You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Hak kekayaan intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang
bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio.Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang
menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda immateril. Benda tidak berwujud. Kita ambil misalnya
karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada ( irama) di perlukan pekerjaan otak. Menurut
ahli biologi otak kananla yang berperan untuk menghayati kesenian, berkhayal, menghayati,
kerohanian, termasuk juga kemampuan melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi.Fungsi
ini disebut juga sebagai fungsi nonverbal, metaforik, intuitif, imajinatif, dan
emosional.Sepesialisnya bersifat intuitif , holistik, dan mampu memproses informasi secara
simultan.

Dalam kepustakaan hukum Anglo Saxon ada dikenal sebutan Intellectual Property Right.
Kata ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa indonesia menjadi “Hak Milik Intelektual”,
yang sebenarnya menurut hemat penulis lebih tepat kalau diterjemahkan menjadi Hak Milik
Atas Kekayaan Intelektual. Alasannya adalah kata “Hak Milik” sebenarnya sudah merupak istilah
baku dalam kepustakaan hukum. Padahal tidak semua hak atas kekayaan intelektual itu
merupakan hak milik dalam arti yang sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak
saja, atau untuk menggunakannya dalam produk tertentu dan bahkan dapat pula berupa hak
sewa (central rights) ,atau hak-hak lain yang timbul dari perserikatan seperti lisensi hak siaran
dan lain sebagainya .

Jika di telusuri lebih jauh, Hak Atas Kekayaan Intelektual sebenarnya merupakan bagian
dari benda yaitu benda tidak berwujud ( benda immateril). Benda dalam kerangka hukum
perdata dapat diklasifikasikan kedalam berbagai kategori salah satu diantara katagori tersebut
adalah pengelompokan benda kedalam klasifikasi benda berwujud dan tidak berwujud. Untuk
hal ini dapatlah dilihat batasan benda yang dikemukakan oleh pasal 499 KUH Perdata yang
berbunyi “ Menurut paham Undang-Undang yang di maksud dengan benda adalah tiap-tiap
barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.
B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana sistem keberadaan HAKI dalam kerangka hukum indonesia serta hukum
internasional ?
2. Bagaimana hubungan HAKI dan Tantangan Globalisasi ?
3. Sebutkan fungsi dan sifat Hak Cipta ?
4. Apakah tujuan konvensi internasional tentang Hak Cipta ?
BAB II

PEMBAHASAN

Istilah sistem berasal dari bahasa yunani Systema. Untuk istilah itu Shorode dan Voch
mengartikannya “Suatu keseluruhan yang tersusun daris ekian banyak bagian ( whole
Compounded of several parts)1

HAKI dalam kerangka Hukum nasional :

Hal lain lagi yang perlu dikaji melalui pendekatan sistem ini adalah aspek budaya hukum
(culture of law ). Khusus mengenai perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual, dalam bidang
hak cipta iklim budaya indonesia telah menawarkan sesuatu yang berbeda dengan budaya
hukum “ barat “. Para pencipta indonesia sangat berbesar hati bila ciptaannya diperbanyak atau
di umumkan oleh orang lain. Para pelukis,pemahat, dan pematung di Bali sangat berbahagia
apabila karyanya ditiru orang.

Begitu pula apabila ada kunjungan para pejabar luar negeri ke pabrik atau ke berbagai
pusat industri di Indonesia,biasanya para pejabat kita dengan senang hati memeperkenalkan
temuan dan hasil temuan kita kepada “publik luar” tersebut.Memberikan
penjelasan,memperkenankan untuk menggunakan tustel atau kamera video, bahkan pada
sampai bagian-bagian yang spesifik yang disunia barat telah lama memperkenalkan sistem
perlindungan yang demikian , sehingga apabila kita berkunjung kesuatu pabrik atau pusat
industri mereka akan membatasi aktivitas kita misalnya, larangan mempergunakan
tustel,kamera video dan lain-lain.

HAKI dalam kerangka Hukum Internasional

Dalam kerangka pembahasan mengenai Hak Kekayaan Intelektual, maka dari segi
substansif, norma hokum yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual itu tidak hanya
sebatas pada norma hokum yang dikeluarkan oleh satu Negara tertentu, tetapi juga terikat
pada norma-norma internasional. Disini kita lihat hakekat hidupnya system hokum itu.

Oleh karena itu Negara-negara yang turut dalam kesepakatan internasional, harus menyesuikan
peraturan dalam negerinya dengan ketentuan internasional, yang dalam kerangka
GATT/WTO(1994) dalah kesepakatan TRIPS.

1
Shorde,William A;Voich,Jr,Organization and management;Basic System Concepta,Irwin Book
Co,Malaysia,1974,hal.115
Akibatnya Indonesia tidak dapat dan tidak di perankan membuat peraturan yang ekstra-
territorial yang ekstra – territorial yang menyangkut tentang perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual, dan semua isu yang terdapat dalam kerangka WTO Indonesia harus
mengakomodirnya paling tidak harus memeuhi ( pengaturan ) strandar minimum. Dengan
demikian Indonesia harus menyesuaikan kembali semua peraturan yang berkaitan dengan
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan menambah beberapa peraturan yang belum
tercakup dalam peraturan yang sudah ada.2

Persetujuan yang tercapai dalam Uruguay Round mengatur tentang system


penyelesaian sengkata yang terintegerasi atau integrated dispute settlement system.sengketa
di bidang HAKI antara-antara peserta perjanjian akan di tangani melalui system. Sengketa di
bidang HAKI antara Negara-negara peserta perjanjian akan ditangani melalui system
penyelesaian sengketa terpadu tersebut.Dalam prosedur penyelesaian sengketa dan upaya
untuk menjamin kepatuhan terhadap perjanjian TRIPS, dan system penyelesaian sengketa
terpadu menurut WTO menetapkan adanya retalitas lintas sektoral,yaitu suatu pihak dapat
menunda konsesi yang diberikannya atau kewajiban lainnya di dalam sector lain selain dari
TRIPS di dalam kasus terjadinya penghapusan dan atau penghilangan keuntungan yang
diperoleh dari perjanjian akibat kebijakan dari Negara yang dituntut dari system penyelesaian
sengketa terpadu.

Hal lain yang dapat dicatat adalah usulan AS untuk memasukan ketentuan nonviolation
kedalam perjanjian TRIPS yang ditentang oleh Negara berkembang dengan alas an ketentuan
TRIPS itu berupa norma yang berlaku dan bukan merupakan konsesi.AS berpendapat bahwa
nonviolation myngkin saja terjadi pada TRIPS. Kanada mengajukan usaha kompromi yang
dimasukan kedalam pasal 64 ayat 2 dan 3 yang menyebutkan bahwa ketentuan nonviolation
tidak berlaku untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan TRIPS untuk jangka waktu 5 tahun
setelah berlakunya perjanjian WTO. Dalam jangka waktu tersebut TRIPS Council akan mengkaji
dan menyerahkan rekomendasi kepada Ministrial Conference yang diselenggarakan setiap 2
tahun.

2
Hal itu telah dilakukan pemerintah dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan nasionalnya
yang mencakup perlindungan HAKI ditambah dengan ratifikasi beberapa konvensi dan traktat internasional.Hanya
saja sampai saat ini revisi UU hak cipta masih terus didiskusikan dalam rapat-rapat DPR-RI dan tak kunjung rapuh.
II

Salah satu asumsi yang perlu dicermati pada era liberalisasi perdagangan internasional
adalah bahwa, produk perdagangan dan transaksi bisnis internasional akan ditandai dengan
penerapaan prinsip GATT/ WTO yang meliputi, liberalisasi perdagangan, bebas dari bea cukai
dan kuota serta bebas dari hambatan administrative.3

Salah satu isi penting, dalam era WTO (World Treade Organization)hasil konferensi
Marakesh bulan April 1994 yang ratifikasinya dalam system perundang-undangan Indonesia
dilakukan paling lambat pada bulan Januari 1995(Indonesia telah menyelesaikan ratifikasi bulan
Okteber 1994) adalah dengan ditempatkannya dalam struktur lembaga tersebut satu dewan
yang khusus membawahi urusan Hak Kekayaan Intelektual.

Tidak hanya itu,kerangka WTO, juga dimasukan isu penting lainnya yang berkenaan
dengan penanaman modal, yakni Agreement on Trade Related of Investment Measure dalam
bidang penanaman modal yang terkait dengan perdagangan.

Masuknya TRIMs ini dalam agenda GATI, menurut Brotosusilo, diawali dari gugatan
Amerika Serikat terhadap Kanada dengan tuduhan bahwa praktik Kanada dalam menerapkan
Trims telah melanggar ketentuan Pasal 3 ayat 4 GATT yang merumuskan bahwa produk-produk
import harus mendapatkan perlakuan yang kurang baik disbanding dengan produk-produk
local.Setelah peristiwa ini, pada awalnya pembahasan Uruguay Round Negara-nrgara maju
mendesak agar masalah perlakuan terhadap penanaman modal perlu dibahas dalam
perundingan untuk mendapatkan pengakuan internasional terhadap prinsip-prinsip
perlindungan terhadap investasi, misalnya “the right of establishment”terhadap transnasional
enterprises.Tentu saja niat Negara-negara maju ini ditentang keras oleh Negara-negara
berkembang yang terbatas hanya mau untuk merundingkan masalah-masalah yang
menghubungan investasi dengan perdagangan barang-barang. Sebagai hasil perudingan
perjanjian disektor TRIMs tidak melahirkan kewajiban-kewajiban baru yang dituntut oleh
Negara-negara maju tersebut,tetapi terbatas mengenai TRIMs yang bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban dalam GATT yaitu prinsip National Treatment terhadap pasal 3 (Internal
Treatment)terhadap pasal 3(Internal Texation and Regulation)dan pasal 9(the General
Elimatiave Restriction)

WTO merupakan kerangka hokum sebagai kesepakatan internasional dan dijadikan


sebagai acuan dalam tindakan para pelaku bisnis dan kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan perlindungan HAKI dan penanaman modal asing disamping hal-hal yang lain yang
berkaitan dengan transaksi perdagangan internasional.

3
Mohtar Mas’oed,Ekonomi Politik Internasional Pembangunan Indonesia,Artikel Majalah
Prisma,LP3ES,No.2,febuari 1996,hlm 5.
Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat internasional yang turut meratifikasi
kesepakatan WTO, dengan sendirinya tunduk pada aturan perdagangan yang dimuat dalam
kesepakatan tersebut.Untuk itu Indonesia tanpa tawar menawar, harus menyesuaikan
peraturan perundang-undangannya, dengan kerangka WTO, khususnya dalam kaitannya
dengan bidang yang diatur dalam WTO tersebut dimana HAKI termasuk didalamnya.

Khusus mengenai perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual ,Indonesia telah


memiliki perangkat perundang-undangan yang sebagian besar elah merujuk pada persetujuan
TRIPs.

Menarik untuk disimak, ungkapan pakar ekonomi Rizal Ramli yang mengatakan bahwa
pemerintah Indonesia belum punya konsep untuk menghadapai perdagangan bebas.Meskipun
apa yang di ungkapkan oleh pakar ekonomi tersebut,tidak semuanya benar,namun khusus
untuk perlindungan hak kekayaan intelektual pernyataannya tersebut perlu dicermati
.Seberapa jauh, kesiapan Pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan langkah-langkah
(kebijakan dan peraturan perundang-undnagan)dalam menghadapai era perdagangan bebas
tersebut.

Proses lahirnya HAKI Internasional sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari kepentingan-
kepentingan Negara maju, khususnya AS. 4Bahkan dapat dikatakan bahwa peranan negeri
paman SAM tersebut sangat besar dan membidani lahirnya turan HAKI Internasional
tersebut.Mereka ingin mengandalkan kegiatan ekonomi dan perdagangannya pada produk-
produk yang dihasilkan atas dasar kemampuan intelektualisasi-manusia.Misalnya, perusahaan
raksasa piranti lunak Microsoft,mikroprosesor Intel,dan produk makanan Mc’Donald yang
semuanya berpusat di AS kini telah banyak menikmati keuntungan berupa royalty,fee dan
bentuk –bentuk lisensi lainnya dari hasil penjualan paten kepada mitranya yang tersebar di
banyak Negara di Indonesia.

4
Agus Brotosusilo,Analisis Dampak juridis Ratifikasi perjanjian Pembentukan Organisasi perdagangan Dunia
WTO/OPD, Kerjasama perdagangan RI dan program pasca serjana UI,Jakarta,1995,hlm 11.
III

Pasal 2 Undang-Undang Hak Cipta Indonesia secara tegas menyatakan dalam


mengumumkan atau memperbanyak ciptaan, itu harus memperhatian pembatasan-
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Pembatasan dimaksud
sudah tentu bertujuan agar dalam setiap menggunakan atau mengfungsikan hak cipta harus
sesuai dengan tujuannya.

Sebenarnya yang dikehendaki dalam pembatasan terhadap hak cipta ini adalah agar
setiap orang atau badan hokum tidak mengguanakan haknya secara sewenang-wenang 5.Setiap
penggunaannya hak harus diperhatikan terlebih dahulu apakah hal itu tidak bertentangan atau
tidak merugikan kepentingan umum.Walaupun sebenarnya pasal 2 UHC Indonesia ini
menyatakan hak cipta itu hak eksklusif,yang memberi arti bahwa selain pencipta orang lain
tidak berhak atasnya kecuali atas izin pencipta.Hak itu timbil secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan.

Jika kita kaitkan UHC Indonesia maka Undan-Udang inipun bertolak dari perpaduan
antara system individu dan system kolektif.Perjalanan sejarah tentang pemikiran dasar tentang
hak milik berkembang menurut pandangan filosofis/ideologis yang dianut oleh suatu Negara.
Disinilah berkembangnya filosofis tentang hak milik. Indonesia merumuskan kehendak
moralnya dalam landasan filosofis negaranya yakni Pancasila.Asas-asas yang terkandung dalam
pancasila selain menganut asas religious juga mengandunga asas humanisme. Perpaduan kedua
asas ini akan mengantarkan konsep hokum, bahwa selain hak milik bersumber dari Tuhan, juga
kegunaannya haruslah bermanfaat bagi masyarakat banyak. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika hak individu diakui disatu sisi dan dipihak lain harus menghormati hak-hak
kolektif dan bahkan penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan orang lain, apalagi
sampai merugiakan orang lain. Itu adalah pesan moral bangsa Indonesia yang menjelma dari
asas atau dasar filosofi negaranya.

Tidak berbeda denganhak mili lainnya,hak cipta sebagai hak kekayaan immaterial
disamping ia mempunyai fungsi tertentu, ia juga mempunyai fungsi tertentu ,ia juga
mempunyai sifat atau cirri-ciri tertentu. Mengenai sifat pasal 3 UHC Indonesia memberian
jawaban sebagai berikut bahwa “ Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak ”.

Jika ditinjau dari sudut hokum adat sebenarnya pembedaan yang demikian tidak kita
temui. Pembedaan benda menurut hokum adat di Indonesia hanay ada dalam dua hal yaitu :
benda tanah dan benda-benda lain yang bukan tanah, demikian Ter Haar menulis.

Jika hak cipta digolongkan dalam kelompok benda bergerak pertanyaan yang dapat kita
ajukan adalah apakah mungkin hak cipta itu dikuasai oleh orang lain seolah-olah ia pemiliknya?
5
Vollmart,HFA, terjemahan I.S Adiwimarta, Pengantar Studi Hukum Perdata,(I)Rajawali pers,Jakarta,1983,hlm.9.
Tidak mungkin,kalaupun mungkin hak moral tetap melekat pada si pencipta,karena sifat
kemanunggalangannya. Dengan demikan setiap orang akan dapat mengetahui siapa
sebenarnya pemilik dari hak cipta tersebut.

Dengan adanya moral maka disinilah letak perbedaan hak cipta dengan hak milik
lainnya,dan ini sekaligus merupakan cirri-ciri yang membedakannya dengan hak milik lainnya.

Disamping itu, perbedaan lain yang dapat kita ketahui pada hak cipta jika dibandingkan
dengan hak kebendaan lainnya adalah mengenai cara terjadinya.Hak cipta itu hanya ada dan
dimiliki oleh orang-orang tertentu yang memang mempunyai bakat(kreasi)atau kemampuan
untuk itu hak eksklusif, dan dengan demukian ia menjadi pemilik berikut hak moralnya.

Sedangkan terhadap hak kebendaan lainnya, misalnya hak milik atas tanah, semua
orang dapat dengan mudah memperolehnya dan tidak perlu dengan kemampuan atau bakat
khusus.Seorang dapat dengan mudah membelinya dan segera setelah itu menjadi pemiliknya
dan disana tidak ada ap yang disebut dengan Hak Moral (Moral right).

IV
Penggunaan kata”internasional”memeberikan kesan kepada kita akan melibatkan
beberapa Negara di dunia. Emikan halnya dengan internasional, akan melibatkan berbagai
Negara dalam perjanjian tersebut.

Konvensi Internasional adalah perjanjian internasional. Mengenai definisi perjanjian


intrnasional sangant banyak kita temui peristilahannya. 6

Menurut Ali Sastroamidjojo, bahwa perjanjian internasinal itu sudah dianggap sah jika
persetujuan timbale balik(mutual consent)oleh semua pihak yang membuat perjanjian itu telah
dinyatakan secara kongkret.Persetujuan timbale balik itu ada apabila masing-masing pihak
dalam perjanjian itu telah meratifikasi.

Jika demikian halnya,maka sesungguhnya ratifikasi itu mempunyai tujuan tertentu.


Dengan ratifikasi itu berarti telah memberkan kekuatan mengikat agar demikian perjanjian
tersebut berlaku bagi Negara-negara penandatanganan secara sah.

Vienna Convention 1969 menyatakan bahwa, “consent to be bound a treaty expressed


by ratification,acceptance or approval”. Maka dengan pemberian ratifikasi tersebut berarti
suatu Negara yang bersangkutan telah menyatakan persetujuannya untuk mengikat dirinya
pada suatu perjanjian. Sebaliknya apabila ratifikasi itu ditolak maka perjanjian itu hapus sama
sekali, walaupun tadinya telah ditandatangani oleh wakil-wakil Negara yang bersangkutan.

Diatas telah disebutkan bahwa dengan perjanjian yang dimaksudkan menimbulkan


hokum tertentu. Secara juridis perjanjian internasional itu akan menerbitkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban bagi Negara peserta.

Maka apabila persetujuan telah tercapai mka timbullah hak-hak dan kewajiban-
kewajiban bagi para Negara peserta yang tela mengikat dirinya. Hak yang ada pada kita
menimbulkan kewajiban kepada orang lain untuk menghormatinya demikian pula sebaliknya.

Dengan demikian, dapatlah kita simpulkan bahwa tujuan diadakannya perjanjian


internasional ini adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hak atas suatu hak yang
ditimbulkan dari suatu perjanjian tersebut kepada setiap peserta Negara anggota.

Kesimpulan diatas juka kita kaitkan dengan konvensi internasional tentang hak cipta,
maka akan kita peroleh suatu tujuan yaitu untuk melindungi hak cipta secara
internasional(dalam hal ini setiap Negara peserta).

Pertanyaan yang mungkin timbul dalam hal ini adalah apakah dengan diratifikasi
konvensi hak cipta internasional itu berarti telah melindungi hak individu dari setiap Negara

6
Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Jakarta, 1978, hlm 111
peserta?Pertanyaan yang selaras dengan itu adalah siapakah sebenarnya subjek hokum
internasional tersebut?

Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa subjek hokum internasional sebenarnya


adalah Negara-negara, dan dimana perjanjian internasional seperti konvensi-konvensi Palang
Merah 1941 memberikan hak-hak dan kewajiban tertentu, maka hak-hak dan kewajiban-
kewajiban itu diberikan konvensi secara tidak langsung kepada orang perorangan(individu)
melaui Negara(nya) yang menjadi peserta konvensi itu.

Selanjutnya melalui kontruksi demikian maka banyak keadaan atau peristiwa dimana
individu menjadi subjek hokum internasional berdasarkan suatu konvensi dapat dikembalikan
kepada Negara(nya) yang ,enjadi peserta konvensi yang bersangkutan.

Maka ejalan dengan pemikiran diatas maka pendirian yang mengatakan bahwa
perjanjian internasional hanya berlaku pada wilayah suatu Negara yang menjadi peserta setelah
diundangkanundnag-undnag pelaksanaan yang lazim di Negara yang terikat dalam konvensi ini
akan menikmati perlindungan yang sama seperti diperoleh mereka dalam negaranya sendiri.

Pasti individulah yang menjadi tujuan perlindungan diadakannya konvensi internasional


tentang hak cipta ini.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dalam kerangka pembahasan mengenai Hak Kekayaan Intelektual, maka dari segi
substansif, norma hokum yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual itu tidak hanya
sebatas pada norma hokum yang dikeluarkan oleh satu Negara tertentu, tetapi juga terikat
pada norma-norma internasional. Disini kita lihat hakekat hidupnya system hokum itu.

Salah satu isi penting, dalam era WTO (World Treade Organization)hasil konferensi
Marakesh bulan April 1994 yang ratifikasinya dalam system perundang-undangan Indonesia
dilakukan paling lambat pada bulan Januari 1995(Indonesia telah menyelesaikan ratifikasi bulan
Okteber 1994) adalah dengan ditempatkannya dalam struktur lembaga tersebut satu dewan
yang khusus membawahi urusan Hak Kekayaan Intelektual.

Jika hak cipta digolongkan dalam kelompok benda bergerak pertanyaan yang dapat kita
ajukan adalah apakah mungkin hak cipta itu dikuasai oleh orang lain seolah-olah ia pemiliknya?
Tidak mungkin,kalaupun mungkin hak moral tetap melekat pada si pencipta,karena sifat
kemanunggalangannya. Dengan demikan setiap orang akan dapat mengetahui siapa
sebenarnya pemilik dari hak cipta tersebut.

Dengan demikian, dapatlah kita simpulkan bahwa tujuan diadakannya perjanjian


internasional ini adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hak atas suatu hak yang
ditimbulkan dari suatu perjanjian tersebut kepada setiap peserta Negara anggota.

Saran

Daftar Pustaka
Shorde,William A;Voich,Jr,1974,Organization and management,Malaysia,Basic System
Concepta,Irwin Book Co,hal.115

Ajib Rosidi,Undang-undang Hak Cipta 1982,Pengantar Hukum


Internasional,Bharatara,Jakarta,1971.

H.OK.Saidin,S,H.,M.Hum,2006,Aspek Hukum Hak kekayaan Intelektual,Jakarta,PT.Rajagrafindo


persada.

You might also like