Peraturan Meneg KLH No. 01 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengkajian Teknis Untuk Menetapkan Kelas
Air
16. Draft Refisi UU No 23 Tahun 1997
17. RUU Sampah
18. RUU Bencana
19. RUU Pengelolaan Karst
20. KEPRES no 9 tentang team Koordinasi Penanganan Bencana Jateng - DIY
21. PROLEGNAS tahun 2007
22. Pergub 23 tahun 2006 Rehap / Rekon
23. SK Gubernur Penegakan Hukum Lingkungan (satu atap)
24. Tentang Arah Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Propinsi kabupaten dan kota
Tahun 2006
25. Raperda Musrenbang Kota Yogyakarta 2007 – 2012
26. Raperda Pengelolaan sepadan sungai
27. Raperda Pengendalian Pencemaran Udara Propinsi
28. Raperda Partisipasi Publik Kota
29. Raperda Pertambangan Kabupaten Magelang
30. Draf Refisi RTRW Propinsi dan Kota
31. PROLEGDA tahun 2007 Propinsi dan Kabupaten

PERENCANAAN PROGRAM TAHUN 2006

Sadar bahwa gerakan lingkungan masih harus menapaki jalan panjang, bahwa gerakan lingkungan “belum
merakyat” maka sejak awal tahun 2006, Walhi Jogjakarta terus membuka diri untuk mendorong partisipasi
masyarakat sebagai konstituen Walhi untuk terlibat dalam setiap perencanaan programnya. Perwakilan
masyarakat, hadir dalam KDLH 2006 bersama-sama anggota Walhi Jogjakarta menyusun rencana kelola
lingkungan hidup di kawasan Merapi, Menoreh, Perkotaan dan Pesisir Selatan.
Berdasarkan rekomendasi KDLH 2006, ada 13 program yang akan dilaksanakan di 4 kawasan mulai dari
pengorganisasian masyarakat, peningkatan kapasitas, kampanye publik hingga advokasi kebijakan. Dalam
implementasi lebih lanjut, program ditiap-tiap kawasan ini kemudian di konsolidasikan dalam pertemuan-pertemuan
kawasan antara eksekutif daerah dan anggota Walhi.

PELAKSANAAN PROGRAM TAHUN 2006

Harus jujur diakui tahun 2006 adalah tahun yang berat untuk Walhi Jogjakarta. Bukan saja karena mandat
KDLH untuk melaksanakan 13 program di empat kawasan kerjanya, namun juga karena kerusakan lingkungan
yang begitu masif belum juga berhasil mendorong kesadaran banyak pihak untuk melakukan pengelolaan
lingkungan secara berkelanjutan di Jogjakarta. Apalagi tahun ini, separuh waktu kerja Walhi tersita oleh respon
bencana gempa bumi dan erupsi merapi, yang jelas-jelas menyita banyak perhatian dan energi dalam
penanganannya.

Akan tetapi tahun yang berat, bukan berarti harus dilalui dengan sulit. Atas kritikan, saran dan dukungan
anggota, jaringan dan masyarakat, Walhi Jogjakarta justru dapat melalui tahun yang berat ini dengan baik. Meski
harus menata kembali perencanaan kawasan di akhir tahun, akan tetapi program setiap kawasan tetap diupayakan
untuk dapat dilaksanakan secara optimal.

Diluar, perencanaan yang telah disusun dalam KDLH, secara internal eksekutif daerah (ED) Walhi
Jogjakarta ikut pula melakukan respon, investigasi, pengelolaan data base, kampanye publik dan advokasi atas
pengaduan kasus dan issu terkait pengelolaan lingkungan hidup diwilayah Jogjakarta dan sekitarnya. Setidaknya
63 kasus dan issu yang telah direspon Walhi Jogjakarta pada tahun 2006 hingga awal 2007. Kasus tersebut
diantaranya terkait pencemaran, transportasi, tata ruang, pengelolaan sampah, illegal logging, tambang dan energi,
ketahanan pangan, penolakan hutang luar negeri hingga penanganan bencana, 26 kasus diantaranya telah
memasuki tahap advokasi.

KAWASAN MERAPI

Gunung Merapi (3100 m dpl) secara administratif berada diempat Kabupaten dari dua propinsi. Kabupaten
Sleman Propinsi DI Jogjakarta, Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten di Propinsi Jawa Tengah. Selain
sebagai gunung api teraktif, kawasan Merapi merupakan penyedia jasa lingkungan untuk kawasan disekitarnya
seperti untuk daerah tangkapan air, sumber air dan suplai oksigen.

Begitu penting fungsi kawasan Merapi, sehingga diperlukan sebuah sistem pengelolaan yang mampu
menjamin fungsinya baik dalam menyediakan kebutuhan air, udara, keanekaragaman hayati dan ekosistemnya,
termasuk masyarakat tempatan yang sering terlupakan, tertutup kepentingan konservasi dengan pendekatan
ekofasisme.

Berdasarkan KDLH tahun 2006, program pengelolaan kawasan Merapi yang akan dikerjakan bersama
Walhi Jogjakarta dan Masyarakat adalah :
1. Pemetaan Wilayah Kelola Rakyat Di 4 Kabupaten : Sleman, Magelang, Boyolali Dan Klaten
2. Pembuatan Buku Kelola Rakyat Di Kawasan Merapi
3. Pentas Potensi Budaya Lokal Di Lereng Merapi

Penanganan Erupsi Merapi

Agak berbeda dari perencanaan yang telah disusun, kerja-kerja pengelolaan kawasan Merapi justru
dimulai dengan mitigasi erupsi Merapi dan advokasi atas pemenuhan hak dasar pengungsi Merapi. Bersama
anggota dan jaringan telah dilakukan kegiatan-kegiatan guna penyadaran masyarakat dan pengkritisan kebijakan
penanganan erupsi Merapi meliputi kampanye untuk kesiap-siagaan kepada masyarakat melalui pemutaran film di
Srumbung – Magelang tanggal 11 Mei 2006, Tunggul Arum – Sleman, tanggal 12 Mei 2006, dan Dukun –
Magelang, tanggal 21 Mei 2006.

Advokasi untuk pengkritisan kebijakan pemerintah dilakukan melalui hearing dengan pihak DPRD.
Hearing ini dilakukan dengan sasaran pertama, untuk mendesak pemerintah melakukan berbagai tindakan dalam
rangka kesiap-siagaan penanganan bencana akibat peningkatan aktivitas Gunung Merapi. Kedua, untuk mendesak
adanya jaminan pemenuhan hak-hak masyarakat ketika mereka berada di pengungsian. Ketiga, mendesak
adanya transparansi anggaran dalam penenaganan pengungsi dan bencana akibat letusan Gunung Merapi.
Hearing ini telah di lakukan di DPRD Sleman, tanggal 22 Mei 2006 dan DPRD Klaten, tanggal 24 Mei 2006.

Konsisten Menolak TNGM

Tahun 2006 hingga awal 2007 merupakan tahun untuk terus membangun konsistensi perlawanan atas
“konsep ekofasisme” dalam konservasi Indonesia, ketika upaya pemerintah untuk mengimplementasikan SK
Menhut 134 tahun 2004 tentang penetapan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) seolah tidak kenal kompromi.

Bersama masyarakat dan kelompok pencinta alam (PA), pemetaan wilayah kelola rakyat di kawasan
Merapi telah mulai dilakukan dari 2 dusun teratas di Kabupaten Sleman, yaitu Dusun Ngandong dan Pelemsari.
Pemetaan ini, kedepannya akan dilakukan juga di dusun-dusun teratas di Kabupaten Magelang, Klaten dan
Boyolali sebagai peta tandingan atas zonasi yang telah ditetapkan pemerintah terkait penetapan kawasan Gunung
Merapi sebagai Taman Nasional.

Apalagi, meski mendapat protes dan tengah digugat secara hukum oleh berbagai komponen masyarakat
Merapi, kebijakan penetapan TNGM ini tetap saja dipaksakan untuk diterapkan. Secara diam-diam pengurus Balai
TNGM telah ditetapkan, beberapa bangunan untuk keperluan kerja pengurus balai juga tengah dipersiapkan,
dengan kembali tidak didahului oleh proses komunikasi dan konsultasi ke publik.

Menginggat bahwa belum ada putusan pengadilan terkait gugatan Walhi dan Masyarakat Merapi untuk
pembatalan Surat Keputusan Menhut No. 134/kpts-II/2004, karena masih dalam proses kasasi di Mahkamah
Agung, maka hal itu berarti bahwa belum ada kekuatan hukum yang bisa dijadikan dasar bagi pengimplementasian
operasional TNGM, apalagi sampai pada pembangunan infrastruktur pendukung operasional. Karena itu pada
tanggal 19 Januari 2007, Walhi Jogjakarta melakukan somasi kepada Departemen Kehutanan RI untuk :
1. Segera menghentikan berbagai kebijakan implementasi untuk persiapan operasional TNGM, karena berbagai
kebijakan terkait persiapan operasional TNGM yang telah atau sedang dilakukan, seperti pembentukan
pengurus balai dan pembangunan infrastruktur di Taman Hutan Lindung Kaliurang Kabupaten Sleman
Jogjakarta, adalah kebijakan yang tidak berdasar dan bertentangan dengan proses hukum yang sedang
berlangsung.
2. Menghormati proses hukum gugatan pembatalan Surat Keputusan Menhut No. 134/kpts-II/2004 tentang
penetapan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang sedang berlangsung ditingkat kasasi Mahkamah
Agung, dengan tidak lagi membuat kebijakan-kebijakan baru terkait persiapan operasional TNGM, hingga
dikeluarkannya putusan kasasi gugatan dimaksud. Penghormatan terhadap proses hukum ini adalah wujud
penghargaan dan kepatuhan kita terhadap proses hukum di Indonesia. Apalagi Departemen Kehutanan adalah
bagian integral dari apatur negara yang seharusnya menjadi lini terdepan dalam memberikan teladan perilaku
kepatuhan hukum.
3. Bersikap lebih transparan dan partisipatif dengan terlebih dahulu melakukan komunikasi dan mengkonsultasi
publik dalam berbagai kebijakannya terkait TNGM, sebagai bagian dari peran kelembagaannya dalam
melakukan layanan publik dan penghormatannya atas hak-hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang
benar.

Tambang Pasir Merapi

Selain Penolakan TNGM, advokasi lingkungan juga dilakukan terhadap penambangan pasir di Merapi yang
semakin mengkhawatirkan. Setelah lokasi penambangan pasir beberapa perusahaan di Kecamatan Srumbung-
Magelang ditutup pada tahun 2004, penambangan pasir Merapi tidak juga berhenti. Dibeberapa desa seperti
Kemiren, Ngablak, Tegalrandu, Keningar dan Kaliurang Barat (Kecamatan Srumbung) dan desa Hargomulyo,
Ngargosuko, Krinjing dan Mangunsuko (Kecamatan Dukun) Kabupaten Magelang, penambangan pasir tetap saja
berjalan. Di Cangkringan Sleman, seorang Lurah dituntut warga desanya sendiri, setelah mengeruk pasir dengan
alasan hendak melakukan normalisasi sungai. Sang Lurah akhirnya terpaksa berhadapan dengan pengadilan
negeri, setelah ketahuan menjual pasir hasil pengerukan itu. Di desa Balarante, Sidorejo, Tlogowatu, Tegal Mulyo,
Kendal Sari dan Talun di Kecamatan Kemalang-Klaten, penambangan pasir semakin menggila. Tidak hanya
dilakukan secara manual disepanjang kali Woro, tetapi sebagian besar dilakukan dengan back hoe (alat berat) di
lahan-lahan perkebunan yang disewakan warga untuk ditambang.

Walhi Jogjakarta konsisten menolak penambangan pasir merapi dengan menggunakan alat berat (Back
Hoe). Beralihnya aktivitas penambangan dari cara-cara manual ke cara modern dengan menggunakan back hoe
jelas memberikan tekanan besar bagi perubahan bentang alam di kawasan ini. Berbeda dari aktivitas
penambangan manual yang hanya mengandalkan tenaga manusia, yang relatif lambat, mengunakan peralatan
seadanya dan memanfaatkan sebagian besar material letusan Merapi, maka penambangan dengan menggunakan
back hoe relatif cepat mengeruk, menggali dan mengubah bentang alam juga menyebabkan terjadinya perubahan
tata air di Merapi.

Berbasis pada kearifan lokal dan perencanaan bersama masyarakat secara keseluruhan telah dilakukan
berbagai upaya untuk peningkatan kapasitas masyarakat, pengelolaan data base, kampanye untuk pendidikan
publik dan advokasi guna pengelolaan kawasan Merapi, meliputi :

1. Pengorganisasian dan Peningkatan kapasitas masyarakat


ƒ Memperkuat forum masyarakat peduli merapi untuk penanganan bencana merapi
ƒ Pembuatan sanggar anak dan pendidikan lingkungan di Kabupaten Sleman (plus supporting satu unit
Komputer)
ƒ Supporting 2 Alat Komunikasi (HT) untuk jalin Merapi
ƒ Sarasehan dan diskusi warga tentang Raperda Pertambangan di Kabupaten Magelang
ƒ Sarasehan Kearifan Lokal Pengelolaan Merapi
ƒ Pelatihan pemetaan dan GIS
ƒ Pemetaan Wilayah Kelola Rakyat Di Kabupaten Sleman

2. Pengelolaan Data Base


No Uraian Kegiatan

1 Hunting data Kebijakan TNGM


Peta Zonasi TNGM
RTRW Sleman,Magelang,Klaten,Boyolali.
Data Titik Sumber Air
Data Kuantitas pasir pertahun
2 Riset Data volume penambangan pasir.
Potensi lokal.
3 Review Media Kliping koran dan hasil review isue dimerapi.
4 PRA Potensi lokal merapi.
5 Pemetaan Partisipatoris Peta Kelola Rakyat di Kawasan Merapi.

3. Kampanye untuk pendidikan publik


ƒ Pembuatan 2 Film untuk merapi tentang Kesiapsiagaan dan Advokasi TNGM
ƒ Road show Pemutaran film kesiapsiagaan di 3 kabupaten (Magelang, Sleman, Klaten)
ƒ Pentas seni (dangdut dan Campur sari) serta kampanye lingkungan dalam rangka trauma hiling
ƒ NOBAR dalam rangka Trauma Hiling di Klaten dan Sleman
ƒ Tergabung dalam JALIN Merapi untuk kampanye Penanganan Bencana di Merapi (WEB, SMS, HT)
ƒ Release (Tambang, TNGM,Pemenuhan Hak-hak Pengungsi)
ƒ Lembar info WALHI untuk merapi : PERAPEKA dan Toegoe

4. Advokasi
ƒ 4 kali Publik Hearing Eksekutif / Legilatif tentang Pemenuhan 5 jaminan kebutuhan dasar pengungsi dan
Raperda Pertambangan Kabupaten Magelang
ƒ 3 kali aksi pengusiran pertambangan illegal dengan alat berat (backhoe) bersama masyarakat di Sungai
gesik, Balai desa girikerto dan Sungai Gendol
ƒ Mendorong Gugatan Class Action Pertambangan Pasir di Kaligendol Sleman
ƒ Pantauan Proses Kasasi di MA Jakarta (TNGM)
ƒ Rembug Warga Untuk perkembangan TNGM dan Melaporkan ke KOMNAS HAM
ƒ Penyusunan buku kelola rakyat atas kawasan Merapi
KAWASAN MENOREH

Pegunungan Menoreh yang terletak di 2 Propinsi Jogjakarta dan Jawa Tengah, juga merupakan bagian
dari wilayah gerak advokasi WALHI Jogjakarta.

Sebagaimana diketahui penambangan Marmer oleh PT Margola hingga kini terus mengancam
keberlanjutan Lingkungan dan juga keberadaan masyarakat. Keluarnya izin pertambangan marmer dari pemerintah
propinsi Jawa Tengah no 545/0182/1989 ”Pemberian izin SIPD eksploitasi” di wilayah desa Ngagoretno kecamatan
Salaman, kabupaten Magelang, propinsi Jawa Tengah pada tanggal, 24 Juli 1989 merupakan awal dari munculnya
berbagai dampak yang merugikan masyarakat dan lingkungan, misalnya dampak hilangannya lahan pertanian dan
perkebunan, sumber mata air, lokasi pariwisata rakyat, turunnya debit air, kondisi pemukiman masyarakat yang
rawan longsor, konflik sosial antar masyarakat dan masih banyak lagi.

Oleh karenanya perjuangan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat atas pengelolaan sumber daya alam
yang berkelanjutan di kawasan ini menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi. Sebagai bagian dari perjuangan rakyat,
KDLH 2006 dan konsolidasi kawasan memandatkan program-program sebagai berikut :
1. Penguatan Kapasitas (SDM) Masyarakat Basis
2. Sosialisasi Raperda Pertambangan
3. Konsultasi publik tentang Draf Pertambangan
4. Publik Hearing ke Kabupaten dan DPRD Magelang

Untuk memulai proses ini, pada awal tahun 2006, telah dilakukan temu desa sebanyak di empat dusun
Desa Ngagoretno Kecamatan Salaman Kabupaten Magelang. Dengan target “menggagas konsep pengelolaan
kawasan” temu desa ini menghadirkan seluruh lapisan masyarakat masyarakat baik dari aparatur desa, tokoh
masyarakat, pemuda, dan komponen lain dengan dipandu salah seorang fasilitator. Forum ini dijadikan sebagai
media sharing dan konsolidasi antar masyarakat tentang kerentanan dan potensi kawasan, guna mendorong
kebijakan serta sistem perlindungan oleh rakyat yang lebih adil, berkelanjutan dan berprespektif lingkungan.

Bersamaan dengan proses ini, terkait pengelolaan lingkungan di kawasan ini dilakukan beberapa aktivitas
sebagai berikut :

1. Pengorganisasian dan peningkatan kapasitas masyarakat


ƒ Pertemuan masyarakat dengan berbagai tema khususnya pemetaan potensi sumber daya alam dan
sistem pengelolaan kedepan
ƒ Pelatihan Manajemen Bencana (surabaya)
ƒ Pertemuan Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Bogor)
ƒ Pendidikan Hukum Kritis

2. Advokasi kebijakan melalui publik hearing untuk penolakan Raperda Pertambangan Kabupaten Magelang

KAWASAN PERKOTAAN

Kota Jogjakarta, dengan semboyan “Kota Ramah Lingkungan” memiliki luas wilayah 32,5 km2 atau 1,02%
dari luas wilayah Propinsi Jogjakarta, terdiri atas 14 kecamatan, 45 kelurahan, 610 RW dan 2512 RT.
Sebagaimana karakteristik kota-kota metropolitan pada umumnya, kota Jogjakarta terus berkembang dari waktu ke
waktu seiring dengan meningkatnya perputaran ekonomi, politik, pemerintahan, transportasi, pariwisata,
pendidikan, budaya dan jumlah penduduk. Akan tetapi, kota yang bertumbuh tanpa disertai manajemen kawasan,
menjadikan kota Jogjakarta tumbuh dalam ketidakseimbangan hingga permasalahan lingkungan bermunculan dari
semua sektor.

Pembangunan yang cenderung mengarah pada pemanfaatan ruang semaksimal mungkin, telah
mengubah ruang publik dan kawasan terbuka hijau di perkotaan menjadi mall, swalayan, hotel dll. Begitu juga
dengan persoalan AMDAL yang menjadi prasyarat dalam pembangunan yang berdampak besar kepada
lingkungan sekitar, seringkali hanya diposisikan sebagai syarat formalitas atau administratif tanpa memperdulikan
substansinya. Akibatnya, dampak lingkungan atas diabaikannya AMDAL ini berbuah pada meningkatnya
pencemaran dan kemacetan pada di ruas-ruas jalan dimana Mall-Mall baru berdiri.

Tingginya volume sampah kota Jogjakarta juga merupakan dampak langsung dari tingginya aktivitas
konsumtif penduduk kota. Di Kota Jogjakarta sendiri menurut data Dinas Lingkungan Kota pada tahun 2005
produksi sampah kawasan perkotaan sebanyak 1.700 m3 perhari, namun yang dapat diangkut ke TPA Pinyungan-
Bantul baru sekitar 1300 m3 perhari, sehingga terjadi penumpukan sampah sebanyak 4oom3 per hari dan tidak
terangkut ke TPS atau TPA Piyungan. Karena itu dibanyak lokasi, seperti tanah-tanah kosong atau bantaran
sungai terjadi penumpukan-penumpukan sampah yang kemudian berubah menjadi TPS atau TPA Illegal.

Selain itu, pengelolaan tiga sungai yang melintas di Kota Jogjakarta, sungai Code, Gadjah Wong dan
Winongo juga cukup memprihatikan. Taludtisasi dengan memakai beton, sangat mendominasi daerah aliran sungai
di wilayah kota. Padahal penataan daerah aliran sungai dengan talud, justru membawa dampak yang merugikan
lingkungan hidup. Talud menyebabkan kecepatan arus air bertambah tinggi dan mata air disekitarnya menjadi mati
karena betonisasi dan rendahnya resapan air ke tanah.

Sungai juga sering menjadi tempat aktivitas domestik masyarakat, pembuangan sampah dan limbah dari
industri, hotel dan rumah sakit. Karena itu, wajar jika tingkat pencemaran air sungai di kota menjadi persoalan yang
serius. Sungai dengan kualitas air terburuk adalah sungai Code, karena bakteri Coliform Tinja terdeteksi paling
tinggi dan kadungan oksingen terlarut paling rendah. Disusul kemudian sungai Gajah Wong dan sungai Winongo.

Kasus pencemaran air yang juga mencuat, adalah pencemaran air tanah. Diwilayah kecamatan yang
padat penduduknya, dan tidak dilalui jaringan saluran air kota, seperti kecamatan Kota Gede di Gondokusuman,
kandungan Nitrat dan Coliform Tinja dalam air tanah cukup tinggi. Kandungan Besi dan Mangan yang melebihi
syarat, tersebar dibeberapa wilayah kecamatan, antara lain kecamatan Danurejan, Gondokusuman dan
Umbulharjo.

Hal tersebut mendorong WALHI Jogjakarta bersama masyarakat, dalam KDLH dan konsolidasi kawasan
tahun 2006 menyusun program pengelolaan kawasan perkotaan sebagai berikut :
1. Investigasi Sistem Pengolahan Limbah di Jogjakarta
2. Pembuatan Film kawasan perkotaan
3. Advokasi Pengelolaan Sampah Perkotaan
4. Advokasi pengelolaan Sub DAS di Perkotaan

Investigasi Sistem Pengolahan Limbah

Buruknya kualitas air sungai dan masih banyaknya pembuangan limbah cair dan padat ke sungai menjadi
perhatian Walhi. Mengingat bahwa disepanjang sungai terdapat begitu banyak perusahaan, Rumah Sakit,
Perhotelan dan industri yang kecenderungannya membuang limbah ke sungai dan tidak pernah terkontrol dengan
baik oleh pemerintah kota, maka Walhi mencoba membuat networking dalam hal sistem pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan pengelolaan limbah cair maupun padat dari industri, Rumah Sakit, Hotel dll.

Networking ini melibatkan anggota Walhi Jogjakarta, akademisi dan masyarakat disepanjang DAS dan
telah sempat melakukan investigasi pengelolaan limbah ke RS PKU Muhamadiyah dan Hotel Melia Purosani,
sebelum akhirnya terhenti karena bencana gempa bumi yang melanda Jogjakarta.

Film Dokumenter Kawasan Perkotaan Jogjakarta

Film dokumenter “Lingkungan Kota” adalah satu dari delapan film dokumenter yang diproduksi Walhi
Jogjakarta ditahun 2006. Film ini merupakan dokumentasi dan advokasi atas kondisi lingkungan diperkotaan
Jogjakarta terkait pengelolaan sampah, sungai, transportasi dan tata ruang.

Pengelolaan Sampah Perkotaan

Sampah dari 14 kecamatan yang ada di kawasan kota masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan
dengan baik. Terkait pengelolaan sampah ini, Walhi Jogjakarta mendorong dilakukan perubahan regulasi dalam
bentuk perda yang masih mengarah pada retribusi dan pembuangan, kepada pengolahan yang dapat
meminimalisir sampah melalui upaya pemanfaatan sampah menjadi barang berharga seperti komposting dan lain-
lain. Bersama sahabat lingkungan, Sheep dan Yasanti sempat diselenggarakan pelatihan dan pendampingan
masyarakat untuk melakukan komposting dari sampah organik
Advokasi Pengelolaan Sub DAS di Jogjakarta

Keterlibatan WALHI Jogjakarta dalam pengelolaan kawasan DAS adalah untuk mendorong sistem
pengelolaan DAS dan sub DAS secara terintegrasi dari hulu, tengah dan hilir, sehingga tercipta sinergi antara
kawasan satu dengan yang lain. DAS di Jogjakarta terbagi dalam 3 wilayah administrasi, Kabupaten Sleman, Kota
Jogjakarta dan Kabupaten Bantul. Namun sampai saat ini, penentu kebijakannya masih belum memiliki
perencanaan secara terintegrasi terkait pengelolaan sungai, walaupun sudah terbentuk Sekber Kartamantul yang
merupakan forum dari 3 kabupaten untuk penyelamatan dan pengelolaan DAS, namun implementasi ditingkat riil
belum terlihat.

Secara keseluruhan (termasuk 4 program diatas), sepanjang tahun 2006 di kawasan perkotaan telah
berhasil dilaksanakan program-program lain sebagai berikut :

1. Pengorganisasian dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat


ƒ Pendampingan untuk kasus RB TV dan pembangunan SPBU di Sentul
ƒ Diskusi dan sarasehan pengelolaan DAS sebagai peradapan di bantaran sungai gajah wong
ƒ Pertemuan dan perencanaan komunitas pengelola sampah perkotaan
ƒ 3 kali Pelatihan pembuatan bakteri dan pengelolaan sampah komposting (WALHI, Ngampilan, Alkid)
ƒ Sarasehan Kebijakan pengelolaan sampah di Perkotaan
ƒ Road Show 14 Kecamatan dalam rangka work shop pengelolaan lingkungan di kawasan perkotaan
ƒ Pembentukan kelompok-kelompok pengelola sampah dari komunitas ibu-ibu bersama Sahabat Lingkungan
(8 Kelompok)

2. Riset dan Data Base

No. Uraian Kegiatan

1 Hunting data. Kebijakan Lingkungan perkotaan.


RTRW Kota Jogjakarta
Data Kependudukan Kota jogjakarta.
Data transportasi DIY
2 Riset Hasil riset Tentang Volume Sampah
Hasil riset tentang efek pembangunan di Jogjakarta
Hasil riset tentang polusi udara di Jogjakarta

3. Kampanye untuk pendidikan publik


ƒ Penghijauan di bantaran sungai gajah wong dalam peringatan hari bumi tahun 2006
ƒ Pentas musik amal dan lingkungan di bantaran sungai gajah wong dalam peringatan hari bumi tahun 2006
ƒ Aksi visi misi Walikota “Peduli Lingkungan” di APMD
ƒ Film Lingkungan Kota
ƒ Pres Release

4. Advokasi
ƒ Advokasi Penebangan Pohon di kawasan perkotaan hingga pengadilan (Denda 50 rb, penanaman dan
perawatan)
ƒ Advokasi pencemaran sumur warga dari Limbah Shapir Mall
ƒ Pembentukan Aliansi Strategis untuk advokasi dan monitoring sistem pengolahan limbah Industri di
kawasan perkotaan Yogyakarta
ƒ Advokasi penolakan BAQ dan UAQi (program perbaikan kualitas udara perkotaan) yang di danai oleh
Hutang Luar negeri
ƒ Advokasi Musrenbang Kota Yogyakarta
ƒ Aksi Penolakan Kenaikan PP 37 Tahun 2006 tentang Gaji dewan
ƒ Gugatan Pembangunan Book Store UGM
ƒ Aksi Pengkritisan AMDAL shapir mall (ada kesepakatan Warga dengan Shapire), Marvin Mall
(Pembangunan Berhenti), Yogya Plaza Mall dekat MC Donal (Berhenti Pembangunan), PKU
Muhammdiyah (berhenti Pembangunan), UIN dan RS UII
KAWASAN PESISIR SELATAN

Pengorganisasian masyarakat di Pesisir Selatan telah cukup lama dilakukan oleh WALHI Jogjakarta
bersama lembaga-lembaga anggota, seperti KAPPALA Indonesia, SeTAM, LBM dan LBH Jogjakarta. Namun
dalam KDLH tahun 2006, perencanaan untuk program Kawasan Peisir Selatan masih sangat minim. Hal ini di
karenakan kurangnya lembaga anggota yang mempunyai wilayah dampingan di Pesisir Selatan menyebabkan
pengorganisasian dan peningkatan kapasitas masyarakat dan advokasi kebijakan pengelolaan lingkungan tidak
berjalan maksimal.

Berdasarkan KDLH tahun 2006 dan perencanaan kawasan, program yang dimandatkan untuk
dilaksanakan Walhi bersama masyarakat di kawasan pesisir selatan adalah :
1. Publik Hearing tentang Raperda Pertambangan
2. Kabupaten Magelang

Akan tetapi gempa bumi yang melanda Jogjakarta dan meluluhlantahkan sebagian besar wilayah pesisir
selatan menyadarkan banyak pihak termasuk Walhi Jogjakarta bahwa kawasan pesisir selatan adalah kawasan
yang rawan bencana gempa bumi karena keberadaan patahan aktif di sepanjang kali Opak-Oyo. Kesadaran ini,
berdampak meluasnya issu dan kasus yang diresponi Walhi Jogjakarta dikawasan ini.

Terkait penanganan pasca gempa, Eksekutif daerah bersama lembaga anggota aktif melakukan respon
semenjak emergency respon. Memasuki fase relief recovery 6 lembaga anggota melakukan pendampingan untuk
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat pasca bencana di 15 pada kawasan pesisir selatan dan 1 wilayah
dikawasan perkotaan Jogjakarta. Bersamaan dengan respon penanganan bencana ini, ikut pula dilakukan mitigasi
bencana gempa dan tsunami, melalui perencanaan dan peningkatan kapasitas masyarakat.

Selain respon bencana, beberapa issu dan kasus lain yang juga ikut direspon misalnya rencana
pembangunan Jalur Lintas Selatan (JLS), tambang pasir biji besi di Kulon Progo, pembangunan pelabuhan ikan di
pantai Glagah, pencemaran oleh PLTU Cilacap dan SUTET di Kebumen yang tentunya akan memberikan dampak
ekologi yang sangat serius.

Keseluruhan program, kasus dan issu yang direspon Walhi Jogjakarta di kawasan ini sepanjang tahun
2006 adalah :

1. Pengorganisasian dan penguatan kapasitas masyarakat


ƒ Perencanaan program kawasan pesisir selatan propinsi DIY
ƒ Road show dan pendampingan di 3 kabupaten untuk perencanaan dan implementasi program pengelolaan
pesisir selatan
ƒ Workshop pengelolaan pesisir selatan terkait issu pertambangan, pariwisata, pertanian, dan mitigasi
bencana
ƒ Syawalan dan diskusi kesiapsiagaan bencana
ƒ Sarasehan pengelolaan kawasan karst
ƒ Penyusunan program advokasi PLTU Cilacap bersama Komite Aspirasi Masyarakat (KAM) Cilacap

2. Kampanye untuk pendidikan publik


ƒ Lomba pengolahan umbi lokal
ƒ Lomba lukis dan cerita kelola lingkungan
ƒ Pentas Seni Rakyat
ƒ Press release
ƒ Infosheet Media Aspirasi Masyarakat Cilacap

3. Advokasi
ƒ Publik hearing rencana tambang pasir besi di Pesisir Selatan
ƒ Pengkritisan AMDAL JLS
ƒ Pengkritisan AMDAL SPN
ƒ Pengkritisan AMDAL Pelabuhan IKAN Pantai Glagah
ƒ Publik hearing pencemaran PLTU Cilacap
PENCINTA ALAM (PA)

Penyusunan program khusus untuk pencinta alam diluar perencanaan 4 kawasan dilakukan mengingat
bahwa sebagian anggota Walhi Jogjakarta berasal dari kelompok pencinta alam dari berbagai universitas di
Jogjakarta. Program yang didorong adalah pelatihan advokasi dan konservasi sumber daya alam (PEKA) yang
diharapkan sekaligus bisa menjadi media peningkatan kapasitas kelompok pencinta alam dalam melakukan
advokasi lingkungan hidup.

Akan tetapi dalam implementasinya PEKA tidak terlaksana. Sebagian waktu kelompok pencinta alam
anggota Walhi Jogjakarta ditahun 2006 banyak tersita oleh peran mereka sebagai relawan dalam respon
penanganan bencana gempa bumi dan erupsi Merapi.

Adapun upaya peningkatan kapasitas anggota kelompok pencinta alam digantikan dengan pelatihan
pemetaan dan GIS. Sebelum kegiatan pelatihan ini, kelompok pencinta alam juga aktif mengambil bagian dalam
penghijauan di bantaran sungai Gadjah Wong dalam rangka memperingati hari bumi tahun 2006 dan aksi
penolakan BAQ di Jogjakarta.

Akhirnya, apa yang dilakukan Walhi Jogjakarta di kawasan Merapi, Menoreh, Perkotaan dan Pesisir
Selatan hanyalah satu bagian dalam perjuangan lingkungan hidup. Kedepannya butuh sebuah gerakan yang masif
untuk bisa menciptakan lingkungan yang baik, sehat dan bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan. Walhi
membutuhkan dukungan masyarakat luas dan kerja keras dalam menyusuri jalan panjang perjuangan untuk bisa
menyetarakan serta mempertahankan hak masyarakat atas lingkungan. Meski seperti sebuah keniscayaan, jalan
panjang ini harus terus disusuri, proses perjuangan ini harus terus didorong dan semakin diperluas hingga
membentuk sebuah gerakan yang menjadi bagian dari gaya, pandangan hidup dan kebijakan. Mari peduli dan aktif
mengambil bagian, hentikan kerusakan lingkungan.
Laporan Penanganan Bencana
Proses Belajar Membangun Masyarakat
Sebagai Subyek Penanganan Bencana

Tahun 2006 sampai awal 2007 adalah tahun bencana. Gempa bumi, erupsi Merapi, tsunami, banjir,
longsor, kebakaran hutan hingga angin puting beliung datang silih berganti. Kelalaian kita menjaga keseimbangan
alam dan rendahnya kesiapsiagaan dalam mengelola bencana, harus dibayar mahal dengan ratusan ribu korban
jiwa dan luka serta kehacuran dasyat infrastruktur umum dan pemukiman masyarakat.
Jogjakarta merupakan salah satu wilayah bencana terparah. Tidak tanggung-tanggung, setelah gempa
tektonik 5,9 SR meluluhlantahkan wilayah ini, gunung Merapi yang merupakan salah satu gunung berapi teraktif
dan telah berstatus siaga sebelum terjadi gempa, memuntahkan material vulkanik dan luncuran awan panas.
Tidak hanya sampai disitu, bulan februari 2007 angin puting beliung kembali memporakporandakan wilayah
perkotaannya.
Rentetan bencana ini kemudian menimbulkan persoalan yang cukup kompleks. Mayoritas masyarakat
yang terkena becana secara ekonomi mengalami kehancuran, akibat berkurangnya aset keluarga (harta benda,
ternak, rumah hilang/rusak), sebagian besar masyarakat tidak lagi memiliki sumber ekonomi keluarga yang pasti.
Sektor riil juga mengalami kebangkrutan, ladang atau lahan pertanian gagal panen akibat tidak terurus ketika
ditinggal mengungsi, pasar tradisional rusak sehingga mengganggu olah produktivitas pedagang dan pelaku
industri rumah tangga karena rumah tinggal ataupun tempat usahanya hancur.
Kondisi ini semakin diperparah oleh lambat kinerja pemerintah dalam melakukan penanganan bencana.
Tiga bulan pasca gempa misalnya, pemenuhan 5 kebutuhan dasar yang meliputi pangan, hunian sementara, air
bersih, sanitasi dan pelayanan kesehatan masih sangat bermasalah. Pemerintah bahkan harus berhadapan
dengan aksi protes masyarakat, akibat ketidakjelasan penanganan bencana.
WALHI Jogjakarta memberi perhatian yang besar terhadap persoalan penanganan bencana. Mulai fase
tanggap darurat, relief recovery hingga rehabilitasi dan rekonstruksi berbasiskan pada temuan investigasinya,
bersama anggota dan jaringan secara konsisten dillakukan distiribusi bantuan, pendampingan dan advokasi
penanganan bencana.

Penanganan Gempa Bumi

Respon awal, dilakukan dengan membuka posko penanganan gempa di Sekertariat WALHI Jogjakarta dan
Desa Tembi Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul. Dari kedua posko inilah tim data base dan para relawan
bekerja melakukan pendataan tentang kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat, kerusakan dan kerugian akibat
gempa. Hasil pendataan ini kemudian disebarluaskan sebagai informasi publik melalui website.
Berbekal hasil pendataan ini, WALHI Jogjakarta dengan dukungan Sahabat Lingkungan dan Sahabat
WALHI, lebih dari 400 orang relawan (mahasiswa, organisasi rakyat, anggota WALHI Jogjakarta dan masyarakat),
WALHI Eksekutif nasional, ED WALHI Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur,
Kalimatan Selatan, lembaga mitra seperti Oxfam GB, WFP, Unicef, Yayasan Leuser, GTZ-GLG, KLH, Media
Indonesia, Yayasan Pendidikan de Brito, Karang Taruna Indonesia, Pangkalan TNI AU Adi Sucipto, Sanggar Anak
Bumi Tani, Forum Peduli Merapi dan PASAG Merapi, melakukan distribusi bantuan bahan pangan, terpal, tenda,
matras, senter, hygiene kits, makanan dan perlengkapan bayi, sarung dan selimut, ember, jerigen, bleder air,
peralatan bersih kampung, masker, sarung tangan dan pakaian pantas pakai ke berbagai lokasi bencana gempa
di Kabupaten Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, Sleman, Kota Jogjakarta dan Prambanan Kabupaten Klaten.
Pelayanan kesehatan, dilakukan oleh relawan medis dari Fakultas Kedokteran UMY, tim dokter dari PB IDI
dan relawan medis lain yang datang atas koordinasi dengan WALHI Eksekutif Nasional. Semasa emergency
respon dilakukan pengobatan gratis, evakuasi korban dan penyaluran bantuan obat-obatan. Selain itu, dilakukan
juga pemberian makanan tambahan berupa gula Jawa dan kacang hijau, serta penanganan trauma bersama
Sahabat Lingkungan dan Sahabat WALHI, mahasiswa psikologi UGM, Kelompok Pengamen Jakarta dan
mahasiswa KKN UIN Sunan Kalijaga melalui nonton bareng piala dunia sepak bola, lawak, konser musik, bercerita,
bermain, mengambar, bernyanyi serta beberapa kegiatan religius seperti pengajian dan dakwah.
Korban dan Kerusakan akibat Gempa di Jogjakarta dan Jateng
Berdasarkan Pendataan Walhi Jogjakarta, 2006

DATA DISTRIBUSI BANTUAN


PENANGANAN GEMPA BUMI 27 MEI 2006

No Asal Bantuan Jenis Bantuan Jumlah


1 Oxfam-GB Terpal 15.830 Bh
Sarung 4.200 Bh
Ember 30 Ltr 1.176 Bh
Jerigen 10 Ltr & 30 Ltr 11.000 Bh
Hygiene Kits 2.936 Bh
2 WFP-UN Biskuit 5.382 Dos
Mie 1.064 Dos
3 GTZ-GLG Tenda Pleton & Tenda Family 140 Bh
Matras 200 Bh
Selimut 200 Bh
Gula Jawa 6 Ton
Kacang Hijau 6 Ton
4 Yayasan Leuser-Rotari Internasional Tenda Dom 100 Bh
5 Unicef Bleder Air 2 Bh
Jerigen 10 Ltr 2.000 Bh
6 Media Indonesia Masker 20.000 Bh
7 LPM Ekspresi UMY Mie 1 Dus
Pembalut & Popok bayi 6 Pack
Anti Nyamuk 15 Strip
Korek Api 9 Pack
Kresek Besar 1 Pack
8 Forum Peduli Merapi Perlengkapan Bayi 62 Bh
Makanan Bayi 110 Sct/ Box
Minyak Telon 5 Pack
Minyak Angin 4 Pack
Pakaian Bayi 30 Bh
9 Pangkalan TNI AU Adi Sutjipto Tenda 105 Bh
10 KLH Beras 20 Kg 6 Karung
Terpal & Tali 20 Bh
Tikar 10 Bh
Pembalut 24 Bh
Pakaian Pantas Pakai 1 Dus
Pakaian Anak @ 12 Bh 5 Pack
Kaos Dewasa @ 10 Bh 2 Pack
Susu & Bahan Makanan 15 Dus
Sarung @ 30 Bh & Selimut @ 10 Bh 5 Pack
11 Yayasan Pendidikan De Britto Sardines @ 50 Bh 300 Dus
12 Karang Taruna Indonesia Air Mineral 19,5 Dus
Mie Instant 87 Dus
Pembalut 2 Dus
Beras 31 Karung
Pakaian Pantas Pakai 17 Box + 1 Bal
Sepatu &Sandal 1 Dus
Mainan, Komik, Tas & Boneka 2 Dus
Terpal 1 Dus
Sabun Cuci & Mandi 5 Box
Susu Bayi Nestle 1 Box
Susu & Makanan Bayi 273 Sachet
Snack Nabati 1 Box
Perlengkapan Bersih Kampung 15 Bh
13 Walhi Eknas Besi Pleton 10 Set
Pakaian Pantas Pakai 2 Karung + 1 Dus
Selimut 30 Bh
Tenda Pleton 5 Set
Tenda Plastik 19 Bh
14 Walhi Jabar Bahan Makanan 4 Dus
Pembalut/Pempers 1 Dus
15 Walhi Jambi Pakaian Pantas Pakai 3 Dus
Makanan 1 Dus
16 Walhi Lampung Selimut 6 Bal
Mie dan Biskuit 78 Dus
Pakaian Pantas Pakai & Pakaian Dalam 2 Dus
Ikan Asin 2 Dus
Beras 6 Karung
Lampu Badai 1 Dus
Air Mineral 2 Dus
Gula
Makanan Bayi
17 Masyarakat Via Walhi Jogjakarta :
Ikhwan (Pkbi) Pakaian Pantas Pakai
Nn Pakaian Pantas Pakai & Pakaian dalam 44 Bh
Sepatu 3 Pasang
Joko Surokarsan Air Mineral 2 Dus
Mie & Snack 6 Dus
Sri Suko Mie 2 Dus
Mega (atas Permintaan Dr. Billy) Pakaian, Pembalut, Plastik & Tali
Bubur Bayi 10 Sachet
Permen 3 Pack
Sabun Cream 5 Sachet
Ma'ruf Sayekti Mie 10 Dus
KPJ-Wonogiri Via Ayu Shalink Pembalut & Pakaian dalam 2 Dus
Bedak Gatal 1 Dus
Pakaian Pantas Pakai 1 Karung
18 Walhi-Jogjakarta (Pengadaan) Tandon Air 1000 Ltr 5bh
Masker 4400bh
Sarung Tangan 6 Lusin
Peralatan Bersih Kampung 1203 Bh
Paku Usuk 4"/ 30 Kg 3 Dus
Paku Reng 2" / 30 Kg 4 Dus
Bendrat 3 Roll
Skrup Hitam 108bh
Tali Serabut 1 Ball
Sumber : Laporan Distribusi WALHI Jogjakarta, 2006

Memasuki fase relief recovery, rehabilitasi dan rekonstruksi, penanganan pasca gempa WALHI diarahkan
pada pendampingan 16 dusun oleh 7 lembaga anggota (SeTAM, LABH, LBM, Mitra Tani, Lessan, Mapalaska dan
di Kabupaten Bantul, Gunung Kidul dan Kota Jogjakarta. Pendampingan dilakukan oleh anggota dengan fokus
pada pengalian potensi anggotasi masyarakat dalam pembangunan rumah hunian sementara (transitional shelter),
sarana air bersih dan mck serta penguatan kapasitas mereka terkait pengurangan risiko akibat bencana gempa
dan tsunami.
Proses relief recovery ini kemudian dioptimal melalui program recovery berbasis masyarakat di Desa
Terong Kecamatan Dlingo dan Desa Seloharjo Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul. Program ini secara
mendalam melakukan pendampingan untuk memetakan kerusakan akibat gempa, penggalian potensi masyarakat
dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan peningkatan kapasitas mereka guna memperoleh kehidupan yang
bermartabat pasca bencana. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat di kedua desa ini dilakukan melalui
suporting material rumah hunian sementara, pembangunan contoh hunian sementara, sarana air bersih, mck dan
drainase, melakukan pelayanan kesehatan melalui pengobatan gratis, pemberian makanan tambahan dan trauma
hilling, dan penyuluhan terkait pemanfaatan umbi lokal dan obat tradisional.
WALHI Jogjakarta aktif melakukan kampanye terkait pemenuhan hak-hak masyarakat pasca bencana.
Berbagai media seperti infosheet, film, website, baliho, banner, poster, stiker, umbul-umbul, spanduk, talk show
radio dan TV lokal, hingga campur sari dan wayangan digunakan untuk membangun kesadaran masyarakat terkait
kerentanan wilayah mereka atas bencana, bagaimana mereka mengurangi risiko bencana serta bagaimana
mereka mendapatkan hak-haknya sebagai subyek dalam penanganan bencana. Kampanye juga ditujukan untuk
mempengaruhi prespektif potensial stake holder seperti pemerintah, akademisi, mahasiswa, anggota dan lembaga
mitra melalui buletin ToeGoe, poster, kartu lebaran, talk show radio dan TV lokal.

Advokasi kebijakan dan hukum dilakukan bersama FKKJ, Forum LSM DIY, FoRKoB dan GPR untuk
mengkritisi pemenuhan 5 kebutuhan dasar masyarakat, skema pendistribusian dana rehabilitasi dan rekonstruksi
hingga penolakan hutang luar negeri dalam pendanaan penanganan bencana di Jogjakarta. Hingga kini melalui
berbagai aksi demonstrasi, konfrensi pres hingga sarasehan nasional, pengkritisan kebijakan ini terus dilakukan.

Terkait advokasi hukum, setelah sebelumnya mengirimkan somasi kepada Bakornas PB, maka tanggal 4
Nopember 2006 bersama berbagai kalangan melalui Koalisi Pekerja Hukum Jogjakarta, WALHI mengajukan
tuntutan (citizen law suit) menggugat pemerintah Republik Indonesia terkait ketidakjelasan penanganan bencana.

Penanganan Erupsi Merapi

Sejak status merapi dinyatakan siaga oleh BPPTK pada tanggal 12 April 2006, WALHI Jogjakarta, anggota
dan jaringan telah melakukan beberapa upaya kongkrit untuk penanganan bencana akibat letusan Gunung Merapi.
Bersama Kappala, PASAG, Forum Peduli Merapi, Mitra Tani, Yayasan Wana Mandira, Lessan, SeTAM, LaBH,
YBK, Langkah Bocah dan Sahabat Lingkungan dilakukan pembagian peran, pertama anggota dan jaringan,
memainkan peran perorganisasian dan emeregency respon dalam penanganan becana letusan Gunung Merapi.
Kedua, Eksekutif Daerah akan fokus pada advokasi penegakan hak-hak pengungsi.
Peran advokasi ini ditindaklanjuti dengan kegiatan-kegiatan guna penyadaran masyarakat dan pengkritisan
kebijakan penanganan erupsi Merapi meliputi kampanye untuk kesiap-siagaan kepada masyarakat melalui
pemutaran film di Srumbung – Magelang tanggal 11 Mei 2006, Tunggul Arum – Sleman, tanggal 12 Mei 2006, dan
Dukun – Magelang, tanggal 21 Mei 2006.

Advokasi untuk pengkritisan kebijakan pemerintah dilakukan melalui hearing dengan pihak DPRD.
Hearing ini dilakukan dengan sasaran pertama, untuk mendesak pemerintah melakukan berbagai tindakan dalam
rangka kesiap-siagaan penanganan bencana akibat peningkatan aktivitas Gunung Merapi. Kedua, untuk mendesak
adanya jaminan pemenuhan hak-hak masyarakat ketika mereka berada di pengungsian. Ketiga, mendesak
adanya transparansi anggaran dalam penenaganan pengungsi dan bencana akibat letusan Gunung Merapi.
Hearing ini telah di lakukan di DPRD Sleman, tanggal 22 Mei 2006 dan DPRD Klaten, tanggal 24 Mei 2006

WALHI memandang bahwa bencana yang ditimbulkan oleh aktivitas Merapi tampaknya lebih diakibatkan
karena kurangnya upaya mitigasi dan kesiapsiagaan serta tidak adanya perencanaan kedaruratan (contingency
planning) yang meliputi sistem deteksi dini (early warning system), penyiapan struktur dan infrastuktur, peningkatan
kapasitas penduduk, sistem penanganan kedaruratan, dan sebagainya. Pada prinsipnya, Wedhus Gembel, abu
vulkanik, dan lava pijar yang dimuntahkan Merapi seketika bisa menjadi malapetaka apabila upaya mitigasi dan
kesiapsiagaan kurang baik dilakukan.

Pasca kegiatan Hearing ini, aktivitas WALHI Jogjakarta banyak terkonsentrasi untuk emergency respon
gempa. Beberapa rekan dari PASAG dan FPM (Forum Peduli Merapi) juga aktif membantu dengan menjadi
relawan penanganan gempa.

Ketika terjadi erupsi Merapi, pada tanggal 14 Juni 2006 WALHI dan para relawan merespon dengan
bantuan biaya evakuasi masyarakat, masker, tenda, pemberian makanan tambahan berupa gula Jawa dan kacang
hijau.

Penanganan Puting Beliung

Tanggal 18 Februari 2007, angin puting beliung menerjang Kecamatan Danurejan, Gondokusuman,
Umbulharjo dan Pakualaman di Kota Jogjakata. Ratusan rumah dan puluhan fasilitas umum diwilayah ini porak
poranda, saluran telepon dan listrik putus serta puluhan pohon perindanh roboh.
Respon cepat penanganan angin puting beliung dilakukan melalui pemetaan korban dan kerusakan
diwilayah bencana serta koordinasi pengadaan bantuan logistik. Malam itu juga dengan dukungan Sahabat
lingkungan, relawan, lembaga mitra seperti CRI, Plan Internasional, CWS, Sheep dan Yasanti (Anggota WALHI)
didistribusikan terpal, tikar, bahan makanan, tambahan asupan gizi meliputi kacang hijau dan gula Jawa, obat-
obatan, senter dan peminjaman generator. Pendistribusian ini, dilakukan melalui 3 dapur yang diinisiasi WALHI
untuk membangun partisipasi dan kegotongroyong masyarakat.
Sedangkan kampanye publik dilakukan melalui penerbitan 2 edisi infosheet yang ditujukan untuk
membangun kesadaran masyarakat tentang apa itu angin puting beliung, bagaimana mengurangi risikonya dan
jenis penyakit apa saja yang bisa menyangkiti mereka pasca bencana. Kampanye juga diarahkan untuk
menyampaikan pesan tentang pentingnya masyarakat tetap bersatu dan bergotong royong dalam melakukan
pembangunan kembali.

Proporsi Korban Grafik Kerusakan Rumah

300 285
262
250
Ju m lah Keru sakan

Luka Berat, 10,


23% 200 169 Berat
144
150 Sedang
108
100 Ringan
60 63
50
Luka Ringan, 0 0
33, 77% 0
1 2 3
Area Kerusakan

Ket : 1. Tegal Lempunyangan


2. Mangkukusuman
3. Danukuman
DATA DISTRIBUSI BANTUAN
PENANGANAN BECANA PUTING BELIUNG

Tanggal Asal Bantuan Jenis Bantuan Jumlah


18-Feb- Plan Internasional Terpal ( 4 x 6 ) 51
07 Walhi Terpal ( 4 x 6 ) 1
Plan Internasional Tikar 50
Plan Internasional Minyak Kayu Putih 50
Plan Internasional Terpal ( 9 x 10 ) 1
CRI Senter 10
CRI & Walhi Genset (dipinjamkan) 3
19-Feb- CRI Beras 25 kg
07 Walhi Beras 55 kg
Walhi Mie Instan 4 dus
Walhi Telur 17 kg
Walhi Kacang Hijau 25 kg
Walhi Gula Jawa 25 kg
Sheep Makanan Bayi (SGM 3 & 4) 4 box
CWS Makanan Bayi (SUN & 5 box
Regal)
CWS Makanan Bayi (Promina, 29 pack
Milna & Farley's)
Sumber : Laporan Distribusi Walhi Jogjakarta, 2007

Partispatif dan Berbasis Potensi Lokal

Percaya bahwa masyarakat yang terkena bencana adalah manusia bermartabat yang mampu menolong
dirinya, maka sejak awal WALHI menghindari pemberian bantuan yang menempatkan masyarakat semata-mata
sebagai korban saja. Sejak fase emergency respon pelibatan partisipasi masyarakat telah dilakukan melalui
pendataan korban, kerusakan dan kerugian akibat gempa. Masyarakat juga dilibatkan menjadi relawan untuk
distribusi bantuan kepada lingkungan sendiri.
Memasuki relief recovery dan rehabilitasi rekonstruksi, penggalian partisipasi masyarakat dilakukan melalui
perencanaan dan gotong royong untuk pembangunan kembali. Dalam pembangunan rumah hunian sementara,
sarana air bersih, mck dan drainase, WALHI melakukan supporting material dan mendorong masyarakat untuk
memanfaatkan potensi lokal yang terdapat didesanya seperti bambu atau sisa reruntuhan yang masih layak untuk
dipergunakan kembali. Dalam satu rumah hunian sementara misalnya, gedhek, bambu, paku dan kayu berasal
dari supporting WALHI, sedangkan genteng, bata, kusen pintu dan ventilasi berasal bangunan rumah masyarakat
yang dulu dan telah hancur akibat gempa.
Begitupun ketika proses pembangunan kembali berjalan, WALHI dengan tegas menolak adanya praktek
cash for work atau food for work. Masyarakat tidak perlu dibayar dengan uang atau bahan pangan ketika
membersihkan halaman rumahnya sendiri dari reruntuhan bangunan. Meski pendekatan ini dilakukan dengan
alasan untuk mendorong pulihnya kondisi keuangan atau daya tahan pangan masyrakat, WALHI memandang
bahwa praktek cash for work dan food for work sangat potensial merusak budaya gotong royong yang masih kental
di masyarakat Jawa. Karena itu, dalam pembangunan kembali WALHI sejak awal mendorong partisipasi
masyarakat, merekalah yang memutuskan dalam rembug kampung siapa saja penerima bantuan, material apa
yang mereka untuk dipergunakan lagi, apa yang harus disupport WALHI, bagaimana mengatur jadwal gotong
royong dan siapa saja anggota kelompok gotong royong itu. Tenaga pendamping WALHI hidup menyatu dan
membaur dengan masyarakat untuk mentransformasikan rencana pembangunan kembali, melakukan penggalian
partisipasi dan berbagai aktivitas untuk penguatan kapasitas masyarakat.
Melalui pendekatan seperti ini, diharapkan dalam jangka WALHI Jogjakarta dapat mempromosikan adopsi
Community Base Disaster Risk Management (CBDRM) kepada banyak pihak yang juga bekerja untuk
penanganan bencana. Secara internal, proses adopsi ini telah dimulai pada tanggal 16-17 Juli 2006, bertempat di
LPP Covention Hall, diadakan pelatihan CBDRM untuk lembaga anggota dan staf eksekutif daerah. Proses ini
kemudian dilanjutkan dengan pemutaran film dan serial diskusi dengan masyarakat dampingan untuk memberikan
pemahaman tentang gempa dan tsunami serta bagaimana mengurangi risiko becana ini. Selanjutnya, guna
membangun masyarakat pesisir selatan yang siaga bencana, maka dilaksanakan 4 kali Lokakarya Rakyat Pesisir
Selatan Jogjakarta (Kulon Progo, Parang Tritis dan Gunung Kidul) guna memetakan potensi, kerentanan dan risiko
bencana serta menyusun rencana kerja bersama untuk mengelola potensi dimasing-masing wilayah dan
membangun kesiapsiagaan bencana.

SPHERE, Gender dan Kelompok Rentan

SPHERE juga menjadi perhatian WALHI Jogjakarta. SPHERE yang didasarkan pada dua keyakinan
bahwa segala upaya harus diambil untuk meringankan penderitaan manusia akibat bencana atau konflik, dan
bahwa mereka yang terkena bencana mempunyai hak terhadap kehidupan yang bermartabat (termasuk dalam
mendapatkan bantuan) diadopsi sebagai standar dalam penanganan bencana. Standar yang pada hakekatnya
bersifat kualitatif dan diterapkan berdasarkan konteks kemampuan WALHI dalam semua fase penanganan
bencana yang dilakukannya.
Adopsi terhadap standar ini jelas terlihat dari setiap respon cepat penanganan bencana yang dilakukan.
Respon cepat ini, sebagai bagian dari komitmen atas keyakinan bahwa masyarakat yang terkena bencana berhak
mendapat pertolongan. Komitmen ini kemudian berkolaborasi dengan pendekatan partsipatif yang memposisi
masyarakat sebagai manusia bermartabat dalam penanganan bencana. Selain itu pemenuhan 5 kebutuhan dasar
(Pangan, shelter, air bersih, sanitasi dan pelayanan kesehatan) yang dilakukan WALHI diberbagai wilayah adalah
wujud dari adopsi atas standar ini.
Perspektif gender dan fokus terhadap kelompok rentan (balita, ibu hamil, ibu menyusui dan lansia) juga
dilakukan mengingat bahwa perempuan dan kelompok rentan memiliki kebutuhan yang berbeda dan perlu
diakomodir. Respon kemanusiaan juga akan lebih berdaya guna bila didasarkan pada pemahaman terhadap
perbedaan-perbedaan kebutuhan, kerentanan, minat, kemampuan dan strategi pemecahan masalah terhadap
mereka masing-masing.
Apalagi, secara cultural dalam tatanan masyarakat Jawa perempuan sangat jarang diikutsertakan dalam
pengambilan keputusan. Asumsi-asumsi seperti laki-laki adalah penerus trah keluarga atau kepala keluarga yang
sekaligus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah tangga menempatkan laki-laki pada posisi tawar yang
lebih tinggi dari perempuan dalam mengambil keputusan untuk menyatakan pendapat. Padahal dalam praktek
sehari-hari, perempuan juga memiliki tanggung jawab yang cukup besar, ia melayani seluruh anggota keluarga, ia
juga harus memikirkan persoalan ketahanan ekonomi keluarga. Tidak jarang perempuan juga harus berperan
ganda, namun demikian posisi tawar perempuan tetap saja lemah.
Selain itu kondisi pasca gempa juga memperbanyak tuntutan-tuntutan kerja fisik bagi perempuan. Selain
melakukan hal-hal di atas, ia juga harus merawat keluarga/relasinya yang sakit, ikut serta menyiapkan dapur umum
sehubungan dengan kegiatan bersih kampong dan kegiatan gotong royong lainnya. Beban kerja yang berat ini
mengakibatkan kesehatan perempuan menjadi rentan, baik fisik maupun psikologis.
Porsi yang besar diterapkan dengan melibatkan dengan melakukan pendekatan langsung kepada
kelompok-kelompok perempuan yang telah ada seperti PKK, Dasa Wisma, Posyandu dan KSM, baik saat
penjajakan kebutuhan, penyusunan rencana kegiatan maupun pelaksanaan dan monitoringnnya. Dalam
pengambilan keputusan yang bersifat general, yang melibatkan laki-laki dan perempuan, dimana umumnya
keputusan di dominasi kelompok laki-laki, di terapkan pendekatan yang memberi ruang lebih bagi kelompok
perempuan. Kegiatan khusus pun untuk kelompok rentan, seperti pengobatan gratis, pemberian makanan
tambahan (supplementary feeding) dan trauma hilling.
Perempuan Jawa Tegar Hadapi Bencana
Nrimo, tak berarti ”do nothing”

Oleh : Ardiati

Sabtu Wage, 27 Mei 2006 hari yang tidak pernah dilupakan oleh masyarakat Jawa Tengah dan DI
Jogjakarta. Gempa yang terjadi pada waktu itu telah memutar jalan kehidupan yang tidak terbayangkan
sebelumnya. Kehilangan harta benda dan keluarga ditambah dengan ketidakpastian pendapatan dan mata
pencaharian menambah beban yang menghinggapi sebagian besar korban bencana. Namun dalam situasi
yang seperti itu muncul perempuan-perempuan tegar yang mampu menyikapi terjadinya bencana dengan lebih
arif, dan bahkan mau berbagi dengan sesama. Dibalik kisah sedih dan kepiluan yang terjadi, ada kisah-kisah
kedermawanan, kesetia-kawanan sosial dan kepedulian antar sesama korban.

(Ibu Darini, 60 th, Pamong Desa, Seyegan, Sleman)

Sesaat setelah gempa itu datang, nalurinya sabagai pamong desapun muncul. Ia mengunjungi warga
dusunnya satu persatu dan menanyakan kerusakan serta keselamatan warganya. Kesibukan mengurus
tetangga dan warganya sampai-sampai tidak memperhatikan kondisi rumahnya sendiri. Malam hari ketika lelah
sudah tak tertahan lagi dan berniat membaringkan badan, baru disadari kalau rumahnya sendiri nyaris roboh,
atap rumah bergeser dan dinding rumah tidak lagi utuh dihiasi rekahan-rekahan yang menganga.

(Ibu Sugiyem, 56 tahun, Pembantu Rumah Tangga, Pundong, Bantul)

Hari-hari pertama setelah terjadinya gempa, sebagian besar aliran listrik terputus. Sumber penerangan
digantikan lilin dan lampu tempel. Namun minyak tanah tidak mudah diperoleh. Satu liter minyak tanah yang
dimilikinya itupun dibagikan kepada tetangga-tetangga agar dapat melewati malam itu dengan setitik cahaya.
Hari berikutnya entah bagaimana nanti, yang penting malam itu ia bersama tetangga-tetangganya dapat
menikmati penerangan seadanya. ”Sethithik ra popo angger roto” (Biar sedikit tak apa asal kebagian merata)

(Ibu Sugiyo, 68 tahun, Ibu rumah tangga, Piyungan, Bantul)

Umurnya sudah tidak muda lagi, membuat anak-anaknya ingin membawanya menginap ke tempat
sanak saudara di luar Jogja. Namun ia lebih memilih tidur ditenda beralaskan tikar bersama tetangga-tetangga
lainnya. Tinggal di bawah tenda yang didirikan dipinggiran sawah tatkala musim hujan jelas tidak bersahabat
dengan tubuhnya yang makin tua, namun kehidupan bertetangga yang dialaminya bertahun-tahun tidak akan
dipisahkan oleh datangnya bencana. Di rumah saudaranya secara fisik lebih nyaman, tetapi ketenangan batin
mungkin tidak akan didapatkan. Dia ingin merasakan penderitaan yang dialami bersama tetangga dan saling
memberi semangat untuk memulai kehidupan yang baru. Baginya tidaklah nyaman meninggalkan tetangga
yang sedang tertimpa musibah. ”Seneng dirasakke bareng rekoso yo dirasakke bareng”. (Senang dirasakan
bersama, susah juga dirasakan bersama).
(Ibu Denis, 29 tahun, Ibu rumah tangga, Gantiwarno, Klaten)

Hampir 100 % rumah di dusunnya rusak berat, puluhan jiwa melayang. Bersyukur, suami dan kedua
anaknya selamat dari musibah, meskipun rumahnya sudah tidak dapat digunakan lagi.
Tanpa ada komando, ia mendirikan dapur umum di rumahnya. Stok makanan yang sedianya untuk satu bulan
dikeluarkan semua, demi melihat tetangga tidak lagi punya apa-apa. Tak terpikir bagaimana harus makan esok
hari, tetapi dia yakin esok pasti ada yang membantu.

(Ibu Vena, 45 th, Ibu rumah tangga, Mlati, Sleman)

Guratan di wajahnya jelas menampakkan kedukaan yang mendalam. Di kepalanya berkecamuk persoalan
yang yang harus dihadapi. Tempat tinggalnya roboh. Pekerjaan suaminya sebagai pedagang keliling tak dapat
diharapkan, sejumlah pertandingan olahraga dan event-event keramaian lain yang biasanya memberi pemasukan
lebih telah dibatalkan. Satu setengah bulan kemudian tahun ajaran baru yang berarti seabreg kebutuhan sekolah
anak-anaknya mau tidak mau harus dipenuhi. Mengharapkan bantuan saudara dan tetangga hampir mustahil,
karena rumah mereka juga rata dengan tanah. Ibu empat anak ini segera menyadari dirinya tidak boleh terlarut
dalam kesedihan, demi memberikan semangat kepada suami dan keempat buah hatinya yang beranjak remaja.

(Ibu Yoyok, 40 tahun, Ibu Rumah Tangga, Pajangan, Bantul)

Aktivitas suaminya yang berkecimpung dengan dunia anak-anak, mengilhaminya untuk menjadikan rumah
sebagai pusat kegiatan anak-anak. Di tengah puing-puing reruntuhan rumah tinggalnya tekad untuk mendidik
anak-anak agar trampil dan kreatif tetap dilakoninya. Tekadnya agar anak tidak kehilangan semangat dan
keceriaan meskipun bencana telah mengambil harta benda dan orang-orang yang dicintainya.

(Ibu Tinah, 40 tahun, Ibu Rumah Tangga, Pajangan, Bantul)

Rumahnya rusak dan belum dapat memperbaiki, baginya bukanlah musibah. Tetapi dia menganggap
musibah besar terjadi tatkala bantuan dana rekonstruksi yang dikucurkan pemerintah tidak diterima oleh orang-
orang yang dianggapnya layak menerima. Puluhan tetangga yang menurutnya rumah mereka tidak layak huni
tidak ada dalam daftar Pokmas. ”Saiki jaman edan, sopo ora edan ora keduman”. (Sekarang jamannya sudah gila,
yang tidak gila tidak akan kebagian). Namun Tinah tidak akan ikut edan, karena ”luwih utomo manungsa kang
eling lan waspada” (lebih utama menjadi manusia yang selalu ingat (Tuhan dan waspada).

Kata-kata kunci dari perempuan-perempuan tadi adalah nrimo, semua sudah digariskan-manusia tinggal
menjalani, senang susah dirasakan bersama. Catatan penting yang tidak boleh dilupakan, petuah hidup turun-
temurun khususnya bagi orang Jawa, agar manusia nrimo ing pandum (ikhlas menerima apa yang diberikan
Tuhan), bukanlah konsep yang pasif. Nrimo tidak berarti tidak melakukan apa-apa (do nothing), nrimo tidak berarti
hanya menunggu. Sikap nrimo adalah bentuk kepasrahan pada Tuhan, agar ikhlas menerima keadaan,
menjauhkan diri dari iri hati dan kebencian.

Petuah-petuah ini memberikan kekuatan batin kepada perempuan-perempuan Jawa untuk tegar
menghadapi bencana. Tegar menerima musibah sebagai sebuah proses belajar, agar selanjutnya menjadi
manusia yang lebih tinggi derajat keimanan dan ketakwaannya kepada Sang Maha Pencipta. Ajaran-ajaran ini
pula yang telah mampu menggerakkan jiwa dan raga mereka untuk berbuat sesuatu bagi sesama, tanpa tujuan
untuk mencari sensasi, pujian, atau popularitas. Pada akhirnya, memberikan semangat dan menyenangkan anak
dan suami, berbuat sesuatu untuk orang lain dan menjadi berguna untuk orang banyak, dapat pula dijadikan
sebagai penyembuhan trauma bagi dirinya sendiri.

Namun sampai kapankah nilai-nilai itu akan terus ada? Bagaimana ketika para ”dermawan” dari luar
datang ”berkendaraan bencana” masuk ke pelosok-pelosok desa dengan membawa uang dan barang serta
seperangkat aturan yang dibawanya, tanpa melihat kondisi sosial budaya yang ada? Akankah nilai-nilai dan
modal sosial yang tadinya mampu menggerakkan cipta dan karsa dari masyarakat tersebut digantikan dengan
uang dan barang?? [ Penulis adalah Seorang Ibu Rumah Tangga & Pengelola Sanggar Anak Bumi Tani,
Jogjakarta]
Dampak Bencana terhadap Lingkungan
Guncangan gempa bumi, Erupsi Gunung Merapi dan angin puting beliung, tidak hanya merusak
pemukiman dan infrastruktur umum serta menelan korban jiwa, tetapi juga turut berdampak pada kondisi ekologi
seperti merubah topografi atau bentuk rupa bumi. Luput dari perhatian banyak pihak, yang lebih terfokus pada
rehabilitasi dan rekonstruksi sarana prasarana fisik pasca bencana, WALHI Jogjakarta melakukan pemetaan,
bertemu dan berdiskusi dengan pihak-pihak terkait dari kalangan akademisi hingga pihak BPPTK Jogjakarta,
mencoba untuk melihat seperti apakah dampak yang ditimbulkan oleh bencana terhadap kondisi lingkungan di
Jogjakarta.

Pemetaan ini dilakukan terhadap rekahan dan potensial longsoran serta perubahan tata air akibat gempa
2006 serta pementaan potensi risiko lahar dingin dan perubahan tata air di Merapi pasca erupsi. Hasil pemetaan
kondisi lingkungan ini telah dipublish secara meluas melalui buletin ToeGoe edisi 3 tahun 2006.

Tidak ingin apa yang dibangun bertahun-tahun hancur seketika atau kita gagap dan salah mengambil
kebijakan dalam menangani bencana, sehingga kerugian akibat kebijakan yang salah itu menjadi lebih besar dari
pada bencana yang ditimbulkan alam, maka mau tidak mau skenario tentang daya dukung dan kerentanan
lingkungan harus ikut diadopsi dalam membuat kebijakan, seperti tata ruang agar memperhatikan wilayah rawan
longsor dan perubahan tata air yang baru, pemberian IMBB haruslah untuk bangunan-bangunan dengan konstruksi
tahan gempa ataupun dalam upaya mitigasi bencana. Skenario ini sudah seharusnya menjadi bagian integral dari
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta disusun berdasarkan kondisi pasca bencana dan pola
bencana saat ini, situasi iklim dan pola hubungan sosial dimasyarakat.

Akhirnya sebagai satu kesatuan, program penanganan bencana yang dilakukan WALHI Jogjakarta adalah
sebuah proses belajar untuk menghantarkan masyarakat menjadi subyek dalam penanganan bencana.
Masyarakat harus memiliki daya krisitis dan kemandirian untuk mengorganisir dirinya dalam memahami
kerentanan wilayah Indonesia sebagai wilayah hidupnya, mereka juga harus dipersiapkan dalam menangani dan
mengurangi risiko sekaligus memperjuangkan hak-haknya atas kehidupan yang bermartabat pasca bencana.
Program ini diarahkan pula untuk mendorong pemerintah mengadopsi skenario kerentanan lingkungan dalam
kehidupan bernegara dan kebijakannya. Agar jauh sebelum bencana terjadi, kesiapsiagaan telah terbangun dan
seminimal mungkin kita dapat mengeliminir risiko yang mungkin timbul dari sebuah bencana.

LAPORAN KEUANGAN WALHI DIY


PERIODE Februari 2006 - Februari 2007

Penerimaan :

1 Eksekutif Nasional WALHI untuk Program Internal Tahunan 128,714,500


2 Respon Gempa Jogja :
Eksekutif Nasional WALHI - Relief & Recovery 16 Dusun di Bantul 648,725,000
Eksekutif Nasional WALHI - Advokasi Penanganan Bencana Gempa 151,740,000
Eksekutif Nasional WALHI - Legal Action Gempa Jogja 80,000,000
NZ AID - Recovery Gempa Jogja 644,448,000
OXFAM GB 271,170,000
GTZ GLG 23,100,000
3 X Minus Y (Kampanye TNGM) 16,263,730
4 Sumbangan Jaringan ED Walhi 27,451,750
5 Sumbangan Publik Gempa Jogja :
Mahasiswa PA Cakrawala Jakarta 1,019,000
Masyarakat Meulaboh Aceh 11,500,000
Personal 1,750,000
Jumlah Total Penerimaan 2,005,881,980

Pengeluran :
I Program Internal :
a Kawasan Merapi 28,182,950
b Kawasan Menoreh 1,750,000
c Kawasan Pantai Selatan 13,230,350
d Kawasan Perkotaan 625,000
e Sekretariat (Telpon, Listrik, Email, Koran, RT dll) 30,060,000
f Support Jaringan 8,750,000
g Program Shalink 20,013,000
h Operasional cost 47,400,000
II Program Disaster :
a Emergency Respon Gempa 27 Mei 2006 487,064,050
b Relief & Recovery 16 Dusun - Eknas
LBM 136,500,000
SETAM 165,750,000
LABH 102,750,000
Mapalaska 22,500,000
Mapala STTL 65,000,000
Yasanti 35,250,000
Mitra Tani 35,250,000
Lessan 35,250,000
ED Walhi - Data Base & Kampanye 50,475,000
c Recovery Gempa Jogja 2 Desa - NZ AID 466,720,000
d Advokasi Kebijakan Gempa Jogja 151,740,000
e Legal Action Gempa Jogja 48,800,000
f Emergency Respon Angin Puting Beliung 1,375,000
Jumlah Total Pengeluaran 1,804,424,050

Saldo Dana :
Kas 2,191,400
Bank 199,266,519
Total Saldo Dana 201,457,919
Kata Mereka tentang WALHI JOGJAKARTA

Melihat bagaimana WALHI Jogjakarta berproses menjadi organisasi publik, sama arti dengan melihat
seberapa dekat publik mengenal WALHI. Karena itu, redaksi ToeGoe, berkeliling Jogjakarta,
menemui berbagai kalangan, bertanya dan mengupas pandangan publik terkait apa yang mereka ketahui
tentang WALHI Jogjakarta dan bagaimana mereka menilai kinerjanya di tahun 2006.

Kalangan Pemerintahan

Prof. Dr. Sudarmadji, M.Eng (Kepala Bapedalda DI Jogjakarta) menegaskan bahwa dirinya telah lama
mengenal WALHI. Bahkan diakui, sejak dirinya belum menjabat Kepala Bapedalda, gaung WALHI sudah lama
didengar olehnya, mengingat banyaknya pemberitaan media-media terkait aktivitas WALHI selama ini.
“Sebelum tahun 2005, saya sudah tahu kalau di Jogjakarta ada WALHI”, Ungkapnya. “WALHI merupakan
mata, telinga lingkungan di luar birokrasi. Sehingga suara tentang permasalahan lingkungan yang diteriakkannya
kepada pemerintah seyogyanya didengar, karena itu kebutuhan yang mendasar”.
Ketika ditanya seputar kinerja WALHI Jogjakarta ditahun 2006, Sudarmadji berpendapat bahwa 2 tahun
terakhir ini WALHI mengalami peningkatan. Menurutnya diplomasi yang dimainkan WALHI dalam penyampaian
tuntutan maupun desakan kepada pemerintah semakin bagus. Meski keras, namun penyampaian WALHI semakin
baik karena berbekal validitas dan akurasi data. Walaupun dalam beberapa hal pihaknya sering tidak sepakat
dengan WALHI, namun proses dialog terus terjalin.
“Komunikasinya sangat bagus, secara otomatis itu akan mendukung, karena sebagai mitra kerja kita harus
lebih bisa menerima, kalau tidak ya gimana kita bisa kerjasama”. Ini dianggap penting mengingat dapat menunjang
langkah WALHI Jogja kedepan guna meraih posisi tawar dikalangan masyarakat secara umum dalam
memperjuangkan lingkungan yang sehat.

Walikota Jogjakarta H. Herry Zudianto, SE ketika ditemui di ruang kerjanya menuturkan “Saya mengenal
WALHI sejak saya menjabat sebagai kepala pelayan masyarakat (walikota) Jogjakarta. Bagi saya WALHI sangat
erat dengan isu lingkungan, dimana untuk saat ini isu lingkungan menjadi isu global. Sebagai forum NGO yang
fokus terhadap permasalahan lingkungan, isu dan agenda kegiatan yang ditangani WALHI Jogjakarta sudah
jelas”.
Harapannya kedepan adalah WALHI bisa menjadi mitra pemerintah yang sejajar, tidak terkooptasi dan
tidak meninggalkan sikap kekritisannya.
“Melalui akuntabilitas dan transparansi, saya melihat perlu ada pembagian peran. Karena itu merupakan
suatu hal yang positif, ketika WALHI membuka ruang kepada masyarakat untuk berperan dalam penanganan isu
lingkungan. Lingkungan milik semua masyarakat, sehingga pada penanganan berbagai permasalahan WALHI
diharapkan mampu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak”.

Hal senada diungkapkan pula oleh Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Jawa,
Sudarsono, SH, “Kami kenal betul dengan WALHI dan kami saling menghormati komitmen masing-masing. Meski
dalam beberapa agenda kami saling bertolak belakang, namun kami menyadari bahwa hal tersebut merupakan
proses ideal yang harus dihadapi oleh kedua belah pihak atas dasar komitmen masing-masing. Hal tersebut
sangat wajar, mengingat kompleksitas masalah muncul dan perbedaan sudut pandang yang ada”.
Sudarsono menyadari bahwa sejauh ini WALHI merupakan partner yang sangat berpengaruh. Bersama
keduanya sering menangani krisis-krisis pengaduan lingkungan dari sejak PPLH didirikan. Pasca gempa 27 Mei
2006, PPLH Regional Jawa dan WALHI Jogjakarta bahkan terlibat dalam kegiatan yang sama dalam skala
regional, seperti Trauma Healing pasca gempa, konsultasi seputar permasalahan lingkungan, hingga talkshow
dalam Stasiun TV maupun Radio.
Mengenai kinerja WALHI Jogja selama tahun 2006, diungkapkan bahwa WALHI memiliki kekhasan dalam
melakukan advokasi lingkungan, yakni lantang dalam menyuarakan permasalahan yang ada. Tetapi sejauh ini
penyampaian yang lantang itu, masih proporsional dan masih di jalur yang benar.
Pihaknya menaruh harapan yang besar kepada WALHI dimasa mendatang untuk memiliki jati diri dalam
mengelola konflik seputar isu lingkungan. Guna mencapai harapan tersebut, WALHI harus lebih kritis dalam
menyampaikan tuntutan kepada pemerintah dan tetap memperjuangkan secara proporsional, menghindari hal-hal
yang dapat menimbulkan fitnah, memperjuangkan sesuai dengan hati nurani dan menghindarkan segala bentuk
kekerasan dalam menunjang perjuangannya.

Shalink dan Anggota WALHI Jogjakarta


Ahfi Wahyu Hidayat, Koordinator Sahabat Lingkungan (Shalink) tahun 2006 mengaku mengenal WALHI
mulai awal tahun 2005.
“Awalnya hanya sekedar tahu saja, tapi kemudian mengenal WALHI secara menyeluruh ketika bergabung
dengan Shalink pada awal bulan februari 2005”. Sebagai seorang volunteer yang terorganisir dalam Shalink,
Wahyu menilai tahun 2006 terbilang tahun yang sangat sulit buat WALHI Jogjakarta. Banyak kasus yang
membutuhkan perhatian lebih, tetapi kemudian harus sedkit terbengkalai akibat bencana Erupsi merapi dan
Gempa Bumi 27 Mei.
“Belum maksimal, tapi sudah cukup bagus”, Jelas Wahyu. Pengorganisasian masyarakat di desa
dampingan pasca gempa misalnya, masih belum terkoordinasikan dengan maksimal, belum terjalin ikatan ideologis
antara masyarakat dampingan dengan WALHI. Namun begitu pola koordinasi yang terjalin di beberapa kawasan
lain justru menunjukkan hal positif. Masyarakat di kawasan pantai selatan dan merapi umumnya sudah melihat
bahwa WALHI adalah bagian dari mereka.
Mengingat banyaknya isu yang terbengkalai akibat penanganan bencana, Wahyu menilai harus ada
perbaikan ditingkat koordinasi. “WALHI sebagai forum tidak bisa lepas dari anggotanya, harus ada perbaikan di
tingkat koordinasi dengan anggota, pembagian kerja, membentuk pola hubungan kerja yang harmonis, agar
mampu meningkatkan hubungan emosional antar anggota yang nantinya berpengaruh besar dalam menunjang
kinerja WALHI”

Andreas Subiyono, Direktur Sheep (Anggota WALHI Jogjakarta), yang juga mantan anggota dewan
nasional WALHI tahun 1999-2005, mengaku mengenal WALHI sejak awal tahun 1990, pada waktu itu WALHI
tengah getol-getolnya mengusung isu lingkungan dalam taraf konservatif, perlindungan lingkungan hingga satwa
dan belum pada taraf advokasi seperti sekarang. Meskipun hanya mengetahui isu WALHI dalam skope nasional,
namun dirinya menilai selama ini WALHI Jogjakarta sudah banyak menjamah persoalan advokasi lingkungan
seperti tata ruang dan kasus pencemaran.
Menyinggung soal kinerja WALHI pada tahun 2006, Andreas menyoroti pada hal respon bencana.
Menurutnya WALHI sebagai forum NGO pada advokasi lingkungan seharusnya lebih fokus dalam supporting
system daripada harus terjun langsung melakukan upaya teknis seperti distribusi bantuan.
“Posisi WALHI seharusnya lebih pada mengawal proses pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan
penanganan bencana, mengkoordinasikan anggota WALHI, dan memberikan perspektif kebijakan yang pro-
rakyat”. Ujarnya. Posisi strategis WALHI dalam penanganan bencana seharusnya lebih pada fungsi monitoring
kebijakan pemerintah dan anggota dalam mengimplementasikan respon terhadap bencana, dan support data yang
kuat untuk supply informasi yang dapat menunjang kerja anggota.
“WALHI harus kembali pada mandat, sebagai organisasi masyarakat sipil yang fokus pada persoalan
advokasi, ia harus kembali pada porsinya”. Tambah Andreas.

Sigit Widdiyanto, Direktur Kappala Indonesia sekretariat Jogjakarta, menyatakan dirinya sangat mengenal
WALHI. “Saya mengenal WALHI karena lembaga saya salah satu anggota WALHI Jogjakarta. Selain itu karena
banyak kesamaan visi- misi antara Kappala dengan WALHI”, Ujarnya.
Ketika diminta berkomentar tentang kinerja WALHI Jogjakarta di tahun 2006, pria yang akrab dipanggil
Gendon ini menyatakan bahwa ada beberapa agenda kegiatan WALHI yang terbengkalai akibat Gempa 27 Mei
silam. Dirinya menambahkan hal tersebut tidak bisa sepenuhnya disalahkan, mengingat respon terhadap bencana
Gempa bisa jadi suatu kewajiban bagi siapapun tidak terkecuali WALHI sendiri. Apalagi WALHI dalam
kacamatanya memiliki potensi dan sumber daya untuk melakukan respon tersebut. Akan tetapi, hal itu tidak berarti
bahwa semua terkonsentrasikan dalam menangani bencana dan melupakan kegiatan yang sudah terencana
sebelumnya.
“Seharusnya program yang sudah terencana jauh- jauh hari tetap dapat berjalan meskipun terkendala oleh
penanganan bencana. Dalam hal ini WALHI Jogjakarta belum siap, bagaimana ketika ada bencana, program-
program telah disusun sebelumnya bisa tetap berjalan” Imbuhnya. “WALHI kedepan, harus lebih kembali pada
khitohnya, visi- misi tetap, jika ada masalah bukan berarti kendala”.
Ditambahkan Sigit, WALHI Jogjakarta kedepan harus bisa menjadi barometer, bagi WALHI di daerah lain
dalam penanganan bencana, mengingat Jogjakarta menurutnya adalah lapangan yang pas untuk belajar soal
bencana. Dirinya, optimis hal tersebut bisa terwujud kalau WALHI Jogjakarta juga melakukan peningkatan
kapasitas internal baik lembaga maupun personal soal penanganan bencana.

Budayawan dan Masyarakat Umum

“Saya merasa cukup bisa tahu mengenai persoalan lingkungan, karena bergaul dengan teman-teman dari
WALHI” ujar Romo Tirun, seorang budayawan Jogjakarta mengenai WALHI ketika ditemui di pagelaran kraton.
Dirinya mengaku banyak dibantu oleh WALHI dalam hal informasi mengenai isu-isu yang berkaitan langsung
dengan lingkungan. Karena itu, pemerintah sudah sepantasnya menjadikan WALHI sebagai mitra dalam
mengeluarkan kebijakan yang terkait langsung dengan persoalan lingkungan.
Mengenai kerja-kerja WALHI Jogjakarta ditahun 2006, Romo Tirun menuturkan secara umum sudah
bagus namun yang terpenting bagaimana masyarakat lebih bisa mengenal WALHI. Artinya tidak cukup WALHI
bekerja dalam tataran advokasi, namun perlu juga memprogramkan kegiatan-kegiatan yang menyangkut
kepentingan masyarakat banyak berkaitan dengan lingkungan hidup.
Romo Tirun memandang pentingnya WALHI untuk melakukan pendampingan kepada masyarakat secara
langsung dalam hal-hal seputar pengelolaan limbah, sumur resapan terkait dengan cadangan air yang ada di jogja,
pengaturan-pengaturan dalam permasalahan air dan mendorong masyarakat untuk mementingkan kearifan lokal.
Menyoal penanganan bencana gempa Mei silam, budayawan ini menambahkan pentingnya WALHI
melakukan kajian-kajian yang berkaitan dengan masalah gempa, untuk memberikan informasi dan mengajak
masyarakat untuk memahami lebih jauh masalah gempa.

Jumakir (61), asal Kabupaten Bantul mengaku mengenal WALHI Jogjakarta, saat WALHI pindah kantor ke
Jalan Hayam Wuruk, dua tahun silam. Bapak yang sehari-hari bekerja mengayuh becak dan biasa mangkal di
sekitar stasiun Lempunyangan tampak antusias ketika ditanyai soal WALHI.
Menurutnya WALHI adalah semacam lembaga yang kerjanya di bidang lingkungan, WALHI juga bergerak
menangani kasus-kasus tanah yang bermasalah.
“Saya jadi lebih tahu tentang WALHI setelah terjadinya gempa di Jogjakarta Mei yang lalu. WALHI
mempuyai peranan yang cukup besar dalam penanganannya, terutama distribusi bantuan. Saya melihat secara
langsung hiruk pikuk dan ramainya truk bermuatan barang-barang bantuan yang hilir mudik di depan kantor WALHI
juga para relawan yang sangat ramai pada saat itu”.
Mengenai harapannya terhadap WALHI kedepan, Jumakir menyatakan tanggap cepat terhadap
persoalan bencana terkait dengan penanganan dan penyaluran bantuan harus dipertahankan. Dimana ada
persoalan bencana, WALHI harus bergerak cepat dalam menanganinya, apalagi akhir-akhir ini banyak terjadi
bencana di negeri ini.

Maharsi Wahyukinasih (17), mengaku mengenal WALHI setelah dirinya turut andil dalam program Green
Student Movement (GSM) yang dijalankan Sahabat Lingkungan. Menurut penuturan gadis yang akrab dipanggil
Kin-Kin ini, “WALHI itu organisasi yang bergerak dalam penyelamatan dan pelestarian lingkungan tetapi dia lebih
ke hukum, advokasi gitu tepatnya”.
Mengenai kinerja WALHI Jogja di tahun 2006, gadis yang masih duduk dibangku kelas 11 IPA 3 SMA
Negeri 3 Jogjakarta ini menuturkan bahwa dirinya sebenarnya kurang begitu paham, karena baru saja ikut
bergabung dengan aktivitas di WALHI. Tetapi diungkapkan Kin-Kin bahwa dalam hal menginisiasi konsep GSM,
WALHI masih belum maksimal. Ada ketidakmatangan konsep dan koordinasi. Kin-Kin bersama teman- temannya,
mengaku belum begitu jelas mengenai konsep gerakan environmentalis muda yang hendak diangkat WALHI dan
Sahabat Lingkungannya.
“WALHI kedepan, supaya bisa lebih bisa professional dalam mengkonsepkan sesuatu. Aku optimis WALHI
Jogjakarta bisa mengatasi hal tersebut”. Ujarnya seraya memberikan PR bagi WALHI di masa mendatang. Ia juga
menambahkan bahwa WALHI kedepan sebaiknya lebih sering melibatkan pelajar dalam setiap gerakan
lingkungan. Gali potensi sangat penting dilakukan pada usia pelajar, mengingat umumnya diusia remaja mereka
masih awam soal lingkungan hidup, jika mereka paham nantinya pasti akan timbul kepedulian untuk
menyelamatkan lingkungannya.

Liputan Relief & Recovery


Hidup Menyatu, Membaur dengan Masyarakat
Minggu (03/03/2007) Lebih dari setengah tahun gempa bumi di Jogjakarta dan Jawa Tengah berlalu,
reruntuhan bangunan mulai hilang, rumah-rumah bambu yang menjadi hunian sementara masyarakat, perlahan
berganti rumah beton baru.
“Sayangnya belum semua menerima dana rehab rekons, rumah beton baru yang dibangun pun belum
sepenuhnya selesai, jadi sebagian besar masyarakat masih menempati rumah gedheknya” tutur seorang tokoh
masyarakat menyambut kedatangan redaksi ToeGoe. Pagi itu, bersama keceriaan masyarakat melaksanakan
pembangunan kembali, kami memulai liputan di Desa Terong Kecamatan Dlingo dan Desa Seloharjo Kecamatan
Pundong yang merupakan dua desa dampingan Walhi Jogjakarta untuk program recovery berbasis masyarakat.
Sejak Tanggap Darurat

Desa Terong dan Desa Seloharjo meskipun terletak di kecamatan berbeda, namun keduanya merupakan
bagian dari Kabupaten Bantul, wilayah dengan kerusakan terparah akibat gempa bumi 27 mei 2006 silam.
Kehadiran Walhi Jogjakarta sendiri di kedua desa ini dimulai sejak fase tanggap darurat (emergency respon).
Bersama partisipannya, Walhi Jogjakarta melihat persoalan penanganan korban gempa semasa
emergency respon utamanya terkait pemenuhan 5 kebutuhan dasar masyarakat yang terkena gempa di kedua
desa ini masih sangat bermasalah. Apalagi, ada wilayah dusun yang terpencil, yang biasanya tidak mendapatkan
distribusi bantuan secara merata, karena bantuan biasanya hanya terpusat dikecamatan atau kelurahan.
Di Desa Terong, pendampingan Walhi untuk penanganan bencana hadir beberapa hari pasca gempa,
ketika relawan Walhi membangun pos pengungsian untuk 21 kk kelompok Dongdhe di Dusun Pancuran. Melalui
pos pengungsian ini, distribusi bantuan untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang terkena gempa
dilakukan dengan memberikan bantuan pangan, terpal untuk hunian semantara, jeringen dan MCK darurat, hingga
pelayanan kesehatan berupa trauma hilling dan supplementary feeding.
Pasca emergency respon, penanganan bencana di desa ini dioptimalkan melalui resovery proses berbasis
masyarakat yang dilaksanakan oleh Lembaga Budaya Masyarakat (LBM) selaku partisipan Walhi Jogjakarta.
Berdasarkan pendataan awal yang dilakukan diketahui sebagian besar rumah di diwilayah ini mengalami
kerusakan yang cukup parah. puing-puing runtuhan bangunan masih terlihat jelas berserakan disetiap rumah
masyarakat. Masyarakat saat itu ada yang sibuk membersikan puing-puing yang berserakan, tetapi banyak pula
yang masih enggan membersihkan reruntuhan rumahnya. Mereka lebih memilih untuk berkonsentrasi
mendapatkan kebutuhan pokok terutama pangan dari pada harus membersihkan rumah, ditambah lagi rasa trauma
yang dalam akibat gempa yang belum hilang. Melaui proses kunjungan informal ke beberapa tokoh masyarakat
disepakati untuk melakukan rembug kampung guna menyusun kegiatan pasca gempa.
Dalam rembug kampung itu kemudian disepakati beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan oleh
masyarakat bersama LBM yaitu :
1. Kegiatan bersih kampung, karena masih banyak rumah masyarakat yang masih belum dibersihkan
2. Support material secara merata untuk pembangunan shelter untuk 212 kk masyarakat dusun Pancuran
3. Pembangunan 13 shelter contoh untuk masyarakat yang kurang mampu dan kelompok rentan
4. Pembangunan drainase contoh di Dusun Pancuran
5. Pembangunan sarana air bersih dan mck komunal dengan memanfaatkan sumber mata air yang terdapat di
desa Terong
6. Pembangunan pusat pertemuan masyarakat yang juga dilengkapi dengan papan informasi
7. Pelayanan kesehatan yang dilakukan melalui kerja sama dengan pukesmas, pos yandu setempat dan lembaga
partisipan Walhi untuk mendorong terpenuhinya kebutuhan layanan kesehatan pasca gempa.

Sama seperti kehadirannya di Desa Terong, keberadaan Walhi Jogjakarta di Desa Seloharjo juga dimulai
sejak masa emergency respon. Walhi Jogjakarta secara intens melakukan respon dengan mendistribusikan terpal
dan bahan makanan ke desa ini. Dari pantauan para relawan, pada hari ke-4 paska gempa, diketahui bahwa ada
beberapa NGO yang melakukan cash for work di beberapa desa sekitar Seloharjo dengan membayar masyarakat
sejumlah Rp. 28.000,-/hari untuk membersihkan sarana MCK mereka sendiri. Kesadaran bahwa cash for work
dapat merusak kultur kegotongroyongan masyarakat, mendesak Walhi untuk segera melakukan intervensi dengan
menempatkan relawan medis dan relawan dari PAAS Surabaya di desa Panjang Rejo (desa tetangga Seloharjo).
Keberadaan para relawan ini diarahkan untuk menetralkan masyarakat Seloharjo dan Panjang Rejo dari praktek
cash for work dan agar masyarakat tetap bertumpu pada kegotongroyongan yang menjadi nilai-nilai lokal
masyarakat setempat.
Semasa intervensi inilah, relawan Walhi menemukan dusun Sorotopo di Desa Seloharjo, yang letaknya
terpencil, relatif jauh dari pusat desa dan masih murni dari pratek cash for work. Dusun ini kemudian dipandang
cukup potensial untuk memulai intervensi langsung Walhi ke wilayah Desa Seloharjo dalam jangka panjang.
Apalagi dusun ini sangat minim aksesnya terhadap bantuan pasca gempa, sehingga keberadaan relawan Walhi di
dusun ini diharapkan juga dapat menjadi saluran bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat di dusun ini.
Dimulai dengan pembangunan dapur umum di Dusun Sorotopo, penanganan pasca gempa kemudian
meluas ke wilayah dusun lain di Desa Seloharjo. Saat memasuki fase selanjutnya, program recovery berbasis
masyarakat dilaksanakan untuk mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang telah dilakukan.
Melalui proses rembug dan pemetaan bersama telah berhasil disusun program pembangunan kembali pasca
gempa sebagai berikut :
1. Bersih kampung
2. Support material untuk pembangunan Shelter secara merata untuk 61 kk di Dusun Sorotopo
3. Pembangunan drainase contoh di Dusun Sorotopo
4. Pembangunan sarana air bersih dan mck di Dusun Sorotopo, Geger dan Dongbiro dengan memanfaatkan
potensi sumber mata air yang ada
5. Rehabilitasi Masjid sebagai bagian pemulihan pusat pertemuan masyarakat. Rehabilitasi masjid ini juga
dilengkapi dengan pembuatan papan informasi
6. Pelayanan kesehatan bekerja sama dengan kader pos yandu setempat dan lembaga partisipan Walhi
Jogjakarta untuk melaksanakan pemeriksaan kesehatan, PMT dan trauma hilling

Bersama, program recovery didua desa ini dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat
dari proses perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan kembali. Pendampingan dan gotong royong
kemudian menjadi hal yang utama dalam program ini.

Bersama Masyarakat

Iwang Deliyanto dan Heri Widodo adalah dua tenaga pendamping masyarakat secara khusus melakukan
pendampingan di Desa Terong dan Desa Seloharjo. Pada kesempatan yang berbeda, keduanya bercerita tentang
pendampingan yang selama ini dilakukan.
“Kami disini mbatih, hidup berbaur dengan masyarakat, sehingga kami bisa memahami berbagai karakter
mereka. Dalam berbagai kesempatan seperti rembug masyarakat dan gotong royong, pemahaman kami akan
karakter masyarakat sangat membantu proses komunikasi kami dengan mereka” ujar Heri Widodo. “Apalagi
masyarakat cukup terbuka dan menyambut kehadiran saya. Mereka sangat baik, saya selalu disambut hangat,
saya bahkan sudah dianggap seperti saudara sendiri” tambah Heri.
Tidak kalah dengan Heri, bagi Iwang Deliyanto, rumah ketua RT 02 di Dusun Pancuran sudah seperti
rumah sendiri. “Pak RT dan Mak (Istri Pak RT) sudah seperti orang tua sendiri. Dimulai dari rumah inilah
pendampingan saya lakukan dan hasilnya cukup efektif, karena rumah ini biasa dipakai sebagai tempat pertemuan
tingkat desa, dusun hingga KSM, sehingga dengan mudah saya bisa kenal dan membaur dengan masyarakat dan
tokoh-tokoh kunci di Desa Terong” ungkap Iwang.
Sederhana tetapi efektif, ketika para pendamping hidup berbaur dengan dampingannya, mereka melebur menjadi
satu dengan keberadaan hidup masyarakat, bisa sangat sederhana atau bahkan penuh keterbatasan, tetapi
sebagaimana disampaikan Heri dan Iwang cara ini sangat efektif untuk memahami karakter masyarakat, sehingga
dengan tepat mereka bisa mengkomunikasikan pesan pendampingan terkait pembangunan kembali pasca gempa,
mulai dari pemetaan kampung untuk mendata berapa besar kerugian dan korban yang timbul akibat bencana,
mengorganisir masyarakat mengelola bantuan, bergotong royong untuk pembangunan kembali dan pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat pasca gempa.

Capaian Program

Kini memasuki tahun 2007, beberapa bulan setelah program ini dilaksanakan, masyarakat di desa Terong
dan Seloharjo telah masuk babak baru, pembangunan kembali. Saat kunjungan redaksi ToeGoe di kedua desa ini,
tampak semangat dan optimisme diwajah masyarakat.
Di Desa Terong dengan dukungan masyarakat telah berhasil dilakukan supporting gedhek, bambu, paku
untuk 212 kk dan pembangunan 13 shelter contoh di 3 wilayah RT di Dusun Pancuran Desa Terong. Selain itu
juga telah dibangun 8 sarana mck komunal, 14 bak tampungan air bersih dan drainase contoh diberberapa titik di
Desa Terong. Sarana mck dan air bersih ini sebagian sudah ada yang beroperasi dan sebagian lagi sedang dalam
tahap penyelesaian. Di Desa ini juga telah terbangun pusat komunikasi masyarakat yang dilengkapi dengan
sarana perpustakaan dan papan informasi.
Sedang di Desa Seloharjo sejauh ini melalui kegotongronyongan dengan masyarakat, juga telah berhasil
dilakukan support material gedhek, bambu, genteng dan paku untuk 61 kk di Dusun Sorotopo, juga dilakukan
rehabilitasi masjid, pembuatan papan informasi dan drainase contoh. Untuk pembangunan sarana mck komunal
dan air bersih sejauh ini telah berhasil dilaksanakan pembangunan 7 unit sarana mck komunal, 7 watertorn dan 1
bak tampungan air bersih.
Karena karakteristik wilayah kedua desa ini adalah perbukitan kapur (Karst) maka pembangunan sarana
air bersih ini dilakukan untuk pemanfaatan sarana mata air yang cukup tersedia dikawasan ini, dengan ikut pula
memanfaatkan sarana jet pump atau gravitasi wilayah dalam penyaluran air ke masyarakat.
Selain itu pula dikedua desa ini dilakukan pelayanan kesehatan yang meliputi pemeriksaan kesehatan,
PMT dan trauma hilling serta peningkatan kapasitas masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan, seperti
penyuluhan tentang apa itu gempa, bagaimana menyelamatkan diri dari gempa, penyuluhan pemanfaatan obat
tradisional dan pangan lokal serta pelatihan-pelatihan teknis lain terkait dengan penguatan intitusi yang ada
dimasyarakat baik RT-RW, dasa wisma maupun KSM.
Akhirnya, dengan didukung oleh pengelolaan data base terpadu, program ini dikampanyekan secara luas
kepada kelompok masyarakat lain. Harapannya melalui proses pendampingan, pemenuhan kebutuhan dasar dan
penguatan kapasitas masyarakat pasca gempa, maka daya krisitis dan kemandirian mereka akan terbangun,
sehingga masyarakat memiliki kemampuan untuk mengorganisir dirinya dalam menangani bencana sekaligus
memperjuangkan hak-haknya atas kehidupan yang bermartabat pasca bencana.

Laporan Shalink (Shalink) 2006


Bersahabat dan Berkarya Untuk Lingkungan

Persoalan lingkungan hidup merupakan tanggung jawab bersama dan membutuhkan keterlibatan masyarakat luas.
Percaya bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menyelamatkan lingkungan, maka tanggal 3 Desember 2004,
WALHI Jogjakarta bersama beberapa aktivis lingkungan hidup mendirikan Sahabat Lingkungan (Shalink)
sebagi wadah perkumpulan individu yang berasal dari berbagai spesifikasi keilmuan dan profesi untuk melakukan
kegiatan penyadaran dan penyelamatan lingkungan.

Sepanjang tahun 2006, Shalink WALHI Jogjakarta telah banyak berpartisipasi dalam berbagai kegiatan
penyelamatan lingkungan, bersama WALHI Jogjakarta, Shalink melakukan advokasi lingkungan, menggalang
dukungan publik dan melaksanakan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan popular untuk pelestarian
lingkungan hidup di Jogjakarta. Kerja nyata Shalink ditahun 2006, dilakukan dengan satu pesan utama “Mari
bersahabat dan berkarya untuk penyelamatan lingkungan”

Sejak dilaksanakannya mubes Shalink I pada tanggal 31 Januari 2006, secara struktural mekanisme
keorganisasian dan program kerja Shalink telah memiliki pola, seperti adanya visi dan misi, program kerja dan
beberapa divisi yang merupakan hasil kesepakatan bersama pada mubes. Isu utama yang diusung oleh Shalink
adalah Daur Ulang, Agama dan Lingkungan, Perkotaan dan Pendidikan Lingkungan.

Untuk mengawal empat isu pokok ini, maka disusun rancangan kegiatan dalam tiap divisi yang bertujuan
untuk mengkampanyekan lingkungan melalui berbagai program yang telah disepakati berdasarkan mubes 2006.
Diawali dengan pengembangan sumber daya manusia (capacity building), Shalink merencanakan beberapa
kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas anggota sebagai berikut : diskusi
mingguan (Sunday afternoon) dengan mengundang berbagai narasumber dari berbagai kalangan, training
fasilitator, training jurnalistik dasar, training produksi film, training disaster management, outbond trainner for
shalinkers, roadshow ke beberapa anggota dan jaringan WALHI Jogjakarta dan training GIS.

Sementara itu, untuk menggalang dana serta memperoleh dukungan publik bagi perjuangan dan
penyelamatan lingkungan, Shalink melalui divisi penggalangan dana publik merencanakan program-program
penting diantaranya, manajemen koran WALHI, fundraissing ke anggota dan jaringan WALHI dengan mengajak
anggota-anggota WALHI untuk ikut peduli dalam menyumbangkan koran atau barang-barang yang berguna
kemudian dikelola oleh PSDDP (Penggalangan Sumber Dana & Dukungan Publik) Shalink, melakukan Canvassing
publik (penggalangan dana publik dengan sistem door to door) dan kotak lingkungan untuk membidik dana
perorangan dari semua kelas sosial dan ekonomi. Kotak ini memberikan peluang kepada setiap orang untuk
mendukung gerakan lingkungan melalui sumbangan dalam bentuk uang. Bentuk kegiatan lain untuk menggalang
dana publik adalah dengan metode bantingan atau lebih dikenal dengan sebutan patungan dilakukan jika ada
event atau kegiatan tertentu atau saat pertemuan Shalink, targetnya adalah anggota atau peserta maupun tamu
pada saat event itu berlangsung.

Kampanye lingkungan sebagai bagian mentransformasikan dan mewacanakan isu lingkungan kepada
publik oleh divisi kampanye Shalink melalui beberapa media dan kegiatan sebagai berikut : talkshow “Sahabat 99”
di Radio Vedac FM, Roadshow “School to school” dengan sasaran memperkenalkan Shalink kepada siswa SD,
SMP, SMU melalui media film, pameran, diskusi ataupun bedah buku. Pembuatan Shalink Card atau kartu anggota
juga dilakukan oleh divisi ini guna memperkuat sistem kerelawanan Shalink, yang berfungsi juga sebagai identitas
anggota Shalink. Selain itu dilakukan pula, pembuatan stiker, poster, pamflet dan leaflet untuk mendukung media
kampanye lingkungan.
Tim lain untuk mendukung gerakan lingkungan Shalink adalah tim pendidikan popular. Tim ini menyusun
program di tahun 2006 meliputi pendidikan lingkungan sekolah dasar (PLSD), pembinaan diklat pramuka siaga
dan penggalang serta lokakarya lingkungan hidup bagi pembina pramuka.
Hambatan dan Capaian Penting Shalink

Pada pelaksanaannya, tidak semua rencana program dapat berjalan dengan baik, karena berbagai
kendala dan hambatan yang terjadi secara internal maupun eksternal. Masalah-masalah internal mendasar dan
klasik, seperti tidak aktifnya pengurus atau anggota merupakan persoalan yang sangat sulit dihindari dan menjadi
hambatan shalink dalam melakukan aktifitas. Akibatnya ditahun 2006, Sha-link mengalami bebeberapa pergantian
pengurus. Hal ini terjadi karena sebagian besar pengurus dan anggota Shalink adalah Mahasiswa dari luar kota
Jogjakarta. Setelah kuliah mereka selesai, mereka kembali ke daerahnya masing-masing. Disamping itu, sifat
kerelawanan dan ikatan komitmen pribadi dalam Shalink dipansang sangat sukar untuk mengikat komitmen
seseorang dalam jangka panjang. Apa yang bisa membuat beberapa teman Shalink terus konsisten selama ini
adalah adanya media berekspresi dan ikatan persahabatan antar anggota.

Secara eksternal, gempa bumi yang terjadi pada 27 Mei 2006, merupakan faktor luar biasa yang
mempengaruhi kinerja Shalink. Penanganan pasca gempa ini, berdampak pada perubahan dinamika kerja di
Eksekutif Daerah Walhi Jogjakarta dan secara langsung sangat mempengaruhi Shalink, karena pada dasarnya
Shalink adalah bagian dari ED Walhi Jogjakarta.

Berikut ini adalah beberapa progam kerja yang terlaksana dengan baik :

Pendidikan Lingkungan Sekolah Dasar (PLSD)

PLSD merupakan aktifitas yang dikerjakan oleh Shalink bersama Sanggar Anak Bumi Tani Jogjakarta.
PLSD dilakukan atas dasar minat, sekaligus memberi kesempatan bagi anggota Shalink untuk berekspresi, belajar
mengorganisir dan memfasilitasi anak-anak dalam pendidikan lingkungan.

PLSD dilaksanakan setiap minggu pada hari kamis, jumat dan sabtu di pukul 09.00 dan 11.00 Wib.
Kegiatan ini dilakukan dengan mengajar dan mengisi materi pelajaran di kelas 4, kelas 5 dan kelas 6 di SD Rajek
Lor, selama kurang lebih 1 tahun hingga mulai agustus 2005 hingga agustus 2006.

Capaian yang dihasilkan selama ini, paling tidak banyak dirasakan anggota Shalink secara pribadi, adalah
peningkatan kapasitas dan tambahan pengalaman berharga. Anggota yang aktif dalam PLSD, pernah
merencanakan pembuatan modul hasil refleksi mengajar selama setahun. Modul tersebut, saat ini telah rampung
sekitar 70% dan masih berupa soft copy kompilasi hasil refleksi pengalaman anggota Shalink.

Pendidikan Kepramukaan (PK)

Pendidikan Kepramukaan, didasari ide dan keinginan untuk membuat ekstra kurikuler bagi anak-anak SD
yang selama ini belum memiliki kegiatan. Dimotori oleh Abdul Azis, kegiatan ini dilaksanakan setiap minggu pada
hari Jumat jam 15.00 Wib. Program ini sempat terlaksana sekitar 6 bulan, akan tetapi menemui hambatan ketika
SDM yang berkompeten menangani program ini sangat terbatas.

Usaha untuk melanjutkan kegiatan ini dilakukan dengan menggalang dukungan beberapa sahabat memiliki
kemampuan dibidang pramuka seperti Iis, Martini dan dua sahabat dari APMD Jogjakarta. Namun akibat gempa
27 Mei, program kembali terhenti. Saat ini, untuk mengganti kegiatan pendidikan kepramukaan, setiap jumat
dilakukan kegiatan menggambar bersama Ibu Ardiati dari Sanggar Anak Bumi Tani Jogjakarta.

Manajemen Perpustakaan SD Gombang Rajek Lor

Program ini dilatarbelakangi oleh keinginan anggota Shalink untuk membuat laboratorium kecil guna
mendukung proses belajar dalam pendidikan lingkungan sekolah dasar (PLSD), dengan memanfaatkan
perpustakaan di SD Gombang Rajek Lor yang sudah lama tidak terpakai. Shalink bersama Sanggar Anak Bumi
Tani, kemudian melakukan pendataan buku-buku dan menata kembali ruang perpustakaan agar dapat
dimanfaatkan kembali.

Penggalangan Koran Bekas

Penggalangan koran bekas merupakan upaya Shalink untuk mengukur seberapa besar dukungan publik
bagi perjuangan lingkungan. Tahun 2005, upaya ini pernah dilakukan disekitar Kecamatan Danurejan. Hasil dari
koran-koran bekas yang terkumpul kemudian digunakan untuk membuat surat dari kertas daur ulang terbesar,
yang akhirnya mampu memecahkan Museum Rekor Indonesia (MURI).
Di tahun 2006, upaya ini kembali di wilayah perumahan gambiran baru. Respon masyarakat, sangat
antusias. Namun sayang program ini kembali terhenti pasca gempa 27 Mei 2006.

Road Show ke Anggota Walhi Jogjakarta

Kegiatan ini merupakan bagian dari peningkatan kapasitas anggota shalink untuk lebih mengenal berbagai
isu dan perjuangan yang dilakukan anggota Walhi Jogjakarta. Road Show ini telah dilakukan dengan mengunjungi
Sheep, LKY, SeTAM, Kappala dan PKBI.

Diskusi Saturday Afternoon

Diskusi “Saturday Afternoon” merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan Shalink setiap Sabtu sore,
sebagai upaya peningkatan kapasitas anggota. Berbagai tema pernah dibahas dalam setiap diskusi seperti ;
masalah sampah kota, lingkungan kota Jogjakarta dan diskusi tentang pendidikan lingkungan.

Talk Show “Sahabat 99” di Radio Vedac 99 FM

Talk Show “Sahabat 99” di Radio Vedac FM merupakan bagian dari kampanye lingkungan, yang rutin
dilaksanakan Shalink setiap Senin pukul 16.00-17.00 Wib, semenjak Februari 2006 hingga saat ini. Selain untuk
kepentingan kampanye, media radio sekaligus merupakan media berekspresi dan belajar dari anggota sahabat
lingkugan untuk menjadi MC dan penyiar radio. Dari sebelumnya tidak memiliki MC dan penyiar radio, sekarang
anggota Shalink telah cukup mempunyai kapasitas dibidang tersebut.

Pendampingan Pengolahan Sampah Swa-kelola

Ide awal program pengelolaan sampah swakelola bersumber dari hasil diskusi antara shalink dan
sheep(anggota Walhi) disekitar akhir November 2005. Gayung bersambut, ketika pada tanggal 12 desember 2006,
melalui diskusi pengelolaan sampah dan lingkungan di Ponpes Pandanaran, ibu-ibu paperja dan Yasanti tertarik
untuk bersama-sama melakukan pengelolaan sampah. Dari awal pertemuan di ponpes Pandanaran kemudian
menghasilkan kesepakatan untuk melakukan studi banding ke Sukunan pada 20 Desember 2005 yang diikuti oleh
Ibu-ibu Paperja,Yasanti, Sheep dan Shalink.

Selanjutnya pada 14 Januari 2006 bertempat di Gubug Rembug Lingkungan Walhi Shalink mengadakan
pelatihan komposting dan pembuatan bakteri yang difasilitasi oleh Bima Widjajaputra (Mitra Tani). Pertemuan
tersebut diikuti oleh Ibu-ibu Paperja, Yasanti, Sheep, Masyarakat Gambiran, Masyarakat dampingan sheep dan
menghasilkan kesepakatan untuk melakuan pengelolaan sampah oleh ibu-ibu paperja sekaligus membentuk tim
monitoring program tersebut yang terdiri dari Shalink, Sheep dan Yasanti.
Untuk memperlebar isu sampah, liputan dari hasil diskusi tersebut kemudian di informasikan ke web-site
Walhi nasional. Info di web-site tersebut menarik perhatian banyak kalangan untuk melakukan study banding dan
diskusi tentang pengelolaan sampah. Kampanye – kampanye mengenai isu swa–kelola sampah juga terus
dilakukan melalui talk show di Radio Vedac dan teater sampah yang ditampilkan saat peringatan Hari Bumi 22 April
2006 di Gambiran Baru.
Pertemuan KDLH Walhi Februari 2006, salah satunya menghasilkan resolusi program pengelolaan
sampah sebagai bagian dari isu lingkungan kota, yang melibatkan Yasanti, Sheep, Shalink dan perwakilan
masyarakat. Kesepakatan KDLH juga merumuskan program pelatihan advokasi anggaran bagi ibu Paperja. Namun
sampai sekarang program belum sempat terealisasikan.

Perencanaan dan isu pengelolaan sampah yang awalya berkembang di tingkatan kelompok Paperja
selanjutnya mulai melebar ke tingkatan RT dimana kelompok itu berada. Di Warungboto dan Gambiran yang
sempat dilaksanakan diskusi dan perencanaan bersama-sama masyarakat setempat.

Meski, gempa yang melanda Jogjakarta pada 27 Mei sempat menghentikan perencanaan dan program
kerja yang di susun, namun semangat dan komunikasi untuk terus melakukan pengelolaan sampah tetap terjalin
dengan baik. Perencanaan baru kembali dilakukan awal desember 2006 dengan menyepakati pengadaan tong
sampah baru. Pertemuan selanjutnya diadakan pada bulan Februari untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan
pengelolaan ataupun kendala dan hambatan yang terjadi.

Program Peningkatan Kapasitas dengan Training


Beberapa program training peningkatan kapasitas dapat dilakukan atas kesempatan yang diberikan ED
Walhi Jogjakarta. Selain diskusi Saturday Afternoon, training yang pernah diikuti seperti : Training Produksi Film,
Training Jurnalistik Dasar, Training Disaster Management (dilaksanakan dalam Diskusi Satuarday Afternoon) dan
Training fasilitator.

Aktifitas - Aktifitas Lain

Adapun aktifitas-aktifitas Shalink lainnya yang telah dilakukan sepanjang tahun 2006 adalah Diskusi
”bencana bukan takdir” dilaksanakan pada Minggu 14 Mei di Gedung Teatrikal Tarbiah UIN, Latihan Teater
Bersama, dilaksanakan bulan Maret - April 2006 di Sanggar Debur 21 Bangunjiwo kasongan Bantul, Wisata Alam
Gunung Ampon Bersama siswa-siswi SD Gombang Rajeg Lor dilaksanakan pada Minggu 26 Februari 2006,
Respon bencana Merapi pada bulan Mei 2006, Respon Gempa Bumi 27 Mei 2006, Trauma Hilling masyarakat
pasca gempa dilaksanakan bulan juni-juli 2006, Kunjungan Pendidikan Lingkungan ke MTS LAB UIN pada 16
Agustus 2006, Diskusi Pengelolaan Sampah Bersama Dinas Lingkungan dilaksanakan pada 25 Maret 2006,
Peringatan hari ulang tahun Shalink 3 Desember 2006, Diskusi Refleksi Akhir tahun Kamis 28 Desember 2006.

Rangkaian Aktifitas Program Green Student Movement (GSM)

Diskusi pengenalan program Green Student Movement (Gerakan Muda Hijau) dilaksanakan pada 22
September 2006, diskusi dan buka bersama bareng dan nonton bareng film2 lingkungan pada 25 September 2006,
diskusi pengenalan fotografi Rabu 27 September 2006, diskusi pengenalan shalink dan Walhi Jumat 29 September
2006, pengenalan metode Vibrant Rabu 4 Oktober 2006, diskusi fotografi ke 2 pada Jumat 6 Oktober 2006, hunting
foto Minggu 8 Oktober 2006, evaluasi hunting foto dan diskusi fotografi jurnalistik selasa 8 Oktober 2006 dan
kegiatan kunjungan pendidikan lingkungan Senin 9 Oktober 2006 di LAB.FISIP UPN (bekerjasama dengan HMJ HI
UPN).

Laporan Keuangan Shalink Walhi Jogjakarta

Dalam menunjang kegiatan Shalink diperlukan dukungan dana. Adapun untuk mendukung kegiatan
Shalink telah dihimpun dana dari berbagai sumber diantaranya Eksekutif Daerah Walhi Jogjakarta, Eksekutif
Nasional Walhi, Sumbangan Publik dan Swadaya anggota Shalink.

Selama periode Januari 2005 hingga Januari 2006 dana operasional kegiatan Shalink terkumpul sebesar
Rp. 32.763.050 (Tiga Puluh Dua Juta Tujuh Ratus Enam Puluh Tiga Ribu Lima Puluh Rupiah). Secara ringkas
berikut ini, laporan penerimaan dan pengeluaran Shalink tahun 2006 :

Penerimaan Dana :
1 Eksekutif Daerah Walhi Jogjakarta 20,013,000
2 Eksekutif Nasional Walhi 1,000,000
3 Sumbangan Publik 11,481,700
4 Swadaya Shalink 268,350
Total 32,763,050
Pengeluaran Dana
1 Pendidikan Popular -
2 Kampanye Lingkungan 19,940,800
3 Penggalangan Dana Publik 1,967,500
4 Pengembangan Sumber Daya Manusia 3,096,900
5 Evaluasi Tahunan Shalink 1,080,700
6 Operasional Sekretariat 2,215,250
Total 28,301,150
Saldo Dana :
1 Kas 695,100
2 Bank 3,766,811
Saldo per Januari 2006 4,461,911
Akhirnya, bercermin pada latar belakang didirikannya Shalink yaitu untuk memperluas upaya
penyelamatan lingkungan melalui penciptakan kader-kader pembela lingkungan guna mendukung advokasi
lingkungan serta melibatkan publik dalam menyelamatkan lingkungan, maka bukan persolan mudah untuk
mewujudkan semua itu tanpa dukungan dari seluruh komponen Walhi dan masyarakat luas. Mari terus
bersahabat, berjuang dan berkarya nyata bagi penyelamatan lingkungan hidup.

You might also like